Share

Pengantin Bangsawan Yang Kubenci
Pengantin Bangsawan Yang Kubenci
Penulis: Pilar Waisakha

Bab 1

Penulis: Pilar Waisakha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-08 23:10:45

Konon, sebelum nama Devereux menjadi satu-satunya penguasa anggur di wilayah itu, ada satu kebun yang harum namanya: Rosse Vineyard.

Anggurnya dikenal jujur, tidak dipoles kemewahan, namun rasanya—kata para pedagang—membawa matahari dan tanah ke dalam segelas minuman. Orang-orang desa rela berjalan jauh hanya untuk membeli satu botol.

Pemiliknya, Edmund Rosse, bukan bangsawan, bukan saudagar besar. Ia hanya pria sederhana yang mengerti betul seni fermentasi, dengan tangan yang sabar dan mata yang teliti. Banyak yang bilang ia lebih paham anggur daripada sebagian besar bangsawan yang mengaku ahli.

Namun kejayaan itu tidak lama.

Dalam beberapa musim berturut-turut, fermentasi di kebunnya selalu gagal. Tong-tong anggur meledak, cairan busuk mengalir seperti darah hitam di lantai penyimpanan. Para pedagang mengeluh, hutang menumpuk, dan kebun Rosse jatuh bangkrut.

Ada yang berkata itu murni nasib buruk. Ada pula yang berbisik, seseorang meracuni proses fermentasi. Nama keluarga Devereux kerap muncul dalam bisik-bisik itu, sebab tak lama setelah Rosse jatuh, gudang dan kebunnya berpindah tangan ke mereka.

Edmund sendiri tidak pernah pulih dari kehancuran itu.

Istrinya, Seraphine, sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal lebih cepat dari usianya. Kedua anaknya, Aveline dan Elowen, tumbuh di antara reruntuhan dendam—mewarisi bukan lagi kebun, melainkan cerita getir tentang pengkhianatan.

Sejak saat itu, nama Rosse hanya tinggal bayangan samar, tersapu oleh gemerlap kejayaan Devereux.

Namun… bagi darah Rosse yang masih hidup, bayangan itu bukanlah akhir. Itu adalah api yang disembunyikan, menunggu waktu untuk menyala kembali.

Dan api itu menemukan jalannya bertahun-tahun kemudian, di sebuah pasar Bordeaux yang tampak biasa—namun menjadi awal segalanya.

Pasar pagi Bordeaux riuh oleh teriakan pedagang, bau tanah basah, dan anggur segar yang baru dipetik. Di sudut yang lebih sepi, dua gadis menjaga lapak kecil dengan meja kayu sederhana.

Avelinne Rosse menata botol-botol selai anggur buatan rumah. Jemarinya lincah, meski wajahnya menyimpan letih yang tak pernah ia akui. Di sampingnya, Elowen—adik yang baru beranjak remaja—sibuk menguntit seekor kucing abu-abu yang selalu muncul entah dari mana.

“Elowen, biarkan saja. Kita ke sini untuk menjual, bukan bermain,” ujar Avelinne, datar tapi penuh kewaspadaan.

Elowen manyun, duduk di bawah meja sambil tetap mengelus si kucing bandel.

Tak lama, seorang wanita berhenti di depan mereka. Gaun sutra biru berkilau, cincin berpermata di tiap jari, dan senyum seindah porselen—namun sorot matanya dingin. Ia menatap botol-botol sederhana itu dengan minat yang sulit ditebak.

“Buatan sendiri?” tanyanya ringan.

“Ya, Nyonya,” jawab Avelinne singkat.

Wanita itu mengeluarkan koin. Tapi sebelum transaksi selesai, kucing Elowen melompat. Cakar kecilnya merobek kantong belanja si wanita. Barang-barang jatuh berserakan di jalan berbatu: sapu tangan, bros perak… dan sebuah amplop bersegel lilin merah.

Lambang Devereux tertera jelas.

Dalam sekejap, kucing itu menggigit amplop dan berlari ke lorong pasar.

“Ah! Kucingmu!” seru wanita itu gusar.

“Elowen!” Avelinne berteriak. Tapi adiknya sudah menerobos kerumunan, tangannya tergores, lututnya terbentur, tak peduli rasa sakit.

Wanita bangsawan itu sibuk memungut barang-barangnya, lalu pergi tergesa tanpa menyadari satu benda hilang.

Beberapa menit kemudian, Elowen kembali. Nafasnya tersengal, wajahnya penuh debu, tapi matanya berkilat puas. Di tangannya—amplop itu, segelnya retak, namun lambangnya masih jelas.

