Belum sempat Dzurriya menanggapi ajakan menikah yang dingin itu, Eshan sudah mengulurkan selembar kertas ke hadapannya. “Tanda tangan di sini!”
“A-Apa ini?” tanya Dzurriya memberanikan diri.
“Kau bisa baca, kan?” ucap Eshan dingin.
Dzurriya membaca baris pertama surat yang disodorkan Eshan. Matanya membulat kala melihat tulisan ‘Pernikahan Kontrak’ di sana. Tangannya gemetar, antara takut dan marah.
“Aku tidak mau! Allah mengharamkan bagi kami nikah kontrak, lebih baik aku mati—”
“Mati itu terlalu mudah bagi pendosa sepertimu,” potong Eshan sambil mencengkram dagu Dzurriya. “Aku akan membuatmu merasakan kesakitan yang dalam sebelum kau mati.”
Eshan melepaskan dagunya dengan kasar, membuat air mata yang sedari tadi Dzurriya tahan kembali menetes. Dengan gemetar, Dzurriya mengambil pulpen yang diletakkan Eshan di atas meja. Pandangannya memburam, tapi ia berusaha membaca pasal demi pasal yang ada di kertas putih tersebut.
‘Pihak kedua setuju menjadi istri pihak pertama selama hidupnya, dan menuruti apapun yang dikatakan pihak pertama sebagai seorang suami.’
‘Pihak kedua tidak punya hak sama sekali atas harta kepemilikan pihak pertama.’
‘Pihak kedua bersedia menjadi rahim pengganti dan melahirkan seorang anak dari pihak pertama, tanpa memiliki hak asuh atas anak tersebut nantinya.’
“R-rahim pengganti?” tanya Dzurriya dengan suara pelan.
“Itu harga yang harus kamu bayar karena sudah membunuh anakku dan membuat istriku menderita.”
Dzurriya kembali tertohok ketika diingatkan oleh kata-kata Alexa beberapa saat lalu. Perasaan bersalah itu membuatnya merasa sangat kotor. Benar! Ia tidak punya hak apa-apa untuk menolak, dirinya sangat berdosa. Bahkan ini belum seberapa dengan apa yang sudah dilakukannya.
Entah berapa lama lagi ia harus bertahan. Dirinya tidak tahu apa-apa, tapi dihadapkan dengan situasi yang begitu sulit.
‘Ya Allah… tolong hamba….’
“Cepat tanda tangan!” ucapan Eshan yang dingin dan menusuk itu membuat badannya sontak terkejut.
Dengan ragu, ia mulai menanda tangani surat di atas materai itu. Namun, ia menyadari sesuatu.
‘Dzurriyatul Jannah... nama di bawah materai itu Dzurriyatul Jannah…
“Apa ini namaku?” tanyanya sambil menunjuk tulisan nama itu.
“Sudah, jangan berpura-pura! Cepat tanda tangani!”
‘Jadi benar ini namaku….’ Ada rasa lega sekaligus bingung yang memenuhi hati Dzurriya sekarang. ‘Tapi… dari mana lelaki ini tahu namaku? Jadi, mereka mengenalku?’
***
Setelah Dzurriya menandatangani surat kontrak itu, keesokan harinya pun pernikahan dilaksanakan. Tidak ada pesta besar atau baju pengantin cantik, atau ucapan selamat. Dzurriya hanya memakai baju pasien dan melakukan ijab kabul di ruang rawat Alexa.
Setelah itu pun ia langsung dibawa paksa oleh orang-orang berpakaian hitam ke sebuah rumah besar. Di dalam mobil, ia duduk diapit dua orang pria berbadan besar, sedangkan Eshan dan Alexa di mobil berbeda.
‘Jadi begini kah rasanya jadi tahanan?’ gumam Dzurriya ketika digiring ke sebuah kamar di lantai satu, di pojok dekat dapur.
Pemandangan pertama yang Dzurriya lihat adalah kamar penuh debu dan pengap. Beberapa perabotnya ditutup kain berwarna putih. Temboknya tampak kusam, tanpa hiasan apa pun. Sepertinya, ia membutuhkan banyak waktu untuk membersihkan ini semua.
‘Aku tidak tahu kalau kamar pengantinku akan seberdebu ini….’ ucap Dzurriya sambil menatap sekeliling.
