Cahaya dari layar televisi seratus inci menerangi ruangan apartemen mewah itu, menciptakan nuansa hangat yang kontras dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dada Arsila.
Suara lembut dari presenter wanita memenuhi ruangan, memuji pasangan selebritis yang tengah duduk berdampingan dengan wajah penuh cinta menatap laut biru. "Ternyata dia suami yang baik," ujar Anila di depan kamera sambil menatap penuh kagum ke arah suaminya. Seketika kecupan lembut mendarat di pipinya, diberikan sang suami membuat wajah Anila tersipu. Arsila duduk bersila di atas sofa, matanya tak lepas dari layar. Dia seolah terpana oleh adegan yang membuat siapa pun mendambakan hubungan seperti itu. "Sebenarnya mereka saling mencintai," gumam Arsila dengan mata berbinar. "Jangan-jangan sebenarnya mereka selingkuh. Pengantin wanita aslinya kabur karena mereka selingkuh," kekeh Arsila, mencoba mencairkan suasana. "Soalnya, mereka terlalu berani dan terlalu bahagia untuk pasangan yang menikah karena terpaksa. Dasar drama selebriti, mungkin hanya gimmick pernikahan terpaksa," sambungnya masih dengan tawa di bibirnya. Namun tawanya tidak terdengar baik, tawa itu terdengar pahit. Bibirnya tertawa, tetapi pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak mampu dia jawab. Hatinya bergejolak, kacau oleh rasa yang tidak jelas. Mengapa wajah pria itu begitu familiar? Mengapa senyuman wanita itu seperti pernah dilihatnya? Sesuatu terasa tidak beres, namun apa? Arsila mengerutkan dahi, kepalanya terasa berdenyut. Sakit kepala itu menyerang lagi. Dia memegangi pelipisnya, berharap denyut itu mereda. "Sebenarnya apa yang terjadi denganku? Dokter bilang aku kecelakaan? Tapi, kenapa bisa kecelakaan? Malah sekarang harus hidup dengan beruang kutub," keluhnya penuh penyesalan. Tubuhnya rebah perlahan di sofa besar berlapis kain beludru itu. Niatnya hanya beristirahat sebentar. Tapi mata itu tertutup, dan dalam hitungan menit dia telah tertidur lelap, tenggelam dalam dunia mimpi. Di tempat lain... Samuel menatap arlojinya dengan kesal. Jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. Ia baru saja kembali dari rumah keluarga Nugraha, dengan napas berat dan dada yang sesak. Malam ini, ia kembali gagal menghindari perkenalan yang diatur ibunya. Bahkan dia terpaksa mengantar Diva pulang. Gadis yang katanya 'sempurna', tapi tidak ada satupun dari sifat Diva yang cocok dengannya. Diva terbiasa dengan budaya barat, dia sangat agresif dan membuat Samuel merasa tidak nyaman. Ceklek! Dia membuka pintu setelah memasukkan beberapa digit sandi disana. Langkah kaki Samuel terdengar berat saat memasuki apartemen. Dia mengerutkan dahi saat mendapati lampu ruang tengah masih menyala. Televisi pun masih menyala, menampilkan siaran televisi yang entah acara apa. "Astaga, apa yang Arsila lakukan? Berkali-kali diingatkan kalau tidur lampu ruangan tengah di matikan. Dan ini apalagi, TV pun tidak dimatikan. Dasar wanita aneh!" geramnya. Emosinya kembali memuncak. Ia telah terlalu lelah dan frustasi dengan perjodohan dari ibunya. Pulang ke apartemen, bukannya mendapat ketenangan, tapi Arsila selalu membuatnya kesal. Kadang terlalu cerewet, kadang terlalu pendiam. Dan yang paling membuatnya jengkel adalah Arsila sampai sekarang belum bisa mengingat apapun. Samuel merasa, semenjak Arsila datang, hidupnya kini menjadi tidak normal lagi. Tidak ada lagi ketenangan di apartemennya. Tapi, dia juga bingung harus menempatkan Arsila dimana. Wanita itu tidak bisa diandalkan. Ia melangkah masuk dan segera melihat tubuh Arsila yang tertidur di sofa. "Ternyata dia malah tidur disini. Ya ampun, wanita ini benar-benar merepotkan," gerutu Samuel. Namun, perhatian Samuel teralihkan saat melihat dress merah selutut yang dikenakan Arsila sedikit tersingkap, memperlihatkan pahanya yang mulus. Rambut panjang Arsila tergerai ke bantal sofa, membuatnya tampak seperti aktris drama yang tertidur dalam kelelahan. Samuel menelan ludah. Tubuhnya tegang, tatapan matanya tidak berkedip melihat pemandangan di depannya. Dress bertali satu itu membalut tubuh Arsila dengan sangat