Share

5. Ki Kusumo

last update Last Updated: 2025-01-08 15:03:23

TEMPAT keributan kembali tenang. Beberapa orang yang menjadi penonton kejadian memulai kembali kegiatan masing-masing. Sementara si perempuan berpakaian silat warna ungu mendekati anak gadisnya.

"Kapan kau mempelajari gerakan secepat itu, Anakku?" Tanyanya, ingin tahu bagaimana anaknya bisa bergerak tanpa terlihat hingga seluruh senjata penyerangnya berpentalan laksana disapu topan. Tresnasari melengak. Sungguh pertanyaan sang ibu agak mengejutkannya.

"Aku justru mengira itu perbuatan Nyai!" Tukasnya agak meninggi.

Wajah pucat wanita berpakaian ungu agak terlipat. Dia berpikir sejenak. "Kalau bukan perbuatanmu dan perbuatanku, lalu siapa?" Gumamnya, tipis berbisik.

Sejenak kepalanya menoleh pada Angon Luwak. ‘Mungkinkah bocah itu?’ Tanya hatinya ragu.

 Bocah yang diperhatikan malah sedang cengengesan tak karuan. Dia mengira keberaniannya menyeruduk seorang lelaki pengacau sedang dibicarakan ibu dan anak itu. Bangganya minta ampun dia. Hidungnya pun jadi kembang-kempis.

"Tentu saja bukan dia," Cibir Tresnasari, mengetahui ibunya menyangka Angon Luwaklah pelaku tindakan mengagumkan sebelumnya.

"Bagaimana dia bisa melakukan itu kalau cara menyerangnya saja mirip kambing buduk!"

Lalu pandangan Nyai Cemarawangi, nama perempuan berpakaian ungu, beralih ke arah lelaki tua pemilik kedai.

"Mungkinkah orang tua itu?" Gumamnya tak kentara.

Dia bukan cuma penasaran ingin mengetahui si pelaku, tapi juga ingin menghaturkan banyak terima kasih. Sebab, kalau putrinya tidak ditolong waktu itu, dia ragu Tresnasari mampu mengatasi serangan serempak yang keji dari para pengeroyoknya.

Orang yang diperhatikan malah mulai sibuk lagi mengebuti lalat-lalat yang berkeliaran di atas dagangannya. Wajahnya tetap tenang seperti sebelumnya. Namun bukan itu yang menjadi pusat perhatian Nyai Cemarawangi.

Justru perbuatan kecilnya mengebuti lalat yang luput mendapat perhatian orang lain, tapi tidak untuk mata jeli perempuan itu.

Si lelaki tua pemilik warung terlihat santai saja menggerakkan alat pengebut lalat terbuat dari batang bambu yang diberi rumbai tali pelepah pisang kering. Tapi, setiap kail tangannya bergerak santai, beberapa ekor lalat langsung menemui ajal! Nyai Cemarawangi tersenyum. Sekarang dia yakin telah menemukan penolong putrinya.

Segera dihampirinya orang tua itu. Angon Luwak mengira dia yang dihampiri. Makin parah saja cengangas-cengengesnya. Besar rasa juga rupanya bocah itu. Dan dia tinggal bisa bengong ketika Nyai Cemarawangi cuma melintasinya.

"Terima kasih atas bantuanmu, Orang Tua. Aku yang muda rupanya terlalu tak menyadari kalau kau adalah seorang tokoh mandraguna...." Ucapan Nyai Cemarawangi tak digubris orang tua itu.

Dia terus saja sibuk berbenah, seolah sama sekali tak mengetahui apa maksud ucapan Nyai Cemarawangi. Sementara itu, Tresnasari menyusul ibunya. Dilewatinya pula Angon Luwak yang mulai pula senyum-senyum pada gadis tanggung itu.

Di dekat Angon Luwak, Tresnasari berhenti melangkah. Ditatapnya bocah itu tajam-tajam.

"Kenapa senyum-senyum?!" Bentaknya. "Mau kubuat rontok gigimu?!"

Angon Luwak langsung bungkam. Mulutnya terkunci rapat. Jangankan senyum, meringis pun dia tak berani.

"Kalau diperkenankan, bolehkah aku tahu siapa sesungguhnya dirimu, Orang Tua?" Susul Nyai Cemarawangi, kemudian.

