Home / Lainnya / Pengantin Kontrak Sang Perwira / BAB 5 [Siapa Kau, Sebenarnya?]

Share

BAB 5 [Siapa Kau, Sebenarnya?]

Author: Zeyy_
last update Last Updated: 2025-10-30 18:20:32

BRAK!

Tiga orang berseragam hitam menyergap masuk. Senjata laras pendek terangkat.

Gerakan cepat, senyap, dan terlatih.

“Turun!” teriak salah satu dari mereka.

Reina dan pria itu terpisah seketika. Dafa terpaku di ambang pintu antara marah, kaget, dan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi.

Namun pria di dalam kamar yang tadi mencium Reina tidak bereaksi panik.

Sebaliknya, ia berbalik perlahan.

Mata dinginnya menatap ketiga penyerang itu seperti menatap gangguan kecil.

Dan tanpa satu kata pun, ia menarik Reina ke belakangnya.

“Siapa kau?!” salah satu pria bersenjata menyorotkan laser merah ke arah dada pria itu.

Senyum tipis muncul di wajahnya.

“Pertanyaan yang salah.”

Satu detik kemudian......

Dor! Dor! Dor!

Tiga suara tembakan nyaris bersamaan.

Tapi bukan pria itu yang tumbang.

Tiga orang berseragam hitam itu yang jatuh bersamaan ke lantai, darah menetes di karpet.

Asap tipis mengepul dari senjata kecil yang kini berada di tangan pria itu senjata yang entah sejak kapan sudah ia tarik dari balik jas.

---

“Apa yang baru saja...” Dafa belum sempat bicara ketika pria itu menatapnya.

“Jika kau tak ingin jadi korban berikutnya, tutup pintumu dan jangan ikut campur.”

“Tunggu dulu...”

Sebelum Dafa sempat menuntut penjelasan, kaca jendela kamar pecah.

Brakkk!

Seseorang melompat masuk.

Topeng hitam, Senjata otomatis.

“Reina! Turun!” seru pria itu sambil mendorong tubuh Reina ke lantai.

Rentetan peluru menghujani dinding, Debu beterbangan. Lampu gantung jatuh berderak.

Reina merangkak ke bawah meja, napasnya tersengal. “Siapa mereka?!”

“Bukan saatnya tanya!” pria itu menarik satu dari senjata musuh yang terjatuh dan menembak balik dengan gerakan cepat.

Dafa menunduk di sisi lain ruangan, wajahnya pucat tapi matanya menyala.

Ia bukan sekadar pengusaha. Ia mantan perwira dan reflek itu kembali hidup.

Ia menarik pistol dari balik jas.

“Tiga di luar dan Dua lainnya di koridor.”

Pria itu menoleh singkat ke arah Dafa. Tatapannya seolah menilai, lalu mengangguk tipis.

“Ambil sisi kanan. Aku urus kiri.”

---

Suara tembakan kembali pecah.

Kaca pecah. Lampu padam.

Lorong VIP berubah jadi medan perang singkat.

Teriakan tamu dari aula mulai terdengar dari jauh, disusul bunyi alarm keamanan markas.

Reina menahan napas di balik meja, lututnya bergetar. Tapi di antara kekacauan itu, ia melihat sesuatu di dada salah satu penyerang yang tumbang.

Lencana kecil.

Lambang Raven Division, unit rahasia militer yang seharusnya sudah dibubarkan tiga tahun lalu.

“Tidak mungkin...” bisiknya.

Tapi pria itu sudah lebih dulu melihatnya. Ia mengambil lencana itu, lalu memandang Reina.

“Sekarang kau tahu kenapa aku di sini.”

Reina menatapnya tak percaya. “Kau… bagian dari ini?”

“Terlalu panjang untuk dijelaskan,” suaranya rendah, sambil mengganti magazine pistol. “Tapi singkatnya mereka tidak datang untuk menembakmu.”

“Lalu siapa targetnya?” tanya Dafa dari balik pilar.

Pria itu menatap lurus ke depan.

“Pengantinmu.”

