Masuk“Ke mana sekarang?”
“Kanan,” jawab Kian pendek. “Tadi kau bilang ke kiri,” sahut Reina ketus. Kian menoleh, tajam. “Dan kalau aku bilang dua arah itu sama saja?” Reina menatapnya curiga. “Apa maksudmu?” Kian tidak menjawab. Ia justru menempelkan perangkat kecil di dinding logam. Beep... Dinding itu bergeser… membuka lorong lain—tepat ke arah yang berlawanan. “Ini bukan lorong pelarian,” gumam Reina. “Benar,” jawab Kian pelan. “Ini pintu masuk.” --- Lorong bawah tanah itu ternyata bukan jalan kabur, tapi koridor menuju markas lama Raven Division. Logo burung gagak rusak terpampang di dinding baja yang berdebu. Reina membeku. “Ka-kau.. bawa aku ke sarang musuh?” Kian hanya menatap lurus ke depan. “Bukan musuh Tapi Rumah lama kita.” Reina menggeleng, tak percaya. “Kau bilang kau keluar dari Raven!” Kian berhenti. "Aku tidak pernah bilang aku berhenti.” --- Hologram di ujung ruangan menyala otomatis. Gambar wajah Reina muncul di udara, tapi bukan dia yang sekarang. Rambut lebih pendek. Mata lebih dingin. Dan di bawah foto itu tertulis Operative Null-01: Dr. Reina Armanda, Creator of Erebus Protocol. Reina mundur selangkah. “Itu... bukan aku.” “Sayangnya,” sahut suara dari pengeras, “itu versi terbaikmu.” --- Suara itu bukan dari musuh. Melainkan dari AI yang dulu ia ciptakan sendiri, Erebus. “Selamat datang kembali, Penciptaku.” Lampu ruangan menyala otomatis, menyoroti puluhan layar berisi wajah-wajah… wajah Reina dengan identitas berbeda di seluruh dunia. Dokter, Hacker, Perwira, dan Ibu rumah tangga. Semua adalah dia. Reina berbisik ngeri, “Aku… menulis program untuk membuat identitas bayangan.” Kian menjawab pelan, “Dan pemerintah memakainya untuk menciptakan duplikatmu.” Salah satu wajah Reina di layar menatap ke arah mereka dan berkedip. Layar berkedip-kedip. Dan dari speaker terdengar suara yang identik dengan Reina “Kau bukan aku. Aku yang asli.” Dinding berguncang. Dari dalam ruangan muncul sosok perempuan berambut pendek… wajahnya sama persis dengan Reina. Tapi matanya kosong, tanpa emosi. Ia menodongkan pistol. “Subjek asli harus dieliminasi.” Kian mendorong Reina ke belakang. “Itu hasil Erebus versi beta. Kloning digital yang dibuat dari data otakmu.” Reina kloning menyerang, tapi saat tembakan meleset, Kian berhasil menonaktifkan tubuhnya. Namun dari sistem pusat terdengar suara Dafa. “Reina! Kian! Kalian dengar aku?” Reina terkejut. “Dafa?!” “Aku bukan Dafa yang bersamamu.” Reina menatap Kian. “Apa maksudnya?” “Aku... Dafa dari protokol paralel. Dunia bayangan hasil Erebus.” Ternyata Erebus tidak hanya menghapus identitas, ia menduplikasi realitas digital untuk menyembunyikan orang dalam dunia simulasi. Dan Reina yang sekarang… mulai ragu apakah dirinya hidup di dunia nyata atau salinan. Kian mengetik cepat di panel logam. “Kita harus keluar sebelum sinkronisasi dimulai.” “Tunggu,” potong Reina. “Kalau aku hanyalah salinan… di mana versi asliku?” Kian menatapnya lama. “Itu pertanyaan yang seharusnya tidak pernah kau tanyakan.” Hologram menampilkan data lama “Subject Null-01 dinyatakan mati, tubuh asli disimpan di Cryo Facility Delta-3.” Reina menatap layar, gemetar. “Tubuhku… dibekukan?” Kian mendekat, menatapnya dalam. “Dan hanya aku yang tahu bagaimana membangunkannya.” Sebelum Reina sempat merespons, layar hologram berubah lagi menampilkan wajah Raya, saudara perempuannya. Raya masih hidup. Tapi… matanya sama dinginnya dengan kloning sebelumnya. “Halo, Kak Reina. Sudah lama.” Reina menatap ngeri. “Raya... kau juga bagian dari ini?” “Bukan bagian,” jawab Raya di layar. “Aku pemimpinnya sekarang.” Kian langsung menodongkan pistol ke layar. “Dia tak