Isabelle menarik pergelangan tangan Hanna menuju sofa yang tepat berada di depan televisi berukuran lima puluh inchi. Sejenak, Hanna melupakan kebingungan yang sempat dia rasakan perihal pakaian satin yang saat ini masih dia kenakan. Sedikit terhuyung ketika Isabelle menarik tangannya dengan paksa. Namun, Hanna seolah patuh mengikuti langkah Isabelle.
"Lihat!" Isabelle menyalakan televisi dan memilih saluran infotaintment, "Tidakkah kamu ingat siapa wanita itu?" Isabelle menatap layar televisi dan wajah Hanna secara bergantian.
"... Sejak semalam hingga pagi ini hanya wajahnya yang terlihat di acara televisi. Karena itulah aku datang menemuimu."
Hanna mengamati wajah seorang wanita yang cukup cantik menurutnya. Wanita itu sepertinya bukan orang sembarangan. Beberapa saat kemudian Hanna dan Isabelle saling bertatapan tanpa mengucapkan kata apapun. Seketika Isabelle menoyor jidat sahabatnya sehingga membuat Hanna meringis.
"Jangan menatapku seperti itu. Tatapanmu seperti itu terlihat seperti ingin menciumku. Apakah kamu sudah bergairah sepagi ini?" ucap Isabelle dengan enteng.
Hanna melebarkan kedua kelopak matanya. "Sinting!" umpatnya kepada Isabelle yang tertawa terbahak-bahak.
"Baiklah, kita fokus sekarang," ucap Isabelle.
"... Tidakkah menurutmu wanita itu adalah wanita yang kita lihat kemarin? Wanita yang bersama Bart, maksudku. Bahkan pakaiannya sama seperti yang kita lihat kemarin, bukan?" lanjut Isabelle.
"Yah aku rasa sepertinya begitu," jawab Hanna tanpa beban. Hanna berdiri dari tempat duduknya kembali menuju dapur tanpa peduli.
"Babe, apa kamu tidak sepeduli itu? Wanita itu bahkan mengaku sebagai calon istri Bart." Isabelle tidak menyangka jika Hanna menanggapi berita ini dengan reaksi sesantai itu.
Hanna terlihat kesal. Alisnya yang indah nampak terjalin erat, "Menurutmu aku harus apa? Datang membuat keributan dan menggemparkan pertelevisian dengan berita yang aku buat? Begitu?" Hanna mengambil sebuah botol yang beriskan air mineral, "Lalu apa? Haruskah aku membuat pers conference di hadapan semua wartawan. 'Miif, winiti ini sidih jidi pilikir diintiri iki din siwimiki Birt', hem? Listen! I know that he is really good looking, and of course yea he is my husband. But I don't know who is he. And I don't need to know. Lagipula bukankah aku hanya pengantin kedua?"
Glek!
Hanna menenggak air mineral dalam jumlah banyak. Sehaus itukah dirinya? Ataukah hanya sebuah pelampiasan yang Hanna seorang diri lah yang mengerti tentang itu."
Isabelle kehilangan kata-kata. Tadinya ia berniat sebagai kompor untuk memanas-manasi Hanna agar wanita cantik yang berstatus sebagai istri sah Bart itu mau muncul ke hadapan publik untuk mengklarifikasi berita yang beredar. Tapi sepertinya posisi Hanna memang tidak cukup kuat untuk melakukannya. Terlebih lagi dimana pria itu sekarang? Bahkan setelah menikahi Hanna pun dia seolah tidak peduli. Bahkan sebelum dan sesudah pernikahan, tidak ada ikatan emosional sama sekali di antara mereka berdua. Ini adalah pernikahan tergila yang pernah Isabelle lihat.
"Aw! Kau sudah kehilangan akal?" Isabelle tiba-tiba menggerutu dengan kesal. Mengusap wajah dan membenarkan poninya yang kidi terlihat basah. Entah apa yang terjadi pada Hanna sehingga menyemburkan minuman yang sudah hampir dia telan.
"So-sorry, jika wanita itu calon istri Bart ... apa itu artinya dia akan menjadi pengantin ketiga? Lalu siapa pengantin pertamanya? Aku tadinya berpikir bahwa wanita yang kita lihat di parkiran kemarin adalah istri pertamanya, lalu hari ini seperti yang kamu lihat ..." Hanna menghentikan ucapannya saat Isabelle membekap mulut wanita yang baru menikah itu menggunakan telapak tangan. Cukup bosan mendengar ocehan Hanna yang berbelit-belit. Isabelle sudah bisa menyimpulkan apa yang ingin diucapkan oleh sahabatnya itu.
"Sudah-sudah! Siapapun dia lupakan saja. Aku semakin menggila dengan kejadian yang kamu alami. Kita kembali ke rencana awal, lalu apa rencanamu kedepannya?" Isabelle mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Emh ... Sebenarnya aku tidak punya keahlian khusus, tapi sepertinya aku akan membuka sebuah cafetaria kecil. Uang yang kamu berikan itu lebih dari cukup untuk memulai usaha ini," ucap Hanna.
