MasukBunyi gemeritik bara api yang dimainkan Tresnasari terdengar, ditingkahi derik ramai jangkrik di kejauhan. Nyai Cemarasari merebahkan tubuhnya yang demikian penat dan lunglai di atas rumput. Dengan caping, diganjalnya kepalanya. Tampaknya dia mulai mengantuk. Keadaan tubuhnya memang tak memungkinkan dia bertahan tidak tidur terlalu lama. Dia butuh istirahat.
"Tidurlah lebih dulu, Nyai. Biar aku berjaga-jaga," Kata Tresnasari, memecah kebungkaman dirinya sendiri.
Nyai Cemarasari tersenyum rapuh. Dia tahu benar anaknya sedang dilanda kasmaran. Namun karena ini masalah cinta pertamanya, gadis remaja itu malah tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya cuma muncul kekesalan pada diri Angon Luwak. Meski tanpa alasan sama sekali.
"Anak muda... anak muda..," Bisik Nyai Cemarasari, samar sekali, sambil menatap anak gadisnya.
Malam beringsut lagi.
Angon Luwak duduk memeluk lutut. Dingin bukan main. Pakaiannya yang sudah usang dan koyak-moyak sudah tak cukup untuk mengenyahkan dingin. Matanya sejak tadi sudah meredup-redup diserbu kantuk. Hanya dia berusaha terus untuk melawannya, kantuk itu akhirnya minggat sendiri. Dia tak boleh tertidur, pikirnya. Sebab Nyai Cemarasari sudah terpulas. Sementara Tresnasari mulai terkantuk-kantuk.
Sesekali Angon Luwak menambahkan dahan pohon kering ke api unggun yang mulai meredup. Sewaktu menatap Nyai Cemarasari, Angon Luwak jadi terbayang pada seorang perempuan setengah baya yang mati tergeletak di dekatnya ketika dia tersadar dari pingsan, seusai badai.
Sampai sekarang, bocah dekil itu tidak ingat siapa wanita itu sebenarnya. Apa hubungan dengan dirinya? Mungkinkah wanita setengah baya itu ibunya? Sampai detik itu juga, Angon Luwak tetap tak ingat asal-usul dirinya.
Suatu ketika, terdengar semliweran halus dari belakang tubuh bocah itu. Angon Luwak tersentak. Kepalanya menoleh cepat. Dan dia terpana saat itu juga. Disaksikannya sesosok tubuh sedang melenting-lenting ringan di atas dahan-dahan pepohonan.
Bagai tertenung, Angon Luwak terpaku tanpa berkedip. Ditatapinya terus bayangan tadi, sosok yang terus bergerak demikian lincah melebihi seekor kera pohon menuju arahnya.
Yang lebih membuat bocah itu terpana-pana lagi, sosok itu bahkan membuat satu ranting setipis batang lidi untuk jejakannya.
Jleg!
Dengan suara teramat halus, sosok itu hinggap tepat di depan Angon Luwak. Seorang lelaki tua berpakaian hitam-hitam longgar. Bersabuk kulit buaya dan berikat kepala kain warna hitam pula.
Manakala menyaksikan wajahnya, Angon Luwak dibuat bertambah terperanjat. Rambut putih sebatas bahu itu, kumis putih lebat itu. Alis mata yang tumbuh jarang dan gurat-gurat ketuaan di wajahnya itu....
"Pak Tua Kusumo?" Desis Angon Luwak tak percaya.
"Apa kabar, Bocah?" Sapa lelaki tua itu, yang ternyata Ki Kusumo, pemilik kedai tempat Angon Luwak bekerja beberapa hari lalu di pusat Kadipaten Ketawang.
Hanya pakaian orang tua itu yang kini berbeda dari yang dilihat sebelumnya. Sambil tersenyum didekatinya Angon Luwak. Dia duduk tepat di batang pohon sebelah bocah dekil itu.
"Aku bawa empat ekor ayam hutan gemuk untuk makan malam kita," Katanya enteng tanpa takut membangunkan dua wanita yang kini sudah terpulas. Lalu diangkatnya tangan kanan. Ada empat ekor ayam jantan mati.
"Cepat kau siangi!"
Angon Luwak menerima empat ekor ayam tadi dengan mata terus menatapi wajah Ki Kusumo Selesai menyiangi, dipanggangnya empat ekor ayam itu di atas api unggun. Tak begitu lama, sudah tercium bau sedap ayam bakar.
"Kita akan makan besar!" Seru Ki Kusumo.
Yang membuat Angon Luwak heran, dua wanita yang tertidur sama sekali tak terusik dengan seruan yang sebenarnya tergolong keras itu. Apalagi dilakukan Ki Kusumo di dekat mereka berdua.
