"Vira, sebaiknya kamu ikut aku. Kita berbicara di tempat lain," ucap Ana.
Kemudian Ana membawa Vira masuk ke dalam mobilnya. Kini Ana akan membawa Vira ke sebuah taman."Ini, minumlah!" Ana membawa dua gelas minuman hangat ditangannya. Ia pun memberikan salah satunya kepada Vira yang sedang duduk di sebuah kursi panjang."Terimakasih, Na." Vira menerima minuman itu dari tangan Ana lalu meminumnya untuk meredakan rasa dingin dari dinginnya angin malam yang mulai menusuk hingga ke tulangnya. Ana pun duduk disebelah Vira."Sekarang katakan! Apa masalahmu, Vira? Siapa tahu saja aku bisa membantumu," ucap Ana.Vira menatap Ana dengan tatapan yang dipenuhi keraguan."Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Ana."Vira," Ana memegang kedua bahu Vira sambil menatapnya."Sudah berapa lama kita saling mengenal dan bersahabat?" tanya Ana lagi."Sejak kita masih SMA, sekitar tujuh tahun," jawab Vira."Lalu kenapa kamu, masih saja tidak mau berbagi masalahmu denganku, Vira?" tanya Ana."Apa kamu tidak mempercayaiku?""Tidak, Na. Bukan seperti itu, aku hanya..." Vira menggantung ucapannya."Hanya apa?""Aku hanya tidak ingin menyusahkanmu dan membuatmu ikut terbebani karena masalahku. Aku sudah terlalu sering merepotkankanmu, Na." lanjut Vira."Vira, aku sudah menganggapmu seperti saudaraku sendiri. Aku tidak pernah merasa terbebani olehmu," ucap Ana."Jadi aku mohon, jangan merasa sungkan kepadaku, Vira!" imbuhnya dan dibalas dengan anggukan oleh Vira.Vira langsung memeluk tubuh Ana."Terimakasih Ana, kamu memang sahabat terbaikku," ucap Vira."Iya, Vira. Baiklah, sekarang ayo ceritakan apa masalahmu?" titah Ana."Ana, sebenarnya saat ini aku sedang membutuhkan uang, ibuku masuk rumah sakit dan harus segera dioperasi," ucap Vira. Ana tercengang."Apa! Jadi Tante Ningrum masuk rumah sakit lagi?" tanya Ana.Ana sendiri memang sudah mengetahui jika ibunya Vira memang memiliki gangguan pada jantungnya dan sudah beberapa kali keluar masuk rumah sakit.Vira mengangguk."Memangnya berapa uang yang kamu butuhkan, Vira?" tanya Ana."Dua ratus juta," jawab Vira.Ana semakin syok. Dia sendiri belum pernah melihat apalagi menyentuh uang sebanyak itu selama hidupnya. Ana bahkan belum tahu rupa dari uang sebanyak itu."Vira, dua ratus juta itu banyak sekali. Aku juga tidak punya uang sebanyak itu," ucap Ana."Tidak apa-apa, Na." ucap Vira sambil tersenyum kecut."Tetapi, aku masih mempunyai sedikit sisa tabungan, kamu boleh memakainya. Memang jumlahnya tidak banyak, tapi mungkin itu bisa sedikit membantu meringankan beban mu," ucap Ana dan Vira pun tersenyum."Tidak usah Na, aku akan mencari pinjaman. Aku juga sudah tahu bagaimana kondisi keuangan keluargamu, jadi kamu pakai saja uangmu," ucap Vira."Maaf ya, Vira." Ana merasa bersalah karena tidak tidak bisa membantu sahabatnya itu."Tidak apa-apa, Na. Kenapa kamu harus minta maaf? Ini bukan salahmu," ucap Vira."Lalu dimana kamu akan mencari pinjaman sebanyak itu?" tanya Ana."Entahlah Na, aku juga belum tahu," ucap Vira sambil mendesah pelan."Apa kamu sudah mencoba berbicara dengan Andi? tanya Ana.Ya, Andi merupakan seorang lelaki yang sedang dekat dengan Vira."Belum Na, aku tidak enak mengatakan padanya," ucap Vira sambil menggeleng-gelengkan kepalanya."Kenapa? Bukankah kalian sedang menjalin hubungan? Dia pasti mau membantumu," ucap Ana."Iya, tapi tetep saja aku merasa tidak enak. Aku takut keluarga Andi menganggapku mendekatinya hanya demi sejumlah uang," sahut Vira."Vira, jangan berprasangka