 LOGIN
LOGINSudah tiga hari sejak insiden penembakan di upacara pelantikan. Markas masih setengah terkunci, tapi para pejabat berusaha bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Termasuk… menggelar pesta pernikahan seformal ini.
Ucapan selamat berhamburan seperti tembakan peluru kosong. Senyum tertata, tawa sopan, musik romantis menyelimuti aula pernikahan mewah itu. Lampu kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya ke gaun pengantin putih yang berdiri di atas panggung. Raya tampak anggun dan Dafa tampak gagah di sampingnya. Dan Reina berdiri di tengah kerumunan sebagai tamu undangan. Bukan sebagai wanita yang dulu pernah dijanjikan masa depan oleh pria yang kini sedang menggenggam tangan orang lain. Ia tidak mengenakan seragam. Tidak juga gaun mencolok. Hanya dress hitam sederhana, rambut disanggul rendah. Elegan, tapi tidak mengundang perhatian. Namun sorot mata beberapa orang terus diam-diam mencurinya pandang. Sebagian memuji keberaniannya datang. Sebagian menertawakannya. Sebagian menunggunya hancur. Di atas panggung, MC meminta pasangan pengantin saling bertukar janji cinta. Raya menatap Dafa seolah dunia hanya milik mereka. Dengan suara gemetar manja, ia berkata, “Aku berjanji akan jadi rumah terhangat untukmu…” Semua orang berdecak haru. Reina meneguk champagne-nya pelan, menahan tawa hambar. "Rumah terhangat, hah? Lantas aku dulu apa? Barak darurat?" Dafa membalas janji. Suaranya berat, dalam, penuh keyakinan hanya bagi mereka yang tak mengenalnya. Tapi bagi Reina, setiap katanya terdengar seperti pisau berkarat yang dipaksa masuk perlahan ke dalam dada. “Aku janji akan menjagamu seumur hidupku.” Reina mengalihkan pandangan. Lucu Kau pernah bilang kalimat yang sama. Bahkan pakai nada yang sama. Para tamu tepuk tangan riuh. Dan saat semua mata tertuju ke panggung, Reina merasakan tatapan lain. Tatapan yang terlalu familiar. Ia menoleh dan mendapati Dafa sudah menatapnya. Di tengah riuh bahagia, ia sempat-sempatnya mencari mata Reina. Dan ketika pandangan mereka bertemu… Dafa tidak segera berpaling. Tidak. Ia tetap menatap. Tatapan yang bukan milik pria yang baru menikah. Tatapan milik pria yang masih menganggap seorang wanita sebagai miliknya. Reina mengangkat alis sedikit. Berani juga kau menatapku di depan istrimu. Dafa berpaling akhirnya. Tapi bukan untuk kembali fokus ke Raya. Melainkan untuk mencari jalan turun dari panggung. Dan beberapa menit kemudian, saat sesi foto dimulai, Reina bergerak menjauh ke balkon samping untuk menarik napas. Udara malam dingin. “Kenapa kau datang?” Suara bariton itu muncul dari belakang. Reina tidak menoleh. “Harusnya aku tanya itu padamu. Kau yang mengirim undangan.” Langkah Dafa mendekat. “Aku tak menyangka kau akan datang.” “Kenapa? Takut aku merusak pesta manismu?” “Tentu tidak.” Suara Dafa lebih rendah. “Aku cuma… tidak mau kau melihat ini.” Reina tertawa pelan. “Oh, jadi kau pikir aku masih selemah dulu?” Dafa berdiri tepat di belakangnya. Napasnya menyentuh leher Reina. “Rei…” bisiknya. Panggilan lama. Terlarang. “Kau terlihat… cantik malam ini.” Ucapan itu bukan pujian. Itu penyesalan yang terlambat. “Jangan dekat-dekat,” kata Reina tajam. Tapi Dafa bukan mundur ia justru semakin mendekat. Tangannya menahan pagar balkon di sisi kanan Reina, membuatnya terkurung di antara tubuhnya dan pinggiran besi. “Kalau aku bilang aku menyesal?” tanya Dafa, suaranya kasar, nyaris seperti erangan yang ditahan. “Kalau aku bilang… aku masih..” Reina membalik tubuhnya cepat, wajah mereka kini hanya berjarak jengkal. Senyumnya tipis, Berbahaya. “Kalau