"Lindungi Pangeran! Lindungi Pangeran!"
Pangeran bersembunyi di semak-semak melihat pasukan istana bertarung melawan bandit, sementara iring-iringan Kaisar telah lama pergi.
Pangeran paham jika dia tidak bergerak, mereka akan menangkapnya. Pemuda jangkung kurus mengerti dengan pakaian mahal akan dengan mudah dikenali bandit. Dengan cerdik pemuda berusia dua belas tahun memakai pakaian bandit yang tewas.
"Pangeran, jangan kabur!" teriak bandit memergoki Liu Bian mengendap-endap keluar dari semak-semak.
Anak naga kabur berlari secepat mungkin, tetapi sebagai calon kaisar dia tidak dilatih berlari. Baru beberapa li saja dia terengah nyaris pingsan.
Suara tawa para bandit membuat Liu Bian merinding. Mereka mau membunuh? Atau menculik? Dua pilihan sama saja.
Bandit membalik tubuh tengkurap Bian memakai kaki. Dia meludah lalu hendak menusuk golok ke perut Pangeran. "Mati kamu, anak tidak berguna!"
"Hentikan!" Beberapa pencari kayu bakar datang sambil melempar batu. Beberapa mengangkat golok menyerang bandit.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Bandit. "Kami hendak berjasa pada Langit dengan membunuh keturunan Kaisar!"
"Bohong! Kalian pasti rampok!"
Pencari kayu bakar menyerang bandit. Mereka berkelahi beradu golok seakan lupa akan Pangeran. Liu Bian masih membatu berusaha mengatur nafas. Kejadian tadi benar-benar membuatnya terkencing-kencing. Baru kali ini dia berada di ujung kematian. Sepertinya Dewa masih sayang kepadanya.
Tiba-tiba terdengar suara aneh dari kejauhan.
"Psst, hei, heei, sini sini." Anak kecil melambai-lambai dari dalam semak-semak. "Ayo Xiongdi, sini."
Dipanggil dengan sebutan saudara membuat Liu Bian bingung. Bahkan adik tirinya memanggil dengan sebutan Putra Mahkota. Namun, dia tetap merangkak masuk ke semak-semak menemui bocah yang sekiranya berusia sepuluh tahun, seumuran adik tirinya.
Bocah berusia sepuluh tahun menutup hidung sambil mengibas tangan. "Haiya, bau kencing. Kamu ngompol ya? Ya sudah, tidak penting, ayo kita ke desa. Di sini berbahaya."
Mereka berlari hingga tiba di jalan setapak yang tertutupi dedaunan kering. Merasa aman, mereka melangkah menyusuri jalan di tengah hutan bambu.
"Xiongdi, jalan ini menuju Desa Sulu, kamu akan aman di sana. Yuk." Bocah polos menggandeng Pangeran.
Pada awalnya Pangeran enggan disentuh. Dia titisan naga, sementara bocah kecil kunuh hanya rakyat jelata. Strata mereka jauh seperti utara dan selatan. Namun, dia penolong Pangeran. Hak istimewa diberikan pada bocah yang entah siapa namanya.
"Xiao Didi, siapa namamu?" tanya Pangeran, turut memanggilnya dengan saudara muda.
Dipanggil dengan sebutan adik kecil, bocah menoleh. "Sima Zhou. Kalau Xiongdi?"
Seluruh negeri tidak mengenal nama asli Putra Mahkota, baru kali ini dia memperkenalkan nama asli pada rakyat. "Liu Bian."
"Woah, nama yang aneh, tapi cukup keren." Si polos mengacung jempol pada Bian.
Setelah melangkah cukup jauh, mereka tiba di kuil tua untuk beristirahat. Sima Zhou bisa berjalan terus ke desa, tapi kaki Pangeran seperti kehilangan tulang. Pangeran kelelahan dan butuh istirahat. Sima Zhou memutuskan menemaninya duduk di dalam kuil tua yang ditinggalkan warga.
