Share

Jati Diri Yang Terkubur

Arya Santanu menyandarkan tubuhnya di sebuah batang pohon. Ia sangat kelelahan setelah berjalan mendaki jalan setapak yang lumayan curam. Puncak gunung api masih berada jauh di atas. Hari pun hampir gelap. Dewi Sari Kencana yang menemaninya memilih untuk mencari beberapa kayu bakar dan iman di danau yang tidak jauh dari tempat mereka beristirahat.

"Seharusnya kita bisa menggunakan sayap api dan langsung mendarat tepat di pinggir kawah." Arya Santanu mengeluh.

"Kau kira kekuatanku itu tidak terbatas?! Aku juga butuh istirahat untuk bisa mengeluarkan sayap itu!" Asura merasa kesal.

"Sebenarnya, di mana letak pusaka itu? Apa ia berada di tengah kawah yang dikelilingi oleh kolam lahar?" Arya Santanu merasa penasaran.

"Jangan terlalu banyak berkhayal! Bagaimana mungkin pusaka itu di letakkan di tempat yang mudah terlihat, hah?!" Asura memarahi pemuda bodoh itu.

"Kukira dewa agak sedikit malas, jadi ia berpikir untuk meletakkannya di sembarang tempat yang mudah untuk diambil." Arya Santanu memilih untuk memejamkan kedua matanya.

Asura yang keluar dari tubuh Arya Santanu dan menjelma sebagai burung merpati berwarna merah menyala menoleh ke arah kiri dan kanan. Ia menanyakan ke mana Dewi Sari Kencana dalam benaknya.

"Apa wanita itu tersasar?" Asura sangat khawatir.

Tidak lama berselang, Dewi Sari Kencana kembali dengan membawa tangkapan ikan yang lumayan banyak. Ia juga membawa beberapa kayu bakar untuk memasak dan membuat api unggun.

"Hei, bodoh! Cepat bangun! Kau menyuruh seorang wanita untuk memancing dan mencari kayu bakar?!" Asura kesal. Ia segera mengacak-acak wajah Arya Santanu.

BRUUUAAAH!!!

"Kau itu kenapa, sih?! Bulumu rontok di wajahku!" Arya Santanu bergegas bangun. Ia menoleh ke arah Dewi Sari Kencana.

"Dari pada hanya tidur saja, bantu aku untuk membakar ikan ini." Dewi Sari Kencana menyusun beberapa kayu bakar.

"Baiklah …." Arya Santanu tidak bisa bergeming.

Langit mulai meredup. Surya perlahan kembali ke peraduannya. Wilayah di kaki gunung api mulai terlihat gelap. Untungnya, api unggun sudah menyala. Ikan yang dipancing oleh Dewi Sari Kencana pun sedang berada di atas api yang membara.

"Tadi aku bertemu dengan seorang kakek tua. Ia bertanya tentang keperluanku datang ke gunung api ini. Aku tidak terlalu curiga, namun ia mengenakan jubah putih, berambut putih panjang, memiliki jenggot putih menjuntai hingga ke dada, serta membawa tongkat kayu setinggi pinggul. Menurut kalian, siapa kakek tua itu?" Dewi Sari Kencana membalik sisi ikan yang belum dibakar.

"Mungkin orang asing yang sedang beristirahat saja?" Arya Santanu menjawabnya dengan ragu.

"Tidak … ia bukan orang biasa. Ada cerita tentang juru kunci yang memiliki perawakan seorang kakek tua pembawa tongkat. Ia pasti tahu tentang keberadaan pusaka dewa yang bersemayam di gunung api ini." Asura merasa takut dengan intuisi yang ia miliki.

Terakhir kali ia bertemu dengan seorang Petapa, ia justru di segel di dalam batu hitam. Ternyata Petapa tersebut adalah seorang Dewa.

"Bila benar begitu, maka kita tidak bisa membiarkannya pergi. Ia sedang duduk di sisi lain danau tersebut. Apa kita harus menemuinya?" Dewi Sari Kencana menoleh ke arah Arya Santanu dan Asura.

"Kalau begitu ayo!" Asura mulai mengepakkan sayap mungilnya.

Namun, Arya Santanu memilih untuk menyantap ikan bakarnya dahulu. Perutnya telah berbunyi berkali-kali. Ia tidak sanggup menahan lapar lagi. Arya Santanu mengabaikan ajakan keduanya.

"Kau tidak ikut?" Dewi Sari Kencana bertanya.

"Tidak. Kalian saja sana. Aku tetap di sini saja." Arya Santanu merobek daging ikan bakarnya dan menyantapnya.

