TOK ....
TOK ....TOK ....Sebuah ketukan pada pintu kayu terdengar, akan tetapi tak lagi membuat Gendis merasakan euforia. Tak seperti hari kemarin dimana ia selalu menantikan ketukan pintu rumah dengan hati berdebar untuk kemudian membukakan pintu. Menyambut sang pemilik jiwa dengan senyum manis dan tatapan penuh puja.Sekarang Gendis memilih abai. Wanita itu menggelar sejadah, menutup mata dan telinga kemudian menyebut asma Tuhan untuk menenangkan batinnya yang bergejolak dahsyat."Gendis ...."Galuh berhenti memanggil ketika netranya menemukan Gendis yang sudah mengenakan mukena dan bersiap sholat Maghrib.Senja memang sudah menyapa, mega merah terbentang di ufuk barat tanda masuknya waktu awal Maghrib.Pria itu menarik napas panjang sembari menghampiri Gendis. Duduk di sebelah Gendis tanpa melakukan apapun, hanya menatap paras Gendis yang kini sedang menutup kelopak matanya.Ia baru dapat kabar dari Seruni kalau Gendis dan gadis itu tadi hendak mengambil rantang di rumah orang tua Galuh.Namun gagal karena rantangnya sudah digadai katanya."Mas mau bicara setelah Maghrib nanti."Gendis menghela napas, membuka mata namun enggan menatap Galuh, "Gendis capek, mau tidur. Besok saja."Galuh mengangguk, namun ia perlu memastikan sesuatu. "Tadi Mas ketemu Seruni, katanya Kamu ke rumah Ibu sama Bapak. Kenapa nggak nyamperin Mas?" tanyanya lembut."Oh tadi Bu Hari tiba-tiba nelpon, Seruni di suruh cepet pulang, Gendis juga nggak tahu Kalau Mas ada di sana," sahut Gendis datar.Bohong ....Galuh tahu Gendis tengah berbohong. Wanita itu sekarang tahu kebenaran tentang apa yang terjadi diantara mereka namun Galuh penasaran sejauh apa Gendis mengetahuinya."Ya sudah, tunggu Mas, kita udah lama nggak sholat berjama'ah."Baru saja Galuh melangkahkan kakinya Gendis sudah berdiri, mengambil posisi takbir untuk sholat lebih dulu.Sungguh Gendis tak bisa menahan sesak yang ia rasakan kembali. Suara dalam Galuh, pertanyaan dan permintaan pria itu kembali menghidupkan badai yang baru mereda.Gendis mengangkat tangan, menyebut dalam Asma Tuhan dengan tetes bening yang tak mampu ia tahan lagi.Ia tak ingin mengadukan perbuatan Galuh pada Tuhan, hanya saja kali ini Gendis benar-benar hancur hingga dalam sholatpun air matanya enggan berhenti.****Hari masih sangat pagi namun rintik hujan mulai menyapa bumi. Tak begitu deras, hanya saja deru angin yang kencang mengantarkan rasa dingin yang berkali-kali lipat menandakan awal pergantian musim.Bulu kuduk Gendis berdiri kala wanita itu berjalan mengabaikan bajunya yang mulai sedikit basah. Sakit hati, amarah, kecewa bercampur menjadi satu ia bawa serta merta.Setelah semalam ia baru bisa mendapat sebagian logikanya dan mendapat benang merah atas apa yang selama ini terjadi.Galuh menyuruh semua istri prajurit di lingkungan mereka menjauhi Gendis, maka bukan tidak mungkin perlakuan-perlakuan tidak adil lain yang ia dapatkan juga ulah Galuh.Menolak bayi diantara mereka dengan alasan masih ingin berdua hanya dusta belaka, Galuh tak memiliki sedikitpun rasa padanya. Pria itu juga tak ingin proses perceraian mereka rumit nanti.Setidaknya itulah yang saat ini bisa Gendis pahami. Wanita yang jatuh cinta bisa menjadi bodoh dan buta namun ketika hatinya hancur, logika mulai mengambil alih segalanya.