Beranda / Lainnya / Pengantin Kontrak Sang Perwira / BAB 8 [Wajah Yang Pernah Mati!]

Share

BAB 8 [Wajah Yang Pernah Mati!]

Penulis: Zeyy_
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-02 22:53:11

Sirene ambulans meraung di kejauhan, tapi Reina tidak mendengar apa-apa selain detak jantungnya sendiri. Mobil hitam yang membawanya berhenti di depan markas intel Delta-3, gedung abu-abu tanpa nama, tanpa tanda.

Kian sudah lebih dulu keluar, tubuhnya basah kuyup, tapi ekspresinya tetap datar. “Kita harus masuk sebelum radar sipil aktif,” katanya tanpa menatap.

Reina turun tanpa bicara. Setiap langkah di aspal seperti menapaki masa lalu yang tak mau mati.

Di ruang bawah tanah Delta-3, aroma besi dan ozon menyengat.

Layar-layar monitor memantulkan wajah-wajah yang sibuk. Tapi ketika Reina masuk, ruangan itu mendadak hening. Semua mata beralih padanya.

“Target genetik teridentifikasi,” gumam salah satu teknisi.

Kian menatap dingin. “Tutup akses eksternal. Operasi Erebus-14X diaktifkan.”

Reina membeku. “Empat belas-X?”

“Kode darurat,” jawab Kian datar. “Protokol yang dibuat ayahmu… untuk mematikan semua jejak.”

---

Sebelum Reina sempat merespons, pintu laboratorium sebelah meledak. Asap putih menyelimuti lorong. Dari kabut itu, Dafa muncul, wajahnya penuh darah, mata liar, napas tersengal.

“kamu gila, Kian!” bentaknya. “kamu pikir aku tidak tahu kenapa ia dikontrak?! Ini semua hanya uji coba lanjutan dari Erebus!”

Kian berbalik perlahan. “Mundur, Dafa.”

“Terlambat.”

Tangannya menggenggam pistol. “Raya sudah mati gara-gara kamu. aku tidak akan membiarkan Reina menjadi kelinci percobaan selanjutnya.”

Nama itu, Raya. jatuh seperti pisau.

Reina menatap antara keduanya, tidak paham. “Raya? Apa maksud kalian?”

Dafa menatapnya putus asa. “Raya dibunuh! Di markas ini! Dan mereka ingin menutupi semuanya!”

Kian menahan napas. Untuk pertama kalinya, wajahnya retak. “Jangan lanjutkan, Dafa.”

“Kenapa? Karena dia anaknya?” Dafa melangkah maju, menodongkan senjata tepat ke dada Kian. “Atau karena kamu masih berbohong soal siapa kamu sebenarnya?”

Reina mendekat pelan. “Kian, apa maksudnya?"

Kian menatapnya, matanya tajam tapi bergetar. “Bukan saatnya.”

“Jawab aku!”

Suara Reina pecah, bukan karena marah, karena takut. “Apa kamu… bagian dari proyek Erebus juga?”

Kian terdiam.

Lalu perlahan, ia membuka kancing kerah seragamnya. Di bawah kulit lehernya, ada garis logam tipis memanjang, sebuah chip implant dengan logo yang sama seperti di video ayahnya.

Reina menatap tak percaya. “k-kamu...”

“Setengah manusia, setengah hasil Erebus,” Kian memotong pelan. “Aku ciptaan ayahmu, Rein.”

Suara tembakan memecah udara.

Reina menjerit tapi bukan Kian yang tumbang.

Dafa terhuyung, darah mengalir dari bahunya.

Dari bayangan, seorang pria berjas gelap muncul dengan pistol berasap di tangan. Logo yang sama, Erebus. terpampang di lengan bajunya.

“Target aman,” ucapnya datar lewat radio. “Aktifkan tahap selanjutnya. Subjek 14-X sudah sadar.”

Lantai bergetar, Lampu berkedip, Di dalam ruangan utama, mesin raksasa menyala memantulkan hologram wajah Sebastian Armanda, ayah Reina.

“Jika kau melihat ini, berarti mereka gagal menghapusmu, Rein.”

“Dan Erebus… baru saja dimulai.”

Kamera keamanan menyorot Reina yang berdiri di tengah hujan percikan listrik.

Di retinanya, kilatan data muncul, kode hitam bertuliskan:

SUBJEK 14-X: AKTIF.

Hujan belum reda ketika Reina membuka pintu rumah sakit militer.

Langkah-langkahnya berat, bukan karena kelelahan, tapi karena sesuatu di dalam dirinya seperti sedang runtuh pelan-pelan.

Pesan terakhir di ponsel masih membayang di kepala.

“Pilihannya sederhana: Ingat… atau dihapus lagi.”