"Para bandit semakin berani merampok di siang hari Xiongdi." Zhou membagi mantau kering untuk Bian, mempersiapkan air dalam wadah bambu. "Semua karena kaisar serakah menarik pajak besar."
Sebagai calon kaisar Bian geram meremas mantau. Rakyat jelata mengatainya seperti itu, tapi hendak marah juga apa guna?
Dia sadar tidak tahu keadaan negaranya sendiri. Bian selalu terkurung dalam sangkar emas bernama Kediaman Kaisar. Dia hanya keluar untuk acara berburu seperti sekarang, hingga para Bandit mengacau.
Ini kesempatan baik untuknya mengetahui keadaan sebenarnya rakyat jelata.
"Menurutmu begitu Xiao didi?"
Zhou mwngangguk. "Kata ayahku semua terjadi karena pajak terlalu tinggi, banyak rakyat kelaparan dan Kaisar gentong hanya tertarik pada surga dunia. Oleh sebab itu beberapa rakyat memilih menjadi bandit. Para prajurit enggan melindungi rakyat, memilih hidup bersenang-senang di kedai. Kamu tahu Xiongdi, di seluruh daerah Han sekarang bagai hutan rimba. Membunuh untuk hidup. Yang kuat yang berkuasa."
Bian mengangguk sambil memakan mantau. Andai tidak melihat sendiri betapa banyaknya bandit menyerang, dia pasti meminta pengawal memenggal bocah di depannya karena berani menjelek-jelekkan kaisar.
Bian menghela napas panjang yang cukup kencang. "Mungkin Kaisar tidak tahu akan keadaan rakyat. Mungkin yang keluarga Kaisar ketahui rakyat hidup makmur berkecukupan. Hei, siapa nama ayahmu? Kenapa dia tahu banyak hal?"
"Sima Yi. Dia cendikiawan miskin yang suka berjudi. Xiongdi jangan bilang ayah ya, kalau aku mengatainya miskin."
Bian terkekeh mengangguk kecil. "Aku berjanji akan merahasiakan hal ini. Aku berjanji akan mencoba memperbaiki kualitas hidup masyarakat Han kelak, jika aku menjadi kaisar."
Zhou terdiam memandang wajah serius Bian. Dia tidak tahu kalau pemuda di hadapannya adalah Putra Mahkota. Tentu bagi rakyat jelata ucapan tadi lucu, Zhou sampai terpingkal memegang perut karena celotehan Bian.
"Jangan mimpi Xiongdi. Haiya, kamu membuat perutku sakit."
"Aku serius."
Zhou duduk mengatur napas. "Ya, selamat mencoba. Mungkin kamu butuh bantuan dua pedang."
"Apa maksudmu Xiao didi?"
"Mungkin hanya dengan pedang Meteor dan pedang Naga dunia bisa damai."
Bian baru mendengar tentang dua pedang ini. Apa bocah sedang menceritakan cerita rakyat? "Apa maksudmu bocah?"
"Ayah bercerita, ini kuil Liu Bang dan Xiang Nu." Bian berdiri menunjuk patung dua pria bersebelahan. "Mereka para penumbang tirani dan katanya jika keadaan dunia kacau, Pedang Meteor akan muncul, membawa kedamaian."
Liu Bang dan Xiang Nu tertulis di buku sejarah Han sebagai dua bapak pendiri kekaisaran. Mungkin kah bocah ini tahu lebih banyak dari Bian?
Bian tidak serta merta percaya ucapan Zhou. Dia meniup batu tua di bawah patung perunggu. Tertulis pahatan huruf dinasti Qin kuno. Beruntung Pangeran bisa membacanya.
[ Dua sahabat bersatu menumbangkan tirani Qin. Tetapi keserakahan dan nafsu membuat mereka saling membunuh, mengotori pedang Meteor dan pedang Naga dengan darah suci.