Dzurriya melenguh panjang sambil mengusap kain penutup perabotan di kamar barunya. Bagaimana ia harus membereskan sendiri kamar sekotor dan seberantakan itu, padahal dirinya masih lemah dan lelah?
Namun, mengeluh takkan menyelesaikan masalah. Jadi, Dzurriya mulai bersiap-siap membersihkan kamar itu.
“Huh!”
Dzurriya segera menarik satu persatu kain penutup, kemudian melipat dan menumpuknya jadi satu. Ia tahu takkan ada yang membantunya di rumah itu. Walaupun sampai bersin-bersin dan tubuhnya gatal karena debu, tapi Dzurriya masih terus bergerak.
Setelah kasur dan nakasnya bersih, sekarang Dzurriya berjalan ke arah lemari dengan langkah gontai. Walaupun pakaian yang ia punya hanyalah yang ia pakai saat ini, Dzurriya juga ingin melihat isi lemari tersebut.
Krie…k!
“Allah Kariim!” Dzurriya memekik histeris sambil melompat, ketika seekor tikus kecil tiba-tiba keluar dari dalam lemari.
Tikus hitam itu berputar-putar di sekitar kaki Dzurriya, membuat wanita itu langsung lari terbirit-birit keluar. Namun, karena kakinya yang masih lemas, ia jatuh tersandung di depan kamar.
“Aaah!” Dzurriya siap untuk terbentur lantai yang keras ketika merasakan sebuah tangan besar menangkap kedua bahunya.
Matanya yang terpejam kuat itu perlahan terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah bola mata hitam di balik kacamata rectangle itu sedang menatapnya tajam. Sepersekian detik keduanya berpandangan, dan Dzurriya merasakan debar jantungnya semakin lama semakin cepat.
Entah kenapa lelaki bengis itu terlihat begitu tampan di matanya saat ini. Aroma musknya juga tercium menyegarkan. Perlahan, Dzurriya merasa tenang.
“Apa kamu buta?” suara dalam dan dingin Eshan menyapa Dzurriya.
Dzurriya langsung tersadar. Ia langsung menjauhkan diri dari Eshan dan berdiri dengan kepala tertunduk. Kebengisan lelaki itu kembali.
“M-maafkan aku…” cicit Dzurriya.
Eshan terdengar mendengus, tapi Dzurriya belum berani mengangkat kepala. Wanita itu hanya menatap ujung sepatu pantofel Eshan. Seluruh tubuhnya yang sakit terasa semakin nyeri.
“Kalau kau kesulitan, panggil saja pelayan,” ucap Eshan tiba-tiba, membuat Dzurriya mengangkat kepala.
“Apa?”
“Aku tidak mau melihat orang mati karena kelelahan di rumahku hari ini.” Tanpa menjelaskan maksudnya, Eshan beranjak dari sana, meninggalkan Dzurriya dengan tanda tanya besar di kepalanya.
.
Selesai berberes kemarin, Dzurriya langsung ketiduran tanpa mandi atau berganti pakaian. Ia juga melewatkan makan malam ataupun minum setetes air pun. Alhasil, ia benar-benar kelaparan sekarang. Ia baru bangun keesokan pagi ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Tenggorokannya yang kering, membuatnya berniat ingin mengambil air minum di dapur. Namun, karena masih canggung dan belum hafal seluk-beluk rumah besar ini, ia hampir saja tersesat. Ia bertemu beberapa pelayan di perjalanan, dan bertanya kepada mereka. Namun, setelah bertanya, bukannya mendapat senyuman ramah, Dzurriya malah mendengar sayup-sayup bisikan mereka yang mengejek Dzurriya. “Kasihan, ya….” ucap salah satu pelayan. “Kok, Tuan bisa ya, bawa wanita dekil itu ke sini. Mana dijadiin madu Bu Alexa lagi,” sahut yang lainnya. Dzurriya langsung bisa menebak apa yang dibicarakan pelayan-pelayan itu di belakang sana. Ditiliknya baju yang dipakainya bersih-bersih kemarin dan belum sempat diganti. Berdebu dan bernoda
