“Mevrow, tidak ada keterangan apa pun yang Anda berikan tentang peristiwa kematian suami Anda!” hardik Residen sambil memeriksa buku catatannya.
Rosemeijer kembali menyeka sudut-sudut matanya menggunakan setangan sambil mengangkat sedikit jala topi yang menutupi wajahnya. “Saya khawatir jika mengatakan kebenaran akan membuka aib rumah tangga saya sendiri,” jawab Rose terbata-bata.
Endaru geli mendengar penuturan itu. Dia tahu Rose sedang berlagak sebaga istri yang baik dan terhormat di hadapan semua orang di persidangan itu.
“Mevrow, katakan saja kalau suami Anda—Meneer Barend Crussoe—sering berbuat menyimpang dan melakukan pelecehan terhadap para budak pria di lingkungan perusahaannya!” teriak Suro dengan nada melecehkan dari samping Endaru.
Residen kembali menenangkan para hadirin yang mulai bereaksi.
“Mevrow, tolong segera memberikan keterangan dan jangan m
Semalaman penuh Endaru menulis dan menyalin catatan-catatan juga surat-surat berbahasa Belanda ke dalam Melayu dan Jawa. Tangannya menggenggam pena bulu dan bergerak-gerak dengan sangat luwes menulis kalimat demi kalimat. Rosemeijer terkejut dengan kecepatan pemuda itu dalam mempelajari hal-hal baru selama dua tahun tinggal di sana.“Aku yakin kau hanya berpura-pura tidak bisa membaca dan menulis terutama caramu berbicara dalam bahasa Belanda saat pertama datang ke sini—terdengar sangat sempurna.”Rose duduk di meja di samping Endaru yang tengah sibuk menulis. Perhatian pemuda itu sama sekali tidak teralihkan apa pun cara yang digunakan Rose untuk menggodanya selama dua tahun ini.“Dari mana kau belajar semua ini, Endaru?”Pemuda itu berhenti menulis. Matanya masih terpaku pada kertas-kertas surat yang baru separuh disalinnya.“Pengajaran kita berakhir setelah aku berhasil menerjemahkan catatan-catatan dan surat-
Endaru bangkit dari silanya. Dia menarik lengan Rosemeijer hingga terseret dari kursi. Ditatapnya mata biru perempuan itu sambil mendesis, “Kenapa kau membuat pernyataan palsu seperti itu, Rose?”“Endaru, lepaskan Mevrow Crussoe sekarang!” bentak Residen.Dua orang opas meringsek maju mencoba memisahkan Endaru dari janda Crussoe itu. Rose tersenyum puas karena berhasil mendapatkan kembali perhatian Endaru.“Tuan Residen, tidakkah Anda merasa ada yang janggal? Janda Crussoe ini mengatakan suaminya mati karena gorokan di leher oleh celurit Suro, bukankah gorokan itu tidak ada? Dia mati karena tikaman belati,” ucap Endaru berapi-api.Sang Residen sedang menimbang-nimbang keterangan yang diberikan oleh Endaru sambil memeriksa catatannya kembali. “Berikan kesaksianmu, biar kami yang memutuskan!” perintah Residen sambil kembali duduk bersandar di kursinya.“Tuan Crussoe memang sering bepergia
Dari pintu pondok yang terbuka, Suro juga melihat Rose muncul dengan gaun tidur penuh darah. Perempuan totok itu berteriak dan memerintahkan Suro untuk membereskan kekacauan di dalam kantornya.Endaru duduk termenung di amben di dalam pemondokan. Segala penghiburan dan pertanyaan—baik dari Sanikem maupun Rukmini—dia abaikan begitu saja.“Kita harus pergi dari sini, Bibi!” ujar pemuda itu.Suro datang kembali ke pemondokan dengan membawa sebilah celurit berlumuran darah. “Pria keparat itu sudah mati. Pergilah kau selamatkan dirimu, Endaru!”“Bagaimana dengan bibi dan Rukmini? Surat hutang itu?” Endaru kembali menggigil.“Kami bisa menjaga diri kami sendiri. Pergilah kau selamatkan dirimu dan sembuhkan lukamu!” Suro mendorong dada Endaru.“Aku membunuhnya, Paman! Biarkan aku di sini. Biarkan mereka menggantungku. Sebaiknya paman dan bibi yang harus pergi dari sini!” Endaru
Endaru didudukkan di sebuah ruangan kosong dengan bangku-bangku kayu panjang. Kedua tangan dan kakinya masih terikat belenggu dari besi. Dua orang opas mengawasi dan mengawalnya dari pintu.Pintu ruangan itu terbuka. Lamat-lamat Endaru bisa mendengar suara Rose yang berteriak-teriak lantang dalam bahasa Belanda entah pada siapa. “Endaru adalah budak tawananku yang masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Kalian tak bisa mengirimnya kembali ke Ponorogo!”“Mevrow, dia harus kembali ke Ponorogo untuk menyelesaikan peradilannya di sana! Bagaimana pun dia terlibat dengan sesuatu yang rumit di sana,” balas seorang pria dalam bahasa Belanda formal.“Dia tidak bersalah, Tuan!” desak Rose kehilangan alasan.“Kami mendapat surat agar dia dikembalikan ke Ponorogo untuk menyelesaikan peradilan di wilayahnya. Seseorang akan menjemputnya. Anda tidak punya hak dan alasan untuk mempertahankannya di sisi Anda, Mevrow