Dewi Sari Kencana dan Asura pun segera pergi meninggalkan Arya Santanu. Mereka menyusuri gelapnya area pinggir danau. Dengan menggunakan api miliknya, Asura memandu Dewi Sari Kencana untuk mencari si kakek tua itu.

Tiba-tiba, di tempat Arya Santanu bersantai, seorang kakek tua dengan ciri-ciri seperti yang dijelaskan oleh Dewi Sari Kencana muncul. Ia duduk tepat di samping Arya Santanu dan meminta sedikit makanan untuk dirinya.

"Tolong beri aku satu ikan. Aku belum makan sejak petang tadi." Kakek itu memohon.

"Ka-kau?! Dari mana kakek munculnya? Kenapa tiba-tiba bisa duduk di situ?" Arya Santanu merasa bingung.

Bodohnya, ia bahkan tidak berpikir bila kakek di depannya adalah orang yang sedang dicari oleh para temannya. Arya Santanu malah memberikan satu ikan bakar yang baru saja diangkat dari atas api. Ia mempersilakan sang kakek untuk menyantap ikan bakar tersebut.

"Enak sekali! Sungguh … terakhir kali aku makan seenak ini mungkin sudah sangat lama." Sang kakek tersenyum. Ia terus melahap cepat ikan bakarnya.

"Pelan-pelan, Kek. Nanti bisa tersedak, lalu kalau tiba-tiba nanti mati malah jadi merepotkanku." Arya Santanu asal bicara.

Kakek itu berhenti pada suapan terakhirnya. Ia menoleh ke arah Arya Santanu. Tatapannya begitu dalam, namun hal tersebut justru malah membuat Arya Santanu risih. Ia menebak bila sang kakek ingin mengatakan sesuatu kepadanya.

"Kakek mau bicara?" Arya Santanu menghentikan makannya.

"Ada urusan apa kau ke gunung api ini?" Kakek tua itu akhirnya bertanya.

"Aku ingin mengambil pusaka dewa yang bersemayam di gunung api ini." Arya Santanu menatap kedua mata kakek itu.

Sang kakek tersenyum. Ia seakan meremehkan tujuan dari Arya Santanu. Tanpa di duga, tongkat kayu yang di bawa oleh sang kakek bergerak dan bangun berdiri dalam posisi tegak lurus. Sang kakek merasa bingung. Ia melihat tongkatnya seperti menunduk ke arah Arya Santanu.

"Ka-kakek? Apa tongkat itu punya roh di dalam tubuhnya? Kenapa ia bisa menunduk seperti itu?" Arya Santanu malah ketakutan.

"Aku juga heran. Kenapa ia menunduk?" Sang kakek langsung menoleh tajam ke arah Arya Santanu.

Ia mencengkeram satu tangan dari Arya Santanu dan menusukkan sebuah jarum kecil panjang ke kulit lengan pemuda itu.

AW!!

"Kakek?!"

Arya Santanu kebingungan.

Kakek tua itu langsung meneteskan darah yang berada di ujung jarum ke ujung atas tongkat kayu miliknya. Ia ingin tahu apa yang akan terjadi.

"Kakek? Kakek!"

Arya Santanu memanggil sang kakek berkali-kali. Namun ia tidak dihiraukan oleh kakek tua itu.

Tongkat kayu tersebut berubah warna menjadi seputih gading gajah. Dalam hentakan sekali saja, sang kakek dan Arya Santanu di bawa ke sebuah era dahulu. Perang berkecamuk tepat di hadapan Arya Santanu. Ia melihat beberapa prajurit gugur dengan darah berceceran di mana-mana.

Organ dalam saling terurai dari tubuh pemiliknya. Teriakan, rintihan dan jeritan meronta-ronta didengar dan dilihat oleh kedua netra Arya Santanu. Ia tidak mengerti kenapa dirinya berada di zaman itu. Ia juga tidak tahu sebenarnya yang berada di hadapannya adalah perang apa?

"Ini perang seratus tahun yang lalu. Era di mana kerajaan Nuswapala menghabisi kerajaan kecil lainnya dengan bantuan kekuatan tiga belas iblis. Simbol di bendera panji salah satu kerajaan itu adalah simbol dari iblis Maghanada Indrajit. Lalu bendera panji yang berkibar satunya adalah milik raja Aji Kala Karna." Kakek tua itu menunjukkan semua yang ia tahu mengenai perang seratus tahun yang lalu.

"Lu-luar biasa … jadi ini kejadian seratus tahun yang lalu?" Arya Santanu tercengang.