“Kami belum berani melakukan prosedur HSG untuk melihat kondisi rahim Ibu Dzurriya, karena beliau lupa kapan terakhir menstruasi. Bulan depan, dua atau sampai tujuh hari pasca beliau menstruasi, kembalilah kesini untuk melakukan pemeriksaan.” Itu adalah yang diucapkan dokter kandungan setelah sesi konsultasi berakhir. Untuk melihat kondisi rahim Dzurriya, Alexa meminta pemeriksaan dengan menggunakan sinar Rontgen atau HSG. Namun, karena Dzurriya amnesia, ia tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan dokter dengan baik. Suasana ruangan itu pun mendadak jadi dingin. Dzurriya juga melihat alis Alexa yang menyatu karena marah, berbeda dengan Eshan yang hanya diam dengan tatapan tajam. Tatapan Alexa yang tadinya tertuju kepada sang dokter, langsung mendelik ke arah Dzurriya “Kamu sengaja, kan?!” Napas wanita itu terdengar terengah-engah. Matanya memerah, dan otot-otot mukanya tertarik. Dzurriya hanya menunduk, menghindari tatapan menusuk Alexa itu. Tak ada kata yang berani ia ucapkan, ata
“Argh!” Seketika mata Dzurriya terpejam, suaranya melengking histeris. Namun yang mengherankan, kenapa ia tidak merasakan sakit atau semacamnya? Dibukanya matanya perlahan. Eshan masih berdiri dengan tatapan yang sama, auranya begitu mengerikan. Ditambah bau asap pistol yang melontar tanpa peluru. “Seumur hidup, aku tidak pernah melihat Alexa begitu kesakitan,” Ehsan berucap sambil menurunkan ujung pistol itu. “Dan, aku juga tidak akan pernah membuatnya kesakitan.” Ketika Dzurriya merasa kalau Eshan sudah lebih tenang dan ia bisa kabur, tangan pria itu kembali bergerak untuk mengokang pistolnya kembali. Mata Dzurriya membulat. Dengan panik, ia beringsut mundur dalam posisi duduk. “A-Ampun, ampun, m-maafkan aku!” pekik Dzurriya, masih menyeret tubuhnya yang lemas. Namun nahas, saat ia mencoba berdiri, baju gamisnya yang panjang justru terinjak kakinya sendiri. Baju itu robek sampai bagian betisnya terlihat. Melihat peluangnya terbatas, Dzurriya segera meraih kaki suaminya terse
Ia bisa merasakan aroma musk itu semakin pekat menusuk hidungnya, desah napasnya pun menyemilir di atas permukaan kulit pipinya. Seketika, bulu kuduk di sekujur tubuhnya bergetar. Apalagi sekarang jemari tangan kekar itu tengah terulur perlahan di bawah bahunya, sambil menjumput untaian kerudungnya dan menyilangkannya di pundak dengan lembut. Tak sampai disitu, ia merasakan tangan tersebut membelai kepalanya turun dan menyanggah punggungnya. Kemudian, pipi lelaki itu beberapa saat bergesekan dengan pipinya. Bahkan, ia bisa merasakan degup jantungnya yang beradu dengan detak jantung sang suami. “Bukankah sudah kubilang?” suara rendah lelaki itu menyapu lembut telinga Dzurriya. Sontak wanita itu pun bertambah merinding.“A-apa?” cicit Dzurriya.“Kalau butuh sesuatu, panggil pelayan.” Tangan Eshan yang terulur di belakang punggung Dzurriya itupun memencet sebuah tombol di samping kulkas dua kali, sampai terdengar seperti suara bel.“Aku tidak mau melihat mayat di rumah ini,” lanjut lel
“Aku mencintaimu, Sayang….” suara serak Eshan bagai tamparan untuk Dzurriya. Itu bukan ungkapan cinta untuknya, melainkan untuk Alexa, sang istri pertama. Dzurriya mematung di tempatnya kala melihat pergumulan Eshan dan Alexa di sofa. Posisi Eshan duduk membelakangi pintu, jadi tidak menyadari kehadiran Dzurriya. Namun berbeda dengan Alexa, yang duduk di pangkuan lelaki itu sambil mencumbunya. Tatapan Dzurriya yang bergetar, bertemu dengan Alexa. Dzurriya bisa melihat senyum tipis wanita itu, sebelum mencium Eshan lebih dalam dari sebelumnya. Tangannya terulur di belakang leher lelaki itu, sambil badannya digerakkan dengan sensual. Dzurriya memalingkan wajah. ‘Ya Allah… kenapa ujianmu semakin hari, semakin berat….’ Ia baru merasakan kebahagiaan semalam, setelah Eshan menyebutnya sebagai ‘istri’. Namun, ia kembali ditampar kenyataan bahwa status itu tidak lebih dari perjanjian di atas kertas. Dzurriya hanya istri kedua dalam status kontrak. Ia tidak berhak atas cinta dan kebahagi
