Rosemeijer Vallois-Crussoe seorang perempuan Perancis yang diperistri oleh Barend Crussoe—pria Belanda—yang dikirim ke Hindia empat tahun lalu untuk penugasan pertamanya sebagai kontrolir di Bojonegoro. Perempuan berusia pertengahan dua puluhan itu kini menyandang status sebagai janda Crussoe. Dia duduk di kursi saksi dengan punggung sangat tegak karena korset yang menopangnya.
Rose menutupi bibir menggunakan setangan katun berwarna putih dengan sulaman nama suaminya di sana. Topi jala hitam yang menyembunyikan sebagain wajah berbintik-bintiknya terlihat terlalu menawan untuk sebuah pakaian berduka di dalam sebuah persidangan.
Endaru dengan sudut mata tajamnya dapat menangkap kepalsuan dari resam tubuh perempuan itu. Seulas senyum tipis terkembang di balik setangan yang menutupi bibir Rose. Dia segera mengalihkan pikiran dari bayangan bibir berpulas merah ceri milik janda Crussoe itu.
Semua orang menunggu kesaksian yang akan disampaikan oleh perempua
Sejak kembali dari lapangan untuk menonton pertunjukan reog siang itu dada Rose terus berdentam-dentam setiap kali mengingat wajah Endaru. Waktu yang berlalu semakin meneguhkan perasaannya. Senyum terus terkembang di bibir belah Rose yang semerah ceri. Kadang kala dia menyalahkan diri sendiri. Perempuan itu menjadi lebih sensitif saat bayangan senyum warok muda itu berganti dengan wajah dingin Crussoe—suami yang terpaksa dinikahinya.“Dit is verkeerd! Ik ben een respectabele vrouw. Ik moet geen aandacht schenken aan andere mannen dan aan mijn man.”[1]Seiring berakhirnya musim panen, lapangan kademangan juga kembali lengang. Setiap akhir pekan Rose berkuda dan memeriksa ke sana meski tahu hanya akan ada rerumputan dan ilalang yang mulai meninggi. Dia berharap melihat Endaru tetapi yang tersapu mata adalah sekawanan ternak yang tengah memamah biak.Suatu hari Rose tersesat hingga ke padang gelagah di perbatasan hutan ja
Dari lantai dua rumahnya, Rose memandang ke jalanan yang dikeraskan dengan gamping oleh para budak tawanan beberapa bulan silam. Dari arah barat terlihat rombongan Crussoe dan Demang Kusno berkuda dalam iring-iringan polisi berpakaian Jawa yang menyandang senapan di bahu. Di antara rombongan itu terlihat seorang pria dan dua wanita yang berjalan terseok-seok.Rose terus memperhatikan hingga mereka membelok ke halaman rumahnya yang dikepung tanaman jati. Dengan masih duduk di atas pelana kudanya, Crussoe menatap penuh minat pada keluarga yang baru saja mereka bawa sebagai budak tawanan.“Marjuki!” teriak Crussoe pada jongosnya.Pria bersarung dan bersurjan itu datang dengan menunduk-nunduk di hadapan kuda Crussoe dan berujar, “Sahaya, Tuan Besar.”“Bawa ketiga orang ini untuk tinggal di rumah belakang karena mulai sekarang mereka akan bekerja di sini. Pemuda itu yang akan membantumu melakukan pekerjaan di bengkel dan mengirim
“Mevrow, tidak ada keterangan apa pun yang Anda berikan tentang peristiwa kematian suami Anda!” hardik Residen sambil memeriksa buku catatannya.Rosemeijer kembali menyeka sudut-sudut matanya menggunakan setangan sambil mengangkat sedikit jala topi yang menutupi wajahnya. “Saya khawatir jika mengatakan kebenaran akan membuka aib rumah tangga saya sendiri,” jawab Rose terbata-bata.Endaru geli mendengar penuturan itu. Dia tahu Rose sedang berlagak sebaga istri yang baik dan terhormat di hadapan semua orang di persidangan itu.“Mevrow, katakan saja kalau suami Anda—Meneer Barend Crussoe—sering berbuat menyimpang dan melakukan pelecehan terhadap para budak pria di lingkungan perusahaannya!” teriak Suro dengan nada melecehkan dari samping Endaru.Residen kembali menenangkan para hadirin yang mulai bereaksi.“Mevrow, tolong segera memberikan keterangan dan jangan m