****Setelah mengendarai mobilnya, Gendis segera melaju cepat, meninggalkan area lapangan kodam ke tempat dimana ia bisa menemukan Arman. Butuh waktu tiga jam, dan Gendis mengemudikan mobil dengan membawa jutaan kerumitan bersamanya.Di depannya sudah ada sebuah gedung tinggi yang mana Arman menempati lima lantai dari puluhan lantai tersebut. Kakinya bergerak memasuki gedung, memantik rasa penasaran para karyawan yang berada di lobby.Pasalnya setelah dua tahun menghilang, aktris yang dulunya terlibat scandal dengan atasan mereka kini terlihat kembali.Dengan mengenakan celana jeans dan kemeja putih berbahan silk, Gendis melangkah dan mengabaikan semua tatapan karyawan Arman."Panggil Arman sekarang atau Saya yang masuk," ucap Gendis tanpa intonasi pada sekertaris Arman.Ia sudah tahu seluk beluk gedung tempat Arman merintis bisnisnya karena Gendis sendiri yang memilih gedung tersebut sebelun Arman menikahi Renata.Tak butuh waktu lama, terdengar pintu dibuka cepat. Arman mendekat melihat Gendis dari atas sampai bawah."Sumpah ini Loe Dis! Ngapain ke sini Bu Kapten? Capek Lo jadi Ibu Persit?" sapa Arman penuh canda."Si Goblok!"BUGH ....Gendis menghantam tas selempangnya pada kepala Arman. Tanpa ampun wanita itu terus melemparkan pukulan dengan sesekali mencaci maki pria di depannya."Aduh sakit Dis! Baru ketemu langsung ngeluarin jurus Loe!"Arman berkata tanpa menaikkan suaranya. Pukulan lemah Gendis tentu tak menyakiti tubuhnya. Hanya saja ada rasa malu ketika ia harus dipukuli di depan bawahannya sendiri.Dengan pelan dan lembut Arman meraih kedua tangan Gendis. Membawa ke dalam ruangannya dan meminta sekertaris untuk menolak tamu selama beberapa saat."Loe kenapa?"Napas Gendis memburu, ia menjatuhkan diri pada sofa, satu tangan Gendis membuka kaca mata hitam yang menutupi maniknya lalu menimpa wajahnya dengan lengan."Loe kenapa Dis?" tanya Arman lagi.Pria itu mendekat, duduk di samping Gendis dan memindahkan lengan wanita itu. Awalnya Gendis menolak hingga Arman sedikit menyentak agak keras agar ia bisa melihat wajah sahabatnya itu."Astaga Loe kenapa! Lo diapain sama suami Loe hah!" Seketika emosi Arman naik ketika wajah Gendis yang terlihat sangat sembab.Kelopak mata sebesar biji kenari hampir menyembunyikan bola mata Gendis seluruhnya.Gendis tak menjawab, masih menangis mengingat semua perlakuan orang-orang padanya. Apa salahnya! Ia tak pernah mengusik siapapun tapi mengapa sejak dulu orang-orang selalu menyakiti dirinya!Satu tangannya memukul dada, memukul sarang kesakitan yang sejak kemarin ia rasakan agar berkurang.Arman tak lagi bertanya, membiarkan Gendis menumpahkan seluruh air matanya."Ini gara-gara Loe!" maki Gendis dengan suara parau.Namun belum sempat Arman bertanya suara gebrakan pintu terdengar keras hingga berdebam menghantam dinding.Sontak saja Arman terkejut. Apalagi di sana sudah berdiri Renata, istrinya dengan wajah penuh amarah."Ngapain Lo ke sini! Masih belum cukup tranferan laki gue selama ini! Loe masih mau goda laki Gue! Nggak tahu malu emang Loe yah Dis!"Tanpa tedeng aling-aling Renata memaki Gendis dengan suara keras. Membuat beberapa karyawan berkumpul di luar ruangan Arman untuk melihat apa yang tejadi.Gendis tertawa miris. Ia sontak berdiri, menghadap Renata dan menatap dalam wajah dari istri sahabatnya itu.PLAAK!Satu tamparan Gendis dapatkan, ya ... Gendis mendapat tampatan yang menbuatnya langsung terjatuh karena selain tamparan Renata yang amat keras juga tubuh Gendis belum siap."Udah salah malah melotot! Dasar pelac*r sialan!""RENA!"Suara lantang Arman menggema. Ia tak menyangka selama ini wanita yang ia kenal lemah lembut memiliki sisi yang sangat kasar.Dengan cepat Arman menarik tangan Renata untuk menjauh dari tubuh Gendis kemudian membantu Gendis meskipun Renata menjadi semakin murka dan melemparkan makian lagi pada Gendis.Istrinya itu bahkan kini menuduh dirinya bermain gila dengan Gendis. Padahal sudah ia jelaskan bahwa mereka hanya bersahabat dan di luar sana hanya gosip murahan yang tak perlu Renata dengarkan."Enak?" Secara tak sengaja Gendis bertanya pada Galuh. Pria yang saat ini sedang duduk dilantai beralaskan karpet dan menyadarkan tubuhnya pada pinggiran tempat tidur. Membiarkan jemari Gendis memijat kepalanya. "Hm," gumam Galuh dengan senyum yang terus berpendar pada parasnya. Di tengah temaram cahaya, rayuan angin yang menyapa kulit serta aroma terapi yang memenuhi ruangan, Galuh tak menyangka ia akan mendapat sebuah kejutan seperti sekarang ini. Sikap Gendis sedikit lunak, dan sekarang ia mendapatkan kembali rutinitas malam yang selalu Gendis lakukan padanya dulu. Ibu jari Gendis sedikit menekan area belakang leher Galuh, menarik kaos polos pria itu agar sedikit ke bawah dan membuat dirinya semakin leluasa memijat Galuh. "Ini apa?" tanya Gendis datar. Ada goresan yang terlihat jelas. Dahi Gendis berkerut, melihat dengan seksama goresan itu. Sedikit panjang namun tak begitu lebar. Itu ... seperti bekas jahitan! Ya ... itu bekas jahitan. Dulu Galuh tak memiliki luka p
Suasana hening semenjak beberapa menit yang lalu. Gendis fokus pada tampilan layar laptop milik Ririn, nampak seorang wanita yang bermain panas dengan dua pria sekaligus di sana. Kulit yang berkilau di bawah temaram cahaya, desahan halus yang terkadang bercampur rengekan manja, juga pukulan panas yang semakin membuat suasana membara. Gendis meringis, hidungnya mengkerut dengan ekspresi tak percaya juga jijik sekaligus. "Parah Men," gumamnya yang jelas masih di dengar oleh Ririn. "Udah, Aku nggak kuat Rin. Jijik banget. Pen muntah." Tangan Gendis mendorong benda elektronik di depannya. "Faktanya ini Video editan Dis," beritahu Ririn, jemari wanita itu kembali mengutak-atik laptopnya untuk kemudian ia geser kembali ke hadapan Gendis. "Ini aslinya." "WHAT!" "Total ada delapan video panas, dan pemeran laki-lakinya juga beda Dis." "Astaga! Seriusan?!" seru Gendis dengan dua netra yang melotot horor. Satu video saja Gendis sudah ngeri-ngeri tak sedap melihatnya. Apalag
"Nia pulang," pamit Sonia. Gendis berdeham. Ke dua maniknya mengiringi bayang adik iparnya tersebut sampai gocar yang Sonia pesan menghilang dari pandangannya. Sudah dua hari gadis itu menginap, dan entah mengapa meskipun hanya ada perdebatan dan keributan dalam komunikasi mereka, Gendis merasa curiga. Aneh, bahkan kemarin Gendis memergoki Sonia ketika gadis itu mendapat telpon yang katanya dari temannya itu. Tiap gerak gerik yang Sonia lakukan menurutnya sangat aneh. "Dek, ayo ke dalem. Anginnya lumayan kenceng nanti Kamu masuk angin lagi." Bariton tebal namun lembut itu menyadarkan Gendis dari lamunannya, ia bergegas ke dalam karena angin malam memang lumayan kencang. Membuat pori-pori kulitnya mengerucut seketika. "Mas minta maaf soal kemarin." Gendis tak menjawab, terus berjalan dengan Galuh yang senantiasa selalu mengikuti langkah kaki sang istri. "Dek ...." "Apa sih, orang salahnya sama Nia kenapa minta maafnya sama Gue." Galuh menghela napas, mengacak-acak