kau bilang satu kata lagi…” Reina mencondongkan tubuh, bibirnya hampir menyentuh telinganya. “…aku pastikan malam pertamamu akan jadi neraka.” Dafa menutup mata sesaat. Rahangnya mengeras. Tangannya nyaris menyentuh pinggang Reina tapi sebuah suara menghentikan mereka. “Sayang.” Suara pria, Dalam Tenang Tapi mengguncang. Reina dan Dafa menoleh bersamaan. Seorang pria berdiri di ambang pintu balkon. Mengenakan jas hitam elegan. Wajahnya tenang, seolah sejak awal ia tahu apa yang terjadi di sini. Pria itu tersenyum ringan pada Reina. “Maaf terlambat. Kukira kau sudah pulang.” Lalu, dengan santai… Ia melingkarkan lengannya ke pinggang Reina. Udara di balkon mendadak terasa jauh lebih sempit. Dafa berdiri terpaku, napasnya membeku melihat lengan pria asing itu melingkari pinggang Reina seolah sudah lama menjadi miliknya. Padahal baru satu kalimat yang keluar dari mulutnya dan porselen wajah Dafa sudah mulai retak. “Nama saya...” Reina menyelanya cepat, tatapannya tajam namun nyaris tersenyum. “Tidak penting. Yang penting… dia tahu posisinya.” Pria itu menatap Reina sejenak lalu tersenyum samar, seolah memahami perannya dalam permainan ini. Tapi ia tidak diam. Ia mencium pelipis Reina Ringan, Tenang dan Berbahaya. Dafa mengepal. “Cukup.” suaranya rendah, dingin, tapi jelas gemetar amarah. “Ini bukan tempat..” “Tempat apa?” pria itu menoleh santai, masih menahan Reina dekat tubuhnya. “Tempat untuk bersandiwara cinta? Atau tempat untuk pura-pura bahagia?” Dafa menggertakkan gigi. “Siapa kau sebenarnya?” Pria itu menatapnya sejenak… lalu menjawab santai. “Orang yang berani mengakui siapa yang ia inginkan, Tidak seperti kau.” Reina hampir tertawa melihat wajah Dafa yang memucat menahan amarah. Tapi pria itu tidak berhenti. Ia menatap Reina. “Tempat ini terlalu ramai. Kau tidak suka diperhatikan saat emosimu kacau, kan?” Reina menatapnya balik. Dia membaca aku terlalu tepat. Sedikit mengganggu… namun entah kenapa, ada bagian dalam dirinya yang tak menolak. Dafa melangkah maju. “Kau tidak...” Reina mengangkat tangan, menghentikannya tanpa menyentuh. “Jangan Ikut campur.” suaranya tajam. “Ini bukan urusanmu lagi.” Tatapan mereka terkunci beberapa detik. Lalu Reina menarik pria itu masuk kembali ke dalam aula bukan kembali ke pesta, tapi ke lorong samping menuju kamar VIP khusus tamu keluarga. Langkah mereka terdengar pelan namun pasti. Dafa mengikuti dari kejauhan Berusaha tampak tidak panik. Tapi napasnya sudah tidak beraturan. --- Pintu kamar VIP tertutup dengan bunyi klik pelan. Sunyi. Hanya napas mereka yang terdengar. Reina bersandar pada dinding, berusaha tetap tenang. Tapi pria itu tidak memberi ruang untuk tenang. Ia mendekat tanpa kata. Tangan kirinya menahan pergelangan Reina ke dinding tidak keras hingga melukai, tapi cukup membuat Reina merasa tidak bisa lari kecuali ia mau memberontak sungguhan. “Kau ingin aku berhenti?” bisiknya rendah. Reina menoleh, menatapnya penuh peringatan. “Kalau kau tidak berhenti...” “...maka kau akan terus berpikir tentang dia,” potongnya tenang. “Dan aku tidak suka bersaing dengan bayangan.” Sebelum Reina sempat menjawab, pria itu menunduk dan mencium bibirnya. Bukan ciuman lembut. Ciuman keras, dalam, penuh tatapan menantang. Reina seharusnya mendorongnya. Tapi tubuhnya bereaksi lebih cepat dari otaknya. Pergelangan tangannya masih ditahan satu tangan, tapi tangan yang lain menarik kerah jas pria itu, menyeretnya lebih dekat. Dentum halus terdengar ketika punggung Reina menghantam dinding sedikit lebih keras. Napas mereka bertabrakan. Bibir mereka bertemu