Dan sekarang, setiap kali ia berkedip, Reina merasa seperti ada jeda kecil di antara realita dan halusinasi seolah memorinya sendiri mulai menolak keberadaannya.

“Rein!”

Suara keras itu membuatnya menoleh.

Raya berdiri di ujung lorong dengan jas dokter yang basah kuyup, napasnya tersengal, matanya merah seperti habis menangis.

“Kau ke mana aja?! Dafa dia...menghilang!”

Reina menatap temannya itu tanpa ekspresi. “Maksudmu?”

“Dia kabur, Rein. Dari ruang observasi. Semua rekaman CCTV mati bersamaan.” Raya meremas tangannya sendiri, cemas. “Ada seseorang yang bantu dia keluar. Tapi log data dihapus.”

Reina menarik napas perlahan, menenangkan diri. “Berarti… mereka sudah mulai.”

“Siapa ‘mereka’ ini? Kau dari tadi bicara seolah tahu segalanya!”

Sebelum Reina sempat menjawab, alarm darurat berbunyi. Lampu lorong berganti warna merah tanda pelanggaran tingkat tinggi di zona steril.

Emergency Protocol Delta Clearance Breach.

Raya menatap Reina, panik.

“Kau tahu apa artinya itu?”

Reina menatap lurus ke arah lorong timur. “Seseorang membuka arsip Erebus.”

Mereka berlari. Hujan di luar menggedor kaca, menyatu dengan suara sirine.

Reina menarik kartu akses dari saku jas, memindainya di depan pintu baja. Lampu scanner berkedip hijau, lalu pintu terbuka.

Udara di ruang bawah tanah terasa berbeda — dingin, tapi berdenyut seperti jantung hidup.

Deretan tabung kaca berisi cairan hitam berdiri di sepanjang dinding, beberapa retak, beberapa masih utuh.

Raya menatap sekeliling. “Apa ini, Rein…?”

“Bagian yang tidak boleh ada siapa pun tahu,” jawab Reina datar.

Ia menatap satu layar besar di ujung ruangan. Data terbuka, file lama dengan kode: Erebus_14X.MEMLOCK.

“Dr. Armanda.”

Suara itu datang dari balik bayangan. Kian muncul dengan jas hujan setengah basah, membawa pistol di satu tangan, tablet di tangan lain.

“Kenapa kau di sini?” tanya Reina tajam.

“Seharusnya aku yang tanya begitu.”

Ia menatap layar di belakang Reina. “File 14-X tidak boleh dibuka tanpa izin pusat. Kau melanggar.”

Reina mendengus. “Lucu, Padahal kau yang kirim pesan itu, kan?”

Kian terdiam sesaat.

“Pesan apa?”

“Diam bukan pilihan lagi. Jangan ulangi kesalahan ayahmu.”

Wajah Kian berubah dingin. “Aku tidak pernah kirim itu.”

Sebelum Reina sempat menjawab, layar di belakang mereka menyala sendiri.

Gambar kabur muncul lagi, sosok ayahnya, Sebastian, menatap kamera dengan ekspresi kosong.

“Jika kau melihat ini, berarti Erebus sudah aktif lagi.”

“Jangan percaya siapa pun… bahkan yang kau pikir melindungimu.”

Layar bergetar, lalu menampilkan dua wajah berdampingan Reina, dan… Kian.

muncul teks di bawahnya

SUBJECTS: Linked. Memory loop initiated.

Kian menatap layar itu dengan wajah pucat. “Apa-apaan ini?”

Reina melangkah mendekat. “Jawab aku, Kian. Siapa kau sebenarnya?”

Kian menghela napas berat. “Aku… bukan orang yang kau kira.”

Raya menatap mereka bingung. “Kalian berdua… kenapa ada nama kalian di sistem eksperimen?”

Reina berbalik, suaranya bergetar tapi tajam. “Karena Erebus bukan proyek biotek. Ini proyek pengendalian memori. Mereka menanamkan kenangan palsu.”

Ia menatap Kian lurus. “Dan kau salah satunya.”

Kian menatap balik, rahangnya mengeras. “Begitu juga kau, Reina.”

Tiba-tiba lampu padam.

Seseorang menembak ke arah mereka, kaca tabung pecah, cairan hitam menyebar di lantai.

“Down!” Kian menarik Reina ke lantai, menembakkan dua peluru balasan ke arah bayangan.

Raya berteriak, lalu terdiam, Darah memercik di lantai putih.

“RAYA!” Reina berlari mendekat, tapi teman sekaligus adik tirinya sudah tak bergerak. Matanya terbuka, tapi tak menatap siapa pun.

Reina menatap tubuh Raya dengan wajah kosong. Lalu berbalik ke arah Kian.

“Siapa yang menembak?”

Kian menatap ke arah pintu logam yang terbuka. Di sana, seseorang berdiri dengan pistol di tangan wajahnya familiar.

