Share

10. Siasat

Penulis: Hawa Hajari
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-02 10:59:22

Wati memang sengaja tidak melawan saat Rara menjambak rambutnya tadi. Wati bermaksud bermain halus. Ia tak akan terang-terangan memperlihatkan sikap memusuhi dan melawan Rara. Ia akan tetap bersikap sebagai madu yang tidak berdaya, sementara Wati menyusun rencana untuk menghancurkan Rara di belakangnya.

Wati lalu mengunci pintu kamarnya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya selama tinggal di rumah Rara. Setelah merasa yakin pintu kamarnya terkunci dengan baik, Wati mengeluarkan ponsel yang diberikan Bu Nara kepadanya tadi siang ketika ia berada di panti.

Wati merebahkan diri pada kasur tipis. Ia mengecek ponsel kecil yang kuno itu. Ternyata sudah ada pesan masuk dari Bu Nara untuknya. Tak sabar, Wati membuka pesan dari Bu Nara dengan hati berdebar-debar.

“Ibu sudah menghubungi keluargamu, Ti. Mereka sangat senang mengetahui kamu sudah ditemukan. Mereka ingin bertemu kamu secepatnya. Mereka ingin menjemputmu besok sore. Kamu mau dijemput di rumah atau di panti?”

Wati berbunga-bunga membaca pesan dari Bu Nara. Harapannya akan kehidupan yang lebih baik bangkit kembali. Tak akan lagi ia diperlakukan seperti sampah di rumah ini. Ia memiliki keluarga sebagai sandaran.

Wati berpikir sejenak. Ia sangat ingin dijemput dari rumah ini. Terbayang di pelupuk mata Wati, pasti Rara dan Dedy akan ternganga apabila ia dijemput oleh keluarga yang selama ini tidak diketahui keberadaannya. Ia akan bisa melenggang penuh kemenangan di bawah tatapan tak percaya Dedy dan madunya. Nikmat sekali pasti rasanya.

Akan tetapi, Wati teringat bahwa kedua orang tuanya tidak mengetahui tentang kehidupan buruk yang dialaminya saat ini. Mereka mungkin akan bingung ketika mendapati dirinya yang diperlakukan sebagai babu di rumah Rara. Keadaan itu tidak sesuai dengan harapannya.

Tidak. Wati tidak akan minta dijemput di sini. Ia tidak boleh bertindak gegabah. Untuk membalas Rara, ia akan menyiapkan pembalasan dendam termanis.

 “Biar saya yang datang ke panti besok sore, Bu. Keluargaku belum tahu apa-apa tentang aku dan masalahku. Jangan sampai mereka bingung nantinya. Tunggu aku ya, Bu,” Wati mengirim balasan pesan kepada Bu Nara.

Setelah mengirim pesan, Wati termenung memikirkan rencananya untuk membalas Rara dan Wati. Hal pertama yang dipikirkan oleh Wati adalah mengambil buku nikahnya agar dapat mengurus perceraian.

Di mana Dedy menyimpan buku nikah itu? Setelah menikah, Wati belum pernah lagi melihat bukti pernikahan mereka. Ia harus mengambil buku itu sebelum pergi menemui keluarganya besok.

“Mbak! Mbak Wati, keluar!” teriak Rara dari depan pintu kamar.

Wati terkejut. Cepat-cepat ia menyembunyikan ponsel yang sedari tadi masih dipegangnya ke balik baju. Wati tak mau meninggalkan ponsel itu di dalam kamarnya. Meskipun Rara tak pernah masuk ke kamarnya, tapi ia tak mau mengambil risiko kehilangan benda paling berharga dalam hidupnya saat ini.

Wati membuka pintu kamar. Ia melihat Rara meringis kesakitan sambil memegangi perutnya.

“Belikan aku minuman pelancar haid ke warung. Sekarang!” perintah Rara seraya menyerahkan selembar uang ke depan wajah Wati.

Wati menerima lembaran uang dari Rara dengan ekspresi datar. Rara lalu mengerang memegangi perutnya. Ia sempoyongan lalu bersandar pada dinding. Dedy datang menghampiri Rara dengan tergopoh-gopoh. Raut wajahnya terlihat amat khawatir.

“Sayang, lebih baik kamu istirahat saja di kamar. Kataku juga biar aku saja yang menyuruh Wati ke warung,” marah Dedy.

Rara membiarkan dirinya dibimbing oleh Dedy untuk masuk kembali ke dalam kamar. Langkahnya tertatih-tatih dan goyah. Wati mengamati bahwa Rara dalam kondisi yang lemah.