---

Dor! Dor! Dor!

Suara ledakan dari aula menggema. Asap tebal mengepul di bawah pintu.

Musik romantis pesta berubah jadi jeritan.

Reina bangkit setengah berlari ke arah jendela. “Raya?!”

Pria itu menahan lengannya. “Jangan keluar. Mereka sudah menyiapkan perimeter.”

“Dia saudara perempuanku!” Reina menepis tangannya, mata berkaca-kaca. “Aku tidak akan diam!”

“Kalau kau keluar sekarang, mereka dapat dua target dalam satu peluru,” suaranya datar tapi tajam. “Dan aku tak berniat mengubur dua wanita malam ini.”

Dafa menatap keduanya, rahangnya menegang. “Kau tahu siapa mereka sebenarnya?”

“Lebih baik dari kau,” jawab pria itu dingin. “Karena aku dulu melatih mereka.”

---

Suara langkah berat mulai terdengar dari luar koridor.

Pria itu melempar senjata cadangan ke arah Dafa. “Kau masih bisa tembak?”

“Lebih baik dari orang yang mencium mantanku,” sahut Dafa singkat.

Pria itu hampir tersenyum. “Bagus. Karena kita harus keluar hidup-hidup.”

Reina menatap keduanya. “Kalian gila kalau pikir aku akan duduk diam.”

“Gak ada waktu untuk heroik.”

“Terlambat,” sahut Reina, sambil menarik granat flash dari sabuk salah satu mayat di lantai.

Keduanya menatapnya tak percaya.

Reina menatap balik dengan dingin. “Aku bukan hanya mantan pacar seseorang. Aku juga mantan agen yang kau kira sudah mati.”

Ia menarik pin granat. “Sekarang, siap?”

BLAM!

Cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan. Dan saat asap mulai menghilang. ketiganya sudah menghilang dari tempat itu.

---

Dari luar jendela, suara helikopter terdengar pelan, lalu menjauh.

Tapi di aula bawah, di antara reruntuhan pesta dan teriakan tamu yang panik…

terlihat siluet seseorang yang menatap ke arah balkon dengan senyum bengis.

Pria berjas putih, memegang segelas wine merah.

“Rencana berjalan lancar,” katanya pelan ke radio di pergelangan tangannya.

“Target Dafa sudah terganggu.

Reina aktif kembali.

Dan Raven Division... sudah punya alasan untuk keluar dari bayangan.”

---

Helikopter bergetar keras di udara malam.

Cahaya lampu kota di bawah mereka tampak seperti pecahan kaca indah tapi berbahaya.

Reina duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela, sementara Dafa dan pria itu duduk berhadapan Tegang dan Sunyi.

“Siapa kau sebenarnya?”

Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Dafa.

Pria itu membuka sarung tangan hitamnya. Di bawahnya, tato burung gagak dengan sayap terbelah tampak jelas di pergelangan tangan.

“Nama kodeku KIAN,” katanya pelan.

“Raven Division. Unit Alfa.”

Dafa terdiam. Wajahnya berubah dingin. “Kau… seharusnya sudah mati di operasi Pyrrhus tiga tahun lalu.”

Kian menatap Reina sejenak sebelum menjawab, “Seharusnya. Tapi beberapa dari kami tak cukup beruntung untuk mati dengan tenang.”

Reina menatap keduanya, perlahan mengerti.

“Jadi semua ini… bukan cuma soal pesta pernikahan?”

“Tidak,” jawab Kian. “Itu eksekusi publik, Target utamanya bukan Raya Tapi...kau, Reina.”

---

Dafa menatap Reina, matanya gelap. “Mereka ingin kau mati?”

Kian menggeleng. “Mereka ingin menangkapnya hidup-hidup. Karena hanya dia yang bisa membuka Erebus Protocol.”

Reina menegang. “Itu cuma legenda. Proyek rahasia yang kabarnya bisa menghapus identitas seseorang dari seluruh database dunia.”

“Bukan legenda,” potong Kian. “Itu nyata. Dan kau satu-satunya kuncinya.”