buruk dulu. Mereka pasti mengerti keadaanmu, coba saja kamu bicara dengannya. Aku yakin dia pasti akan membantumu," bujuk Ana."Ya sudah, nanti aku akan mencoba berbicara dengannya," sahut Vira."Ana, sepertinya aku harus pulang dulu. Ini sudah malam, aku juga harus kembali ke rumah sakit, kasihan Panji menjaga ibu di rumah sakit sendirian," ucap Vira lagi."Ya sudah Vira, semoga kamu bisa segera menemukan jalan keluar dari masalahmu. Aku juga berharap semoga Tante Ningrum bisa segera sembuh," ucap Ana."Iya Na, terimakasih." Vira langsung memeluk Ana."Aku pergi dulu ya, Na."Vira beranjak berdiri dan meninggalkan Ana di taman itu. Sementara Ana hanya bisa menatap nanar punggung sahabatnya itu yang kian menjauh.Ana sendiri benar-benar merasa kasihan kepada Vira, karena sejak mereka saling mengenal Ana sudah mengetahui bagaimana kehidupan Vira yang serba pas-pasan.Vira memang berada dari keluarga yang sederhana dan Vira sendiri sudah seperti tulang punggung bagi keluarganya karena Ayah Vira tidak mau bertanggung jawab ke pada Vira, ibu dan adiknya.Ayah Vira malah sibuk bermain judi hingga keluarga Vira sering dikejar-kejar hutang. Jadi tak hanya membiayai pengobatan ibunya dan biaya sekolah adiknya, terkadang Vira juga harus melunasi hutang judi ayahnya.Vira kembali berjalan menyusuri jalan raya, dia memikirkan ucapan Ana yang menyarankan agar Vira meminta bantuan kepada Andi, kekasihnya. Vira meraih ponselnya, dan mencari kontak Andi."Apa aku harus menelepon Andi?" Vira bergumam sembari menatap layar ponselnya. Dia hendak menelepon kekasihnya, namun sepertinya Vira masih berpikir dua kali."Tapi, aku merasa tidak enak untuk meminjam uang sebanyak itu kepadanya. Kami bahkan baru tiga bulan menjalin hubungan, apa kata dia nanti jika aku sampai meminta uang sebanyak itu kepadanya?"Vira menghela nafasnya kasar, dia pun menekan tombol off di ponselnya. Vira mengurungkan niatnya untuk menghubungi Andi.Kini Vira sudah tiba di rumahnya, dia pun segera membersihkan dirinya. Lalu ia menyiapkan baju ganti untuk ibu dan adiknya di rumah sakit."Panji pasti belum makan," gumam Vira. Sementara dia sendiri tida memiliki uang sepeser pun untuk membelikan makanan untuk adiknya itu.Vira kemudian teringat bahwa dia masih memiliki celengan. Vira langsung mengambil celengan berbentuk ayam itu dari bawah kolong tempat tidurnya.Dengan berat hati, Vira membantingnya ke lantai. Beberapa lembar uang dan sejumlah uang recehan terlihat berserakan.Vira langsung memungut uang tersebut dan segera menuju ke rumah sakit untuk menyusul Ibu Ningrum dan Panji."Panji! Bangun, dek!" Vira mengguncang pelan tubuh Panji untuk mencoba membangunkan adiknya."Panji, bangun! Ayo makan dulu!" ucap Vira lagi. Beberapa saat kemudian Panji terbangun."Loh, kakak kapan sampai?" tanya Panji sambil mengucek matanya."Baru saja," sahut Vira."Ini malam dulu dek, biar kakak yang menjaga ibu sekarang. Kamu makanlah, ini kakak sudah belikan makanan buat kamu," ucap Vira sambil menyodorkan sebuah kantong plastik yang berisi bungkusan nasi padang."Lalu kakak sendiri bagaimana? Apa kakak sudah makan?" tanya Panji sambil menerima kantong kresek itu."Kamu tidak perlu mengkhawatirkan kakak, kakak tadi sudah makan kok," jawab Vira berbohong.Sejatinya dia belum makan apapun sejak siang tadi, dan tadi dia hanya membeli makanan untuk Panji saja. Karena Vira tidak ingin menghabiskan sisa uang yang ia miliki saat ini."Baiklah, kalau begitu aku makan dulu ya, Kak." ucap