MasukLorong rumah sakit itu terlalu terang pagi itu.
Cahaya putihnya bukan menenangkan, malah menusuk seperti disinari spotlight interogasi. Reina menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Tidak ada bekas luka operasi, tidak ada darah, tidak ada Kian yang lenyap di tengah cahaya. Hanya dirinya, dengan tato samar berbentuk burung gagak di bawah telinga. “Aku hanya bermimpi,” bisiknya. “Hanya... mimpi.” Tapi setiap kali ia mengucapkannya, suara itu terdengar kurang meyakinkan. Sebuah ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Seorang pria masuk dengan langkah tegas, seragamnya abu-abu tua, dengan lambang elang di pundak. Tatapannya tajam, tapi tidak menyerang lebih seperti sedang menilai data yang tidak lengkap. “Dr. Reina Armanda,” ucapnya datar. “Saya Kolonel Adrian Wirantara.” Nama itu terasa asing… tapi tidak benar-benar. Ada sesuatu dalam cara ia menyebut namanya seolah mereka pernah berbicara di tempat lain, waktu lain. “Pihak kami ingin menyampaikan tawaran,” lanjut Adrian, menyerahkan map hitam. Reina tidak langsung mengambilnya. Matanya menelusuri wajah pria itu, terlalu tenang, terlalu sadar akan reaksinya. “Aku tidak sedang dalam posisi menerima kontrak kerja,” katanya dingin. “Bukan kontrak kerja,” balas Adrian. “Kontrak pernikahan.” Reina menatapnya. Detik itu, jam di ruangan seakan berhenti berdetak. “Maaf?” Suara Reina pelan, tapi nadanya mengandung bahaya. “Kontrak pernikahan selama satu tahun. Formalitas untuk kepentingan keamanan negara.” Adrian bicara seperti membacakan laporan intel. “Dokumen lengkapnya di dalam. Dan... hanya Anda kandidat yang memenuhi syarat.” “Dan apa imbalannya?” tanya Reina akhirnya. Adrian menatap lurus. “Kebenaran.” Kalimat itu memantul di kepala Reina seperti gema logam. Kebenaran?, tentang apa? Tentang mimpinya? Tentang Dafa? atau Tentang siapa dirinya sebenarnya? Tapi sesuatu dalam ekspresi Adrian membuatnya curiga. Ia tahu sesuatu yang tidak boleh diucapkan di ruang ini. “Aku tidak butuh kebenaran versi kalian,” ucap Reina. Adrian tersenyum tipis. “Tapi mungkin kebenaran versi dirimu sendiri yang kau cari.” Setelah Adrian pergi, Reina membuka map itu. Isinya bukan hanya dokumen pernikahan, tapi juga salinan laporan otopsi atas nama Dr. Reina Armanda. Tanggalnya dua tahun lalu. Di pojok bawah ada cap Cryo Facility Delta-3. Tangannya bergetar. Itu... tempat yang disebut Kian di dalam “mimpi”nya. Ia menatap kaca jendela. Di pantulan, seseorang berdiri di belakangnya. Bukan perawat, Bukan Adrian. tapi Dirinya sendiri versi dengan rambut pendek, dingin, dan tatapan kosong. “Tanda tanganlah,” bisik pantulan itu. “Atau semua akan terulang lagi.” Reina menutup mata. Mimpi, Realita, Atau hanya simulasi? Di layar monitor ruangan, mesin pendeteksi otak mendadak aktif sendiri. Garis gelombang naik-turun membentuk kata samar Erebus. Sore harinya, Adrian menunggu di luar gedung dengan mobil dinas. Reina mendekat dengan langkah pelan, map hitam di tangan. “Jadi?” tanyanya. Reina menatap lurus ke matanya. “Jika aku menandatangani ini… aku sebenarnya menikah dengan siapa?” Adrian tidak menjawab. Ia hanya membuka pintu mobil dan berujar pelan, "Kau akan tahu… saat upacara dimulai.” Mobil melaju menjauh Dan di layar CCTV rumah sakit, tepat setelah Reina pergi, pantulan dirinya di jendela masih berdiri di tempat dan Tersenyum pelan... Saat mobil melewati gerbang markas militer, suara mekanis terdengar samar dari earpiece Adrian: “Subjek Null-01 telah menerima kontrak. Sinkronisasi versi realita 8 dimulai.” Adrian menatap kaca spion, melihat Reina yang duduk diam di belakang. Tatapannya kosong. “Selamat datang kembali, Dokter,” bisiknya. “Atau seharusnya kukatakan… versi terbaru dari dirimu.” Suara klakson singkat memecah lamunannya. Sebuah mobil hitam berhenti di depan pintu keluar parkiran. Tiga huruf besar menandai pelatnya DNR, kode kendaraan dinas korps perwira. Jendela belakang turun perlahan. Seorang pria berseragam duduk di dalamnya, wajahnya separuh tertutup bayangan. Tatapannya tidak tajam, tapi memiliki gravitasi yang aneh, seperti sedang memanggil dari jarak yang lebih jauh dari sekadar beberapa meter. “Dr. Reina Armanda?” Nada suaranya datar, tapi nada datar itulah yang membuatnya menakutkan. Reina menatapnya lama. “Siapa Anda?” “Kolonel Kian Adyatma. Intel Strategis Wilayah Barat.” Ia menunjukkan identitas militer tanpa diminta. “Kami perlu bicara. Rahasia.” “Kalau soal operasi pasien, besok saja lewat jalur resmi,” jawab Reina dingin. “Bukan soal pasien.” Pintu belakang terbuka otomatis. “Ini soal