"Ciit!"
Bunyi decitan ban menggema di halaman rumah mewah keluarga Nugraha. Sebuah mobil sedan hitam mengerem mendadak. Samuel Nugraha keluar dari balik kemudi, langkahnya cepat dan penuh tanya. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran setelah ibunya menelponnya tadi dengan suara panik dan menyuruhnya pulang segera. Begitu memasuki ruang tamu yang luas dan bergaya klasik, Samuel langsung berseru, "Ada apa, Mom?" "Apa yang terjadi?" sambungnya saat melihat sang ibu. Mutia Nugraha bangkit dari sofa. Wanita paruh baya itu tampak terlalu anggun untuk terlihat panik, mengenakan dress tanpa lengan panjangan selutut berwarna pastel dan perhiasan mewah yang tidak pernah absen dari tubuhnya. Dia tersenyum lebar menyambut kedatangan anak sulungnya itu. "Akhirnya kamu datang juga," jawabnya. "Ada apa?" tanya Samuel penasaran. Mutia meraih tangan Samuel dan menuntunnya duduk, kemudian menunjuk seorang wanita muda yang duduk anggun di sampingnya. "Kenalkan ini Diva. Anak teman Mommy. Dia baru kembali dari Amerika. Cantik, kan?" kata Mutia dengan nada yang terlalu riang. Samuel mengerutkan kening. Matanya menatap Diva sekilas—seorang perempuan berambut cokelat terang, mengenakan dress pendek, wewangian mahal menguar dari tubuhnya. Penampilannya sangat berani untuk suasana rumah. "Hanya ini? Mommy nyuruh aku buru-buru pulang kesini cuma buat ini?" tanya Samuel datar. "Samuel!" tegur Mutia. "Diva ini sudah meluangkan waktu, masa kamu tidak sopan begitu." "Mom, aku baru pulang kerja. Bahkan lihatlah, aku belum berganti pakaian," protes Samuel. "Tidak masalah." "Lain kali, jangan buat aku seperti ini, Mom." "Mommy ingin kamu kenalan dengan Diva. Mumpung dia lagi pulang, dia cantik dan modern, kan?" tanya Mutia. "Mom..." lirih Samuel. "Kamu itu sudah kepala tiga. Sudah saatnya menikah, menunggu kamu mencari sendiri entah kapan. Mumpung ada yang pas," bisik Mutia. "Aku gak mau, Mom," jawab Samuel. "Samuel!" ujar Mutia pelan tapi penuh penekanan dengan sorot mata tajam menatap Samuel. Samuel menahan napas, lalu menghela panjang. Ia tahu arah pembicaraan ini. Ibunya memang tidak pernah lelah mencarikan pasangan untuknya. Tapi sejak luka hati akibat Viola, wanita yang dulu hampir ia nikahi namun memilih pria lain, Samuel tidak lagi percaya pada cinta yang instan, apalagi perjodohan. Dia belum terpikirkan untuk menikah, baginya semua wanita sama. Hanya bisa menorehkan luka. "Baiklah, saya Samuel," ucapnya singkat pada Diva sambil menjabat tangan, sekadar formalitas. "Senang berkenalan denganmu. Seperti yang Mama katakan, ternyata kamu memang ganteng," jawab Diva tanpa ragu. "Maaf, saya harus ke atas. Ada yang mau ditanyakan pada Sassy," ucap Samuel mengalihkan pembicaraan. Sengaja mencari alasan ingin menemui adiknya. "Sassy pergi!" jawab Mutia. "Ada yang aku cari di kamar," sambung Samuel segera berlalu menuju lantai dua. Sementara di sudut lain kota, suasana rumah berbeda jauh dari rumah keluarga Nugraha. Apartemen itu sepi, hanya terdengar dentingan halus dari jam dinding, setelah kepergian Samuel. Arsila menyalakan televisi, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa empuk yang sangat nyaman. Ia menghela nafas panjang. "Huft, lebih tenang kalau si beruang kutub gak ada di rumah," ujarnya sambil tersenyum kecil. Julukan itu ditujukan kepada si pemilik apartemen ini, siapa lagi kalau bukan Samuel. Baru beberapa detik bersandar, tiba-tiba kepalanya berdenyut. Sakitnya menembus hingga ke belakang mata. Tangan kanannya mencengkeram pelipis. Ia memejamkan mata, mencoba menahan sakit yang menyerang tiba-tiba itu. Lalu, bayangan-bayangan aneh melintas di pikirannya—seperti potongan film usang. Ia melihat dirinya tertawa bersama seorang pria, lalu menangis di depan sebuah kamar, melihat seorang pria memeluk wanita lain. Ia melihat dirinya dikelilingi beberapa orang, tapi wajah mereka kabur seperti ditutupi kabut tebal. "Siapa mereka?" gumamnya lirih, terengah-engah, peluh membasahi pelipis. Tangannya memegang kepalanya yang terasa ingin meledak. Sangat sakit. "Apakah itu hidupku? Apa yang terjadi denganku?" tanya Arsila pelan. Ia merasa bayangan-bayangan itu bukan mimpi. Itu seperti