lagi, lebih panas. Suara gesekan kain terdengar. Napas Reina tercekat setengah desah, setengah kemarahan. “Jangan… terlalu… percaya diri,” gumam Reina di sela ciuman, tapi ujung kalimatnya berubah menjadi helaan napas yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan. “Aku tidak percaya diri,” pria itu berbisik di bibirnya. “Aku hanya… menikmati.” Ciuman turun ke rahangnya, lalu ke lehernya. Reina menggigit bibir, menahan suara tapi suara kecil lolos juga, samar namun jelas. Dan di luar pintu, seseorang mendengar. --- Dafa berdiri di depan pintu kamar, tangan mengepal. Awalnya ia hanya ingin mengetuk —sekadar memastikan Reina baik-baik saja. Tapi suara samar dari balik pintu membuat langkahnya membeku. Sesuatu jatuh pelan di dalam. Bukan benda mungkin punggung menghantam dinding. Lalu… Napas cepat, Suara tertahan dan Bukan kesakitan. Dafa menggertakkan gigi. Tenggorokannya kering. Ia ingin percaya kalau ia salah dengar tapi suara berikutnya menghancurkan semua penyangkalan. “Jangan berhenti…” Itu suara Reina. Pelan, Bergetar Tapi jelas. Darah Dafa mendidih. Ia mengangkat tinjunya dan menggedor pintu dengan keras. “Reina!” Suara di dalam berhenti. Tapi Dafa tidak. “Buka pintunya. Sekarang!” Sunyi. Dafa bersandar ke pintu, napasnya memburu. Tangannya gemetar entah karena marah, sedih, atau malu. Lalu ia berkata lebih pelan — namun jauh lebih menyakitkan. “…Tolong.” --- Di dalam, pria itu menatap Reina — masih menahannya di dinding, jarak mereka hanya beberapa senti. Bibirnya masih merah akibat ciuman tadi. “Kalau kau buka pintu,” bisiknya, “dia akan merasa menang. Kau yakin ingin memupuk harapan itu lagi?” Reina terdiam. Napasnya masih belum stabil. Tangannya menggenggam kerah pria itu tapi kali ini tak tahu apakah untuk menarik… atau mendorong. Pintu diketuk sekali lagi. Perlahan. “…Rei.” Suara Dafa terdengar pecah di ujungnya. Reina memejamkan mata. Tangannya bergerak ke gagang pintu... Tapi tiba-tiba tangan pria itu menahan pintunya dari dalam. Satu tangan masih menekan pinggang Reina ke dinding, satu lagi menahan pintu agar tidak bergerak. “Lepas,” bisik Reina entah pada pria itu atau dirinya sendiri. “Kalau kau buka,” suara pria itu rendah, nyaris seperti geraman pelan di telinganya, “dia akan terus merasa berhak.” Suara Dafa terdengar lagi dari luar. Lebih marah. Lebih putus asa. “REINA! BUKA PINTUNYA!” Reina terdiam. Dalam satu detik itu… ia bisa memilih. Membuka pintu menghadapi masa lalu. Atau… Membakar semuanya sampai tak bisa kembali. Dan entah kenapa, tubuhnya bergerak lebih dulu. Bukan ke pintu Tapi ke pria itu. Ia menarik kerah pria itu mencium bibirnya lagi. Lebih keras. Lebih dalam Bukan lagi karena terbawa suasana. Tapi sebagai pernyataan. Terdengar jelas dari luar pintu suara benturan tubuh ke dinding… dan satu desahan tertahan namun tak bisa disangkal. Dan di luar Dafa membeku. Lalu, sesuatu meledak di dalam dirinya. BRAK! Tinju Dafa menghantam pintu. “REINA!!!” BRAK! Pintu bergetar. “JANGAN LAGI!!” Tinju berikutnya lebih keras. Gagang pintu ikut terdorong keras namun tetap ditahan oleh pria itu. Di dalam, ciuman belum terputus. Reina tidak menjauh. Pria itu masih menahannya erat, tapi kini… Reina balas menekan tubuhnya ke arah pria itu, seakan sengaja menambah suara. Sengaja membuat Dafa mendengar. Sengaja menghabisinya. Di luar, Dafa berhenti memukul. Tapi napasnya terdengar berat. Hancur Seperti hewan terluka yang terpojok. Lalu Suara logam. Klik.... Seperti ada yang membuka kunci cadangan dari luar. Tangan Dafa menggenggam gagang pintu. Pintu mulai bergerak, Terbuka....