Kedamaian abadi tertunda. Empat ratus tahun waktu untuk kedamaian berjaya sebelum hancur.
Kesempatan ketiga bagi dua sahabat untuk bangkit memperbaiki kesalahan. Pedang Naga di barat, pedang Meteor di timur. Sentuh dengan darah keturunan Xiang Nu dan Liu Bang, maka kediaman pedang akan muncul]
Tulisan ini dibuat dengan pahatan yang sulit. Pertanda keaslian ucapan dalam tulisan. Bian keturunan ketiga belas Liu Bang. Dia menyentuh batu dan patung Liu Bang bercahaya.
(Aku melihatmu ….)
"Wah, apa yang kamu lakukan Xiongdi?" Zhou berusaha menarik tangan Bian, tapi gagal. Tidak sengaja dia menyentuh batu yang sama.
Patung Xiang Nu menyala terang. Dua patung semakin terang menyilaukan mata. Cahaya terang membentuk cagak menerjang langit, membelah awan putih. Lalu hempasan angin kuat muncul dari batu.
Mereka serentak terpental menabrak pintu di belakang hingga hancur.
"Haiya, boyokku aduduh. Xiongdi jangan aneh-aneh! Apa yang kamu lakukan?" Zhou membantu Bian berdiri.
"Entahlah, tiba-tiba saja batu menyala."
"Ah kamu ini, aku nyaris ngompol tahu!"
"Maaf, maaf. Apa kamu mendengar sesuatu tadi?" tanya Bian, mengguncang badan Zhou.
"Tidak, aku tidak mendengar apapun. Jangan membuatku takut! Sudahlah, aku mau buang air besar dulu." Zhou menepis tangan Bian, pergi ke semak-semak jauh di belakang kuil. "Jangan ngintip! Nanti kamu takut terus ikut!"
Bian duduk bersandar cagak kuil, melihat dua patung aneh. Apa mungkin tadi hanya bayangan belaka? Tapi telinganya benar-benar menangkap kalimat mengerikan.
Dari arah ujung jalan puluhan prajurit Han menunggang kuda tiba. Mereka mengenali wajah calon Kaisar, langsung berhenti di depan kuil.
Lima prajurit turun, bertekuk lutut di hadapan Pangeran. "Panjang umur Pangeran, panjang umur Han!"
"Berdirilah para punggawaku."
"Pangeran, di sini tidak aman. Ayo kita harus segera kembali ke istana."
Bian menanti Zhou untuk kembali. Dia ingin berterima kasih secara formal juga memberi hadiah, tetapi sepertinya bocah itu akan lama kembali. Sementara dari wajah para penjemput sepertinya para bandit masih berkeliaran di sekitarnya.
"Pangeran, ayo!"
Bian mengepal tangan di depan dada. "Saudara Zhou, aku berjanji akan berusaha merubah Han lebih baik. Tunggulah aku."
Seorang pengawal bersujud di sebelah kuda, menjadi pijakan Bian yang hendak menunggang kuda.
Rombongan pun berangkat meninggalkan kuil.
*
Di tempat lain cahaya terang yang meluncur dari kuil tua menghantam sebuah makan tua. Tangan keluar dari makam seperti hendak meraih sesuatu.
