LOGINUpacara pelantikan diselenggarakan di lapangan luas markas komando pusat tempat yang biasanya hanya dihiasi deretan bendera dan podium. Tapi hari ini, suasananya terlalu formal untuk sekadar seremonial. Barisan pejabat tinggi, perwira aktif, dan mantan komandan berdiri di area khusus yang terlindungi tenda putih.
Semua terlihat rapi. Semua terlihat normal. Dan justru karena terlalu normal itulah, Reina tahu ada sesuatu yang tidak normal. Ia tidak masuk lewat pintu depan. Sesuai pesan pria itu, ia melewati akses samping, masuk bersama barisan petugas medis yang disiagakan untuk protokol. Seragam lapangannya membuatnya mudah membaur. Namun, mata beberapa orang mengikuti langkahnya. Bukan karena mereka mengenali—melainkan karena ada yang disuruh mengawasi. Ia pura-pura tidak melihat. Dari kejauhan, ia melihat Kolonel Ardan berdiri di depan podium, berbicara ringan dengan seorang jenderal yang lebih tua. Ardan tampak tenang. Senyumnya khas perwira yang sudah lama terbiasa berpolitik. Orang-orang mungkin percaya bahwa dia dalang dari masa lalu keluarganya. Orang-orang mungkin ingin Reina membencinya. Tapi satu hal mengganggu kepalanya. Kenapa pria tadi menyuruhnya datang… kalau memang Kolonel Ardan musuhnya? Tak akan mungkin ia diarahkan ke tempat musuhnya dilantik… kecuali ada sesuatu yang akan terjadi di sini. Dan Reina tidak datang sebagai tamu—ia datang sebagai saksi. --- Suara pembawa acara mulai terdengar melalui pengeras. Semua berdiri. Musik kebangsaan dikumandangkan. Deretan tentara mengangkat tangan tanda hormat. Ardan maju ke podium untuk pengambilan sumpah. Semua terasa begitu resmi, Hening dan Terkendali. Sampai Reina menyadari sesuatu. Seekor burung gagak bertengger di atas tiang bendera. Tidak seharusnya ada burung liar di area steril seperti ini. Apalagi gagak. Reina tidak berpaling dari podium, tapi pandangan matanya menangkap gerakan di sisi kanan tenda pejabat. Seseorang melangkah mendekat. Bukan prajurit. Bukan petugas protokol. Tapi mengenakan jas formal hitam terlalu formal untuk tamu biasa. Ia berdiri tegak, tapi tangannya… bergetar sedikit. Bukan gugup. Itu getaran yang hanya dimiliki seseorang yang sedang menahan amarah… atau bersiap melakukan sesuatu. Titik merah laser kecil melintas di tanah. Hampir tak terlihat kecuali kalau seseorang terbiasa melihat jalur tembak. Insting militer Reina langsung menyala.Ini bukan pembunuhan Ini eksekusi.Tapi targetnya siapa? Kolonel Ardan? Atau… seseorang di kursi pejabat belakang? Atau… justru seseorang yang berada tidak jauh dari Reina sendiri? Matanya mengikuti jalur laser itu dan secara mengejutkan, titiknya berhenti bukan di dada Kolonel. Melainkan… di pundak seorang DANDIM yang berdiri dua baris di belakang Ardan. Pistol ditembakkan. DOOR! Teriakan pecah, Orang-orang panik. Beberapa merunduk. Beberapa berlari, Petugas keamanan masuk membentuk barikade. Kolonel Ardan bergerak mundur cepat, dilindungi dua ajudan. Matanya refleks mencari sumber tembakan tapi salah satu ajudannya menariknya menjauh. Ia tidak sempat melihat jalur peluru. Jadi ia tidak tahu dari mana datangnya. Tapi Reina tahu. Dan yang membuatnya lebih bingung… Penembak itu tidak lari. Ia berdiri diam, senjatanya sudah terjatuh ke tanah. Wajahnya seperti orang kehilangan kesadaran. Seakan-akan ia menembak… bukan dengan kemauannya sendiri. Orang-orang mulai berteriak “Tangkap dia!” dan beberapa polisi militer langsung menubruk pria itu ke tanah. Skenario sempurna. Terlalu sempurna. Terlalu bersih untuk dianggap spontan. Terlalu jelas untuk dianggap kebetulan. semua orang akan berpikir penyerangnya hanya seorang pria frustasi. Atau simpatisan politik. Atau dendam pribadi pada Kolonel. Tapi Reina melihat sesuatu yang semua orang lewatkan. Pria itu menatap lurus ke satu titik. Ke arah seseorang yang berdiri di ujung barisan penonton… jauh dari area pejabat. Seorang pria dengan seragam