Sementara itu tak jauh dari markas warok karta, seseorang tampak keheranan dengan apa yang di dengarnya. Ia mendengar suara orang tertawa tapi ada juga yang sepertinya tawa itu sudah melemas. hingga ia pun penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi
"Ada pesta apa di markas warok karta rupanya...? Hmmm..aku harus memeriksanya.." Orang itu pun kembali melangkahkan kakinya menuju markas Warok Karta. Setelah sampai terkejutlah ia ketika melihat anak buah Warok Karta yang sudah terguling-guling di tanah sambil tertawa. Bahkan beberapa sudah ada yang pingsan. "Hmm..aku pikir mereka sedang pesta. Ternyata telah terjadi bencana disini.." Ia pun menghirup sesuatu yang mencurigakan. Tak lama ia pun ingin tertawa. Tapi karena ia punya ketahanan bathin yang kuat, Dia bisa menguasai dirinya "Kau telah lengah Karta. Seseorang telah menyerangmu dengan racun kecubung yang dicampur dengan ramuan lain..hmmmm.." gumamnya dalam hati. Ia pun segera mencari Warok Karta. Dan ia menemukan nya dalam keadaan terbaring lemas menahan ketawa. "Kau bodoh karta. Kau telah lengah.!!." Ujar orang itu dengan agak membentak. Warok Karta pun segera menoleh ke orang yang berbicara. "Oh kau kakang Bandar Jati..ya Jaka laknat itu telah meracuni kami..hehehe.." Lalu warok bandar jati mendekati Warok Karta kemudian menotok beberapa titik di dadanya. "Tap..tap..tap.." Tak lama Warok Karta pun berhenti tertawa. Lalu Warok Bandar jati mengeluarkan botol bambu dari pinggangnya. "Nah campurkan ini kedalam air. Lalu kau beri minum semua anak buahmu yang bodoh itu agar mereka tak mati tertawa.." Perintah Warok Bandar "Ahh..kakang bandar. Aku ucapkan terima kasih. Untung kau datang.." Balas Warok Karta lalu ia berusaha untuk bangun dan duduk mengatur nafasnya agar aliran darahnya kembali normal "Aku memang sengaja datang kesini untuk membicarakan Jaka keparat itu. Tapi ternyata dia telah datang kesini dan mengacak-acak markasmu.." "Maaf kang..aku memang telah lengah.." Sesal Warok Karta. Sebenarnya ia malu dengan kelengahan dirinya. ia tak menyangka bahwa begitu mudahnya Jaka warangan mengerjai dia dan anak buahnya "Sudah lah..kau sadarkan dulu anak buahmu..!!" "Baik kang.." Jawab Warok Karta ########## Sementara itu. Jaka warangan yang telah selamat dari amukan komplotan warok karta, tengah mengisi perutnya di sebuah kedai. Ada beberapa orang yang sedang makan di kedai itu. Tapi yang menarik perhatian adalah dua orang lelaki berbadan besar yang sedari tadi membuat gaduh dengan membentak-bentak pelayan bila ada makanan yang kurang enak atau kopi yang kurang manis. Atau ada saja yang di protes. "Brakkk.." meja di gebrak. "Bangsat...pedas sekali sambel ini...huaaahhh..hey pelayan sini kau..!!" Bentak seorang pria dengan wajah beringas. Pelayan itu pun dengan gemetaran menghampiri pria itu. "Ada apa tuan..?" Lalu pria itu tiba-tiba mencengkram kerah leher si pelayan sambil membentak-bentak. "Dasar sompret kau. Bikin sambal pedasnya gak kira-kira hah. kau pasti mendendam karena dari tadi kumarahi iya kan?" Semprot nya yang membuat pelayan itu jadi ketakutan "Acchh .ampun tuan..aku tak pernah bermaksud demikian.." balasnya gemetaran karena Jaka warangan sudah kesal karena dari tadi ia terganggu dengan gebrakan orang itu. Kini giliran dia yang menggebrak. "Brakkkk....kampret sialan. Makanan ini sedap sekali pelayan. Kopinya juga kurang ajar nikmatnya.. bangsat kenapa kalian bikin makanan seenak ini.. bangsat....Brakkkk..!!!" Karuan saja mereka terkejut dan memandang heran Jaka. Orang mah kesal kalau makanan nya ga enak. Ini malah kesalnya karena makanannya terlalu enak. Bahkan ada yang tersenyum menahan ketawa. Tapi kedua orang yang berbadan kekar itu jelas tersinggung. "Hey..anak muda apa kau sengaja menyinggung kami??" Jaka warangan pun menjawab. "Hey.orang gila apa kau tak punya otak?". Naik pitam lah kedua orang itu. "Bangsat kurang ajar, Kau menantang kami anak muda. Apa kau tak tahu siapa kami..?" Jaka warangan kemudian malah tertawa "Behahaha..ya aku tahu..kalian adalah orang yang tak punya otak. pastilah julukan kalian adalah si goblok dan si tolol. Betulkan..?" "Brakkkk.."Langit Mandira menjadi gelap tak wajar. Bukan karena malam, tapi karena sesuatu yang lebih tua dari malam itu sendiri. Di ujung cakrawala, awan membentuk pusaran kelam. Cahaya petir menyambar tanpa suara. Di barak Pengawal Dalam, Raja Mandira menatap peta yang kini berubah warna. Jalur ke Gunung Sepuh menghitam. Tinta pada kertas menetes sendiri, seperti luka yang mengalirkan darah. > “Gerbangnya terbuka...” bisik Raja. Panglima Adikara berdiri gelisah di belakangnya. > “Paduka, pasukan siap digerakkan. Tapi kabut yang datang... menghapus jejak.” > “Kita terlambat,” jawab sang Raja. “Satu-satunya harapan kita… adalah Warangan.” --- Di kaki Gunung Sepuh, Jaka dan rombongan membangun perlindungan darurat bagi anak-anak korban ritual. Kabut tipis terus menyelimuti tanah, dan hawa menjadi dingin seperti habis hujan padahal langit kering. Putri Lintang duduk di samping api kecil, menggenggam tangan seorang anak perempuan yang masih gemetar. > “Namamu siapa?” > “Nira,” b
Kabut pagi menyelimuti tepian Sungai Rengganis, tempat Jaka Warangan dan rombongannya mendirikan kemah darurat. Api unggun telah padam, menyisakan bara merah yang nyaris mati. Burung-burung rawa belum bernyanyi, seakan tahu dunia sedang tak tenang. Jaka berdiri di tepi air, mencuci wajah. Di balik aliran sungai, bayangan perbukitan Gunung Sepuh menjulang pucat. Tempat itu kini menjadi petunjuk yang harus mereka kejar. Putri Lintang muncul dari balik pohon, mengenakan pakaian rakyat biasa. Rambutnya dikepang seadanya. Tak ada lagi sanggul atau perhiasan. Tapi matanya masih menyala—bukan dengan kebangsawanan, tapi tekad. > “Aku sudah siap,” katanya pelan. Jaka menatapnya sebentar. Tak ada yang diucapkan, tapi pandangan itu cukup. Mereka saling percaya. Dan itu lebih penting dari segala sumpah. --- Di sisi lain, Tarno memeriksa tali pelana kuda sewaan mereka. Ia bersiul kecil, tapi sorot matanya gelisah. > “Kang,” gumamnya ke Sura, “kalau ketahuan kita bawa Putri, kita bisa dicap
Langit Mandira menyambut Jaka Warangan dengan awan kelabu. Gerbang utama istana terbuka perlahan, diiringi suara genderang kecil dari penjaga kehormatan. Tapi tak ada perayaan, tak ada senyum.Karena yang ia bawa… bukan kemenangan, melainkan tuduhan.Sura dan Tarno menyusul di belakang, berdebat soal nasi bungkus yang katanya dicuri penjaga gudang. Tapi Jaka hanya diam. Langkahnya ringan, tapi pikirannya berat.---Di dalam Balairung Wiyata, tempat para penasihat kerajaan berkumpul, suasana terasa panas. Pangeran Wirabasa duduk dengan tenang, memainkan cincin emas di jarinya. Di sampingnya, Putri Lintang menunduk dalam. Ratu Ayu tak hadir—konon sedang sakit karena kabut mimpi dari arah selatan.> “Jaka Warangan,” ujar Raja Mandira, suaranya berat. “Apa yang kau temukan di Langgasari?”Jaka meletakkan sehelai kain bersimbol darah di atas meja batu.Semua menahan napas.> “Aku menemukan pengkhianatan. Tapi bukan dari Langgasari… dari dalam.”> “Kau menuduh siapa?” tanya sang Raja.Jaka