BRAK! Tiga orang berseragam hitam menyergap masuk. Senjata laras pendek terangkat. Gerakan cepat, senyap, dan terlatih. “Turun!” teriak salah satu dari mereka. Reina dan pria itu terpisah seketika. Dafa terpaku di ambang pintu antara marah, kaget, dan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Namun pria di dalam kamar yang tadi mencium Reina tidak bereaksi panik. Sebaliknya, ia berbalik perlahan. Mata dinginnya menatap ketiga penyerang itu seperti menatap gangguan kecil. Dan tanpa satu kata pun, ia menarik Reina ke belakangnya. “Siapa kau?!” salah satu pria bersenjata menyorotkan laser merah ke arah dada pria itu. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Pertanyaan yang salah.” Satu detik kemudian...... Dor! Dor! Dor! Tiga suara tembakan nyaris bersamaan. Tapi bukan pria itu yang tumbang. Tiga orang berseragam hitam itu yang jatuh bersamaan ke lantai, darah menetes di karpet. Asap tipis mengepul dari senjata kecil yang kini berada di tangan pria itu senjata
Sudah tiga hari sejak insiden penembakan di upacara pelantikan. Markas masih setengah terkunci, tapi para pejabat berusaha bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Termasuk… menggelar pesta pernikahan seformal ini.Ucapan selamat berhamburan seperti tembakan peluru kosong. Senyum tertata, tawa sopan, musik romantis menyelimuti aula pernikahan mewah itu. Lampu kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya ke gaun pengantin putih yang berdiri di atas panggung.Raya tampak anggun dan Dafa tampak gagah di sampingnya.Dan Reina berdiri di tengah kerumunan sebagai tamu undangan. Bukan sebagai wanita yang dulu pernah dijanjikan masa depan oleh pria yang kini sedang menggenggam tangan orang lain.Ia tidak mengenakan seragam. Tidak juga gaun mencolok. Hanya dress hitam sederhana, rambut disanggul rendah. Elegan, tapi tidak mengundang perhatian.Namun sorot mata beberapa orang terus diam-diam mencurinya pandang.Sebagian memuji keberaniannya datang. Sebagian menertawakannya. Seba
Upacara pelantikan diselenggarakan di lapangan luas markas komando pusat tempat yang biasanya hanya dihiasi deretan bendera dan podium. Tapi hari ini, suasananya terlalu formal untuk sekadar seremonial. Barisan pejabat tinggi, perwira aktif, dan mantan komandan berdiri di area khusus yang terlindungi tenda putih.Semua terlihat rapi. Semua terlihat normal.Dan justru karena terlalu normal itulah, Reina tahu ada sesuatu yang tidak normal.Ia tidak masuk lewat pintu depan. Sesuai pesan pria itu, ia melewati akses samping, masuk bersama barisan petugas medis yang disiagakan untuk protokol. Seragam lapangannya membuatnya mudah membaur.Namun, mata beberapa orang mengikuti langkahnya. Bukan karena mereka mengenali—melainkan karena ada yang disuruh mengawasi.Ia pura-pura tidak melihat.Dari kejauhan, ia melihat Kolonel Ardan berdiri di depan podium, berbicara ringan dengan seorang jenderal yang lebih tua. Ardan tampak tenang. Senyumnya khas perwira yang sudah lama terbiasa berpolitik.Oran
Reina menatap layar ponselnya cukup lama setelah pesan itu muncul. Bukan karena takut. Tapi karena kalimat itu terasa bukan ancaman… melainkan pengingat dari seseorang yang tahu lebih banyak daripada musuh-musuhnya. “Diam bukan pilihan lagi. Jangan ulangi kesalahan ayahmu.” Kesalahan ayahnya? Orang-orang mengira mereka tahu apa yang terjadi, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar berada di ruangan itu, hari itu, saat semuanya runtuh. Kecuali satu orang. Dan orang itu hilang begitu saja sesudahnya. Reina menekan tombol power, mengunci layar, lalu menyimpan ponselnya tanpa ekspresi. Tapi otaknya tidak berhenti bekerja satu detik pun. Siapa yang cukup berani mengirim pesan seperti itu? Orang dalam? Perwira senior? Bawahan almarhum ayahnya? Atau seseorang yang sengaja ingin mengaduk masa lalu… agar kembali meledak? Ia masuk ke dalam mobil, tapi bahkan sebelum jari menyentuh setir, ia menyadari sesuatu. Spion tengahnya sedikit berubah posisi. Ia tahu betul ia tidak p
Lorong rumah sakit militer itu dinginnya tidak wajar malam itu, seolah AC sengaja dinaikkan untuk membekukan orang-orang yang masih sadar. Lampu neon putih di langit-langit berkedip sekali, lalu stabil kembali. Reina Armanda berjalan pelan sambil melepas sarung tangan bedah, ujung jarinya memerah karena terlalu lama menggenggam alat operasi. Enam jam operasi darurat, tiga prajurit dengan luka tembak di perbatasan, dan dua nyawa yang hampir tidak kembali. Tapi justru bukan itu yang membuat napasnya berat.Ia merasa malam ini ada sesuatu yang menunggu namun bukan rasa lelah. Di ujung lorong, suara dua perawat yang berpapasan tiba-tiba merendah begitu melihatnya lewat. Bukan karena wibawanya sebagai dokter bedah militer, tapi seperti ada bisik-bisik yang sudah mendahului langkahnya. Salah satu dari mereka bahkan sempat menatap Reina dengan ekspresi seperti hendak bicara… lalu mengurungkan diri. Reina mengabaikannya. Begitu membuka pintu ruang istirahat dokter, ia mengira ruangan it








