Share

BAB 4

Belum sempat Dzurriya menanggapi ajakan menikah yang dingin itu, Eshan sudah mengulurkan selembar kertas ke hadapannya. “Tanda tangan di sini!” 

“A-Apa ini?” tanya Dzurriya memberanikan diri.

“Kau bisa baca, kan?” ucap Eshan dingin.

Dzurriya membaca baris pertama surat yang disodorkan Eshan. Matanya membulat kala melihat tulisan ‘Pernikahan Kontrak’ di sana. Tangannya gemetar, antara takut dan marah.

“Aku tidak mau! Allah mengharamkan bagi kami nikah kontrak, lebih baik aku mati—” 

“Mati itu terlalu mudah bagi pendosa sepertimu,” potong Eshan sambil mencengkram dagu Dzurriya. “Aku akan membuatmu merasakan kesakitan yang dalam sebelum kau mati.” 

Eshan melepaskan dagunya dengan kasar, membuat air mata yang sedari tadi Dzurriya tahan kembali menetes. Dengan gemetar, Dzurriya mengambil pulpen yang diletakkan Eshan di atas meja. Pandangannya memburam, tapi ia berusaha membaca  pasal demi pasal yang ada di kertas putih tersebut. 

‘Pihak kedua setuju menjadi istri pihak pertama selama hidupnya, dan menuruti apapun yang dikatakan pihak pertama sebagai seorang suami.’

‘Pihak kedua tidak punya hak sama sekali atas harta kepemilikan pihak pertama.’

‘Pihak kedua bersedia menjadi rahim pengganti dan melahirkan seorang anak dari pihak pertama, tanpa memiliki hak asuh atas anak tersebut nantinya.’

“R-rahim pengganti?” tanya Dzurriya dengan suara pelan.

“Itu harga yang harus kamu bayar karena sudah membunuh anakku dan membuat istriku menderita.”

Dzurriya kembali tertohok ketika diingatkan oleh kata-kata Alexa beberapa saat lalu. Perasaan bersalah itu membuatnya merasa sangat kotor. Benar! Ia tidak punya hak apa-apa untuk menolak, dirinya sangat berdosa. Bahkan ini belum seberapa dengan apa yang sudah dilakukannya. 

Entah berapa lama lagi ia harus bertahan. Dirinya tidak tahu apa-apa, tapi dihadapkan dengan situasi yang begitu sulit.

‘Ya Allah… tolong hamba….’

“Cepat tanda tangan!” ucapan Eshan yang dingin dan menusuk itu membuat badannya sontak terkejut.

Dengan ragu, ia mulai menanda tangani surat di atas materai itu. Namun, ia menyadari sesuatu.

‘Dzurriyatul Jannah... nama di bawah materai itu Dzurriyatul Jannah…

“Apa ini namaku?” tanyanya sambil menunjuk tulisan nama itu.

“Sudah, jangan berpura-pura! Cepat tanda tangani!”

‘Jadi benar ini namaku….’ Ada rasa lega sekaligus bingung yang memenuhi hati Dzurriya sekarang. ‘Tapi… dari mana lelaki ini tahu namaku? Jadi, mereka mengenalku?’

***

Setelah Dzurriya menandatangani surat kontrak itu, keesokan harinya pun pernikahan dilaksanakan. Tidak ada pesta besar atau baju pengantin cantik, atau ucapan selamat. Dzurriya hanya memakai baju pasien dan melakukan ijab kabul di ruang rawat Alexa.

Setelah itu pun ia langsung dibawa paksa oleh orang-orang berpakaian hitam ke sebuah rumah besar. Di dalam mobil, ia duduk diapit dua orang pria berbadan besar, sedangkan Eshan dan Alexa di mobil berbeda.

‘Jadi begini kah rasanya jadi tahanan?’ gumam Dzurriya ketika digiring ke sebuah kamar di lantai satu, di pojok dekat dapur.

Pemandangan pertama yang Dzurriya lihat adalah kamar penuh debu dan pengap. Beberapa perabotnya ditutup kain berwarna putih. Temboknya tampak kusam, tanpa hiasan apa pun. Sepertinya, ia membutuhkan banyak waktu untuk membersihkan ini semua.

‘Aku tidak tahu kalau kamar pengantinku akan seberdebu ini….’ ucap Dzurriya sambil menatap sekeliling. 

Dzurriya melenguh panjang sambil mengusap kain penutup perabotan di kamar barunya. Bagaimana ia harus membereskan sendiri kamar sekotor dan seberantakan itu, padahal dirinya masih lemah dan lelah?

Namun, mengeluh takkan menyelesaikan masalah. Jadi, Dzurriya mulai bersiap-siap membersihkan kamar itu.

“Huh!”

Dzurriya segera menarik satu persatu kain penutup, kemudian melipat dan menumpuknya jadi satu. Ia tahu takkan ada yang membantunya di rumah itu. Walaupun sampai bersin-bersin dan tubuhnya gatal karena debu, tapi Dzurriya masih terus bergerak.

Setelah kasur dan nakasnya bersih, sekarang Dzurriya berjalan ke arah lemari dengan langkah gontai. Walaupun pakaian yang ia punya hanyalah yang ia pakai saat ini, Dzurriya juga ingin melihat isi lemari tersebut.

Krie…k!

“Allah Kariim!” Dzurriya memekik histeris sambil melompat, ketika seekor tikus kecil tiba-tiba keluar dari dalam lemari. 

Tikus hitam itu berputar-putar di sekitar kaki Dzurriya, membuat wanita itu langsung lari terbirit-birit keluar. Namun, karena kakinya yang masih lemas, ia jatuh tersandung di depan kamar.

“Aaah!” Dzurriya siap untuk terbentur lantai yang keras ketika merasakan sebuah tangan besar menangkap kedua bahunya.

Matanya yang terpejam kuat itu perlahan terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah bola mata hitam di balik kacamata rectangle itu sedang menatapnya tajam. Sepersekian detik keduanya berpandangan, dan Dzurriya merasakan debar jantungnya semakin lama semakin cepat. 

Entah kenapa lelaki bengis itu terlihat begitu tampan di matanya saat ini. Aroma musknya juga tercium menyegarkan. Perlahan, Dzurriya merasa tenang.

“Apa kamu buta?” suara dalam dan dingin Eshan menyapa Dzurriya.

Dzurriya langsung tersadar. Ia langsung menjauhkan diri dari Eshan dan berdiri dengan kepala tertunduk. Kebengisan lelaki itu kembali.

“M-maafkan aku…” cicit Dzurriya.

Eshan terdengar mendengus, tapi Dzurriya belum berani mengangkat kepala. Wanita itu hanya menatap ujung sepatu pantofel Eshan. Seluruh tubuhnya yang sakit terasa semakin nyeri.

“Kalau kau kesulitan, panggil saja pelayan,” ucap Eshan tiba-tiba, membuat Dzurriya mengangkat kepala. 

“Apa?”

“Aku tidak mau melihat orang mati karena kelelahan di rumahku hari ini.” Tanpa menjelaskan maksudnya, Eshan beranjak dari sana, meninggalkan Dzurriya dengan tanda tanya besar di kepalanya.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status