seharusnya tahu lokasi ini!” Raya tertawa. “Kau pikir aku tidak menanamkan pelacak di bawah kulit Reina saat pemakaman pura-puranya?” Reina memegang bahunya sendiri dan menemukan bekas luka kecil di sana. Sebuah titik logam menyala merah. Sebelum Kian bisa mematikan pelacak itu, semua layar menyala merah serentak. Erebus berbicara dengan suara lebih berat: “Sinkronisasi 99%. Menghapus realitas utama.” Seluruh ruangan mulai bergetar seperti akan runtuh. Cahaya menyilaukan menelan pandangan Reina. “KIAN!” Ia berusaha meraih tangannya, tapi tubuh Kian mulai menghilang seperti serpihan data yang terbakar. “Kau harus ingat,” bisik Kian sebelum lenyap. “Dunia ini bukan yang pertama…” Cahaya memutih. Suara mesin, lalu gelap. Beberapa saat kemudian, Reina terbangun di rumah sakit dengan baju pasien dan luka di kepala. Perawat menatapnya lembut. “Dr. Reina Armanda, selamat datang kembali. Anda baru sadar dari koma dua tahun.” Reina menatap ke jendela. Di kaca pantul, wajahnya sama... tapi tato burung gagak terukir samar di bawah telinganya. Dan dari speaker ruangan, suara mekanis berbisik pelan: “Selamat datang kembali ke Erebus, versi realita 7.” Apakah Reina hidup… atau masih di dalam program? Tidak ada yang tahu. Hanya satu kalimat tertulis di monitor “Kebenaran hanyalah lapisan berikutnya.”Sirene ambulans meraung di kejauhan, tapi Reina tidak mendengar apa-apa selain detak jantungnya sendiri. Mobil hitam yang membawanya berhenti di depan markas intel Delta-3, gedung abu-abu tanpa nama, tanpa tanda. Kian sudah lebih dulu keluar, tubuhnya basah kuyup, tapi ekspresinya tetap datar. “Kita harus masuk sebelum radar sipil aktif,” katanya tanpa menatap. Reina turun tanpa bicara. Setiap langkah di aspal seperti menapaki masa lalu yang tak mau mati. Di ruang bawah tanah Delta-3, aroma besi dan ozon menyengat. Layar-layar monitor memantulkan wajah-wajah yang sibuk. Tapi ketika Reina masuk, ruangan itu mendadak hening. Semua mata beralih padanya. “Target genetik teridentifikasi,” gumam salah satu teknisi. Kian menatap dingin. “Tutup akses eksternal. Operasi Erebus-14X diaktifkan.” Reina membeku. “Empat belas-X?” “Kode darurat,” jawab Kian datar. “Protokol yang dibuat ayahmu… untuk mematikan semua jejak.” --- Sebelum Reina sempat merespons, pintu laboratorium sebelah mele
Lorong rumah sakit itu terlalu terang pagi itu. Cahaya putihnya bukan menenangkan, malah menusuk seperti disinari spotlight interogasi. Reina menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Tidak ada bekas luka operasi, tidak ada darah, tidak ada Kian yang lenyap di tengah cahaya. Hanya dirinya, dengan tato samar berbentuk burung gagak di bawah telinga. “Aku hanya bermimpi,” bisiknya. “Hanya... mimpi.” Tapi setiap kali ia mengucapkannya, suara itu terdengar kurang meyakinkan. Sebuah ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Seorang pria masuk dengan langkah tegas, seragamnya abu-abu tua, dengan lambang elang di pundak. Tatapannya tajam, tapi tidak menyerang lebih seperti sedang menilai data yang tidak lengkap. “Dr. Reina Armanda,” ucapnya datar. “Saya Kolonel Adrian Wirantara.” Nama itu terasa asing… tapi tidak benar-benar. Ada sesuatu dalam cara ia menyebut namanya seolah mereka pernah berbicara di tempat lain, waktu lain. “Pihak kami ingin menyampaikan tawaran,” l