“Kucingnya kabur… tapi lihat, aku berhasil mengambilnya,” katanya bangga.

Avelinne meraih amplop itu. Jantungnya berdegup. Lilin merah Devereux—lambang keluarga yang merampas kebun anggur ayahnya.

Di balik rasa letih, sesuatu menyala dalam dirinya: dendam, harapan, kesempatan.

“Elowen,” bisiknya, tatapan tak lepas dari segel itu.

“Sepertinya… takdir baru saja menunjukkan jalannya.”

******

Malam di pinggiran Bordeaux sunyi, hanya dipecah suara jangkrik dan gonggongan anjing penjaga yang jauh. Di sebuah rumah kecil berdinding batu tua, cahaya lampu minyak temaram jatuh ke meja makan reyot.

Elowen duduk bersila di lantai, memangku kucing abu-abu yang kini tidur pulas. Luka di tangannya sudah dibalut seadanya dengan kain lusuh.

Avelinne Rosse duduk di kursi, tatapannya terpaku pada amplop bersegel lilin merah di atas meja. Jemarinya sempat ragu, namun sorot matanya menyala gelisah.

“Avelinne… kalau itu milik orang lain, bukankah sebaiknya kita kembalikan saja?” tanya Elowen lirih, polos.

Avelinne mengangkat wajah, dan untuk sesaat, usianya tampak lebih tua dari yang sebenarnya.

“Benda ini… bukan sekadar milik orang, Elowen. Ini… kunci.”

Ia menelusuri cap lilin Devereux yang retak di sudutnya. Ironis—lambang itu milik keluarga Devereux, namun justru pernah berkibar megah di gerbang kebun anggur ayah mereka. Sebelum disita, sebelum hutang merampas segalanya—rumah, tanah, dan harga diri mereka—sebelum sang ayah menghembuskan napas terakhir dalam putus asa.

Dengan gerakan tegas, Avelinne menyobek segelnya. Dari dalam, ia menarik selembar kertas tebal, tulisannya anggun dengan tinta hitam pekat.

“Sayembara calon istri…” ia membaca perlahan, setiap kata terasa pahit.

“Bangsawan Devereux… mengundang keluarga terhormat… menghadiri pemilihan pendamping hidup bagi putra sulung keluarga Devereux.”

Nama itu membuatnya terdiam lama. Rahangnya menegang, sorot matanya tajam.

Elowen, yang belum mengerti, terkikik kecil.

“Sayembara? Apa itu seperti pesta? Kalau kau ikut, mungkin kita bisa makan kue manis tiap hari!”

Avelinne menoleh, bibirnya melengkung tipis tapi dingin.

“Ini bukan pesta, Elowen. Ini… tentang membayar hutang darah yang mereka tinggalkan pada kita.”

Elowen tercekat. la ingin bertanya, namun kata-kata hilang di tenggorokan.

Avelinne menggenggam undangan itu erat-erat, seakan ingin meremukkannya, lalu bangkit berdiri. Di luar jendela, bulan separuh menggantung di langit Bordeaux. Cahaya pucatnya jatuh di wajah Avelinne—bukan lagi wajah seorang penjual selai sederhana, melainkan wajah seorang gadis yang baru saja memilih jalan penuh dendam.

******

Cahaya matahari menembus jendela kaca buram, jatuh ke meja yang penuh gulungan benang, kain lusuh, dan jarum jahit.

Avelinne Rosse duduk tegak, menatap selembar kain hijau tua yang pernah menjadi gaun ibunya. Bertahun-tahun tergantung di lemari usang, kini warnanya pudar, seratnya rapuh, tapi potongannya masih menyimpan jejak anggun masa lalu.

Jarum di tangannya bergerak pelan, menutup robekan demi robekan. Ia tidak punya pilihan lain—jika ingin menyusup ke dunia bangsawan, ia harus terlihat pantas.

Di dekat pintu, Elowen berdiri dengan mata berbinar.

“Apa kau yakin mau datang ke pesta itu?” tanyanya lirih.

Avelinne berhenti sejenak, menatap kain di tangannya.

“Aku harus, Elowen. Kalau aku tidak masuk ke balik dinding mereka, bagaimana aku bisa merebut kembali apa yang telah mereka ambil?”

Adiknya menyipitkan mata, suaranya tajam meski pelan.

“Atau… bagaimana kalau dinding itu justru menelanmu hidup-hidup?”

Sejenak hening. Avelinne menatap adiknya, namun kembali fokus pada jahitan. Elowen buru-buru menepis ketegangan dengan nada ceria.