---

Helikopter tiba-tiba bergetar keras.

Suara alarm menyala.

“Rudal pengejar!”

Pilot berteriak dari depan.

Kian langsung berdiri, menekan tombol di sabuknya. “Pegang erat!”

BOOM!

Rudal meledak di sayap kanan. Helikopter berputar liar. Reina nyaris terlempar keluar kursi, tapi Dafa memeluknya, menahan tubuhnya agar tidak terhempas.

Asap dan api memenuhi kabin. Kian membuka pintu belakang dan melemparkan tali parasut.

“Turun! Sekarang!”

“kau Gila?! Kita di atas dua ribu kaki!” teriak Dafa.

“Kalau tetap di sini, kita semua mati.”

Tanpa berpikir panjang, Kian mendorong Reina ke arah Dafa dan menarik pin parasutnya.

Udara dingin menyambut mereka saat tubuh mereka meluncur ke bawah malam.

---

Mereka mendarat keras di hutan perbukitan di luar kota.

Asap helikopter terbakar terlihat di langit jauh.

Reina terengah-engah, berlutut di tanah lembab. “Apa yang baru aja terjadi…?”

Dafa berdiri, wajahnya berdarah sedikit tapi masih tegap. “Kau hampir jadi berita duka nasional.”

Kian turun beberapa meter di depan mereka, masih dengan tatapan tajam khas prajurit. Ia menatap Reina lama.

“Kita harus bergerak. Raven akan menyisir area dalam sepuluh menit.”

“Aku tak mau, Kenapa? Kau mau paksa aku?” tanya Reina, sinis.

Kian menatapnya. “Maka kau akan ditangkap, diseret ke markas, dan mereka akan membuka kepalamu untuk mengaktifkan Erebus.”

Reina menelan ludah. “Jadi kita lari?”

“Tidak.”

Kian menoleh ke Dafa, lalu ke Reina. “Kita perang.”

---

Beberapa jam kemudian di rumah aman di bawah tanah.

Cahaya lampu redup.

Reina membersihkan luka kecil di tangannya, sementara Dafa mondar-mandir, mencoba menghubungkan potongan teka-teki yang tidak masuk akal.

“Kau bilang Erebus bisa menghapus identitas. Tapi kenapa mereka butuh Reina?”

Kian menatap layar hologram yang memproyeksikan file-file lama.

“Karena dialah yang menulis algoritmanya.”

Reina menatapnya kaget. “Apa?”

“Proyek itu dimulai saat kau masih di Divisi Riset. Kau membuat prototipe untuk program penghapus digital, alat penyamaran identitas. Tapi ketika mereka ingin memakainya untuk menghapus nyawa orang, kau menolak. Lalu mereka... membuatmu ‘mati’.”

Dafa menatap Reina, suaranya parau. “Jadi selama ini, kau hidup dalam kebohongan?”

Reina membalas tatapannya. “A-aku..."

Sunyi sesaat.

Sampai Kian berkata pelan, “Dan sekarang, mereka ingin kau menulis ulang Erebus untuk menghapus jejak seluruh operasi Raven.”

“Dan kalau aku menolak?” tanya Reina.

Kian menatapnya tajam. “Mereka akan menghapusmu sungguhan.”

---

Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar di atas ruangan.

Kian langsung mematikan lampu dan memberi isyarat diam. Dafa menarik Reina ke belakang meja.

Suara radio dan sepatu tempur menggema.

“Target terdeteksi. Radius dua puluh meter.”

Kian meraih senjatanya dan berbisik, “Mereka sudah menemukan kita.”

Reina berbisik balik, “Kau punya rencana?”

Kian tersenyum samar di kegelapan. “Tentu. Tapi aku butuh satu hal dulu.”

“Apa?”

Tatapannya jatuh pada Reina. “Kepercayaanmu.”

Ledakan kecil mengguncang pintu besi. Serpihan beterbangan.

Suara dentum granat suar menerangi ruangan seperti neraka kecil.