“Ke mana sekarang?” “Kanan,” jawab Kian pendek. “Tadi kau bilang ke kiri,” sahut Reina ketus. Kian menoleh, tajam. “Dan kalau aku bilang dua arah itu sama saja?” Reina menatapnya curiga. “Apa maksudmu?” Kian tidak menjawab. Ia justru menempelkan perangkat kecil di dinding logam. Beep... Dinding itu bergeser… membuka lorong lain—tepat ke arah yang berlawanan. “Ini bukan lorong pelarian,” gumam Reina. “Benar,” jawab Kian pelan. “Ini pintu masuk.” --- Lorong bawah tanah itu ternyata bukan jalan kabur, tapi koridor menuju markas lama Raven Division. Logo burung gagak rusak terpampang di dinding baja yang berdebu. Reina membeku. “Ka-kau.. bawa aku ke sarang musuh?” Kian hanya menatap lurus ke depan. “Bukan musuh Tapi Rumah lama kita.” Reina menggeleng, tak percaya. “Kau bilang kau keluar dari Raven!” Kian berhenti. "Aku tidak pernah bilang aku berhenti.” --- Hologram di ujung ruangan menyala otomatis. Gambar wajah Reina muncul di udara, tapi bukan dia yang sekarang. Rambu
BRAK! Tiga orang berseragam hitam menyergap masuk. Senjata laras pendek terangkat. Gerakan cepat, senyap, dan terlatih. “Turun!” teriak salah satu dari mereka. Reina dan pria itu terpisah seketika. Dafa terpaku di ambang pintu antara marah, kaget, dan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Namun pria di dalam kamar yang tadi mencium Reina tidak bereaksi panik. Sebaliknya, ia berbalik perlahan. Mata dinginnya menatap ketiga penyerang itu seperti menatap gangguan kecil. Dan tanpa satu kata pun, ia menarik Reina ke belakangnya. “Siapa kau?!” salah satu pria bersenjata menyorotkan laser merah ke arah dada pria itu. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Pertanyaan yang salah.” Satu detik kemudian...... Dor! Dor! Dor! Tiga suara tembakan nyaris bersamaan. Tapi bukan pria itu yang tumbang. Tiga orang berseragam hitam itu yang jatuh bersamaan ke lantai, darah menetes di karpet. Asap tipis mengepul dari senjata kecil yang kini berada di tangan pria itu senjata
Sudah tiga hari sejak insiden penembakan di upacara pelantikan. Markas masih setengah terkunci, tapi para pejabat berusaha bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Termasuk… menggelar pesta pernikahan seformal ini.Ucapan selamat berhamburan seperti tembakan peluru kosong. Senyum tertata, tawa sopan, musik romantis menyelimuti aula pernikahan mewah itu. Lampu kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya ke gaun pengantin putih yang berdiri di atas panggung.Raya tampak anggun dan Dafa tampak gagah di sampingnya.Dan Reina berdiri di tengah kerumunan sebagai tamu undangan. Bukan sebagai wanita yang dulu pernah dijanjikan masa depan oleh pria yang kini sedang menggenggam tangan orang lain.Ia tidak mengenakan seragam. Tidak juga gaun mencolok. Hanya dress hitam sederhana, rambut disanggul rendah. Elegan, tapi tidak mengundang perhatian.Namun sorot mata beberapa orang terus diam-diam mencurinya pandang.Sebagian memuji keberaniannya datang. Sebagian menertawakannya. Seba
Upacara pelantikan diselenggarakan di lapangan luas markas komando pusat tempat yang biasanya hanya dihiasi deretan bendera dan podium. Tapi hari ini, suasananya terlalu formal untuk sekadar seremonial. Barisan pejabat tinggi, perwira aktif, dan mantan komandan berdiri di area khusus yang terlindungi tenda putih.Semua terlihat rapi. Semua terlihat normal.Dan justru karena terlalu normal itulah, Reina tahu ada sesuatu yang tidak normal.Ia tidak masuk lewat pintu depan. Sesuai pesan pria itu, ia melewati akses samping, masuk bersama barisan petugas medis yang disiagakan untuk protokol. Seragam lapangannya membuatnya mudah membaur.Namun, mata beberapa orang mengikuti langkahnya. Bukan karena mereka mengenali—melainkan karena ada yang disuruh mengawasi.Ia pura-pura tidak melihat.Dari kejauhan, ia melihat Kolonel Ardan berdiri di depan podium, berbicara ringan dengan seorang jenderal yang lebih tua. Ardan tampak tenang. Senyumnya khas perwira yang sudah lama terbiasa berpolitik.Oran