sebuah kenangan atau ingatan yang bersemayam di kepalanya. Dia hidup bersama pria asing, yang setiap hari memaksanya mengingat siapa dirinya. Dia juga hidup seperti robot, menjalani hari demi hari dengan identitas yang kabur. Tapi kini, gambaran samar itu mulai menampakkan celah. Tiba-tiba, suara dari televisi membuyarkan lamunannya. "[Selebgram Anila Jayanti Jusman sedang menikmati bulan madu bersama suaminya. Anila terpaksa menikah dengan calon suami dari kakaknya, karena kakaknya kabur sebelum hari pernikahan.]" Layar televisi besar itu menyedot perhatiannya. Mata Arsila menatap ke arah televisi. Disana, tampak sepasang suami-istri berjalan di tepi pantai. Laut biru membentang, matahari senja menambah kesan romantis. Mereka tampak bahagia. Tertawa. Bergandengan tangan seolah dunia milik berdua. "Kenapa mereka tampak tidak seperti terpaksa?" gumam Arsila pelan. Matanya tak berkedip, dia sendiri heran mengapa berita yang tidak penting itu menarik perhatiannya. Ada yang aneh. Bukan karena berita sensasionalnya. Bukan pula karena nama Anila yang mirip dengan namanya. Tapi, wajah pria dan wanita itu, mereka seperti menarik sesuatu dalam ingatannya. Seolah mereka saling mengenal dekat. Arsila memiringkan kepala, mencoba mengurai kabut samar di pikirannya. "Kok aku seperti mengenal mereka?" bisiknya. Arsila terus memperhatikan pasangan yang katanya terpaksa namun sangat bahagia itu. "Mereka siapa?" tanyanya lagi. "Apa karena dia selebgram sehingga aku merasa kenal? Tapi, akun bahkan tidak punya sosial media," ijar Arsila. Wajah pria di televisi—Rio—terlihat akrab. Begitu pula dengan Anila. Tapi bukan dari media sosial atau berita. Rasanya lebih dekat dari itu. Lebih personal. "Ahh... Kenapa aku harus memikirkan mereka?" tanya Arsila heran pada dirinya sendiri. "Apa pentingnya? Lagian, ngapain sih aku menonton berita gak jelas begini? Memangnya penting melihat orang bulan madu?" Arsila merutuki dirinya sendiri, mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, nyatanya tidak bisa. Matanya terus memperhatikan sepasang pengantin baru itu. "Apa aku memang mengenal mereka?" tanya nya lagi. Bayangan dan berita di televisi itu, semua bagaikan sebuah puzzle tanpa bentuk. Belum ada kepingan yang cocok sempurna. Belum ada kebenaran yang utuh. Hanya serpihan-serpihan yang menyiksa kepala dan hatinya.“Hai Juang, ini kado dari Aunty,” ujar Sassy sambil menyodorkan kotak berbungkus kertas biru metalik. Senyum cerah terukir di wajahnya, berusaha menyembunyikan rasa kikuk yang masih menggantung akibat kejadian lalu.Deni Nugraha telah berhsasil membuat anak dan istrinya menerima kehadiran Arsila dan Juang menjadi bagian dari keluarga Nugraha. Tidak peduli lagi dengan dendam ataupun persaingan lama, kini mereka adalah satu keluarga. Juang memiliki darah keluarga Nugraha dan juga keluarga Jusman.Juang memandangi kado itu, namun tidak langsung menerimanya. Bocah kecil itu hanya melirik pada ibunya, mencari isyarat dari wajah tenang Arsila.“Bilang terima kasih sama Aunty Sassy,” ujar Arsila lembut sambil menyentuh punggung Juang.Juang menunduk, jemari mungilnya mencengkeram ujung kausnya. Suaranya cadel dan pelan saat mengucap, “Te—terima kasih.”Sassy tersenyum lebar, hatinya meleleh melihat kepolosan Juang. “Oh, so sweet. Sini peluk.”Dengan antusias, Sassy merentangkan tangannya. Ju
“Terima kasih, Pa.”Suara Arsila terdengar lirih namun penuh emosi. Matanya berkaca-kaca saat memandang Deni Nugraha, sosok yang selama ini menjadi tembok besar penghalang antara dirinya dan penerimaan yang selama ini ia harapkan. Kini pria itu berdiri di sisinya—bukan untuk menjatuhkannya, tapi untuk membelanya. Dukungan itu datang dengan nada datar dan wajah keras, namun bagi Arsila, itu lebih dari cukup.“Karena Samuel sangat mencintaimu. Dan juga, ini untuk membalas kebaikan kakekmu beberapa puluh tahun lalu,” ujar Deni dengan suara tenang, nyaris tanpa ekspresi.Ucapan itu mungkin terdengar datar bagi orang lain, tapi bagi Arsila, ada begitu banyak makna yang terkandung di baliknya. Bertahun-tahun ia menahan luka batin karena dianggap tidak layak, karena terus-menerus berada di bawah bayang-bayang masa lalu dan prasangka buruk. Kini, meski masih terselip gengsi dan keraguan, pengakuan itu telah melubangi dinding tebal yang selama ini memisahkan mereka.Arsila menunduk sejenak, me