"Kenapa kau terus menatapi aku seperti itu, Bocah?" Tanya Ki Kusumo, mendapati Angon Luwak terus saja memperhatikannya seolah benda ajaib yang baru saja jatuh dari langit. Angon Luwak menggelengkan kepala, entah apa maksudnya. Alis jarang Ki Kusumo bertaut.
"Kau tak tahu alasanmu menatapi aku seperti itu?" Perangahnya.
"Oh, itu Pak Tua Kusumo...."
Bocah itu terkesiap sesaat. Dia akhirnya menyadari sikap bodohnya.
"Aku cuma tak percaya kalau aku benar-benar telah bertemu dengan orang tua pemilik warung itu," Sambungnya, setelah cukup mampu menguasai rasa herannya.
Ki Kusumo terkekeh. Cukup keras. Dan lagi-lagi itu tak menyebabkan Nyai Cemarawangi dan Tresnasari terbangun. Sambil melirik dua wanita itu, Angon Luwak menambahkan pertanyaan.
"Aku juga tak percaya, bagaimana mereka bisa tak terbangun sementara kau begitu enak bicara dan tertawa," Ungkapnya seperti bergumam.
"Jangan-jangan, aku cuma bermimpi. Dan kau pun cuma bagian dari mimpiku."
Kembali Ki Kusumo terkekeh keras.
"Kau tidak sedang bermimpi, Cah Bagus! Mereka memang telah aku 'sirap'..."
"Sirap?"
"Ah, itu semacam keahlian yang bisa membuat orang tertidur pulas."
Angon Luwak terbengong-bengong tak mengerti.
"Asal kau tahu saja. Sebenarnya, kau pun kujadikan sasaran 'sirap'ku. Sialnya, kau seperti tak mempan. Aku heran, bagaimana bocah seperti kau mampu melawan pengaruh sirapku...," Tambah Ki Kusumo seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Di pancar matanya terbetik rasa kagum pada kemampuan si bocah tanggung untuk melawan rasa kantuk yang disebabkan oleh pengaruh sirapnya. Buat seorang bocah yang tak memiliki kepandaian kedigdayaan sedikit pun seperti Angon Luwak, sebenarnya hal itu sungguh luar biasa.
Orang berkepandaian saja masih jarang yang bisa menahan pengaruh 'sirap'nya, kecuali beberapa orang yang memiliki kesaktian tingkat tertentu, Rahasia yang menyebabkan Angon Luwak dapat melawan pengaruh 'sirap'nya membuat Ki Kusumo dibuat penasaran. Sedangkan Angon Luwak masih juga terbengong-bengong tak mengerti.
Ki Kusumo memiliki nama asli Raden Giri Kusumo. Dia adalah seorang ningrat dari Singasari. Sejak mudanya, dia gemar mengembara ke berbagai daerah untuk memperdalam ilmu kedigdayaan dan ketabiban. Banyak daerah telah dikunjunginya. Bahkan dia pernah memburu satu ramuan obat-obatan hingga ke Tibet.
Selama bertahun-tahun dia berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Beragam obat-obatan, seni pijat, ilmu ketabiban hingga ilmu kanuragan selama itu pula didapatnya. Menjelang berusia empat puluh tahun, Raden Giri Kusumo kembali ke tanah Jawa. Namanya kemudian harum sebagai salah seorang Tabib Tangan Dewa kepercayaan kalangan Kerajaan Majapahit yang kala itu mencapai puncak keemasan di bawah kekuasaan Prabu Rajasanegara atau Hayam Wuruk.
Namun karena sifatnya yang tak ingin terikat oleh apa pun, pihak kerajaan tak bisa memintanya untuk menjadi tabib istana. Karena sifat tak ingin terikat pula, Raden Giri Kusumo melepas gelar darah birunya. Dia hanya memakai nama Kusumo saja.