"Apa kamu yakin?" Isabelle mencoba meyakinkan sahabatnya. Membuka usaha cafetaria mungkin terlihat sederhana. Pemilik tidak perlu repot-repot terjun langsung ke untuk membuat berbagai pesanan. Tapi setidaknya sebagai pemilik, Hanna semestinya memiliki pengetahuan soal itu.
"Ya aku mengerti maksudmu. Aku akan mencoba mengikuti kursus pastry dalam waktu dekat. Sebenarnya aku suka memasak. Hanya saja selama ini seperti yang kamu tahu, aku terlalu sibuk mengurusi perusahaan keluarga Abraham sehingga aku tidak punya waktu sama sekali untuk itu."
"Bersiaplah, aku akan mengajakmu sarapan di luar. Sepertinya kamu tidak memiliki apa-apa untuk dimasak saat ini." Isabelle mematikan saluran televisi, duduk sambil mengutak-atik ponsel miliknya.
Terdengar suara dering telepon yang berada di atas meja makan. Bukannya Hanna tidak mendengar, bahkan suara dering itu begitu memekikkan telinga. Namun seketika Hanna sadar, bunyi panggilan itu begitu khas. Tentu saja Hanna lupa untuk hal yang satu ini. Mengganti nada dering khusus untuk nomor panggilan Matthew. Ya siapa lagi jika bukan pria pengkhianat itu yang menelpon.
Melihat Hanna tak kunjung menerima panggilan, Isabelle mendekat mengikuti asal suara dengan tatapannya tertuju ke atas meja, lalu memperhatikan nama yang tertera di layar ponsel.
"Matthew?" gumamnya.
Hanna hanya memutar bola matanya seolah tak peduli. "Mau apa si breng**k itu menghubungimu? Apa dia ingin kembali atau hanya ingin memamerkan kebahagiaan yang dia jalani bersama si Wanita tua itu?" ketus Isabelle geram.
"Entahlah." Hanna menjawab tanpa ekspresi. Sejenak Hanna termenung sambil memutar botol minuman di atas meja. Mengingat masa lalunya bersama Matthew. Ada suatu masa ketika Matthew mendukung setiap hal yang berkaitan dengan Hanna. Menjanjikan kebahagiaan di masa depan untuk hidup bersama. Namun, kekecewaan teramat sangat setelah mengingat bagaimana sikap Matthew kemarin di hadapannya. Pria itu tak sedikitpun membela Hanna. Bahkan dengan teganya memilih Clarissa yang selama ini Hanna sayangi.
"Hidupku begitu mengenaskan, bukan? Memiliki kekasih yang menemaniku selama bertahun-tahun. Baru saja beberapa hari yang lalu dia mengatakan bahwa tidak sanggup jika hidup tanpaku lewat sambungan telpon. Hanya dalam waktu singkat dia beralih ke pelukan wanita lain. Bahkan dalam waktu yang bersamaan, dengan bodohnya aku menikahi pria yang tidak aku kenal." Hanna memelas membuat Isabelle ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sahabatnya itu.
"Lupakan soal Matthew. Sepatutnya kamu merasa bersyukur karena sudah melihat wujud asli bajingan itu. Bahkan aku cukup merasa jijik dengannya. Bagaimana bisa dia membuang wanita cantik sepertimu hanya untuk seorang wanita berumur yang sulit mencari pasangan."
Isabelle menunjukkan wajah bersalah, "Dan untuk Bart, maafkan aku. Jika bukan aku yang mencetuskan ide gila itu, mungkin kamu tidak berada dalam situasi serumit ini." Isabelle mencoba menenangkan Hanna yang terlihat mulai berkabut di kedua netranya.
"... Tapi, di mata hukum kamu adalah bagian dari Bart. Kalian tidak bisa dengan mudahnya berpisah setelah janji suci itu diucapkan."
Hanna mendesah pelan. Namun, desahan napasnya masih dapat terdengar dengan jelas. "Itu bukan salahmu sepenuhnya. Aku berterimakasih karena kamu sudah mau memberiku uang itu untuk modal. Yah, walaupun dengan cara yang tidak biasa," sarkas Hanna.
"... Tapi, bagaimanapun juga itu adalah keputusanku sendiri memilih untuk menikah dengannya. Mungkin suatu hari nanti aku akan bertemu dengan Bart dan menyelesaikan semua kekeliruan ini."
Isabelle menyesali ide konyolnya. Tapi yang terpenting saat ini adalah membuat perubahan agar Hanna bisa melangkah menjalani hidup dengan layak.
"Baiklah, segeralah bersiap. Aku tahu dimana restaurant terbaik yang menyajikan sarapan paling nikmat. Setelah kita kenyang, kita bisa memikirkan kembali rencanamu untuk membuka usaha cafetaria itu."
"Benarkah? Kamu ternyata cukup mengerti bahwa yang aku butuhkan saat ini adalah makanan. Bukan Matthew atau Bart yang kaya dan tampan itu." Senyuman di wajah Hanna melebar seketika.
Isabelle memutar kedua bola matanya, "Meski kamu berkata tidak peduli, tapi kamu sempat-sempatnya memuji pria itu."
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di