Panji dan Vira pun mengangguk.Panji kemudian keluar dari ruangan itu dengan membawa makanannya. Sementara Vira duduk di sebuah kursi yang ada disebelah ranjang tempat dimana ibunya terbaring.Vira menatap wajah Ningrum yang masih terpejam dengan selang oksigen yang terpasang di hidungnya dan juga beberapa peralatan lainnya yang masih menempel di dadanya.Rasa-rasanya Vira ingin menangis saja saat ia melihat kondisi Ningrum. Vira meraih tangan Ningrum lalu menggenggamnya."Bu, aku mohon bertahanlah! Ibu harus kuat demi aku dan Panji. Jangan tinggalkan kami bu, kami masih sangat membutuhkan ibu," ucap Vira lirih sambil menempelkan tangan Ningrum di wajahnya sendiri."Aku akan berusaha untuk mencari pinjaman agar aku bisa membiayai pengobatan ibu. Meski aku harus membayarnya dengan kebahagiaanku, aku akan melakukannya asalkan ibu bisa sembuh dan berkumpul dengan anak-anak ibu seperti dulu. Aku mohon bertahanlah, Bu!" ucap Vira lagi.--Nathan kembali menyentuh wajah Vira, kali ini lebih lama, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sentuhan itu membuat Vira terusik, kelopak matanya perlahan terbuka.Begitu matanya terbuka sepenuhnya, Vira terperanjat mendapati Nathan duduk begitu dekat, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan."M-maaf, Pak… eh, maksudku, Nathan. Aku tidak tahu kalau kau sudah bangun," ujar Vira gugup. "Tak masalah," jawab Nathan singkat, suaranya terdengar tenang.Vira menunduk sejenak sebelum melanjutkan, "Dan maaf… aku tertidur di sebelahmu. Semalam kau terus menggenggam tanganku sambil mengigau jadi, aku… tidak bisa pergi.""Apa kamu bermimpi buruk? Kamu sempat mengigau sampai ingin menangis," tanya Vira pelan, menatap wajah Nathan penuh empati. "Aku lihat ada luka yang dalam di balik raut wajahmu."Nathan terdiam sejenak. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu, lalu ia menggeleng perlahan. "Tidak, aku tidak bermimpi. Mungkin hanya karena terlalu kelelahan,
Flashback — 17 tahun yang lalu...Di sebuah taman bermain kecil yang dikelilingi pagar kayu warna-warni, tampak seorang anak perempuan berusia enam tahun duduk di ayunan, matanya terus menatap ke arah gerbang taman.Setiap sore, ia akan datang ke tempat itu—duduk menanti sosok yang selalu ia rindukan: seorang bocah laki-laki berseragam SD yang baru saja pulang sekolah.Dan seperti biasa, bocah itu datang dengan langkah cepat—seolah takut membuat gadis kecil itu menunggu terlalu lama. Nafasnya sedikit terengah, tapi senyumnya tetap terjaga. Ada semangat yang tak bisa dijelaskan tiap kali matanya menemukan sosok kecil yang duduk menunggunya di sana."Kak Adit!" seru anak perempuan itu, suaranya lantang dan penuh semangat, seperti nyanyian kecil yang menggema di antara gemericik tawa anak-anak di taman sore itu.Adit, bocah laki-laki yang baru saja naik ke kelas 2 SD, menoleh dan tersenyum lebar. Seragamnya sedikit kusut, tasnya menggantung miring di pundak, dan keringat masih membasahi
Tanpa banyak bicara, Nathan menarik turun renda tipis yang masih menutupi mahkota keindahan milik Vira. Bibirnya mendarat dengan rakus, menyusuri lekuk itu, lalu menyentuh dan menggigit ujungnya—tidak lembut, tapi penuh hasrat. Rasa nyeri bercampur geli membuat Vira meringis, namun ia tetap diam, tenggelam dalam badai emosi yang tak terjelaskan. "Aa akkhh... Ssshhhh!"Vira mendesah, suara lirihnya pecah di antara napas tertahan. Tubuhnya gemetar, dilanda gelombang rasa yang tak mampu ia pahami sepenuhnya—antara nikmat yang samar dan sakit yang menggigit. Ada luka yang ditinggalkan oleh sentuhan Nathan, tapi ada juga percikan hangat yang memabukkan, entah berasal dari hati atau sekadar ilusi belaka.Entah setan apa yang merasuki Nathan malam itu. Tatapannya gelap, tajam, seolah ada badai yang tak bisa ditenangkan. Nathan semakin gencar. Jemarinya bergerak liar, menyusuri lembah yang tersembunyi di balik goa milik Vira. Nafas gadis itu memburu, tubuhnya mengejang ketika Nathan membuka
