Di halaman belakang pondok utama, terdapat pondok kecil yang menghadap kolam ikan. Di dalam pondok tersebut, terdapat beberapa kursi dan dan sebuah meja yang kayu dengan ukiran kepala harimau.Ningrum mempersilakan Surya Yudha duduk di kursi yang paling dekat dengan jendela, sementara dirinya menempati kursi yang terletak tepat di samping kursi Surya Yudha. Surya Yudha memperhatikan riak-riak kecik yang timbul akibat gerakan-gerakan ikan yang berenang di dalamnya. Senyum pemuda itu kembali terulas, menyebabkan wajah Ningrum merah merona. Gadis itu menutupi wajahnya dengan kipas yang ia selipkan di pinggang. "Apa ada yang salah?" tanya Surya Yudha saat melihat Ningrum menutupi wajah dengan kipas.Ningrum tak menjawab, hanya menggeleng ringam."Ningrum, aku adalah seorang prajurit, kehidupanku akan dihabiskan untuk mengabdi pada kerajaan. Apa kau masih mau menerimaku?" tanya Surya Yudha tiba-tiba.Ningrum berkerut kening, "bukankah kau sudah dicopot? Bagaimana kau bisa kembali menja
Tiga hari setelah pertemuan antara Ki Antasena, Tumenggung Adhyaksa, Ki Arya Saloka dan Surya Yudha. Mereka saat ini kembali berkumpul di gerbang kota batu ceper.Surya Yudha dan Ki Arya Saloka kembali melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Raga Geni yang terletak di kerajaan Jaluh Pangguruh.Ningrum memberikan sehelai kain berwarna coklat dengan sulaman motif bunga dan lidah api di bagian ujung kain tersebut. "Aku menyulam sendiri sapu tangan ini. Harap Kangmas menyimpannya untukku."Surya Yudha mengangguk pelan sebelum meraih sapu tangan itu dan memandanginya saksama. "Sangat indah. Aku akan menjaganya."Surya Yudha melipat sapu tangan tersebut dan menyimpannya di balik ikat pinggangnya. Perlahan Surya Yudha meraih kedua tangan Ningrum dan menggenggamnya erat. "Tiga tahun, dalam tiga tahun pasti aku akan kembali.""Tentu saja. Jika kau tidak kembali, maka hingga ujung dunia pun aku akan mencarimu, Kangmas."Sepasang muda-mudi yang belum terikat dalam benang pernikahan itu tertawa.
Di bawah derasnya guyuran hujan, Surya Yudha mengibaskan pedangnya ke sana kemari, membuat para bandit yang kini sudah mengepungnya tak bisa mendekat lebih jauh. Bintang, kuda hitam yang ditunggangi Surya Yudha seperti sudah mengerti jalan pikiran majikannya. Dengan ganas kuda tersebut berputar untuk mencari celah agar bisa keluar.Seorang bandit melompat dari kudanya, bersiap membelah Surya Yudha dengan golok jagalnya. Melihat hal itu, Surya Yudha berbalik dan menangkis serangan sang bandit menggunakan pedangnya.Tang!Sial!Surya Yudha mengumpat dalam hati karena serangan tersebut memang berhasil dia tangkis tapi tangannya bergetar hebat setelahnya. Bandit-bandit tersebut tertawa ketika melihat Surya Yudha mengerutkan kening setelah menangkis serangan kawannya.Bertempur di atas kuda apalagi ketika kondisi hujan deras memang menyulitkan siapa saja. Kedua belah pihak sepakat untuk bertarung di atas tanah. Surya Yudha melompat dari kudanya dan dengan gagah berjalan ke tengah jala
Sarwo berusaha bangkit walau kakinya masih gemetaran. Dengan segala pertimbangan, Sarwo menjatuhkan harga dirinya dan memohon pada Surya Yudha untuk melepaskannya."Aku mohon, Tuan. Ampuni nyawa saya dan kawan-kawan saya, kami berjanji tidak akan menjadi bandit lagi!" Surya Yudha tersenyum mengejek ketika mendengar ucapan Sarwo. "Apa kalian tidak malu?"Surya Yudha yang awalnya tersenyum kini mengubah senyumannya menjadi sebuah tawa yang terdengar aneh. Jika diperhatikan lebih dekat, dari manik hitam Surya Yudha terlihat kilatan-kilatan listrik setiap beberapa saat."Bagaimana mungkin aku bisa melepaskan kalian begitu saja?" ucap Surya Yudha."Kami bersumpah, tidak akan membunuh orang lagi. Jika kami melanggar sumpah, maka dewa bisa menghukum kami," ucap Sarwo yang terlihat ketakutan.Lagi-lagi tawa Surya Yudha meledak ketika mendengar ucapan Sarwo. Baginya, hal ini begitu menggelikan karena sudah berulangkali dia mendengar sumpah seperti itu dari penjahat-penjahat yang dia tangkap se
