Share

9. Tunggu Balasanku

Angkot yang ditumpangi Wati lama berhenti dan diam di beberapa tempat untuk menunggu penumpang penuh. Hati Wati menjadi gelisah.

“Pak, cepat jalan, Pak,” pinta Wati kepada supir angkot.

“Sebentar, Mbak. Tunggu penuh dulu,” tolak supir angkot.

Wati semakin murung. Matahari semakin meluncur turun ke arah barat. Sore semakin gelap. Wati sangat cemas ia terlambat pulang ke rumah dan bertemu Dedy dan Rara yang sudah kembali dari toko.

Akhirnya angkot melaju kembali setelah hampir sepuluh menit diam di pangkalan. Wati bernapas lega. Setelah angkot sampai di depan jalan yang menuju rumah Rara, Wati bergegas turun dan membayar.

Setengah berlari ia menuju rumah. Jantung Wati berdebar kencang saat mendapati Rara dan Dedy sudah ada di depan rumah dengan raut wajah yang marah. Bahkan Rara tidak hanya melotot dan cemberut, ia juga berkacak pinggang seraya mengentak-entakkan kaki melihat kedatangan Wati.

“Bagus! Sudah berani keluar rumah kamu sekarang!” hardik Rara setelah Wati berada di hadapannya.

“Ma—maaf, Ra. Aku rindu dengan ibu asuhku di panti dulu,” kata Wati dengan suara bergetar. Tangannya pun gemetar saat berbicara.

“Kan aku sudah bilang tadi pagi, kapan-kapan saja kita ke sana. Dasar bandel,” bentak Dedy tak kalah garang dengan mata melotot.

“Sudah pergi nggak bilang-bilang, lama lagi! Tahu kamu kalau kami ini pulang itu lapar mau makan. Eh, datang-datang rumah terkunci. Dasar nggak punya ot*k!” teriak Rara seraya menjambak rambut Wati.

Wati menjerit kesakitan saat kuku panjang Rara yang selalu dirawat ke salon mengenai kulit kepala Wati tanpa belas kasihan.

“Ampun, Ra. Sakit ...,” lirih Wati seraya meringis. Air matanya mengalir tanpa Wati kehendaki. Rasanya sakit sekali.

“Sudah, Sayang. Nggak enak sama tetangga. Kalau mau mengamuk di dalam saja,” lerai Dedy dengan suara yang dibuat rendah.

Sepasang mata Dedy melirik ke kiri dan kanan, takut dengan pandangan mata tetangga yang menatap cemas dari jendela rumah masing-masing. Rara melihat juga ada beberapa tirai yang bergerak di balik jendela. Pastilah beberapa orang sudah melihat aksinya barusan.

“Huh! Dasar kepo,” gerutu Rara pelan sambil bersungut-sungut.

“Cepat keluarkan kunci rumah!” bentak Rara kepada Wati.

Wati cepat-cepat membuka tas kain jelek yang dibawanya, lalu mengeluarkan kunci rumah secara terburu-buru. Sebelum Rara membentak lagi, Wati bergegas membuka pintu rumah Rara yang dikuncinya sebelum pergi.

Mereka bertiga berebutan masuk ke dalam rumah. Rara kembali mengamuk setelah masuk.

“Awas kalau kamu berani keluar rumah lagi sejak hari ini. Kamu nggak boleh pergi kecuali aku suruh, Mbak,” sembur Rara seraya menoyor kepala Wati.

Wati melindungi kepalanya dengan menyilangkan kedua tangan. Tak ada suaranya yang keluar.

“Kamu dihukum hari ini. Tidak ada makan malam buatmu sampai besok pagi!” pekik Rara seperti orang kesetanan.

Akibat dorongan tangan Rara di kepalanya, Wati jatuh berlutut di lantai. Ia meringis menahan sakit sambil memegang ubun-ubun. Rara kembali mengangkat tangan hendak memukul, tapi sebuah tangan kekar mencekal tangan Rara di saat-saat terakhir yang genting.

“Sayang, sudah! Jangan terlalu kasar begitu. Kalau Wati sampai sakit karena ulahmu, kamu sendiri yang repot. Siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah nanti?” Dedy menahan tangan Rara yang hendak memukul Wati lagi.

“Dia sih tidak tahu diri, Mas! Sudah ditampung, masih banyak tingkah. Kalau bukan aku yang memberinya tempat tinggal dan makan, memang dia mau pergi ke mana? Orang nggak punya keluarga itu kan sama seperti orang hilang,” hina Rara lagi.

Sambil berbicara, Rara melepaskan tangannya yang dicekal oleh Dedy. Rara kemudian berkacak pinggang di hadapan Wati yang jatuh berlutut. Sikap Rara sangat angkuh.

“Sudah. Daripada marah-marah terus, lebih baik kamu istirahat. Simpan energimu untuk kita nanti malam,” lerai Dedy seraya mengedipkan sebelah mata kepada Rara.

Melihat kedipan mata Dedy, Rara menurut. Ia tak menolak ketika Dedy meraih tangannya untuk dibimbing menjauh dari Wati yang tertunduk. Sebelum pergi ke kamar, Dedy menoleh ke arah Wati di belakangnya. Dengan kode mata, Dedy menyuruh Wati untuk menyingkir.

Setelah Dedy dan Rara masuk ke dalam kamar, barulah Wati berlari masuk ke dalam kamarnya. Hatinya panas sekali, tapi ia berusaha untuk bersabar.

“Sabar, Wati. Sebentar lagi, Rara akan menerima balasan atas perbuatannya. Tunggu saja kamu, Ra,” desis Wati di dalam kamarnya.

Setelah mengetahui bahwa dia memiliki keluarga dan tak sendirian di dunia ini, Wati merasa lebih kuat. Ia bagaikan mendapat tempat berpegangan yang kokoh. Meskipun keluarga itu belum ditemuinya, tapi pengetahuan bahwa ia memiliki orang tua saja cukup membuat Wati memiliki harga diri yang baru.

Apabila dahulu ia hanya bisa pasrah dijadikan bulan-bulanan oleh Rara, maka sekarang keadaannya sudah berbeda. Ia tak mau lagi diperlakukan semena-mena karena dia merasa dirinya kini berharga.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei anjing, udah tau kau punya keluarga jaya tapi sok2an mau balas dendam njing. mamps ajalah kau binatang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status