Tubuh Endaru dan Gandari berguncang-guncang karena entakan kereta beroda empat yang membawa mereka menggilas bebatuan jalan. Mereka duduk saling berhadapan—lutut beradu dengan lutut—tetapi mulut tetap saling mengunci dan membisu.Perempuan itu menjelajahi paras Endaru yang sudah banyak berubah. Wajah bocah yang dulu dikenalnya, kini berwujud seorang pemuda berparas lembut dengan tulang pipi yang sedikit menonjol, rahang yang tegas, dan bibir tipis berwarna terang yang masih meninggalkan bekas senyuman meski dia tengah gelisah. Mata, Gandari terpaku pada bekas luka di bawah mata kanan putranya.Gandari berpaling mengubah pandangan ke luar kereta yang susul-menyusul adalah pepohonan dan semak belukar.“Emak benci menatap bekas luka di wajahku?”“Bekas luka itu mengingatkan pada kegagalanku sebagai seorang ibu. Aku benci pada diriku sendiri yang tak bisa berbuat apa pun saat kau menderita sendirian di luar sana,” ujarnya p
Endaru memacu kudanya dengan lambat saat memasuki Jenangan. Dia ingin menyambangi kakeknya di padepokan Wengker. Di sepanjang jalan dusun yang dilaluinya banyak hilir mudik cikar dan pedati. Mereka baru kembali dari hutan mengangkuti kayu mahoni, kopi, dan tanaman deluang. Sesekali dia memberi tabik dan salam pada sejumlah warga saat berpapasan di jalan.Padepokan milik Sentikno kini sudah rata dengan tanah. Endaru terperenyak, “Apa yang terjadi di sini?”Dia melompat turun dari kuda dan berlari menerjang puing-puing tiang serta usuk pemondokan yang dulu ditinggali sang kakek. Tanaman liar dan lumut mulai menutupi. Kawasan itu menghutan kembali. Endaru berputar-putar memandang ke segala arah. Begitu kuat keyakinannya bahwa di sana memang pernah berdiri Padepokan Wengker milik sang kakek.Sebuah pedati yang mengangkut kopi melintasi jalan setapak. Endaru berlari dan mengejar pemiliknya dengan kegalauan yang luar biasa.“Di mana oran
Ringkik kuda bersahutan dengan dekut para kuak. Halimun menggantung membatasi penglihatan. Cahaya sintir meliuk-liuk dengan sinar yang berpendar.Kraak ... suara pintu lumbung yang dikuak membuat para pengerat lari ketakutan. Aroma pengap dan masam menguar berhamburan dari bukaan pintu. Udara dingin puncak malam menggantikan lembap di dalam lumbung.Endaru membungkuk meraih bangku yang bergelimpang di lantai berdebu. Dia letakkan sintir di atas kursi dan berputar memandangi atap yang dihuni para pemintal. Jalinan sarang laba-laba yang menghitam menambah suram ruangan. Dia berjalan ke pusat gas dan memompanya hingga seluruh rumah kembali disinari cahaya.Bekas kediaman Cornellis kini menjadi rumah terkutuk yang ditakuti oleh warga. Tak ada yang berani menjamah bahkan sekadar lewat pun mereka enggan. Rumah pertanian itu kini dikepung gelagah, semak belukar, dan tumbuhan pancang. Sulur-sulur tanaman rambat menutupi hampir seluruh gerbangnya menyembunyikan
Gadis itu menghilang saat Endaru berhasil mencapai rumah dalem tempat tinggal para nyai. Sejenak dia ragu karena tak ingin bertemu dengan Nyai Larsih atau siapa pun yang mungkin masih mengenalinya. Dipanjatnya dinding pemisah antara dua gadok—sisi kanan menuju bilik Sastro dan sisi kiri menuju pemondokan Dasi. Endaru memutuskan untuk turun ke sisi kanan.“Dasi, tunggulah sebentar lagi!” gumamnya pada diri sendiri.Dia mencabut belati dari punggung dan mengendap-endap memasuki bilik Sastro. Rapalan mantra dan pemusatan pikiran penyerahan diri pada Sang Kuasa lamat-lamat dia lantunkan. Kilasan-kilasan bayangan masa lalu kembali berkelebat hingga dengan satu entakan keyakinan dia dorong pintu bilik Sastro.Bilik itu kosong.“Sial!”Suara tapak-tapak kaki terdengar bergema semakin mendekat. Bisikan dan tawa bocah-bocah laki-laki terdengar saling bersahutan.“Para gemblak,” Endaru menutup bilik d