Sarah dan Danu pun merasa gusar karena mereka yakin Bram pasti akan memilih Nathan sebagai penerusnya, karena Nathan merupakan anak kandungnya. "Oh, benarkah?" tanya Nathan sambil mengernyitkan dahinya. "Oh iya Nathan, bagaimana hubunganmu dengan Kayla sekarang?" tanya Bram setelah mereka selesai makan malam. "Apa maksud Papa?" tanya Nathan sambil menautkan kedua alisnya. "Bukankah kamu dan Kayla sedang menjalin hubungan?" "Pa, sudah berapa kali aku katakan kalau aku dan Kayla itu tidak memiliki hubungan apa-apa, kami cuma berteman biasa, Pa!" sahut Nathan dengan nada suara penuh penekanan. "Apa maksud kamu hanya berteman? Bukankah sudah sangat jelas jika Kayla itu sangat mencintai kamu?" "Aku tidak perduli dia mencintaiku atau tidak, yang pasti aku tidak mencintainya. Aku tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya!" ucap Nathan. "Nathan, Papa dan kedua orang tua Kayla sudah sepakat akan melangsungkan pertunangan kalian saat Kayla kembali dari Singapura," ucap Nathan. Sontak
Di tengah perjalanan, Nathan melajukan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi membelah jalanan di malam yang sudah mulai larut. Kata-kata Vira terngiang-ngiang di telinganya, beriringan dengan kenangan pahit dimasa lalunya."Cinta?" gumam Nathan sambil mendengus kesal. "Omong kosong!" Senyum getir pun terbit di bibirnya.Tin! Tin!Nathan membunyikan klakson mobilnya beberapa kali di depan sebuah rumah dengan pagar besi yang menjulang tinggi.Seorang satpam bergegas membukakan pintu pagar itu untuk Nathan. Ia pun langsung mengemudikan mobilnya masuk ke halaman rumah yang terlihat sangat besar itu.Nathan menarik nafasnya dalam-dalam, sebelum kemudian ia menghembuskannya secara kasar, karena sebentar lagi ia merasa tidak akan bisa menghirup udara segar saat dia sudah mulai masuk ke dalam rumah itu bertemu dengan papanya.Rumah besar yang Nathan datangi itu merupakan rumah Bramantyo, ayah kandungnya yang otomatis rumah itu juga rumah Nathan. Namun Nathan merasa enggan untuk ting
Diiringi tetesan air sebagai latar suara, Nathan menatap wajah Vira yang berada tepat di depannya. Lekat dan intens, seakan-akan berusaha menyelami dua manik hitam itu yang di momen ini enggan memancarkan binar. Kemudian Nathan kembali mencium bibir Vira hingga bibir keduanya kini saling bertautan.Mata Vira terpejam, kedua tangannya kini melingkar di leher Nathan yang kokoh. Sementara tangan Nathan mulai bergerilya meraba punggung Vira yang masih terhalang bajunya yang basah.Salah satu tangan Nathan pun mulai membuka satu persatu kancing baju Vira, menyisakan bra berenda hitam yang membalut dua buah gundukan lembut milik Vira. Namun, Nathan tidak membiarkan benda itu berlama-lama menutupi kedua gundukan bukit yang indah tersebut. Dalam hitungan detik, tangan Nathan pun melepas pengait bra diselingi dengan kecupan hangat di bahu Vira, dan kini dadanya sudah benar-benar terekspos sepenuhnya.Nathan kini beralih menciumi ceruk leher Vira, menyesapnya meninggalkan beberapa jejak kepem