Dafa...

“Dafa…?” bisik Reina nyaris tak percaya.

Pria itu tersenyum dingin. “Akhirnya kau sadar juga, Rein. Aku hanya penjaga protokol.”

“Penjaga… Erebus?”

“Lebih dari itu.” Ia menurunkan pistolnya sedikit. “Aku satu-satunya yang masih ingat versi asli dunia ini.”

Kian menegangkan bahunya. “Kau berbohong.”

Dafa tersenyum. “Benarkah? Kalau begitu, kenapa kau punya luka di belakang kepala yang tak bisa dijelaskan?”

Reina menatap Kian cepat. Dan benar, ada bekas luka lama di bawah rambutnya, samar tapi jelas.

Sesuatu dalam dirinya mendadak runtuh.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Kian?!”

Kian membuka mulut, tapi belum sempat bicara, dinding di belakang mereka bergetar, alarm berbunyi lebih keras.

Containment breach. Level Omega.

Dafa melangkah mundur. “Kalian terlalu lama di sini. Erebus akan memilih ulang host-nya.”

“Host?” tanya Reina.

“Selamat datang di siklus kedua, Sayang.”

Dafa tersenyum bengkok, lalu menembak panel listrik. Ledakan terjadi. Asap tebal memenuhi ruangan.

Kian menarik Reina, berlari menembus lorong bawah tanah.

Di belakang mereka, api menjilat dinding, alarm meraung tak henti.

“Apa yang dia maksud dengan siklus kedua?!” teriak Reina.

Kian tidak menjawab. Tapi matanya..., matanya sudah tahu jawabannya.

“Karena Erebus bukan proyek… tapi simulasi,” katanya akhirnya. “Dan kita berdua… mungkin sudah mati sejak lama.”

Reina terdiam. Langkahnya berhenti, tubuhnya menegang.

Tapi sebelum ia sempat berkata apa pun, langit-langit di atas mereka runtuh dan semuanya gelap total.

Saat Reina membuka mata, ia sudah berada di ruang operasi.

Tapi kali ini dirinya yang terbaring di meja bedah.

Dan di sisi meja, seseorang dengan wajah mirip dirinya sendiri sedang mengangkat pisau bedah, tersenyum samar.

“Jangan khawatir, Rein. Aku cuma ingin mengambil ingatan yang bukan milikmu...”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 8 [Wajah Yang Pernah Mati!]

    Sirene ambulans meraung di kejauhan, tapi Reina tidak mendengar apa-apa selain detak jantungnya sendiri. Mobil hitam yang membawanya berhenti di depan markas intel Delta-3, gedung abu-abu tanpa nama, tanpa tanda. Kian sudah lebih dulu keluar, tubuhnya basah kuyup, tapi ekspresinya tetap datar. “Kita harus masuk sebelum radar sipil aktif,” katanya tanpa menatap. Reina turun tanpa bicara. Setiap langkah di aspal seperti menapaki masa lalu yang tak mau mati. Di ruang bawah tanah Delta-3, aroma besi dan ozon menyengat. Layar-layar monitor memantulkan wajah-wajah yang sibuk. Tapi ketika Reina masuk, ruangan itu mendadak hening. Semua mata beralih padanya. “Target genetik teridentifikasi,” gumam salah satu teknisi. Kian menatap dingin. “Tutup akses eksternal. Operasi Erebus-14X diaktifkan.” Reina membeku. “Empat belas-X?” “Kode darurat,” jawab Kian datar. “Protokol yang dibuat ayahmu… untuk mematikan semua jejak.” --- Sebelum Reina sempat merespons, pintu laboratorium sebelah mele

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 7 [14-R]

    Lorong rumah sakit itu terlalu terang pagi itu. Cahaya putihnya bukan menenangkan, malah menusuk seperti disinari spotlight interogasi. Reina menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Tidak ada bekas luka operasi, tidak ada darah, tidak ada Kian yang lenyap di tengah cahaya. Hanya dirinya, dengan tato samar berbentuk burung gagak di bawah telinga. “Aku hanya bermimpi,” bisiknya. “Hanya... mimpi.” Tapi setiap kali ia mengucapkannya, suara itu terdengar kurang meyakinkan. Sebuah ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Seorang pria masuk dengan langkah tegas, seragamnya abu-abu tua, dengan lambang elang di pundak. Tatapannya tajam, tapi tidak menyerang lebih seperti sedang menilai data yang tidak lengkap. “Dr. Reina Armanda,” ucapnya datar. “Saya Kolonel Adrian Wirantara.” Nama itu terasa asing… tapi tidak benar-benar. Ada sesuatu dalam cara ia menyebut namanya seolah mereka pernah berbicara di tempat lain, waktu lain. “Pihak kami ingin menyampaikan tawaran,” l

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 6 [Dia Bukan Aku]