Pada waktu yang sama, di ruang kerja Eshan. “Ah! Brengsek! Kenapa aku gak bisa fokus?!” gerutu Eshan sambil menutup laptopnya dengan keras. Ia pun melempar tubuhnya ke sandaran kursi sambil mendesah panjang. Dadanya terasa berdenyut-denyut tak karuan tanpa sebab. Bola matanya yang sedari tadi menatap langit-langit ruangan pun terpejam, memikirkan apa sebenarnya yang sedang dirasakan dan dipikirkannya. ‘Apa ini? Kenapa aku kepikiran wanita sialan itu?’ Sejak meninggalkan kamarnya, pikiran Eshan jadi tidak tenang. Ia kepikiran, apa yang Alexa lakukan kepada wanita itu. Apakah Alexa kembali tantrum seperti waktu itu– “Gak! Aku gak mengkhawatirkan dia! Aku hanya takut barangku dicuri saja. Apalagi dia sekarang sendirian di kamarku.” Eshan memijat pelipisnya beberapa saat, tapi kepalanya tidak berhenti berdenyut. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk beranjak dari kursinya. Ia harus memastikan dengan matanya sendiri kalau wanita itu tidak berulah. Sampai di depan kamarnya, suasana terasa
‘Seingatku, tadi aku masih memandikan Snow di kamar mandi? Kenapa aku bisa di kasur? ‘Apa dia yang menggendongku?’ gumam Dzurriya dalam hati. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Dokter Ryan mengalihkan perhatiannya. Dzurriya hanya mengejapkan matanya sebentar, mulutnya masih terasa begitu kering. “I-itu….” “Apa kau mau minum?” Ryan menyodorkan segelas air kepada Dzurriya. Dzurriya mengulurkan tangannya untuk mengambil. Pada saat itulah ia melihat punggung tangannya yang kemerahan. Lantas, ia pun memeriksa tangannya yang lain, juga wajah dan lehernya yang tertutup kerudung. Pantas saja dia merasa gatal dan panas sedari tadi. Dzurriya akhirnya minum segelas air yang diserahkan Ryan, sambil melirik dua lelaki di depannya. Lalu, saat matanya kembali bertemu dengan Eshan, ia buru-buru mengalihkan pandangan. Ia takut kena marah lagi. ‘Apa Eshan akan mengancamku lagi karena pingsan?’ “Awasi dia, jangan sampai dia melakukan hal bodoh lagi,” ujar Eshan sambil beranjak dari tempatnya. Dzur
Eshan terus berjalan masuk ke rumah dengan perasaan tak karuan yang berusaha dia abaikan. Aura dinginnya menyebar ke seluruh rumah. Para pelayan pun telah mengerti, mereka hanya harus menunduk sebentar di depannya kemudian berlalu setelah dia melewati mereka. Dia memasuki ruang kerjanya yang berada di lantai dua, memandang dari sebuah jendela klasik menghadap kebun. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana, menatap Dzurriya yang sedang memakai jaket hitam miliknya. Mata sayu wanita itu tampak memandang ke langit, dan kadang-kadang tangannya mengusap bagian bawah matanya. Mungkin air mata baru saja menetes ke pipinya. ‘Bodoh!’*****Tiga minggu berlalu. Perlakuan yang didapat Dzurriya perlahan berbeda dari sebelumnya. Tikno menyiapkan segalanya untuknya, dari mulai makanan, pakaian sampai menjadi teman bicara. Namun, perubahan yang paling besar justru ketidakhadiran Eshan. Aroma musk yang biasa membuatnya kaget dan terkesiap, tak lagi diciumnya, meski hanya sekilas lalu. Juga