Semalaman penuh Endaru menulis dan menyalin catatan-catatan juga surat-surat berbahasa Belanda ke dalam Melayu dan Jawa. Tangannya menggenggam pena bulu dan bergerak-gerak dengan sangat luwes menulis kalimat demi kalimat. Rosemeijer terkejut dengan kecepatan pemuda itu dalam mempelajari hal-hal baru selama dua tahun tinggal di sana.“Aku yakin kau hanya berpura-pura tidak bisa membaca dan menulis terutama caramu berbicara dalam bahasa Belanda saat pertama datang ke sini—terdengar sangat sempurna.”Rose duduk di meja di samping Endaru yang tengah sibuk menulis. Perhatian pemuda itu sama sekali tidak teralihkan apa pun cara yang digunakan Rose untuk menggodanya selama dua tahun ini.“Dari mana kau belajar semua ini, Endaru?”Pemuda itu berhenti menulis. Matanya masih terpaku pada kertas-kertas surat yang baru separuh disalinnya.“Pengajaran kita berakhir setelah aku berhasil menerjemahkan catatan-catatan dan surat-
Endaru bangkit dari silanya. Dia menarik lengan Rosemeijer hingga terseret dari kursi. Ditatapnya mata biru perempuan itu sambil mendesis, “Kenapa kau membuat pernyataan palsu seperti itu, Rose?”“Endaru, lepaskan Mevrow Crussoe sekarang!” bentak Residen.Dua orang opas meringsek maju mencoba memisahkan Endaru dari janda Crussoe itu. Rose tersenyum puas karena berhasil mendapatkan kembali perhatian Endaru.“Tuan Residen, tidakkah Anda merasa ada yang janggal? Janda Crussoe ini mengatakan suaminya mati karena gorokan di leher oleh celurit Suro, bukankah gorokan itu tidak ada? Dia mati karena tikaman belati,” ucap Endaru berapi-api.Sang Residen sedang menimbang-nimbang keterangan yang diberikan oleh Endaru sambil memeriksa catatannya kembali. “Berikan kesaksianmu, biar kami yang memutuskan!” perintah Residen sambil kembali duduk bersandar di kursinya.“Tuan Crussoe memang sering bepergia
Dari pintu pondok yang terbuka, Suro juga melihat Rose muncul dengan gaun tidur penuh darah. Perempuan totok itu berteriak dan memerintahkan Suro untuk membereskan kekacauan di dalam kantornya.Endaru duduk termenung di amben di dalam pemondokan. Segala penghiburan dan pertanyaan—baik dari Sanikem maupun Rukmini—dia abaikan begitu saja.“Kita harus pergi dari sini, Bibi!” ujar pemuda itu.Suro datang kembali ke pemondokan dengan membawa sebilah celurit berlumuran darah. “Pria keparat itu sudah mati. Pergilah kau selamatkan dirimu, Endaru!”“Bagaimana dengan bibi dan Rukmini? Surat hutang itu?” Endaru kembali menggigil.“Kami bisa menjaga diri kami sendiri. Pergilah kau selamatkan dirimu dan sembuhkan lukamu!” Suro mendorong dada Endaru.“Aku membunuhnya, Paman! Biarkan aku di sini. Biarkan mereka menggantungku. Sebaiknya paman dan bibi yang harus pergi dari sini!” Endaru
Endaru didudukkan di sebuah ruangan kosong dengan bangku-bangku kayu panjang. Kedua tangan dan kakinya masih terikat belenggu dari besi. Dua orang opas mengawasi dan mengawalnya dari pintu.Pintu ruangan itu terbuka. Lamat-lamat Endaru bisa mendengar suara Rose yang berteriak-teriak lantang dalam bahasa Belanda entah pada siapa. “Endaru adalah budak tawananku yang masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Kalian tak bisa mengirimnya kembali ke Ponorogo!”“Mevrow, dia harus kembali ke Ponorogo untuk menyelesaikan peradilannya di sana! Bagaimana pun dia terlibat dengan sesuatu yang rumit di sana,” balas seorang pria dalam bahasa Belanda formal.“Dia tidak bersalah, Tuan!” desak Rose kehilangan alasan.“Kami mendapat surat agar dia dikembalikan ke Ponorogo untuk menyelesaikan peradilan di wilayahnya. Seseorang akan menjemputnya. Anda tidak punya hak dan alasan untuk mempertahankannya di sisi Anda, Mevrow
Tubuh Endaru dan Gandari berguncang-guncang karena entakan kereta beroda empat yang membawa mereka menggilas bebatuan jalan. Mereka duduk saling berhadapan—lutut beradu dengan lutut—tetapi mulut tetap saling mengunci dan membisu.Perempuan itu menjelajahi paras Endaru yang sudah banyak berubah. Wajah bocah yang dulu dikenalnya, kini berwujud seorang pemuda berparas lembut dengan tulang pipi yang sedikit menonjol, rahang yang tegas, dan bibir tipis berwarna terang yang masih meninggalkan bekas senyuman meski dia tengah gelisah. Mata, Gandari terpaku pada bekas luka di bawah mata kanan putranya.Gandari berpaling mengubah pandangan ke luar kereta yang susul-menyusul adalah pepohonan dan semak belukar.“Emak benci menatap bekas luka di wajahku?”“Bekas luka itu mengingatkan pada kegagalanku sebagai seorang ibu. Aku benci pada diriku sendiri yang tak bisa berbuat apa pun saat kau menderita sendirian di luar sana,” ujarnya p