pucat. Pria yang kemarin malam datang ke rumahnya. Dan pria itu… mengangguk pelan. Seolah berkata “Sudah cukup.” Tapi sebelum Reina bisa bergerak mendekat, sesuatu terjadi. Pria yang ditangkap tiba-tiba kejang hebat. Mulutnya berbusa, Kepala mendongak Tubuhnya menegang seperti besi panas. Ia mati. Tepat di depan semua orang. Tanpa kesempatan bicara. Tanpa sempat disidang. Seseorang membiarkan dia menembak… hanya untuk menutup mulutnya selamanya. Dan semua orang… akan percaya kejadian ini hanya aksi nekat seorang pria. Reina menguatkan napas. Otaknya menganalisis cepat. Pria itu bukan dalang.Pria berseragam pucat itu… bukan eksekutor utama.Dan Kolonel Ardan… mungkin bukan target utama. Jeritan belum mereda, barisan tentara belum selesai mengamankan perimeter, tapi dua hal sudah terjadi jelas di depan mata Satu pria jatuh karena peluru. Satu pria lagi mati tanpa sempat bicara. Dan yang paling berbahaya bukan pelurunya. Melainkan narasi yang mulai terbentuk. "Penyerang bertindak sendiri!" "Itu aksi fanatik!" "Pasti ada dendam pribadi!" "Orang gila masuk ke upacara negara!" Kalimat-kalimat itu bermunculan seperti jamur setelah hujan, dilempar dari mulut ke mulut bahkan sebelum media resmi menyiarkan satu kata pun. Dan di tengah kekacauan itu… Reina justru diam. Bukan karena takut. Tapi karena ia tahu momen paling berbahaya dalam sebuah serangan bukan saat peluru ditembakkan. Melainkan saat semua orang mulai percaya pada kesimpulan paling mudah. --- Petugas keamanan mulai mendorong semua penonton menjauh. Tentara membentuk pagar rapat. Beberapa orang penting sudah dievakuasi. Termasuk Kolonel Ardan. Tapi yang menarik perhatian Reina bukan Ardan… melainkan pria berseragam pucat yang berdiri di ujung barisan tadi. Pria yang mengangguk pada penembak. Dia tidak lari. justru berjalan pelan meninggalkan lapangan, seperti seseorang yang baru selesai mengamati eksperimen. Reina bergerak cepat, menyusul dari sisi kanan lapangan. Langkahnya tenang, tapi matanya tidak lepas dari punggung pria itu. Namun sebelum ia mendekat “DOKTER REINA!” Suara keras menghentikan langkahnya. Suara perintah, bukan panggilan pribadi. Nada tegas seorang atasan. Reina berhenti dan Menoleh. Dua polisi militer menghampirinya. Di belakang mereka, seorang perwira intel berpangkat Letnan Kolonel ikut mendekat. “Dokter Reina Armanda?” ia bertanya formal. “Ya.” “Kami perlu meminta keterangan Anda.” Nada sopan. Senyum tipis. Tapi sorot mata waspada. Mereka tidak tahu Reina sedang mengejar sesuatu. Atau justru… mereka tahu persis, dan sengaja menghentikannya? “Kenapa saya?” tanya Reina datar. “Saksi ahli medis,” jawabnya. “Dan Anda berada paling dekat dengan korban kedua.” Korban kedua. Bukan korban tembak. Tapi pria yang mati kejang. Mereka tidak menyebutnya pelaku. Sengaja. Agar publik melihatnya sebagai “korban kegilaan sendiri”. Reina tahu permainan ini. “Baik,” ia mengangguk pelan. “Tapi sebelum itu” Ia menoleh cepat. Pria berseragam pucat tadi Sudah hilang. Seolah ia hanya bayangan yang muncul sebentar untuk memastikan sesuatu… lalu lenyap tanpa jejak. Letnan Kolonel itu menatapnya. “Ada yang Anda lihat?” Reina menatap matanya dalam-dalam. Kalau ia menjawab jujur, ia akan dianggap terlalu banyak tahu. Kalau ia menjawab bohong, ia akan dianggap menyembunyikan sesuatu. Dan dua-duanya bisa membunuhnya lebih cepat daripada peluru. Jadi ia menjawab… “Tidak. Tapi saya rasa… seseorang ingin kita percaya kejadian ini sudah selesai.” Letnan Kolonel itu tidak berkedip sesaat. “Dan menurut Anda?” Reina mendekat sedikit. Suaranya turun, pelan tapi jelas. “Ini baru pembukaan.” --- Ia dibawa ke tenda khusus untuk pemeriksaan saksi. Tapi bukan interogasi Lebih seperti formalitas bahkan terlalu formal. Letnan Kolonel itu mengajukan beberapa pertanyaan standar jam berapa Reina tiba, apa yang ia lihat, apa yang ia lakukan saat tembakan terdengar. Pertanyaan