Suasana di ruang tamu kediaman keluarga Nugraha malam itu terasa jauh lebih dingin dari suhu AC yang menyala. Mutia Nugraha berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada, wajahnya penuh dengan kejengkelan dan tatapan tidak percaya yang menusuk ke arah suaminya.“Apa? Papa percaya pada Arsila?” tanya Mutia dengan suara meninggi, nyaris seperti teriakan.Deni Nugraha duduk santai di kursi favoritnya, masih mengenakan jas yang belum sempat dilepas sejak pulang dari kantor. Ia hanya menatap Mutia dengan pandangan tenang, seolah ledakan emosi sang istri tidak menggoyahkan tekadnya sedikit pun.“Iya,” jawab Deni pendek, tapi penuh tekanan.Mutia melangkah maju, wajahnya memerah. “Pa, tentu saja Samuel membela Arsila! Dia itu suaminya! Dia sudah dibutakan cinta! Dan Papa... Papa gak boleh percaya begitu saja hanya karena pengakuan anakmu sendiri!”Deni menghela napas, lalu menegakkan tubuhnya. “Justru karena aku melihat penjelasan Samuel sangat masuk akal, Mom. Selama ini aku hanya men
Suasana di ruang komisaris utama Nugraha Group terasa tegang, meskipun hanya ada dua orang di sana: Deni Nugraha dan putranya, Samuel. Cahaya dari jendela besar memantulkan bayangan kota Jakarta yang sibuk, tapi di dalam ruangan itu, waktu seakan berhenti.Deni duduk dengan kedua tangan saling mengunci di atas meja. Tatapan matanya tajam, namun kali ini bukan karena marah, melainkan karena kebingungan."Samuel," ucap Deni dengan nada berat, “jelaskan pada Papa, sebenarnya apa yang terjadi dengan Arsila? Papa bingung melihat berita yang silih berganti tentangnya. Apa memang dia seburuk itu, atau sebenarnya dia sedang melawan seseorang?”Samuel yang duduk di seberangnya sempat terdiam. Sejujurnya, ia tidak menyangka ayahnya akan bertanya seperti ini. Panggilan mendadak dari Deni membuatnya berpikir bahwa pertemuan ini sekadar ajakan untuk kembali bekerja di Nugraha Group, bukan membahas sang istri.“Semua berita itu fitnah, Pa,” jawab Samuel pelan tapi pasti. “Disebarkan oleh mantan ibu
Keesokan harinya…Pagi di rumah keluarga Samuel dan Arsila berjalan seperti biasa. Juang bersiap untuk kelas bermainnya, sementara Samuel dan Arsila sarapan di taman belakang rumah.Namun, suasana tenang itu runtuh seketika ketika Eny, sekretaris pribadi Arsila, menelepon dengan suara panik.“Bu, mohon maaf... barusan ada berita tentang Ibu Mirna di headline beberapa portal besar,” katanya tergesa.Arsila mendadak terdiam. Samuel yang melihat perubahan raut wajah istrinya segera mengambil ponsel di meja. Hanya butuh beberapa detik untuk menemukan berita itu:"Mantan Istri Almarhum Jusman Dituding Diusir Secara Paksa: 'Saya Disingkirkan oleh Anak Tiri Sendiri' – Mirna Buka Suara!"Berita itu disertai foto Mirna dengan wajah pilu, duduk di sebuah rumah kecil dan sederhana. Narasi dalam artikel itu membangun simpati: menyebut Mirna telah hidup bersama Tuan Jusman selama lebih dari satu dekade, namun kemudian diusir tanpa diberikan hak apa pun. Disebut juga bahwa Arsila memaksa semua pemb
Pagi itu, suasana rumah keluarga Jusman terasa lengang, meski angin lembut dari halaman membawa aroma bunga kamboja yang segar. Arsila duduk di ruang tamu sambil memandangi sekeliling. Matanya menyisir setiap sudut rumah, mengamati harta benda yang menyimpan sejarah keluarganya.Kenangan tentang ibunya—wanita yang begitu kuat dan lembut—masih tertinggal dalam setiap perabotan tua, lukisan klasik, dan semua barang-barang yang ada di ruangan itu.Tiba-tiba, langkah kaki pelan terdengar mendekat. Bi Wati, pembantu setia yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga Jusman, datang sambil membawa nampan berisi teh hangat dan juga beberapa makanan ringan.“Bi,” panggil Arsila pelan.“Iya, Nyonya?” sahut Bi Wati sambil meletakkan cangkir di meja.“Apa Bibi tahu ada berapa banyak barangnya Mirna di rumah ini?” tanya Arsila, menatap lurus ke mata Bi Wati.Bi Wati adalah pembangu yang paling lama bekerja di keluarga Jusman, bahkan sejak ibu kandung Arsila masih muda. Dan pastinya beliau tahu