Kian menarik Reina ke arah pintu belakang, sementara Dafa menahan dua penyerang yang menerobos masuk.

Tembakan bertubi-tubi, Percikan api serta Darah.

Reina menoleh ke Dafa. “DAFA!”

“Pergi!” teriaknya. “Aku akan menyusul!”

Kian menarik lengan Reina, berlari ke lorong bawah tanah.

Asap memenuhi udara. Langkah mereka berpacu dengan waktu.

---

Dan di tengah lari itu, Reina sempat menoleh ke arah Kian.

Tatapan mereka bertemu di cahaya merah alarm darurat.

“Kenapa kau bantu aku?” bisiknya.

Kian tidak menatapnya, tapi suaranya dalam dan jujur.

“Karena aku tidak mau kehilanganmu… untuk kedua kali.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 8 [Wajah Yang Pernah Mati!]

    Sirene ambulans meraung di kejauhan, tapi Reina tidak mendengar apa-apa selain detak jantungnya sendiri. Mobil hitam yang membawanya berhenti di depan markas intel Delta-3, gedung abu-abu tanpa nama, tanpa tanda. Kian sudah lebih dulu keluar, tubuhnya basah kuyup, tapi ekspresinya tetap datar. “Kita harus masuk sebelum radar sipil aktif,” katanya tanpa menatap. Reina turun tanpa bicara. Setiap langkah di aspal seperti menapaki masa lalu yang tak mau mati. Di ruang bawah tanah Delta-3, aroma besi dan ozon menyengat. Layar-layar monitor memantulkan wajah-wajah yang sibuk. Tapi ketika Reina masuk, ruangan itu mendadak hening. Semua mata beralih padanya. “Target genetik teridentifikasi,” gumam salah satu teknisi. Kian menatap dingin. “Tutup akses eksternal. Operasi Erebus-14X diaktifkan.” Reina membeku. “Empat belas-X?” “Kode darurat,” jawab Kian datar. “Protokol yang dibuat ayahmu… untuk mematikan semua jejak.” --- Sebelum Reina sempat merespons, pintu laboratorium sebelah mele

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 7 [14-R]

    Lorong rumah sakit itu terlalu terang pagi itu. Cahaya putihnya bukan menenangkan, malah menusuk seperti disinari spotlight interogasi. Reina menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Tidak ada bekas luka operasi, tidak ada darah, tidak ada Kian yang lenyap di tengah cahaya. Hanya dirinya, dengan tato samar berbentuk burung gagak di bawah telinga. “Aku hanya bermimpi,” bisiknya. “Hanya... mimpi.” Tapi setiap kali ia mengucapkannya, suara itu terdengar kurang meyakinkan. Sebuah ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Seorang pria masuk dengan langkah tegas, seragamnya abu-abu tua, dengan lambang elang di pundak. Tatapannya tajam, tapi tidak menyerang lebih seperti sedang menilai data yang tidak lengkap. “Dr. Reina Armanda,” ucapnya datar. “Saya Kolonel Adrian Wirantara.” Nama itu terasa asing… tapi tidak benar-benar. Ada sesuatu dalam cara ia menyebut namanya seolah mereka pernah berbicara di tempat lain, waktu lain. “Pihak kami ingin menyampaikan tawaran,” l

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 6 [Dia Bukan Aku]

    “Ke mana sekarang?” “Kanan,” jawab Kian pendek. “Tadi kau bilang ke kiri,” sahut Reina ketus. Kian menoleh, tajam. “Dan kalau aku bilang dua arah itu sama saja?” Reina menatapnya curiga. “Apa maksudmu?” Kian tidak menjawab. Ia justru menempelkan perangkat kecil di dinding logam. Beep... Dinding itu bergeser… membuka lorong lain—tepat ke arah yang berlawanan. “Ini bukan lorong pelarian,” gumam Reina. “Benar,” jawab Kian pelan. “Ini pintu masuk.” --- Lorong bawah tanah itu ternyata bukan jalan kabur, tapi koridor menuju markas lama Raven Division. Logo burung gagak rusak terpampang di dinding baja yang berdebu. Reina membeku. “Ka-kau.. bawa aku ke sarang musuh?” Kian hanya menatap lurus ke depan. “Bukan musuh Tapi Rumah lama kita.” Reina menggeleng, tak percaya. “Kau bilang kau keluar dari Raven!” Kian berhenti. "Aku tidak pernah bilang aku berhenti.” --- Hologram di ujung ruangan menyala otomatis. Gambar wajah Reina muncul di udara, tapi bukan dia yang sekarang. Rambu

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 5 [Siapa Kau, Sebenarnya?]