“Kalau gaunnya terlalu pendek karena dipotong, aku bisa berdiri di belakangmu dan pura-pura jadi ekornya. Pasti semua orang mengira itu model terbaru!”

Avelinne menghela napas, separuh lelah, separuh tak kuasa menahan senyum getir.

“…Kalau kau lakukan itu, kita bukan masuk pesta, tapi langsung dilempar keluar oleh penjaga.”

Elowen terkikik, lalu nekat meraih pita lusuh dan mengikat rambutnya seperti mahkota.

“Kalau begitu, aku jadi dayang bangsawan. Kau tahu, yang membawa sapu tangan dan berkata ‘Oui, Madame!’ setiap lima menit.”

“Dayang tidak pakai pita dari kain pel. Dan biasanya mereka tidak menempel pada kakaknya seperti lintah,” balas Avelinne datar, meski matanya melembut.

Elowen mencibir, lalu meraih kucing abu-abu yang sejak tadi duduk di kursi. Ia mengikat pita kain di leher hewan itu.

“Kalau begitu, kucing ini saja yang jadi dayang. Lihat, dia sudah siap dengan busana bangsawan.”

Kucing itu hanya mengeong malas, membuat Avelinne mendengus kecil. Senyum lelah muncul di bibirnya, tapi segera pudar saat matanya kembali ke gaun hijau tua itu.

Bayangan ibunya muncul dalam benaknya—senyum lembut, tawa hangat, dan gaun ini yang dulu berputar di pesta rakyat kecil, sebelum kebun anggur mereka dirampas, sebelum keluarga mereka tercerai.

“Aku akan masuk, Elowen,” bisiknya dalam hati. “Aku akan menuntut balas. Dan jika itu berarti harus berdansa di sarang musuh, maka biarlah gaun ini jadi saksi.”

Elowen memperhatikan kakaknya diam-diam. Semua gurauannya hanyalah selapis tipis; di baliknya, hatinya mencengkeram rasa takut. Ia tahu pesta itu bukan sekadar pesta—itu medan yang bisa melukai Avelinne lebih dalam daripada cakar kucing atau tusuk jarum.

Namun bila kakaknya bersikeras masuk, maka ia, Elowen, akan tetap berdiri di sisinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 19

    Bau jerami lembap dan kayu basah meruap di udara. Seekor kuda meringkik pelan, memecah keheningan malam. Elowen duduk di atas bal jerami, mulut sibuk mengunyah roti kering yang ia selundupkan dari dapur. Matanya berkilat nakal saat menceritakan kejailannya. “ Kau harusnya lihat wajah Sylvette tadi pagi… begitu kecoak itu muncul, dia melompat seperti anak kucing yang ekornya terjepit pintu! Aku hampir tersedak menahan tawa.” Avelinne ikut tertawa, bersandar pada dinding kayu yang dingin. “ Elowen, kalau sampai ketahuan, kau bukan cuma tidur di kandang. Bisa-bisa kau diusir lebih cepat dari yang kau kira.” Elowen hanya cengengesan, menggigit lagi rotinya. “ Ah, biarlah… seseorang harus membuat pesta ini sedikit lebih hidup. Lagi pula, Lucianne selalu muncul diam-diam, menutupi kekurangan Sylvette. Rasanya seperti dua serigala yang berbagi mangsa.” Kening Avelinne berkerut, sorot matanya menajam. “ Ya, mereka licik sekaligus rapi. Tidak heran satu per satu peserta lain tumban

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 18

    Cahaya pucat menembus jendela tinggi, membelah kabut tipis fermentasi yang menggantung di udara. Debu dan uap alkohol berputar samar di antara deretan drum kayu. Bau anggur masam bercampur kelembapan lantai basah, menekan dada seperti beban tak kasat mata. Langkah Sebastian berderap masuk, bukan menuju kantor, melainkan ruang laboratorium kecil di ujung gudang—tempat sampel anggur diuji sebelum resmi menyandang nama Devereux. Osrich sudah menunggunya dengan clipboard di tangan. “Selamat pagi, Tuan.” “Pagi. Kau sudah kerjakan semua yang kuperintahkan kemarin?” “Ya, Tuan. Ini hasilnya.” Sebastian menerima laporan itu. Angka-angka tercetak rapi, namun setiap baris seperti duri menusuk matanya. Ia menghela napas berat. “Persis… seperti yang dikatakan gadis itu,” bisiknya, lebih mirip pengakuan pada dirinya sendiri. Osrich menambahkan, suaranya rendah:

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 17

    Malam menyelimuti atap kastil Devereux, jendela-jendela besar menjulang seolah mata curiga yang mengawasi siapa pun yang melintas. Di ruang makan utama, denting sendok dan garpu terdengar nyaring, memecah keheningan megah. Para gadis peserta sayembara menunduk anggun, menikmati hidangan mereka dengan khidmat. Namun jelas, sebagian besar hanya menjadi hiasan di panggung permainan keluarga Devereux. Di sisi meja utama, Lady Vareen duduk tegak, ditemani Marcus, Lucianne, dan Sylvette yang mendapat kursi dekat keluarga inti—sebuah penegasan halus akan posisinya yang istimewa. Lady Vareen perlahan meletakkan tangannya di meja. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di hadapannya. “Marcus, di mana Sebastian? Mengapa dia tidak hadir?” Marcus mengangkat kepala, bibirnya melengkung tipis. “Mungkin ia sedang tidur bersama botol-botol anggur di gudangnya,” jawabnya, nada sinis seolah mengejek kakaknya sendiri. Lucianne menoleh sekilas pada suaminya, lalu kembali pada piringny

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 16

    Kereta kuda berderit melewati pagar besi tinggi berukir lambang keluarga Devereux—seperti rahang monster yang menjaga rahasia di dalamnya. Roda berhenti di pintu belakang gudang anggur, bangunan batu tua yang hari itu riuh oleh para pekerja. Laki-laki berotot mondar-mandir memanggul keranjang anggur segar, aroma manis bercampur asam memenuhi udara, diselingi sengatan tajam alkohol yang menusuk hidung. Mereka turun dari gerobak. Saat Avelinne menjejakkan kaki di tanah, ia sempat mengernyit tipis, lalu menarik napas panjang, seakan seluruh indranya menimbang tempat itu. Elowen melirik kakaknya—ia tahu tatapan itu bukan sekadar kagum, melainkan penuh perhitungan. Mereka ikut membantu pelayan tua menurunkan peti-peti berat. Di dalam, pemandangan lebih mencengangkan. Rak kayu menjulang dipenuhi botol berlabel emas, drum besar dari kayu ek berbaris rapi di sepanjang dinding. Beberapa pekerja sibuk memeriksa fermentasi; suara cai

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 15

    Siang itu, aula kastil riuh oleh tawa dan bisik-bisik para gadis bangsawan. Seperti pesta tanpa akhir, mereka saling menonjolkan kelebihan, berlomba menjadi bintang paling bersinar. Hari-hari di kastil terasa lebih seperti pameran kecantikan ketimbang ujian.Di sisi tangga besar, Sylvette menuruni anak-anak undakan dengan langkah mantap. Dagu terangkat, gaun sutra berdesir, menyapu permadani merah tua yang terbentang. Cahaya siang dari kaca patri memantul di rambut emasnya, membuatnya tampak seolah baru turun dari lukisan.Para peserta di bawah aula serentak menoleh; beberapa menahan napas, yang lain sekadar terpaku.Di pojok ruangan, Martha dan seorang pelayan tengah merangkai bunga, berbisik lirih di balik denting piring perak.“Lihatlah… betapa anggun wanita itu.”“Aku yakin, dialah yang paling pantas menjadi istri Tuan Sebastian.”Sylvette mendengar. Senyum tipis melengkung di bibirnya, penuh keyakinan diri. Ia mela

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 14

    Kabut pagi menyelimuti halaman kastil, tipis seperti tirai putih yang menggantung rendah. Dari atap kandang, sisa hujan menetes satu-satu, jatuh ke genangan kecil di tanah becek. Udara lembap menusuk hidung, bercampur bau jerami basah dan kuda yang meringkik resah.Avelinne menggeliat di antara jerami, tubuhnya kaku oleh dingin malam. Saat membuka mata, ia merasakan sesuatu yang asing—hangat yang tidak ada sebelumnya. Selimut.Ia terbangun cepat, jemarinya meraba kain itu dengan ragu. Alisnya berkerut dalam.“Elowen…” bisiknya sambil menggoyang bahu adiknya, “siapa yang menaruh selimut di sini?”Elowen hanya menggumam, lalu mengucek mata. Rambutnya berantakan, dipenuhi helaian jerami. Ia menguap panjang sebelum menjawab malas, “Mungkin… hantu kastil. Atau arwah bangsawan yang mati penasaran.”“Jangan bercanda,” Aveline mendesis. Nada suaranya lebih tegang daripada marah.Elowen terkekeh kecil, meski wajahnya masih set

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status