    “Ke mana sekarang?” “Kanan,” jawab Kian pendek. “Tadi kau bilang ke kiri,” sahut Reina ketus. Kian menoleh, tajam. “Dan kalau aku bilang dua arah itu sama saja?” Reina menatapnya curiga. “Apa maksudmu?” Kian tidak menjawab. Ia justru menempelkan perangkat kecil di dinding logam. Beep... Dinding itu bergeser… membuka lorong lain—tepat ke arah yang berlawanan. “Ini bukan lorong pelarian,” gumam Reina. “Benar,” jawab Kian pelan. “Ini pintu masuk.” --- Lorong bawah tanah itu ternyata bukan jalan kabur, tapi koridor menuju markas lama Raven Division. Logo burung gagak rusak terpampang di dinding baja yang berdebu. Reina membeku. “Ka-kau.. bawa aku ke sarang musuh?” Kian hanya menatap lurus ke depan. “Bukan musuh Tapi Rumah lama kita.” Reina menggeleng, tak percaya. “Kau bilang kau keluar dari Raven!” Kian berhenti. "Aku tidak pernah bilang aku berhenti.” --- Hologram di ujung ruangan menyala otomatis. Gambar wajah Reina muncul di udara, tapi bukan dia yang sekarang. Rambu

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 5 [Siapa Kau, Sebenarnya?]

    BRAK! Tiga orang berseragam hitam menyergap masuk. Senjata laras pendek terangkat. Gerakan cepat, senyap, dan terlatih. “Turun!” teriak salah satu dari mereka. Reina dan pria itu terpisah seketika. Dafa terpaku di ambang pintu antara marah, kaget, dan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Namun pria di dalam kamar yang tadi mencium Reina tidak bereaksi panik. Sebaliknya, ia berbalik perlahan. Mata dinginnya menatap ketiga penyerang itu seperti menatap gangguan kecil. Dan tanpa satu kata pun, ia menarik Reina ke belakangnya. “Siapa kau?!” salah satu pria bersenjata menyorotkan laser merah ke arah dada pria itu. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Pertanyaan yang salah.” Satu detik kemudian...... Dor! Dor! Dor! Tiga suara tembakan nyaris bersamaan. Tapi bukan pria itu yang tumbang. Tiga orang berseragam hitam itu yang jatuh bersamaan ke lantai, darah menetes di karpet. Asap tipis mengepul dari senjata kecil yang kini berada di tangan pria itu senjata

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 4 [Belum Saatnya]

    Sudah tiga hari sejak insiden penembakan di upacara pelantikan. Markas masih setengah terkunci, tapi para pejabat berusaha bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Termasuk… menggelar pesta pernikahan seformal ini.Ucapan selamat berhamburan seperti tembakan peluru kosong. Senyum tertata, tawa sopan, musik romantis menyelimuti aula pernikahan mewah itu. Lampu kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya ke gaun pengantin putih yang berdiri di atas panggung.Raya tampak anggun dan Dafa tampak gagah di sampingnya.Dan Reina berdiri di tengah kerumunan sebagai tamu undangan. Bukan sebagai wanita yang dulu pernah dijanjikan masa depan oleh pria yang kini sedang menggenggam tangan orang lain.Ia tidak mengenakan seragam. Tidak juga gaun mencolok. Hanya dress hitam sederhana, rambut disanggul rendah. Elegan, tapi tidak mengundang perhatian.Namun sorot mata beberapa orang terus diam-diam mencurinya pandang.Sebagian memuji keberaniannya datang. Sebagian menertawakannya. Seba

  • Pengantin Kontrak Sang Perwira    BAB 3 [Peluru Palsu?]

    Upacara pelantikan diselenggarakan di lapangan luas markas komando pusat tempat yang biasanya hanya dihiasi deretan bendera dan podium. Tapi hari ini, suasananya terlalu formal untuk sekadar seremonial. Barisan pejabat tinggi, perwira aktif, dan mantan komandan berdiri di area khusus yang terlindungi tenda putih.Semua terlihat rapi. Semua terlihat normal.Dan justru karena terlalu normal itulah, Reina tahu ada sesuatu yang tidak normal.Ia tidak masuk lewat pintu depan. Sesuai pesan pria itu, ia melewati akses samping, masuk bersama barisan petugas medis yang disiagakan untuk protokol. Seragam lapangannya membuatnya mudah membaur.Namun, mata beberapa orang mengikuti langkahnya. Bukan karena mereka mengenali—melainkan karena ada yang disuruh mengawasi.Ia pura-pura tidak melihat.Dari kejauhan, ia melihat Kolonel Ardan berdiri di depan podium, berbicara ringan dengan seorang jenderal yang lebih tua. Ardan tampak tenang. Senyumnya khas perwira yang sudah lama terbiasa berpolitik.Oran

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status