Angkot yang ditumpangi Wati lama berhenti dan diam di beberapa tempat untuk menunggu penumpang penuh. Hati Wati menjadi gelisah.
“Pak, cepat jalan, Pak,” pinta Wati kepada supir angkot.
“Sebentar, Mbak. Tunggu penuh dulu,” tolak supir angkot.
Wati semakin murung. Matahari semakin meluncur turun ke arah barat. Sore semakin gelap. Wati sangat cemas ia terlambat pulang ke rumah dan bertemu Dedy dan Rara yang sudah kembali dari toko.
Akhirnya angkot melaju kembali setelah hampir sepuluh menit diam di pangkalan. Wati bernapas lega. Setelah angkot sampai di depan jalan yang menuju rumah Rara, Wati bergegas turun dan membayar.
Setengah berlari ia menuju rumah. Jantung Wati berdebar kencang saat mendapati Rara dan Dedy sudah ada di depan rumah dengan raut wajah yang marah. Bahkan Rara tidak hanya melotot dan cemberut, ia juga berkacak pinggang seraya mengentak-entakkan kaki melihat kedatangan Wati.
“Bagus! Sudah berani keluar rumah kamu sekarang!” hardik Rara setelah Wati berada di hadapannya.
“Ma—maaf, Ra. Aku rindu dengan ibu asuhku di panti dulu,” kata Wati dengan suara bergetar. Tangannya pun gemetar saat berbicara.
“Kan aku sudah bilang tadi pagi, kapan-kapan saja kita ke sana. Dasar bandel,” bentak Dedy tak kalah garang dengan mata melotot.
“Sudah pergi nggak bilang-bilang, lama lagi! Tahu kamu kalau kami ini pulang itu lapar mau makan. Eh, datang-datang rumah terkunci. Dasar nggak punya ot*k!” teriak Rara seraya menjambak rambut Wati.
Wati menjerit kesakitan saat kuku panjang Rara yang selalu dirawat ke salon mengenai kulit kepala Wati tanpa belas kasihan.
“Ampun, Ra. Sakit ...,” lirih Wati seraya meringis. Air matanya mengalir tanpa Wati kehendaki. Rasanya sakit sekali.
“Sudah, Sayang. Nggak enak sama tetangga. Kalau mau mengamuk di dalam saja,” lerai Dedy dengan suara yang dibuat rendah.
Sepasang mata Dedy melirik ke kiri dan kanan, takut dengan pandangan mata tetangga yang menatap cemas dari jendela rumah masing-masing. Rara melihat juga ada beberapa tirai yang bergerak di balik jendela. Pastilah beberapa orang sudah melihat aksinya barusan.
“Huh! Dasar kepo,” gerutu Rara pelan sambil bersungut-sungut.
“Cepat keluarkan kunci rumah!” bentak Rara kepada Wati.
Wati cepat-cepat membuka tas kain jelek yang dibawanya, lalu mengeluarkan kunci rumah secara terburu-buru. Sebelum Rara membentak lagi, Wati bergegas membuka pintu rumah Rara yang dikuncinya sebelum pergi.
Mereka bertiga berebutan masuk ke dalam rumah. Rara kembali mengamuk setelah masuk.
“Awas kalau kamu berani keluar rumah lagi sejak hari ini. Kamu nggak boleh pergi kecuali aku suruh, Mbak,” sembur Rara seraya menoyor kepala Wati.
Wati melindungi kepalanya dengan menyilangkan kedua tangan. Tak ada suaranya yang keluar.
“Kamu dihukum hari ini. Tidak ada makan malam buatmu sampai besok pagi!” pekik Rara seperti orang kesetanan.
Akibat dorongan tangan Rara di kepalanya, Wati jatuh berlutut di lantai. Ia meringis menahan sakit sambil memegang ubun-ubun. Rara kembali mengangkat tangan hendak memukul, tapi sebuah tangan kekar mencekal tangan Rara di saat-saat terakhir yang genting.
“Sayang, sudah! Jangan terlalu kasar begitu. Kalau Wati sampai sakit karena ulahmu, kamu sendiri yang repot. Siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah nanti?” Dedy menahan tangan Rara yang hendak memukul Wati lagi.
“Dia sih tidak tahu diri, Mas! Sudah ditampung, masih banyak tingkah. Kalau bukan aku yang memberinya tempat tinggal dan makan, memang dia mau pergi ke mana? Orang nggak punya keluarga itu kan sama seperti orang hilang,” hina Rara lagi.
Sambil berbicara, Rara melepaskan tangannya yang dicekal oleh Dedy. Rara kemudian berkacak pinggang di hadapan Wati yang jatuh berlutut. Sikap Rara sangat angkuh.
“Sudah. Daripada marah-marah terus, lebih baik kamu istirahat. Simpan energimu untuk kita nanti malam,” lerai Dedy seraya mengedipkan sebelah mata kepada Rara.
Melihat kedipan mata Dedy, Rara menurut. Ia tak menolak ketika Dedy meraih tangannya untuk dibimbing menjauh dari Wati yang tertunduk. Sebelum pergi ke kamar, Dedy menoleh ke arah Wati di belakangnya. Dengan kode mata, Dedy menyuruh Wati untuk menyingkir.
Setelah Dedy dan Rara masuk ke dalam kamar, barulah Wati berlari masuk ke dalam kamarnya. Hatinya panas sekali, tapi ia berusaha untuk bersabar.
“Sabar, Wati. Sebentar lagi, Rara akan menerima balasan atas perbuatannya. Tunggu saja kamu, Ra,” desis Wati di dalam kamarnya.
Setelah mengetahui bahwa dia memiliki keluarga dan tak sendirian di dunia ini, Wati merasa lebih kuat. Ia bagaikan mendapat tempat berpegangan yang kokoh. Meskipun keluarga itu belum ditemuinya, tapi pengetahuan bahwa ia memiliki orang tua saja cukup membuat Wati memiliki harga diri yang baru.
Apabila dahulu ia hanya bisa pasrah dijadikan bulan-bulanan oleh Rara, maka sekarang keadaannya sudah berbeda. Ia tak mau lagi diperlakukan semena-mena karena dia merasa dirinya kini berharga.
AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
"Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan
Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten
Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas