Hari makin tua.
Sinar merah tembaganya meredup dan terengah-engah. Matahari terkapar disudut barat bumi. Di batas Kadipaten Ketawang, dua perempuan berjalan perlahan menuju arah matahari tenggelam. Mereka adalah Nyai Cemarawangi dan anaknya, Tresnasari.
"Kita membutuhkan kuda untuk sampai di Jogoboyo, Nyai," Kata si gadis ayu baru tumbuh remaja pada ibunya.
"Kenapa? Apa kau tak kuat berjalan sampai ke sana?"
"Bukan begitu. Aku justru iba pada Nyai. Nyai tampaknya makin kehilangan banyak tenaga karena sakit yang mendekam dalam tubuh Nyai," Kata Tresnasari lagi.
Nyai Cemarawangi merangkul anaknya dengan sebelah tangan. Bahu Tresnasari diguncang-guncangkan kecil.
"Aku bersyukur memiliki putri yang sayang terhadapku. Rasanya, kalau kau terus berada di sampingku, berjalan sampai ke ujung bumi aku masih sanggup," Guraunya dengan sebaris senyum di bibirnya yang memucat dan kering.
"Ah, Nyai ini. Aku sedang bicara sungguh-sungguh! Apa tak sebaiknya kita ke desa terdekat dulu untuk mencari dua ekor kuda? Kalau perlu, kita menumpang bermalam. Besok pagi, baru kita lanjutkan lagi perjalanan. Bagaimana?" Cecar Tresnasari, nyaris lupa berhenti.
Sementara mereka terus melangkah, seseorang menguntit keduanya. Sejak mereka meninggalkan pusat Kadipaten Ketawang, orang itu terus mengekori. Sesekali dia bersembunyi di balik pohon atau semak-belukar yang banyak tumbuh di sepanjang jalan setapak. Jika jaraknya sudah cukup aman, dia mulai menguntit lagi. Dari caranya bergerak, tak ada kesan kalau si penguntit adalah orang persilatan.
Gerakannya begitu kasar dan berkesan serampangan. Langkah-langkah kakinya memperdengar-kan bunyi ribut, meskipun tampak lincah. Kalau sudah begitu, tentu saja Nyai Cemarawangi dan Tresnasari akan cepat mengendusi.
"Sejak tadi ada orang menguntit kita terus, Nyai," Bisik Tresnasari.
"Ya-ya, aku tahu."
"Apa perlu kita hadang sekarang?"
"Tak perlu. Tampaknya orang itu tak berbahaya. Lagi pula...."
Nyai Cemarawangi tak meneruskan perkataannya. Dia malah senyum tertahan.
"Kenapa, Nyai? Kenapa?" Desak Tresnasari.
"Lagi pula, aku sudah tahu siapa orang itu." Kening si gadis belia dibuat berkerut.
"Siapa Nyai?" Jawaban Nyai Cemarawangi cuma senyum kecilnya, yang lagi-lagi sengaja ditahan.
"Siapa Nyai? Dan kenapa Nyai malah tersenyum-senyum seperti itu?" Sewot Tresnasari.
"Nanti juga kau tahu."
Tresnasari jadi tak sabar lagi dengan kucing-kucingan ibunya. Dia merajuk. Dengan wajah asam, dihentikannya langkah tiba-tiba. Lalu cepat dibalikkannya tubuh.
Demi melihat salah seorang yang dikuntit mendadak membalikkan tubuh, si penguntit terperanjat bukan alang-kepalang. Serabutan dicarinya tempat persembunyian.
Ada sebatang pohon beringin besar di dekatnya. Ke sana dia berlari. Saking terburu-buru, tak dilihatnya akar pohon merangas di tanah.
Akhirnya.... "E-e-eeeeee!"
Gedubrak! Jatuh juga orang itu dengan posisi tertelungkup. Jidatnya terhantam batang pohon beringin. Orang itu ternyata si bocah sok jago, Angon Luwak.
Apa maunya dia menguntit begitu rupa? Melihat siapa yang sejak tadi menguntit, Tresnasari memasang wajah perangnya. Kalau bisa, ingin dibuat wajah ayunya seseram tampang Batari Durga, perempuan raksasa di pewayangan.
"Mau apa lagi kau?!" Serunya ketus.
Angon Luwak bangkit terseok. Satu tangannya memegangi pinggang. Tangan yang lain mengusap-usap keningnya yang sudah benjut sebesar tempurung dengkulnya sendiri. Bibirnya meringis-ringis berkepanjangan, antara rasa dongkol dibentak Tresnasari dan penderitaannya.
"Apa maumu mengikuti kami, Cah Bagus?" Tanya Nyai Cemarawangi, jauh lebih bersahabat dari pertanyaan anaknya barusan.
"Anu, Bibik... anu...,"
Si bocah berambut kemerahan tak bisa mencari alasan yang tepat satu pun.
Sejak keributan di jalan pusat kadipaten berakhir, dia pamit pada lelaki tua pemilik warung. Orang tua itu sendiri sebenarnya berat melepas Angon Luwak. Di samping dia sudah 'jatuh hati' pada sifat-sifat Angon Luwak, dia juga merasakan keuntungan dari kerja rajin anak itu di tempatnya. Karena Angon Luwak tidak bisa dicegah, pemilik warung yang penuh teka-teki di mata Nyai Cemarawangi itu akhirnya melepas Angon Luwak juga. Dibekalinya anak itu dengan beberapa keping kepeng.
"Anu apa?!" Bentak Tresnasari.
Dengan isyarat, Nyai Cemarawangi memperingati sikap judes anaknya.
"Aku cuma ingin ikut kalian...," Ucap Angon Luwak akhirnya.
"Ikut kami? Bagaimana dengan keluargamu?" Tanya Nyai Cemarawangi. Angon Luwak menggelengkan kepala perlahan. Dia tertunduk. Raut wajahnya berubah mendung. Muram, biarpun dia bukan tergolong bocah cengeng.
"Aku sendiri sampai sekarang tidak tahu apa-apa tentang keluargaku. Bahkan aku tak pernah tahu asal-usul diriku...," Katanya.
Dari desah napasnya, terdengar dia berusaha untuk tidak terbawa perasaan memelasnya sendiri. Itu pula salah satu sifat yang dikagumi Ki Kusumo.
Menilai dari sinar matanya, Nyai Cemarawangi tahu Angon Luwak tidak berdusta. Rasa keibuannya agak tersentuh juga.
"Baiklah. Kau boleh ikut kami...,” katanya memutuskan. Angon Luwak tersenyum senang. Tresnasari cemberut sejadi-jadinya.
-o0o-
"Aku mendengar Pak Tua Kusumo, pemilik warung di pusat kadipaten, mengatakan kalau kau sedang sakit, Bik. Apa benar begitu?"
Angon Luwak bertanya pada Nyai Cemarawangi. Ketika itu mereka bermalam di hutan. Desa terdekat masih cukup jauh. Sementara malam sudah terlalu larut untuk menempuh perjalanan. Karenanya mereka membuat api unggun.
Bocah itu duduk di atas batang pohon kayu tua yang roboh di atas tanah, menghadapi api unggun. Warna merah cahaya api menari-nari di wajah bergaris kokoh Angon Luwak. Berseberangan dengannya, duduk Tresnasari.
Sejak sore gadis tanggung itu terus merajuk. Dia tak mau bicara sepatah pun kalau tidak ditanya. Seperti tidak ingin peduli pada pertanyaan Angon Luwak pada ibunya, Tresna mempermainkan bara api unggun dengan batang pohon kering.
"Ya," Sahut Nyai Cemarawangi berbareng helaan napas.
"Sakit apa, Bik?" Susul Angon Luwak, ingin tahu lebih banyak. Atau mungkin dia hanya ingin berbasa-basi, mengingat gadis sebayanya terus saja memperlihatkan wajah permusuhan. Inginnya dia berbincang-bincang dengan Tresnasari. Pasti banyak bahan obrolan yang bisa dibicarakan oleh sepasang remaja seperti mereka. Tapi, Tresna dingin saja terhadapnya. Jangan lagi bicara, melirik pun tidak. Angon Luwak merasa dirinya hanya dianggap kentut.
Helaan napas Nyai Cemarawangi terdengar lagi. Lebih berat dan berbeban dari sebelumnya. Sambil meluruskan kaki, pandangan perempuan itu menerawang.
"Entahlah.... Aku sudah berusaha mencari tabib yang dapat menyembuhkanku. Namun sampai sekarang, penyakitku tetap tak terobati. Aku tetap saja makin payah," Jawabnya kemudian.
Ketiganya hening.
Angon Luwak hanya bisa menatap iba wajah perempuan empat puluhan yang kian memucat dalam sapuan lamat cahaya api unggun itu.
Diam-diam, Angon Luwak kagum juga terhadap diri Nyai Cemarawangi. Wajahnya tak sedikit pun membersitkan rasa kekalahan. Sinar matanya bahkan memperlihatkan seolah dia siap ditantang penyakitnya sendiri untuk melakukan apa pun. Tak ada keluh di sana.
"Hendak ke mana kau?!" Bentak Ki Kusumo, baru saja empat langkah Angon Luwak menjejakkan kaki di atas pasir pantai.Mendadak saja, tubuh Angon Luwak sulit digerakkan. Bukan cuma sepasang kakinya yang memberat seperti dipaku langsung ke dalam bumi, tubuhnya pun sulit digerakkan. Anak itu mematung dalam posisi orang melangkah, membelakangi Ki Kusumo."Kalau kau ingin terus berdiam diri di situ sampai beberapa hari, kau boleh menolak ajakanku sekarang," Ancam Ki Kusumo. Main-main tentunya. Angon Luwak tidak menyahut. Meski Ki Kusumo tidak membuat otot mulutnya kaku juga."Aku cuma ingin bicara padamu. Apa salahnya?" Bujuk Ki Kusumo."Salahnya, kau terlalu memaksa Pak Tua," Ucap Angon Luwak akhirnya, keras kepala."Tapi aku ingin membicarakan satu hal penting.""Tapi mestinya kau menanyakan dulu padaku, apakah aku mau kau ajak bicara atau tidak," Sengit Angon Luwak.Si orang tua yang sampai saat itu belum diketahui jati diri sesungguhnya
"Kau yang menyebabkan Nyai terluka parah, Kambing Buduk Brengsek!" Makinya seperti suara orang hendak menangis."Sudahlah, Cah Ayu...," Ki Kusumo mencoba menengahi. Kalau tidak, pasti satu jotosan bersarang empuk kembali di wajah Angon Luwak. Bisa jadi juga berkali-kali. Mungkin sampai Angon Luwak pingsan lagi. Siapa tahu? Masih dengan dada turun-naik dibakar kegusaran, si dara tanggung meninggalkan gubuk.Pintu dikuaknya lebar-lebar, membiarkan sinar matahari lancang menerobos masuk. Mata Angon Luwak menyipit, silau diterjang sinar terang."Apa yang terjadi dengan Bibik, Pak Tua?" Tanya Angon Luwak tergesa, ketika terngiang hardikan Tresnasari terakhir."Ibu perempuan itu yang kau maksud?"Ki Kusumo meminta kejelasan seraya menyerahkan gelas bambu pada Angon Luwak. Angon Luwak menerima. Sambil menyambut sodoran gelas bambu tadi, ditunggunya jawaban orang tua yang sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam mangkuk tanah liat dengan tangan kanannya.
Darah hitam termuntah dari mulutnya. Kalau saja dia tak dalam keadaan sakit, tentu luka dalam yang dideritanya tak akan separah itu. Tresnasari meraung-raung memanggil-manggil ibunya. Dari tempatnya berdiri, dia berlari memburu Nyai Cemarawangi! Tiba di dekatnya, disergapnya tubuh perempuan itu sambil bersimpuh."Nyai tidak apa-apa?" Tanya gadis ayu itu tersendat-sendat dihadang isak.Air mata membasahi kedua pipi kemayunya. Ibunya tak bisa menjawab, kecuali menggelengkan kepala. Dia ingin meyakinkan anaknya kalau keadaan dirinya tak perlu dikhawatirkan.Sayang, darah kehitaman yang terus merembes keluar dari sela-sela bibir pucatnya mengatakan suatu yang lain. Beranglah Tresnasari. Cepat dicabutnya kembali sepasang belati dari ikat pinggang. Dia bangkit dengan wajah mengeras."Orang itu harus membayar perlakuannya terhadap Nyai," Geramnya."Jjj... jangan, Tresna...."Sang ibunda hendak menahan. Tresnasari sudah telanjur berlari menghambur k
Orang tua sakti misterius itukah yang telah sengaja menyalurkan tenaga dalamnya ke diri Angon Luwak hingga membuatnya sanggup bertahan terhadap terjangan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan Dirgasura dalam bentakannya? Ah, Ki Kusumo sendiri saat itu malah sedang sibuk menggeleng-gelengkan kepala. Biar mampus disambar capung, dia terheran-heran menyaksikan si bocah sehat wal'afiat.Padahal Ki Kusumo sudah mengukur kekuatan teriakan bertenaga dalam kedua Dirgasura. Teriakan itu lebih kuat dari sebelumnya. Mestinya, keadaan Angon Luwak akan semakin parah. Bahkan bisa-bisa pula tak sadarkan diri.Semalam dia dibuat bertanya-tanya dalam hati karena si bocah yang ditaksirnya hendak dijadikan murid ternyata sanggup mengalahkan 'sirap'nya. Kini terjadi hal lain lagi. Benar-benar tak bisa dimengerti!Merasa telah dikelabui dari awal, Dirgasura jadi penasaran. "Siapa kau sebenarnya?" Tanya Dirgasura, ditujukan pada Angon Luwak.Angon Luwak tak memperhatikan. Dia
Sementara sekumpulan orang yang menjadi sasaran rambahan serbuk tadi di udara, tak pernah menyadari bahwa tangan-tangan maut siap menjemput! Mereka hanya menatap tak mengerti dengan wajah penuh tanda tanya. Sampai akhirnya beberapa orang pertama terkena tebaran serbuk. Teriakan mereka memecah keheningan suasana dan keheningan pagi muda.Kala itulah yang lain menyadari kalau serbuk tadi adalah racun ganas. Sayang, mereka sudah terlambat untuk menghindar. Tak ada beberapa tarikan napas saja, seluruh prajurit malang tadi sudah menggelepar-gelepar di lapangan rumput yang masih dilembabi embun. Kulit mereka berubah memerah laksana terpanggang. Ketika tangan mereka menggaruk-garuk liar, kulit pun mengelupas. Mereka bergelinjangan terus. Saling tindih, saling menyentak. Sampai akhirnya, racun yang terserap kulit mereka digiring aliran darah dan sampai ke jantung. Jantung mereka terbakar.Seluruh prajurit tewas! Saat itulah, entah bagaimana salah seorang dari mereka ternyata l
Wrrr....!Krakh!Ketika gulungan tubuh Tresnasari terbuka, sebelah kakinya menghentak amat keras ke tengah-tengah batang tombak. Tombak terpatah dua. Patahannya memburu deras ke arah tubuh lelaki bengis.Creph! "Ukh!"Hanya sempat memperdengarkan hentakan napas teramat pendek tercekat, si lelaki bertubuh kekar ambruk dengan leher tertembus patahan batang tombak dari samping!"Kau tak perlu berbuat itu padanya, Tresna...," Tegur Nyai Cemarawangi."Tapi dia pantas menerimanya. Apa Nyai tak lihat sifatnya tak lebih baik dari binatang?" Kilah Tresna.Si perempuan menjelang tengah baya menggeleng-gelengkan kepala lamat."Bocah perempuan keparat!!!"Sebuah suara lantang melantun kasar. Dedaunan bergemerisik. Sebagian berguguran. Tubuh Angon Luwak tersentak kejang. Pertahanan anak tak berbekal ilmu bela diri itu langsung ambrol. Dia jatuh berlutut dalam keadaan menggigil.Tresnasari pun tersentak.Cuma dia tak sep