pas. Kakinya yang putih mulus terbentang bebas, dan celana dalamnya terlihat sewarna dengan dress. Samuel menunduk. Perasaannya kalut, antara amarah dan rasa asing yang tidak ia mengerti. Ada bisikan kelam dalam dirinya, tapi akal sehatnya mencoba berteriak untuk menolak. "Aku benci semua ini. Tapi kenapa aku malah tergoda?" Samuel bingung, sejak kapan ia begitu terobsesi pada perempuan ini? Kini, bahkan celananya terasa menyempit. Perasaan lain, muncul mendorongnya untuk terus menatap Arsila. "Mulus sekali," gumamnya tanpa sadar. Laki-laki itu mendekat. Detak jantungnya berdenyut seperti genderang perang. Dia tahu ini salah. Dia tahu dia harus berhenti. Tapi tubuhnya bergerak tanpa perintah logika. Tatapan mata Samuel berbinar. Dia seperti kucing yang diberikan ikan segar. Pastinya tidak akan menolak. "Bukan salahku, kau yang mengundangku, Arsila," desisnya. Ia berlutut di hadapan Arsila, duduk tepat di lantai berkarpet lembut. Kedua matanya tak berkedip menatap pemandangan di hadapannya. Tangannya terulur. Perlahan. Hampir ragu. Tapi kemudian menyentuh kulit paha Arsila. Lembut, hangat, seolah menyetrum tubuhnya dengan gelombang hasrat yang membara. Ia menahan napas, perasaan hangat menjalar di sekujur tubuhnya. Kembali tangannya mengelus lembut paha Arsila, menikmati kulit halus itu. Kini, dia ingin lebih, ingin menyentuh yang lain dan lebih dalam. Tubuh Arsila sedikit bergerak karena sentuhan Samuel. Arsila menggeliat, namun tidak terbangun. Malah, kedua pahanya kini terbuka lebar. Samuel diam membeku, Arsila semakin menantang. Dressnya tersingkap semakin ke atas hingga perut. Ada suara di dalam kepalanya yang berteriak agar ia berhenti. Tapi ada juga bisikan lain—lebih gelap, lebih mendorong—yang berkata: "Hanya sebentar. Nikmati saja. Dia memang milikmu.” Samuel benar-benar terbawa suasana, dia tidak bisa lagi berpikir jernih. Di depannya, Arsila terlalu menggoda untuk diabaikan. Jari-jari Samuel mulai mengelus pelan kulit itu. Nafasnya semakin berat, matanya mulai mengabur oleh keinginan yang menyesakkan. Hasrat yang selama ini ia tekan, kini meledak. "Arsila, jadilah milikku malam ini," bisiknya pelan di telinga Arsila.“Hai Juang, ini kado dari Aunty,” ujar Sassy sambil menyodorkan kotak berbungkus kertas biru metalik. Senyum cerah terukir di wajahnya, berusaha menyembunyikan rasa kikuk yang masih menggantung akibat kejadian lalu.Deni Nugraha telah berhsasil membuat anak dan istrinya menerima kehadiran Arsila dan Juang menjadi bagian dari keluarga Nugraha. Tidak peduli lagi dengan dendam ataupun persaingan lama, kini mereka adalah satu keluarga. Juang memiliki darah keluarga Nugraha dan juga keluarga Jusman.Juang memandangi kado itu, namun tidak langsung menerimanya. Bocah kecil itu hanya melirik pada ibunya, mencari isyarat dari wajah tenang Arsila.“Bilang terima kasih sama Aunty Sassy,” ujar Arsila lembut sambil menyentuh punggung Juang.Juang menunduk, jemari mungilnya mencengkeram ujung kausnya. Suaranya cadel dan pelan saat mengucap, “Te—terima kasih.”Sassy tersenyum lebar, hatinya meleleh melihat kepolosan Juang. “Oh, so sweet. Sini peluk.”Dengan antusias, Sassy merentangkan tangannya. Ju
“Terima kasih, Pa.”Suara Arsila terdengar lirih namun penuh emosi. Matanya berkaca-kaca saat memandang Deni Nugraha, sosok yang selama ini menjadi tembok besar penghalang antara dirinya dan penerimaan yang selama ini ia harapkan. Kini pria itu berdiri di sisinya—bukan untuk menjatuhkannya, tapi untuk membelanya. Dukungan itu datang dengan nada datar dan wajah keras, namun bagi Arsila, itu lebih dari cukup.“Karena Samuel sangat mencintaimu. Dan juga, ini untuk membalas kebaikan kakekmu beberapa puluh tahun lalu,” ujar Deni dengan suara tenang, nyaris tanpa ekspresi.Ucapan itu mungkin terdengar datar bagi orang lain, tapi bagi Arsila, ada begitu banyak makna yang terkandung di baliknya. Bertahun-tahun ia menahan luka batin karena dianggap tidak layak, karena terus-menerus berada di bawah bayang-bayang masa lalu dan prasangka buruk. Kini, meski masih terselip gengsi dan keraguan, pengakuan itu telah melubangi dinding tebal yang selama ini memisahkan mereka.Arsila menunduk sejenak, me