Belum seminggu tinggal di rumah yang awalnya Gendis kira kediaman Rena, eh sekarang malah ada satu saudara menyebalkan yang bertamu. Hari masih pagi, masih begitu dini untuk memulai sebuah perang antar ipar yang sebenarnya sangat tidak berfaedah baginya. "Apa?" tanpa basa basi Gendis menembak Sonia. Perempuan yang masih sama. Masih sama dengan menunjukkan raut tak suka padanya. Siapa peduli, Gendis juga sudah kebal dengan tingkah laku Sonia yang seperti itu. "Kenapa Mbak ikut Mas Galuh pulang. Harusnya Mbak tuh nggak usah balik, nggak pantes seorang artis sensasional seperti Mbak Gendis jadi pendamping Mas Galuh. Turun martabat Mas Galuh kalau Mbak jadi istrinya." Benarkan? Salah satu sudut bibir Gendis terangkat, tersenyum sinis dengan dengusan kasar yang membuat Sonia semakin meradang. Gadis itu tak peduli dianggap sebagai ipar adalah maut atau embel-embel sebutan yang lain. Jelasnya dia ingin Galuh kembali pada Anindya. "Udah ... kemarin juga Gue kok yang ngehambu
"Pagi ...." Sebuah kecupan beserta bisikan manis menghampiri Gendis. Wanita itu baru saja membuka mata lalu disambut sikap Galuh yang lagi-lagi membuat Gendis risih. Pria itu duduk di samping tempat tidur dengan tatapan mengunci wajah Gendis. Menikmati tiap ekspresi Gendis yang ternyata sangat ia sukai. "Subuh," sahut Gendis sekenanya. "Sholat bareng yuk. Mas udah siapin sajadahnya," ajak Galuh. Tanpa menunggu kalimat selanjutnya Gendis lekas memindahkan selimut. Bergerak perlahan karena perut membuncitnya sudah cukup menyulitkan Gendis. "Ini sendalnya," ucap Galuh memberitahu dengan tangan yang sigap meletakkan sepasang sandal bulu pada lantai yang akan Gendis pijak. Wanita itu menutup matanya, kemudian satu tangannya terangkat menahan pergerakan Galuh yang hendak membantunya untuk berdiri. "Bisa nggak sih, Lo itu diem? Atau maksimal jangan nunjukin muka gitu," ungkap Gendis datar. Tak peduli dengan ekspresi Galuh yang kehilangan senyumnya Gendis lekas berdiri dan b
"Papa nggak bakal lepas Kamu begitu saja kalau nggak ada jaminannya Mbak. Ini bukan tentang mendorong Kamu ke jurang yang sama. Melainkan memberikan Kamu kesempatan untuk membalas suamimu itu," jelas Arjuna dengan suara tebalnya. Gendis mendengus kasar. Sejak sore tadi ia sudah berdebat dengan Rahayu dan Arjuna. Jelas ia kalah! Dua lawan satu. Apalagi kedudukan keduanya adalah orang tua Gendis yang mana Gendis tak boleh menaikkan suaranya. "Ya meskipun nggak seberapa total hartanya setidaknya kalau dia macam-macam lagi, Kamu bisa kutuk dia jadi gembel." Sudut matanya melirik Galuh yang masih berekpresi santai meskipun baru saja Arjuna melontarkan kalimat yang cukup tak baik untuk didengar. Memang Galuh punya pekerjaan sampingan? Ah ... tidak, Gendis menggeleng pelan namun terdiam lagi setelah memikirkan mungkin Gendis saja yang tidak tahu bahwa Galuh memiliki bisnis. Sudahlah, Gendis juga bukan wanita mata duitan. Warisan dari Arjuna, juga penghasilan dari bangunan aparte