Seperti baru tersadar seseorang telah berdiri di depannya, orang tua itu tersenyum, memperlihatkan barisan gigi kehitaman dan telah tanggal dua-tiga butir.

"Seperti kau lihat, aku cuma seorang penjual makanan," Sahut pemilik warung. Nada bicaranya tetap tak berubah. Tetap santai, sambil menjentiki beberapa ekor lalat yang mati di atas mejanya.

"Kalau begitu, izinkan aku mengenal namamu," Mohon perempuan cantik meski usianya sudah terbilang cukup tua itu.

Kening berkerut orang tua berkumis putih itu sesaat terlipat. Sepasang alis putihnya yang tumbuh jarang agak mendekat satu dengan yang lain. Bola matanya naik ke atas.

"Seingatku, namaku Kusumo...," Katanya setelah berpikir beberapa saat.

Aneh juga, bagaimana dia bisa lupa nama sendiri? Sebenarnya, Nyai Cemarawangi ingin mengetahui nama lengkap orang tua itu. Siapa tahu dia pernah mendengar nama itu di dunia persilatan. Sebab, menurut perkiraannya, orang tua yang mengaku bernama Kusumo ini pasti seorang tokoh yang disegani di dunia persilatan. Mungkin karena satu atau lain sebab, dia mengundurkan diri.

Namun, hanya karena tak ingin dianggap terlalu lancang, akhirnya perempuan itu tak bertanya lebih jauh. "Kalau begitu, terima kasih sekali lagi Ki Kusumo. Aku harap kita akan berjumpa lagi. Siapa tahu aku masih bisa membatas budimu...."

"Siapa yang perlu membalas budi? Kau berbicara aneh sekali, Cah Ayu," Kilah Ki Kusumo, matanya menyipit memperlihatkan ketidakmengertian maksud perkataan perempuan di depannya. Di akhir katanya, dia terkekeh. Nyai Cemarasari menjura, hormat.

"Kalau begitu, aku mohon pamit, Ki."

"Ya... ya... ya," Sahut Ki Kusumo enteng.

"Pergilah. Dan kudo'akan agar kau dapat menemukan tabib yang berjodoh denganmu!" Tambahnya.

Seketika itu, Nyai Cemarawangi mengangkat kepalanya. Wajah memeram pertanyaan. ‘Bagaimana dia tahu kalau aku sedang sakit dan bagaimana pula dia tahu kalau sampai sekarang aku belum bertemu dengan tabib yang dapat menyembuhkan penyakitku?’ Bisik hatinya.

Makin kagum saja perempuan itu pada Ki Kusumo. Nyai Cemarawangi baru hendak menanyakan hal itu, Ki Kusumo sudah menggerakkan tangannya.

"Ayo, pergilah.... Pergi...."

Perempuan berpakaian ungu mengulang juranya. Caping yang sejak tadi menggelantung di belakang punggungnya ditempatkan kembali di atas kepala. Dia pun melangkah.

"Ayo, Tresna," Ajak Nyai Cemarawangi pada putrinya, baru saja Tresnasari tiba di sampingnya Keduanya berangkat.

-o0o-

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 5 (Kembar Jelita)

    Tiga sodokan sisi telapak kakinya kembali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bahkan oleh mata lawan yang banyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Terbukti dengan dimenangkannya satu partai pertandingan belum lama.Kepala lawan yang tertutup tudung seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri, kepala orang bertudung tahu-tahu sudah condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki perlente membuat satu putaran dengan bertumpu pada sends lututnya. Seakan hendak dipeluntirnya kepala orang bertudung.Jika orang bertudung hanya menggerakkan lehernya sekali ini, maka tak akan ada kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab, putaran kaki lawan menutup ruang gerak yang bisa dijangkau otot lehernya.Wukh! Tep!Bergerak bagai bayangan, tangan orang bertudung mendadak sontak terangkat, dan disa

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 4 (Kembar Jelita)

    Disana terdapat taman kecil asri. Beberapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di tengah-tengah taman, ada semacam kolam pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau bukan di tempat orang, dia akan segera buka pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bugil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecilnya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke laut lepas di pantai Ketawang....Hey, Angon Luwak terhenyak. Sebagian ingatan masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini, bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali tak terngiang di benaknya. Selagi tertakjub dengan sekelumit ingatannya, perhatian pemuda itu diusik oleh suara tangisan seorang wanita dari balik dinding kayu bangunan. Karena suara tangisan itu begitu halus, Angon Luwak beringsut mendekati dinding kayu di bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.‘Jangan-jangan cuma salah dengar,’ pikirnya.Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar, memang ada seorang perempuan sedang menangis di dalam sana."S