    BRAK! Tiga orang berseragam hitam menyergap masuk. Senjata laras pendek terangkat. Gerakan cepat, senyap, dan terlatih. “Turun!” teriak salah satu dari mereka. Reina dan pria itu terpisah seketika. Dafa terpaku di ambang pintu antara marah, kaget, dan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Namun pria di dalam kamar yang tadi mencium Reina tidak bereaksi panik. Sebaliknya, ia berbalik perlahan. Mata dinginnya menatap ketiga penyerang itu seperti menatap gangguan kecil. Dan tanpa satu kata pun, ia menarik Reina ke belakangnya. “Siapa kau?!” salah satu pria bersenjata menyorotkan laser merah ke arah dada pria itu. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Pertanyaan yang salah.” Satu detik kemudian...... Dor! Dor! Dor! Tiga suara tembakan nyaris bersamaan. Tapi bukan pria itu yang tumbang. Tiga orang berseragam hitam itu yang jatuh bersamaan ke lantai, darah menetes di karpet. Asap tipis mengepul dari senjata kecil yang kini berada di tangan pria itu senjata

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 4 [Belum Saatnya]

    Sudah tiga hari sejak insiden penembakan di upacara pelantikan. Markas masih setengah terkunci, tapi para pejabat berusaha bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Termasuk… menggelar pesta pernikahan seformal ini.Ucapan selamat berhamburan seperti tembakan peluru kosong. Senyum tertata, tawa sopan, musik romantis menyelimuti aula pernikahan mewah itu. Lampu kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya ke gaun pengantin putih yang berdiri di atas panggung.Raya tampak anggun dan Dafa tampak gagah di sampingnya.Dan Reina berdiri di tengah kerumunan sebagai tamu undangan. Bukan sebagai wanita yang dulu pernah dijanjikan masa depan oleh pria yang kini sedang menggenggam tangan orang lain.Ia tidak mengenakan seragam. Tidak juga gaun mencolok. Hanya dress hitam sederhana, rambut disanggul rendah. Elegan, tapi tidak mengundang perhatian.Namun sorot mata beberapa orang terus diam-diam mencurinya pandang.Sebagian memuji keberaniannya datang. Sebagian menertawakannya. Seba

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 3 [Peluru Palsu?]

    Upacara pelantikan diselenggarakan di lapangan luas markas komando pusat tempat yang biasanya hanya dihiasi deretan bendera dan podium. Tapi hari ini, suasananya terlalu formal untuk sekadar seremonial. Barisan pejabat tinggi, perwira aktif, dan mantan komandan berdiri di area khusus yang terlindungi tenda putih.Semua terlihat rapi. Semua terlihat normal.Dan justru karena terlalu normal itulah, Reina tahu ada sesuatu yang tidak normal.Ia tidak masuk lewat pintu depan. Sesuai pesan pria itu, ia melewati akses samping, masuk bersama barisan petugas medis yang disiagakan untuk protokol. Seragam lapangannya membuatnya mudah membaur.Namun, mata beberapa orang mengikuti langkahnya. Bukan karena mereka mengenali—melainkan karena ada yang disuruh mengawasi.Ia pura-pura tidak melihat.Dari kejauhan, ia melihat Kolonel Ardan berdiri di depan podium, berbicara ringan dengan seorang jenderal yang lebih tua. Ardan tampak tenang. Senyumnya khas perwira yang sudah lama terbiasa berpolitik.Oran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status