Tiba-tiba, mereka berdua ditarik ke tempat lain lagi. Kali ini yang berada di hadapan mereka adalah seorang Petapa tua dengan seorang iblis api bertanduk dua. Sang iblis bersimpuh dan berlutut di hadapan sang Petapa. Ia meminta belas kasihnya. Namun, sang Petapa seakan diam dan menutup telinga dan matanya. Ia memilih menyegel iblis tersebut di dalam batu hitam besar dengan menyelimutinya menggunakan segel kuno para dewa.

Sang Petapa juga mengubah tempat tersebut menjadi sebuah gunung dan gua. Area luas yang sebelumnya tandus karena terbakar akibat perang, telah berubah ditumbuhi oleh beberapa pepohonan yang lebat.

"Tu-tunggu dulu, bukannya itu adalah Asura? Lalu, ini bukannya daerah Kulon Anyar?!" Arya Santanu baru sadar akan suasana di sekitarnya.

"Ini aneh, kenapa darahmu bisa membawa kita berdua menuju ke era ini? Siapa kau sebenarnya?" Kakek tua itu menoleh ke arah Arya Santanu.

"Hah? A-Aku tidak mengerti. Apa maksudmu?" Arya Santanu memasuki gua tempat ia pertama kali menemukan batu hitam besar.

Ia tidak mengira bila sang Petapa sedang duduk bersila di atas batu tersebut. Petapa tua itu membuka kedua matanya dan menatap lurus ke arah Arya Santanu.

"Kau tidak seharusnya berada di sini saat ini. Tunggu hingga seratus tahun berlalu, maka kembalilah ke gua ini. Makhluk yang berada di dalam batu ini memerlukan bantuanmu, wahai pangeran Nuswapala." Petapa itu menjelaskan semuanya.

Arya Santanu terkejut. Ia dipanggil sebagai pangeran Nuswapala. Tanpa ia sangka, rupa dan pakaiannya telah berubah mengenakan sebuah pakaian kerajaan. Ia menoleh ke arah genangan air yang tidak jauh dari letak batu hitam itu. Wajah dari Arya Santanu masih sama, namun pakaian dan mahkota yang berada di atas kepalanya menyiratkan bila ia adalah seorang pangeran.

"Ba-bagaimana mungkin?" Arya Santanu terkejut.

"Apa maksudmu? Kau datang kemari untuk meminta pengampunan atas temanmu, Asura, bukan? Lihatlah, dadamu yang terluka parah. Kau berpikir masih ingin mengasihani iblis ini dari pada dirimu sendiri yang sedang sekarat?" Petapa itu menunjuk dada Arya Santanu yang berdarah.

Tiba-tiba tubuh Arya Santanu lemas. Ia tersungkur ke tanah. Darah mengalir keluar menggenangi permukaan gua. Arya Santanu merasa ada yang salah. Pertanyaan singkat terbesit di benaknya, kenapa ia bisa menjadi orang lain di era seratus tahun yang lalu?

"Ka-kakek … apa yang sebenarnya terjadi?" Arya Santanu menoleh ke arah sang kakek tua.

"Kau adalah pangeran Nuswapala di masa lalu. Ia sepertinya telah bereinkarnasi menjadi dirimu. Atau justru kau dan sang pangeran adalah dua orang yang sama. Karena itu, hanya kau seorang yang bisa membuka segel dari batu hitam yang memenjarakan Asura." Kakek tua itu merasa bingung.

Ia segera menarik kembali tubuh Arya Santanu melewati batas waktu yang ada. Keduanya akhirnya kembali ke tempat mereka berada sebelumnya.

Arya Santanu merasa terengah-engah. Napasnya tidak beraturan. Ia langsung memeriksa dadanya. Untungnya luka tersebut telah menghilang.

"Kakek, apa yang baru saja terjadi?" Arya Santanu menoleh ke arah pria tua itu.

"Kau kemungkinan besar adalah inkarnasi dari pangeran Nuswapala yang telah tewas di gua itu. Inkarnasi berbeda dengan reinkarnasi. Inkarnasi adalah proses nitis atau lahir kembali yang seutuhnya. Di mana jiwa yang berada di masa lalu kembali hidup dengan tubuh baru, di kesempatan yang baru dan ia bisa menentukan mau di tubuh mana ia berada. Bila dugaanku benar, maka ramalan yang sudah dinubuatkan selama seratus tahun akan menjadi kenyataan." Kakek itu merasa khawatir.

"Apa maksudmu? Ramalan apa? Dan aku siapa sebenarnya?" Arya Santanu terbelalak. Ia merasa bingung dan heran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status