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 3 (Kembar Jelita)

    Di sampingnya, Bupati Kudus turut melangkah terburu. Seorang lelaki menjelang tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya mengembang. Wajahnya bersih dan enak dipandang."Waduh, waduh Gusti Patih, selamat datang!" sambut sang Saudagar, berlebihan.Bagaspati turun dari punggung kuda. Diikuti Angon Luwak dan Tresnasari. Kuda mereka digiring seorang kacung ke kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam, sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Angon Luwak dan Tresnasari untuk melangkah ke pendapa rumahnya.Beberapa undangan di pendapa serentak bangkit dan menghaturkan hormat pada tiga orang tamu yang baru datang. Hidung Angon Luwak kembang-kempis. Baru sekali ini dia merasakan suasana seperti itu. Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya digagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih yang dihormati.‘Sekali-kali, bolehlah bermimpi,’ gumam Angon Luwak dalam hati. Ngaco! Coba ka

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 2 (Kembar Jelita)

    Bagaspati terpaksa tersenyum lagi mendengar cerocos Angon Luwak. Padahal, sebelumnya pemuda itu justru yang tak sabar meminta penjelasan. Sampai akhirnya Angon Luwak menyadari sendiri kebodohannya."He he he, aku terlalu banyak ngomong, ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan malu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).“Kau siap mendengar penjelasanku?" tanya Patih Bagaspati.Angon Luwak mengangguk. Dia tak ingin membiarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang bingung. mulutnya sering kali sulit dikendalikan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon."Begini..." Bagaspati memulai. "Sebenarnya, tindakanku menyelinap di atas wuwungan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendiri....""Ah, masa'!" perangah Angon Luwak. Matanya membesar. Langkahnya terhenti."Ya. Beliau bermaksud menguji kepandaianmu selaku seorang pendekar muda. Lalu, aku diperintah untuk mengujinya.'"Ah, buat apa menguji aku segala" Angon Luwak tak percaya. Benar-benar tak perca

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 1 (Kembar Jelita)

    KERATON Demak di penghujung dini hari. Kekacauan baru saja pupus, berkawal kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Seluruh prajurit Keraton Demak berkumpul di luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peristirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara mereka, mengawasi kejadian di samping satu tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk kekacauan, parasnya sama sekali tak berubah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukannya. Seolah badai hebat pun tak bisa mempengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.Di tengah-tengah pelataran Taman Sari, seorang lelaki berpakaian hitam-hitam tergeletak lemah. Mulut dan hidungnya mengalirkan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh demikian pucat. Menderita sekali tampaknya. Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia berusaha bergerak bangkit.Di atas wuwungan ruang peristirahatan, berdiri seorang pemuda gagah berambut lurus panjang kemerahan hingga sebatas bahu. Dia mengenakan rompi putih dari kulit bin

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   69. Part 21 (Dendam Nini Jonggrang)

    Lagi-lagi Angon Luwak cengar-cengir lugu. Dalam hati, Angon Luwak merasa tak pantas mendapat pujian dari orang besar dan mulia seperti Raden Patah yang sudah berusia cukup lanjut. Kalau mengingat bagaimana masa-masa muda gemilang pendiri Kerajaan Demak itu yang sering didengarnya dari cerita-cerita masyarakat, Angon Luwak merasa tak berarti apa-apa.Pernah Angon Luwak mendengar, masa muda Raden Patah sudah diisi dengan perjuangan tak kunjung padam. Tak kenal letih. Tak kenal waktu. Bahkan sampai kini, di usianya yang sudah cukup tua. Bukan karena dalam dirinya masih mengalir darah raja-raja Majapahit. Melainkan karena keluhuran budi pekertinya dalam godokan pemuka-pemuka masyarakat yang tak diragukan pula keluhuran jiwanya.Membayangkan masa muda Raden Patah; membuat dorongan semangat dalam diri Angon Luwak untuk mengikuti jejaknya.Malam sudah cukup larut. Angon Luwak diberi kamar di dekat ruang pasang-rahan. Tresnasari mendapat kamar tersendiri, berseberangan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status