Terdengar suara lenguhan yang keluar dari mulut Sarwo ketika pedang di tangan Surya Yudha menembus perut hingga punggungnya. Surya Yudha menendang perut Sarwo hingga tersungkur di tanah. Tanah yang semula berwarna coklat itu mulai tergenang oleh darah yang keluar dari tubuh Sarwo. Sarwo mengerang kesakitan, tangan kirinya menyentuh bagian yang terluka dan menekannya seraya menyalurkan tenaga dalam untuk menghentikan pendarahan. Di sisi lain, Surya Yudha terus mengayunkan pedangnya ke arah para bandit. Satu persatu bandit-bandit tersebut mulai berjatuhan. Ada yang kehilangan tangan, kaki bahkan kepala mereka.Sarwo melihat bagaimana kejamnya Surya Yudha membantai kawan-kawannya. Dalam hati kecilnya, ada sedikit penyesalan dan rasa bersalah mengingat kelakuannya selama ini.Jadi begini rasanya ketika melihat keluargamu dihabisi.Sarwo yang sadar jika hidupnya akan segera berakhir, tak lagi merasa takut karena kepergiannya ke alam baka tidak sendirian."Kau tidak berusaha untuk memo
Ketika semburat jingga keluar dari langit timur, Surya Yudha sudah membuka matanya dan pergi ke sumur untuk mandi. Dinginnya air menghilangkan sisa-sisa kantuk dalam matanya, tubuhnya terasa begitu segar, rambutnya yang panjang sebahu juga tak lupa dia cuci.Ketika Surya Yudha baru kembali ke kamarnya, Gendon menemuinya dan mengatakan jika Ki Arya Saloka sudah menunggunya di ruang makan. Surya Yudha mengangguk pelan dan merapikan penampilannya sebelum keluar menemui Ki Arya Saloka. Di sisi lain, Ki Arya Saloka duduk sembari memegang lintingan (rokok) di tangan kanannya. Sesekali Ki Arya Saloka menghisap lintingan tersebut dan mengembuskan napas yang bercampur asap putih. Ruangan tersebut lama kelamaan beraroma khas tembakau seperti lintingan yang dihisap Ki Arya Saloka. Surya Yudha muncul dengan pakaian serba hitam serta sendal pelat yang juga berwarna hitam."Eyang ..." ucap Surya Yudha seraya duduk tak jauh dari Ki Arya Saloka."Kita sarapan dulu. Setelah ini perjalanan kita jauh
Surya Yudha memulai perjalanannya hari itu ditemani oleh Gendon, orang kepercayaan Ki Arya Saloka. Setelah memberikan sejumlah kekayaan pada cucunya, Ki Arya Saloka memutuskan untuk tetap tinggal di rumah dan memerintahkan Gendon untuk menemani Surya Yudha hingga perguruan Raga Geni.Dengan bekal sebuah surat yang ditulis oleh Ki Arya Saloka, Surya Yudha meninggalkan desa Pengadegan menuju ke timur, tempat kerajaan Jalu pangguruh berada. Hari-hari yang harus dilewati oleh Surya Yudha cukup berat karena Ki Arya Saloka tidak memberinya bekal makanan dan menyarankan untuk berburu hewan sembari melatih ketrampilan mereka berdua. Dengan berat hati Surya Yudha menjalankan saran dari eyangnya tersebut.Ketika malam mulai menjelang, Surya Yudha beristirahat di bawah pohon rindang yang terletak di tepi sungai. Gendon membuat api unggun sementara Surya Yudha mencoba menangkap ikan.Dengan kemampuan berenangnya yang mengagumkan, Surya Yudha berhasil menangkap lima ekor ikan mas yang berukuran
Surya Yudha melangkah dengan gusar menuju tempat Gendon duduk. Surya Yudha tak pernah semarah ini sebelumnya apalagi jika tentang makanan, tetapi entah apa yang terjadi pada tubuhnya membuat Surya Yudha begitu cepat marah. Surya Yudha sudah sampai di hadapan Gendon, pemuda itu bertolak pinggang dengan satu tangannya, matanya melotot seperti ingin keluar, "Kenapa kau habiskan semua?" "Anu ... Tuan Muda, Gendon lapar jadi Gendon makan."Surya Yudha mengernyit, "Siapa yang suruh kamu makan?" Gendon menggeleng pelan, tangannya meletakan sesuatu ke tanah yang tak lain adalah duri dan kepala ikan yang terlihat bersih tanpa daging. Terlihat juga beberapa duri lainnya yang berserakan di tanah. "Ngga ada yang nyuruh, Tuan Muda.""Lalu kenapa kamu makan?" teriak Surya Yudha emosi.Gendon tersenyum malu, "Kan Tuan Muda juga ngga bilang kalau ikannya ngga boleh dimakan,""Kau!"Surya Yudha tak melanjutkan kalimatnya karena Gendon tak sepenuhnya salah. Dari awal dia memang tak pernah melarang G