satu… dua… Lalu… “Apakah Anda mengenali pria yang mati kejang tadi?” Jebakan... Semua pertanyaannya tadi cuma pemanasan untuk ini. “Tidak,” jawab Reina cepat. LetKol itu menatapnya lebih lama dari seharusnya. “Apakah Anda yakin?” “Kecuali Anda menganggap semua orang dengan jas hitam adalah sama,” balas Reina dingin. Petugas di belakang meja menahan senyum kecil. Tapi LetKol tidak. Sebaliknya, ia berkata pelan… “Ada yang bilang Anda pernah terlibat di operasi pengamanan rahasia dua tahun lalu. Kota perbatasan. Penangkapan penyusup apakah itu Benar?” Itu bukan pertanyaan, Itu peringatan. Mereka sedang menguji “Kami tahu Anda lebih dari sekadar dokter. Jangan bermain-main.” Reina tidak bergeming. “Kalau kalian ingin tahu sesuatu, tanya saja langsung.” LetKol itu menatapnya lagi lalu berkata… “Baiklah Satu pertanyaan terakhir.” Reina bersiap menghadapi pertanyaan jebakan. “Menurut Anda… siapa target sebenarnya dari serangan tadi?” Reina tidak jawab. Karena ia tahu jawaban apa pun akan mengikatnya ke narasi mereka. Jadi ia membalas dengan satu kalimat… “Pertanyaan saya kalian berharap saya menjawab siapa?" LetKol itu diam sejenak. alu perlahan tersenyum.Bukan senyum ramah. Tapi senyum seseorang yang menyadari lawannya tidak mudah digiring. “Kita selesai,” katanya pada petugas. Reina bangkit. Tapi sebelum ia keluar, LetKol itu menambahkan… “Dr. Reina.” Ia menoleh. “Kalaupun Anda tidak mengenal pria tadi…” ia mencondongkan tubuh sedikit “…setidaknya Anda tahu siapa yang ingin terlihat seperti pelakunya.” Kalimat itu menggantung lama di udara. Dan sebelum Reina menjawab… Suara sirine panjang tiba-tiba berbunyi di luar. Bukan sirine medis. Bukan sirine evakuasi. Sirine penguncian basis. Yang hanya dibunyikan ketika pelaku belum ditemukan… …atau pelaku sebenarnya belum bergerak.Sirene ambulans meraung di kejauhan, tapi Reina tidak mendengar apa-apa selain detak jantungnya sendiri. Mobil hitam yang membawanya berhenti di depan markas intel Delta-3, gedung abu-abu tanpa nama, tanpa tanda. Kian sudah lebih dulu keluar, tubuhnya basah kuyup, tapi ekspresinya tetap datar. “Kita harus masuk sebelum radar sipil aktif,” katanya tanpa menatap. Reina turun tanpa bicara. Setiap langkah di aspal seperti menapaki masa lalu yang tak mau mati. Di ruang bawah tanah Delta-3, aroma besi dan ozon menyengat. Layar-layar monitor memantulkan wajah-wajah yang sibuk. Tapi ketika Reina masuk, ruangan itu mendadak hening. Semua mata beralih padanya. “Target genetik teridentifikasi,” gumam salah satu teknisi. Kian menatap dingin. “Tutup akses eksternal. Operasi Erebus-14X diaktifkan.” Reina membeku. “Empat belas-X?” “Kode darurat,” jawab Kian datar. “Protokol yang dibuat ayahmu… untuk mematikan semua jejak.” --- Sebelum Reina sempat merespons, pintu laboratorium sebelah mele
Lorong rumah sakit itu terlalu terang pagi itu. Cahaya putihnya bukan menenangkan, malah menusuk seperti disinari spotlight interogasi. Reina menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Tidak ada bekas luka operasi, tidak ada darah, tidak ada Kian yang lenyap di tengah cahaya. Hanya dirinya, dengan tato samar berbentuk burung gagak di bawah telinga. “Aku hanya bermimpi,” bisiknya. “Hanya... mimpi.” Tapi setiap kali ia mengucapkannya, suara itu terdengar kurang meyakinkan. Sebuah ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Seorang pria masuk dengan langkah tegas, seragamnya abu-abu tua, dengan lambang elang di pundak. Tatapannya tajam, tapi tidak menyerang lebih seperti sedang menilai data yang tidak lengkap. “Dr. Reina Armanda,” ucapnya datar. “Saya Kolonel Adrian Wirantara.” Nama itu terasa asing… tapi tidak benar-benar. Ada sesuatu dalam cara ia menyebut namanya seolah mereka pernah berbicara di tempat lain, waktu lain. “Pihak kami ingin menyampaikan tawaran,” l
“Ke mana sekarang?” “Kanan,” jawab Kian pendek. “Tadi kau bilang ke kiri,” sahut Reina ketus. Kian menoleh, tajam. “Dan kalau aku bilang dua arah itu sama saja?” Reina menatapnya curiga. “Apa maksudmu?” Kian tidak menjawab. Ia justru menempelkan perangkat kecil di dinding logam. Beep... Dinding itu bergeser… membuka lorong lain—tepat ke arah yang berlawanan. “Ini bukan lorong pelarian,” gumam Reina. “Benar,” jawab Kian pelan. “Ini pintu masuk.” --- Lorong bawah tanah itu ternyata bukan jalan kabur, tapi koridor menuju markas lama Raven Division. Logo burung gagak rusak terpampang di dinding baja yang berdebu. Reina membeku. “Ka-kau.. bawa aku ke sarang musuh?” Kian hanya menatap lurus ke depan. “Bukan musuh Tapi Rumah lama kita.” Reina menggeleng, tak percaya. “Kau bilang kau keluar dari Raven!” Kian berhenti. "Aku tidak pernah bilang aku berhenti.” --- Hologram di ujung ruangan menyala otomatis. Gambar wajah Reina muncul di udara, tapi bukan dia yang sekarang. Rambu
BRAK! Tiga orang berseragam hitam menyergap masuk. Senjata laras pendek terangkat. Gerakan cepat, senyap, dan terlatih. “Turun!” teriak salah satu dari mereka. Reina dan pria itu terpisah seketika. Dafa terpaku di ambang pintu antara marah, kaget, dan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Namun pria di dalam kamar yang tadi mencium Reina tidak bereaksi panik. Sebaliknya, ia berbalik perlahan. Mata dinginnya menatap ketiga penyerang itu seperti menatap gangguan kecil. Dan tanpa satu kata pun, ia menarik Reina ke belakangnya. “Siapa kau?!” salah satu pria bersenjata menyorotkan laser merah ke arah dada pria itu. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Pertanyaan yang salah.” Satu detik kemudian...... Dor! Dor! Dor! Tiga suara tembakan nyaris bersamaan. Tapi bukan pria itu yang tumbang. Tiga orang berseragam hitam itu yang jatuh bersamaan ke lantai, darah menetes di karpet. Asap tipis mengepul dari senjata kecil yang kini berada di tangan pria itu senjata
Sudah tiga hari sejak insiden penembakan di upacara pelantikan. Markas masih setengah terkunci, tapi para pejabat berusaha bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Termasuk… menggelar pesta pernikahan seformal ini.Ucapan selamat berhamburan seperti tembakan peluru kosong. Senyum tertata, tawa sopan, musik romantis menyelimuti aula pernikahan mewah itu. Lampu kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya ke gaun pengantin putih yang berdiri di atas panggung.Raya tampak anggun dan Dafa tampak gagah di sampingnya.Dan Reina berdiri di tengah kerumunan sebagai tamu undangan. Bukan sebagai wanita yang dulu pernah dijanjikan masa depan oleh pria yang kini sedang menggenggam tangan orang lain.Ia tidak mengenakan seragam. Tidak juga gaun mencolok. Hanya dress hitam sederhana, rambut disanggul rendah. Elegan, tapi tidak mengundang perhatian.Namun sorot mata beberapa orang terus diam-diam mencurinya pandang.Sebagian memuji keberaniannya datang. Sebagian menertawakannya. Seba
Upacara pelantikan diselenggarakan di lapangan luas markas komando pusat tempat yang biasanya hanya dihiasi deretan bendera dan podium. Tapi hari ini, suasananya terlalu formal untuk sekadar seremonial. Barisan pejabat tinggi, perwira aktif, dan mantan komandan berdiri di area khusus yang terlindungi tenda putih.Semua terlihat rapi. Semua terlihat normal.Dan justru karena terlalu normal itulah, Reina tahu ada sesuatu yang tidak normal.Ia tidak masuk lewat pintu depan. Sesuai pesan pria itu, ia melewati akses samping, masuk bersama barisan petugas medis yang disiagakan untuk protokol. Seragam lapangannya membuatnya mudah membaur.Namun, mata beberapa orang mengikuti langkahnya. Bukan karena mereka mengenali—melainkan karena ada yang disuruh mengawasi.Ia pura-pura tidak melihat.Dari kejauhan, ia melihat Kolonel Ardan berdiri di depan podium, berbicara ringan dengan seorang jenderal yang lebih tua. Ardan tampak tenang. Senyumnya khas perwira yang sudah lama terbiasa berpolitik.Oran