****
(Halo selamat datang di novel ini. Jangan lupa memasukkan ke dalam daftar bacaan ya, semoga suka)
Satu minggu setelah pertemuan Liu Bian dan Sima Zhou, Kaisar mangkat. Sekarang Liu Bian menjabat sebagai Kaisar ke tiga belas Dinasti Han dengan gelar Sang Muda pemberani. "Buat apa membiayai pembangunan waduk? Lebih baik kita membangun taman indah untuk Ibu Suri," ucap kasim Zong, kasim senior yang mengepalai sebelas kasim pembantu Kaisar. Menteri bingung karena menurutnya urusan waduk harus didahulukan. "Yang Mulia, rakyat terutama petani, mereka membutuhkan waduk untuk bisa bertahan mengelola tanah mereka. Mohon Yang Mulia memikirkan lagi." Dia membungkuk memberi hormat pada Liu Bian. "Kaisar tidak perlu repot. Sesuai tradisi, kami yang akan membantu Kaisar. Pajak sangat penting bagi kas negara, biar kami yang mengurus," sahut Kasim Zong membungkuk kemayu di hadapan Bian. Tradisi yang dimaksud para kasim adala
Para jendral menebar teror pada diri Liu Bian. Selama ini dia melihat jendral seperti He Jin, gagah, rapi, berwibawa, tapi sekarang para jendral 'lapangan' berada di hadapannya. Mereka memiliki banyak luka di tubuh, bahkan salah satu dari mereka kehilangan jari kelingking. Badan Liu Bian sedikit condong ke arah paman. Tangannya terangkat hingga bagian lengan pakaian menutupi wajah di bawah mata ketika dia berbisik. "Paman, aku tidak mengenal mereka." He Jin tertawa bangga memandang para jendral. "Mereka jenderal yang akan berjasa pada Han. Kalian, perkenalkan diri kalian!" Satu persatu mereka memberi hormat pada Liu Bian. Hanya beberapa yang Kaisar hafal namanya. Salah satunya adalah Cao Cao. Dia masih muda dan tampan. Tentu Liu Bian hafal wajah mulus i
"Cao Cao, bawa pasukan kavaleri maju duluan. Pasukan kita masih lama memasuki kota," perintah He Jin. "Laksanakan!" "Kenapa Tuan mempercayakan semua pasukan kavaleri ringan ke Cao Cao?" tanya salah satu jenderal di bawah kuasa He Jin. "Harusnya kehormatan itu diberikan kepadaku, anak dari keluarga Yuan." "Hmmp! Aku punya banyak alasan untuk melepas Cao Cao ke sana." "Maaf karena mempertanyakan keputusanmu, Tuan He."
Satu minggu berlalu. Bian memimpin dengan tenang. He Jin, tidak menghalangi untuk melayani masyarakat, dia hanya memberi saran dan 'mengambil sendiri' uang di kas negara. Akan tetapi tragedi terjadi, semua karena efek dari insiden yang He Jin lakukan. Sembilan kasim menyergap He Jin ketika hendak bertemu Ibu suri, mereka berhasil membunuh Jenderal Besar dan membuang kepalanya keluar istana. Hal ini membuat Cao Cao, Zhu Cun, dan Yuan Shao membawa pasukan mendatangi istana di tengah jalannya rapat negara. Mereka membunuh semua kasim, baik sembilan kasim dan kasim-kasim muda yang tidak bersalah untuk membalas dendam kematian He Jin. Para menteri dan dayang kabur ke berbagai arah, bahkan Bian dan Xian terpisah dari pada abdi mereka. Sementara itu di luar, suara pedang beradu, jeritan kematian menebar terror sampai bulu roma Bian berdiri. Kobaran api melahap apapun hingga tercipta asap hitam pekat yang menusuk hidung.