Saat Wati terbengong, tiba-tiba Rara menoleh ke belakang dan berkata garang,

“Cepat! Disuruh sekarang malah bengong!” bentak Rara. Ternyata meskipun sedang sakit, kegalakan Rara tidak berkurang.

Wati gelagapan. Lekas-lekas ia berjalan menuju pintu keluar. Masih sempat didengarnya suara Dedy sebelum ia melangkah keluar dari pintu.

“Yah, malam ini gagal deh kita main, Sayang.”

Wati mempercepat langkahnya menuju warung. Ia mendadak muak mendengar suara Dedy barusan. Usai membeli barang yang diminta oleh Rara, Wati lekas-lekas pulang. Ia tak mau lagi mendapat kemarahan dari Rara. Sekarang bukan karena takut lagi, tapi telinganya sakit rasanya mendengarkan suara sember seperti radio rusak itu.

Sampai di rumah, Wati langsung mencari Rara untuk memberikan barang pesanannya. Saat Wati bergerak menuju kamar Rara untuk memberikan jamu, ia berpapasan dengan Dedy yang hendak keluar dari kamar.

“Mas, ini jamu yang diminta Rara sudah aku belikan,” lapor Wati.

“Rara sedang tidur. Berikan saja jamu itu kepadaku,” sahut Dedy.

Wati mengulurkan tangan memberikan bungkusan berisi jamu, tapi Dedy tidak mengambil bungkusan itu. Dedy malah menarik tangan Wati hingga Wati terjatuh ke dalam pelukannya.

“Kamu milikku malam ini,” bisik Dedy di telinga Wati.

Dedy menciumi leher Wati, sementara tangannya bergerilya di tubuh Wati. Wati diam tak bereaksi. Wajahnya pun datar tanpa ekspresi. Sekarang dia sadar, Dedy hanya mendatanginya saat Rara tak bisa dijamah. Terbukti, saat Rara haid barulah Dedy menginginkannya.

Tempo hari pun demikian, saat Rara tertidur barulah Dedy memasuki kamarnya. Saat pagi tiba, Dedy langsung pindah ke kamar Rara. Jadi itulah arti dirinya bagi Dedy, hanya ban serep ketika Rara tidak ada.

“Jangan sekarang, Mas. Ini masih siang. Rara bisa bangun kapan saja,” cegah Wati saat tangan Dedy bergerak hendak membuka kancing bajunya.

Dedy tersadar dari nafsunya. Ia bahkan menggerayangi Wati di depan kamar Rara. Kesal dengan kenyataan ini, Dedy melepaskan tubuh Wati secara kasar.

“Nanti malam,” bisiknya dengan napas memburu.

Wati melepaskan diri dari Dedy dengan perasaan lega. Ia langsung kabur menuju kamar mandi. Di sana ia langsung mandi untuk menghilangkan bekas jamahan Dedy di tubuhnya. Jijik rasanya ia terhadap tubuh yang telah disentuh oleh Dedy.

Pada malam harinya, Dedy mendatangi kamar Wati diam-diam. Saat membuka gagang pintu, ia terkejut mendapati pintu kamar Wati yang terkunci. Selama menikah dengan Wati, belum pernah Dedy tak bisa masuk ke kamar Wati.

“Ti, Wati ...,” panggil Dedy pelan dari balik pintu.

Tak ada jawaban dari Wati. Dedy kebingungan. Apakah Wati tertidur? Jika memang iya, mengapa pintu kamarnya dikunci segala?

Sementara itu di dalam kamar, Wati yang belum tidur bergegas merebahkan diri di kasur. Ia bermaksud pura-pura tidur, biar Dedy tak berhasil melampiaskan nafsunya.

“Wati, Wati, buka pintu,” panggil Dedy sekali lagi.

Masih tak ada bunyi apapun dari dalam kamar. Dedy menjadi murka. Hasratnya sudah sampai ke ubun-ubun, ia ingin segera menyalurkannya. Dedy mendorong-dorong pintu kamar Wati. Ia dapati bahwa pintu hanya diselot saja dari dalam. Nekad karena nafsu, Dedy mendorong pintu sekuat tenaga.

Krak!

Selot pintu patah dan pintu terbuka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   77. Penangkapan (TAMAT)

    AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   76. Perburuan

    "Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   75. Pergumulan

    Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   74. Sosok Dalam Gua

    Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   73. Identifikasi Mayat

    AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   72. Tubuh di Bantaran Sungai

    Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status