Suasana di ruang tamu kediaman keluarga Nugraha malam itu terasa jauh lebih dingin dari suhu AC yang menyala. Mutia Nugraha berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada, wajahnya penuh dengan kejengkelan dan tatapan tidak percaya yang menusuk ke arah suaminya.“Apa? Papa percaya pada Arsila?” tanya Mutia dengan suara meninggi, nyaris seperti teriakan.Deni Nugraha duduk santai di kursi favoritnya, masih mengenakan jas yang belum sempat dilepas sejak pulang dari kantor. Ia hanya menatap Mutia dengan pandangan tenang, seolah ledakan emosi sang istri tidak menggoyahkan tekadnya sedikit pun.“Iya,” jawab Deni pendek, tapi penuh tekanan.Mutia melangkah maju, wajahnya memerah. “Pa, tentu saja Samuel membela Arsila! Dia itu suaminya! Dia sudah dibutakan cinta! Dan Papa... Papa gak boleh percaya begitu saja hanya karena pengakuan anakmu sendiri!”Deni menghela napas, lalu menegakkan tubuhnya. “Justru karena aku melihat penjelasan Samuel sangat masuk akal, Mom. Selama ini aku hanya men
Suasana di ruang komisaris utama Nugraha Group terasa tegang, meskipun hanya ada dua orang di sana: Deni Nugraha dan putranya, Samuel. Cahaya dari jendela besar memantulkan bayangan kota Jakarta yang sibuk, tapi di dalam ruangan itu, waktu seakan berhenti.Deni duduk dengan kedua tangan saling mengunci di atas meja. Tatapan matanya tajam, namun kali ini bukan karena marah, melainkan karena kebingungan."Samuel," ucap Deni dengan nada berat, “jelaskan pada Papa, sebenarnya apa yang terjadi dengan Arsila? Papa bingung melihat berita yang silih berganti tentangnya. Apa memang dia seburuk itu, atau sebenarnya dia sedang melawan seseorang?”Samuel yang duduk di seberangnya sempat terdiam. Sejujurnya, ia tidak menyangka ayahnya akan bertanya seperti ini. Panggilan mendadak dari Deni membuatnya berpikir bahwa pertemuan ini sekadar ajakan untuk kembali bekerja di Nugraha Group, bukan membahas sang istri.“Semua berita itu fitnah, Pa,” jawab Samuel pelan tapi pasti. “Disebarkan oleh mantan ibu
Keesokan harinya…Pagi di rumah keluarga Samuel dan Arsila berjalan seperti biasa. Juang bersiap untuk kelas bermainnya, sementara Samuel dan Arsila sarapan di taman belakang rumah.Namun, suasana tenang itu runtuh seketika ketika Eny, sekretaris pribadi Arsila, menelepon dengan suara panik.“Bu, mohon maaf... barusan ada berita tentang Ibu Mirna di headline beberapa portal besar,” katanya tergesa.Arsila mendadak terdiam. Samuel yang melihat perubahan raut wajah istrinya segera mengambil ponsel di meja. Hanya butuh beberapa detik untuk menemukan berita itu:"Mantan Istri Almarhum Jusman Dituding Diusir Secara Paksa: 'Saya Disingkirkan oleh Anak Tiri Sendiri' – Mirna Buka Suara!"Berita itu disertai foto Mirna dengan wajah pilu, duduk di sebuah rumah kecil dan sederhana. Narasi dalam artikel itu membangun simpati: menyebut Mirna telah hidup bersama Tuan Jusman selama lebih dari satu dekade, namun kemudian diusir tanpa diberikan hak apa pun. Disebut juga bahwa Arsila memaksa semua pemb
Pagi itu, suasana rumah keluarga Jusman terasa lengang, meski angin lembut dari halaman membawa aroma bunga kamboja yang segar. Arsila duduk di ruang tamu sambil memandangi sekeliling. Matanya menyisir setiap sudut rumah, mengamati harta benda yang menyimpan sejarah keluarganya.Kenangan tentang ibunya—wanita yang begitu kuat dan lembut—masih tertinggal dalam setiap perabotan tua, lukisan klasik, dan semua barang-barang yang ada di ruangan itu.Tiba-tiba, langkah kaki pelan terdengar mendekat. Bi Wati, pembantu setia yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga Jusman, datang sambil membawa nampan berisi teh hangat dan juga beberapa makanan ringan.“Bi,” panggil Arsila pelan.“Iya, Nyonya?” sahut Bi Wati sambil meletakkan cangkir di meja.“Apa Bibi tahu ada berapa banyak barangnya Mirna di rumah ini?” tanya Arsila, menatap lurus ke mata Bi Wati.Bi Wati adalah pembangu yang paling lama bekerja di keluarga Jusman, bahkan sejak ibu kandung Arsila masih muda. Dan pastinya beliau tahu