Setelah menyelamatkan Bian, Dong Zhuo memproklamasikan diri sebagai Perdana Menteri. Kaisar tidak bisa bertindak banyak, akibat insiden sepuluh kasim dan He Jin, terjadi power vacuum di kekaisaran. Jabatan-jabatan kosong terisi oleh orang-orang kepercayaan Dong Zhuo, membuat status quo Dong Zhuo semakin besar. Hal ini nampak pada rapat mingguan di kekaisaran. “Kaisar datang!” teriak seorang kasim. Para pejabat membungkuk mengucapkan kalimat panjang umur kepada Bian. Bian duduk di singgasana. “Berdiri lah kalian semua.” Harusnya pada rapat seperti ini, semua pejabat masuk dan harus menunggu Kaisar. Mereka berbaris rapi, tanpa membawa senjata, juga wajib melepas sepatu. Kali ini berbeda, satu orang dari mereka merusak tatanan krama. “Perdana Menteri tiba!” Suara derap sepatu semakin mendekat. Dong Zhuo melangkah santai menenteng pedang juga memakai pakaian perang masuk ke ruang rapat. Beberapa menteri yang baru menjabat,
Setelah mendapat kehormatan memimpin pasukan kerajaan, Cao Cao bagai mendapat berkah dari langit. Dia semakin mudah masuk ke kamar Ibu Suri. Berdua mereka memadu cinta terlarang, sebuah skandal perusak moral kekaisaran. Dia lalai dalam tugas, memilih meniduri Ibu Suri dari pada menjaga Bian dan Xian. Cao Cao mengira tidak akan ada yang berani mengancam nyawa Bian, selama Bian dan Xian berada di dalam wilayah istana. Terlebih Zhu Cun menjaga pintu gerbang bersama para pasukan loyal. Walau Dong Zhuo berniat memberontak, dia perlu memanggil pasukan Xi Liang yang berada di barak istana. Namun, dugaannya meleset. Setelah selesai rapat harian bersama para pejabat Luo Yang, Bian menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Xian. Di sana mereka membaca banyak buku, karena memang keduanya sangat suka buku. Ruang yang dipenuhi buku adalah surga bagi mereka. “Kak Bian, coba lihat ini.” Xian berlari kecil menghampiri Bian yang tengah santai me
Beberapa bulan setelah Liu Bian turun tahta, keadaan negara makin kacau. Satu persatu pejabat loyal dibunuh tanpa sebab, membuat mereka yang beruntung menjadi takut dan bergabung dengan Dong Zhuo. Bahkan Zhu Cun dan Cao Cao menyatakan loyalitas kepada hewan itu. Sementara itu, Yuan Shao membangun kekuatan di daerah utara, mengirim banyak pesan bagi pejabat ibukota untuk berkomplot membunuh Dong Zhuo dan gerakan untuk mengembalikan Bian menjadi kaisar semakin besar. Dong Zhuo ingin menghabisi semua pejabat yang tidak berguna. Dia mempersiapkan pasukan untuk bergerak, tetapi Li Ru mencegah. "Minggir!" teriak Dong Zhuo. "Biar aku penggal mereka semua!" "Jika Anda melakukan itu, pemberontakan akan terjadi," ucap Li Ru. Nasihat itu membuat Dong Zhuo duduk di lantai melempar pedang. Berkali-kali dia mengumpat geram. "Jika begini terus, aku bisa digulingkan dari kekuasaanku!" Li Ru berdecak, duduk di sebelah Dong Zhuo. D
"Serahkan mantan Kaisar!" sentak Lu Bu. Dengan suara keras yang menggelegar seperti bunyi halilintar, dua membuat kuda Zhu Cun meringkik ketakutan. "Ayo, menyerahlah!" lanjut Lu Bu. "Atau keluargamu akan mati!" "Hmmp!" sentak Zhu Cun. "Demi Han, keluargaku siap mati, kamu dengar?" Lu Bu terbahak. "Lucu sekali. Ayo berhentilah bercanda, serahkan kaisar sekarang juga. Kamu akan diampuni kelak, Cun." "Kamu mau memiliki Bian? Langkahi mayatku dulu!" tantang Zhu Cun. Lu Bu memberi kode bagi beberapa penunggang kuda di sekitar Zhu Cun untuk menyerang. Tiga penunggang kuda dari kiri, kanan, dan belakang maju. Dengan tangkas Zhu Cun meladeni mereka. Permainan tombaknya lumayan lihai hingga berhasil menghabisi dua penyerang. Perut penyerang terakhir dia tusuk memakai tombak lalu dia lempar ke arah Lu Bu. Dengan sekali tebas Lu Bu membelah pria yang melayang menjadi dua. Dia tertawa keras karena rasa puas. "Cukup me