Tiga hari setelah Festival Pendekar berakhir, Istana Langit Timur kembali sunyi. Namun pagi itu, langit berubah kelabu. Seekor burung hitam raksasa—Rajawali Gelap dari Kerajaan Langgasari—mendarat di pelataran istana, membawa dua orang bertudung ungu.Mereka adalah utusan khusus dari Raja Langgasari, kerajaan di utara yang selama ini bersikap netral, namun terkenal dengan siasat politik dan kekuatan mata-mata.> “Kami datang membawa undangan pertemuan rahasia,” kata salah satu utusan. Suaranya berat, matanya tajam seperti menyimpan racun.> “Dan kami minta satu orang saja untuk datang mewakili Kerajaan Mandira: Jaka Warangan.”---Raja Mandira terdiam lama saat menerima berita itu. Para penasihat protes. Bahkan Panglima Agung menolak keras.> “Itu jebakan! Kita tidak tahu siapa mereka sebenarnya!”Namun Putri Lintang berdiri, menatap ayahnya.> “Kalau mereka ingin bicara dengan Jaka… maka biarlah ia yang memutuskan. Bukan kita.”Jaka hanya mengangguk.> “Aku akan pergi. Tapi aku tak a
Fajar menyapu langit dengan warna emas pucat ketika genderang istana mulai ditabuh. Turnamen Cahaya Timur—ajang silat tertua antar perguruan di seluruh negeri—resmi dimulai. Kali ini, bukan hanya kehormatan yang dipertaruhkan, tapi juga aliansi politik dan takhta masa depan.Jaka Warangan berdiri di barisan peserta, mengenakan pakaian hitam sederhana, tak membawa lambang perguruan manapun. Di sebelahnya, Sura dan Tarno bersandar di pagar kayu, tak ikut bertanding, tapi ikut berjaga.> “Kau yakin ikut ini, Kang?” tanya Sura. “Pendekar dari segala arah datang. Ada yang pernah melawan harimau, ada yang katanya bisa membelah batu pakai suara.”> “Justru itu. Aku ingin tahu… apakah dunia masih sekejam dulu, atau sudah lebih adil untuk orang-orang seperti kita,” jawab Jaka tenang.---Turnamen dimulai.Babak penyisihan berlangsung cepat. Pendekar-pendekar saling menunjukkan teknik khas: jurus kipas sakti, pukulan halilintar, langkah kabut, bahkan gaya bertarung dari barat yang mirip tari pe
Langit di atas Kerajaan Mandira mulai cerah, tapi angin tetap dingin membawa kabar buruk dari timur. Di pelataran batu istana, Jaka Warangan berdiri di antara para pengawal. Jubahnya sudah berganti—bukan lagi gelap dan penuh luka, melainkan jubah biru laut dengan motif awan perak.Sura dan Tarno, kini berpakaian seperti ksatria istana, berdiri di sampingnya. Tarno bahkan mengenakan ikat kepala baru bertuliskan “ANTI SETAN”, hasil kreativitasnya sendiri.> “Kakang, kita sekarang jadi orang penting ya?” bisik Tarno sambil menyikut Sura.> “Iya, penting buat bersih-bersih kalau disuruh,” sahut Sura datar.Tapi suasana berubah saat seorang wanita turun dari tandu istana—anggun, berselendang merah muda, dan membawa tongkat bergagang kristal.Dialah Putri Lintang Madura, anak Raja Mandira yang dikabarkan memiliki ilmu membaca mimpi dan pengendali hujan. Dan begitu matanya bertemu dengan Jaka…> “Jadi… ini dia, pendekar yang katanya bisa mengusir kutukan langit?” katanya dengan senyum tipis.