Tiga sodokan sisi telapak kakinya kembali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bahkan oleh mata lawan yang banyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Terbukti dengan dimenangkannya satu partai pertandingan belum lama.Kepala lawan yang tertutup tudung seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri, kepala orang bertudung tahu-tahu sudah condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki perlente membuat satu putaran dengan bertumpu pada sends lututnya. Seakan hendak dipeluntirnya kepala orang bertudung.Jika orang bertudung hanya menggerakkan lehernya sekali ini, maka tak akan ada kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab, putaran kaki lawan menutup ruang gerak yang bisa dijangkau otot lehernya.Wukh! Tep!Bergerak bagai bayangan, tangan orang bertudung mendadak sontak terangkat, dan disa
Disana terdapat taman kecil asri. Beberapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di tengah-tengah taman, ada semacam kolam pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau bukan di tempat orang, dia akan segera buka pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bugil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecilnya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke laut lepas di pantai Ketawang....Hey, Angon Luwak terhenyak. Sebagian ingatan masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini, bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali tak terngiang di benaknya. Selagi tertakjub dengan sekelumit ingatannya, perhatian pemuda itu diusik oleh suara tangisan seorang wanita dari balik dinding kayu bangunan. Karena suara tangisan itu begitu halus, Angon Luwak beringsut mendekati dinding kayu di bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.‘Jangan-jangan cuma salah dengar,’ pikirnya.Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar, memang ada seorang perempuan sedang menangis di dalam sana."S
Di sampingnya, Bupati Kudus turut melangkah terburu. Seorang lelaki menjelang tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya mengembang. Wajahnya bersih dan enak dipandang."Waduh, waduh Gusti Patih, selamat datang!" sambut sang Saudagar, berlebihan.Bagaspati turun dari punggung kuda. Diikuti Angon Luwak dan Tresnasari. Kuda mereka digiring seorang kacung ke kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam, sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Angon Luwak dan Tresnasari untuk melangkah ke pendapa rumahnya.Beberapa undangan di pendapa serentak bangkit dan menghaturkan hormat pada tiga orang tamu yang baru datang. Hidung Angon Luwak kembang-kempis. Baru sekali ini dia merasakan suasana seperti itu. Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya digagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih yang dihormati.‘Sekali-kali, bolehlah bermimpi,’ gumam Angon Luwak dalam hati. Ngaco! Coba ka
Bagaspati terpaksa tersenyum lagi mendengar cerocos Angon Luwak. Padahal, sebelumnya pemuda itu justru yang tak sabar meminta penjelasan. Sampai akhirnya Angon Luwak menyadari sendiri kebodohannya."He he he, aku terlalu banyak ngomong, ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan malu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).“Kau siap mendengar penjelasanku?" tanya Patih Bagaspati.Angon Luwak mengangguk. Dia tak ingin membiarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang bingung. mulutnya sering kali sulit dikendalikan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon."Begini..." Bagaspati memulai. "Sebenarnya, tindakanku menyelinap di atas wuwungan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendiri....""Ah, masa'!" perangah Angon Luwak. Matanya membesar. Langkahnya terhenti."Ya. Beliau bermaksud menguji kepandaianmu selaku seorang pendekar muda. Lalu, aku diperintah untuk mengujinya.'"Ah, buat apa menguji aku segala" Angon Luwak tak percaya. Benar-benar tak perca
KERATON Demak di penghujung dini hari. Kekacauan baru saja pupus, berkawal kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Seluruh prajurit Keraton Demak berkumpul di luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peristirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara mereka, mengawasi kejadian di samping satu tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk kekacauan, parasnya sama sekali tak berubah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukannya. Seolah badai hebat pun tak bisa mempengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.Di tengah-tengah pelataran Taman Sari, seorang lelaki berpakaian hitam-hitam tergeletak lemah. Mulut dan hidungnya mengalirkan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh demikian pucat. Menderita sekali tampaknya. Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia berusaha bergerak bangkit.Di atas wuwungan ruang peristirahatan, berdiri seorang pemuda gagah berambut lurus panjang kemerahan hingga sebatas bahu. Dia mengenakan rompi putih dari kulit bin
Lagi-lagi Angon Luwak cengar-cengir lugu. Dalam hati, Angon Luwak merasa tak pantas mendapat pujian dari orang besar dan mulia seperti Raden Patah yang sudah berusia cukup lanjut. Kalau mengingat bagaimana masa-masa muda gemilang pendiri Kerajaan Demak itu yang sering didengarnya dari cerita-cerita masyarakat, Angon Luwak merasa tak berarti apa-apa.Pernah Angon Luwak mendengar, masa muda Raden Patah sudah diisi dengan perjuangan tak kunjung padam. Tak kenal letih. Tak kenal waktu. Bahkan sampai kini, di usianya yang sudah cukup tua. Bukan karena dalam dirinya masih mengalir darah raja-raja Majapahit. Melainkan karena keluhuran budi pekertinya dalam godokan pemuka-pemuka masyarakat yang tak diragukan pula keluhuran jiwanya.Membayangkan masa muda Raden Patah; membuat dorongan semangat dalam diri Angon Luwak untuk mengikuti jejaknya.Malam sudah cukup larut. Angon Luwak diberi kamar di dekat ruang pasang-rahan. Tresnasari mendapat kamar tersendiri, berseberangan