ayahmu.” Reina menahan napas sepersekian detik. Kalimat itu seperti peluru tak terdengar tidak mematikan, tapi menghentikan detak. Ia duduk di kursi belakang tanpa banyak tanya. Mobil melaju, menembus jalan-jalan kosong yang diselimuti kabut. “Kasus ayahmu akan dibuka kembali dalam sidang internal,” ujar Kian pelan, matanya lurus ke depan. “Ada berkas lama yang ditemukan di arsip Delta-3.” “Delta-3?” Nama itu terasa seperti jarum di tengkuk. “Tempat penyimpanan dokumen rahasia eksperimen bioetik tahun 2000-an.” Kian melirik sebentar. “Kau tahu apa itu Erebus Protocol, kan?” Reina nyaris tertawa. “Saya dokter, bukan legenda urban.” “Lucu. Karena ayahmu Letnan Sebastian Armanda, adalah salah satu penciptanya.” Mobil berhenti mendadak di bawah lampu jalan yang redup. Reina menatap Kian lama, mencari tanda kebohongan di matanya. Tidak ada. “Kenapa Anda bawa saya ke sini?” Kian tidak menjawab. Ia mengambil tablet dari dashboard, lalu menyalakan video singkat. Gambar kabur hitam putih muncul, ruang laboratorium, suara dengung mesin, dan seorang pria tengah berbicara di depan kamera. “Proyek Erebus bukan senjata. Ini pengorbanan.” Reina menegang, Itu suara ayahnya. “Jika protokol ini gagal, hapus memori mereka. Termasuk… anakku.” Gambar berhenti. Suara jantung Reina mendadak terlalu keras di telinga sendiri. “Ini manipulasi,” katanya pelan. “Deepfake, atau video lama yang dipotong.” Kian hanya menjawab satu kalimat, tenang “Video ini ditemukan di bawah ruang bedahmu, Dokter.” Hening panjang... Hujan mulai turun perlahan, menampar kaca mobil seperti langkah-langkah rahasia. “Jadi… apa maumu?” tanya Reina akhirnya. Kian menatapnya, kali ini dengan sesuatu yang hampir menyerupai rasa bersalah. “Atas perintah komando pusat, kami butuh kau bekerja sama. Ada protokol lama yang harus diaktifkan kembali. Kau satu-satunya yang bisa.” “Karena aku anaknya?” “Karena hanya genetikmu yang cocok dengan sistem Erebus.” Ia menatap lurus. “Dan agar semuanya aman… kami butuh status resmi untuk melindungimu.” Reina menatapnya curiga. “Status apa?” “Pernikahan kontrak.” Kata itu jatuh dengan berat. Reina ingin tertawa, tapi tidak bisa. Ia tahu dunia militer punya logika sendiri, tapi ini gila. “Jadi, ini cara halusmu menutup mulutku?” sindirnya. “Tidak.” Kian menatapnya lekat. “Ini cara satu-satunya agar kau tetap hidup.” Reina menatap keluar jendela, melihat pantulan dirinya di kaca basah. Matanya seolah bukan miliknya sendiri. Ada bayangan samar di balik refleksi, sosok pria yang tersenyum mirip ayahnya. “Jangan ulangi kesalahanku, Rein…” Suara itu begitu jelas, padahal Kian tidak berbicara. Ia menoleh cepat. Tapi kursi di sebelahnya kosong. Kian sudah keluar dari mobil, berdiri di bawah hujan, menatap menara komunikasi di kejauhan. “Protokol Erebus tidak pernah ditutup, Dokter,” katanya pelan dari luar. “Cuma dikubur bersama tubuh ayahmu.” Reina menggenggam ponselnya. Layar masih menampilkan pesan misterius, muncul tanpa notifikasi masuk “Pilihannya sederhana Ingat… atau dihapus lagi.” Cahaya dari layar memantul di matanya yang gemetar. Lalu layar itu padam sendiri Saat Reina menatap ke cermin mobil, refleksi dirinya tersenyum padahal ia tidak tersenyum...Sirene ambulans meraung di kejauhan, tapi Reina tidak mendengar apa-apa selain detak jantungnya sendiri. Mobil hitam yang membawanya berhenti di depan markas intel Delta-3, gedung abu-abu tanpa nama, tanpa tanda. Kian sudah lebih dulu keluar, tubuhnya basah kuyup, tapi ekspresinya tetap datar. “Kita harus masuk sebelum radar sipil aktif,” katanya tanpa menatap. Reina turun tanpa bicara. Setiap langkah di aspal seperti menapaki masa lalu yang tak mau mati. Di ruang bawah tanah Delta-3, aroma besi dan ozon menyengat. Layar-layar monitor memantulkan wajah-wajah yang sibuk. Tapi ketika Reina masuk, ruangan itu mendadak hening. Semua mata beralih padanya. “Target genetik teridentifikasi,” gumam salah satu teknisi. Kian menatap dingin. “Tutup akses eksternal. Operasi Erebus-14X diaktifkan.” Reina membeku. “Empat belas-X?” “Kode darurat,” jawab Kian datar. “Protokol yang dibuat ayahmu… untuk mematikan semua jejak.” --- Sebelum Reina sempat merespons, pintu laboratorium sebelah mele
Lorong rumah sakit itu terlalu terang pagi itu. Cahaya putihnya bukan menenangkan, malah menusuk seperti disinari spotlight interogasi. Reina menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Tidak ada bekas luka operasi, tidak ada darah, tidak ada Kian yang lenyap di tengah cahaya. Hanya dirinya, dengan tato samar berbentuk burung gagak di bawah telinga. “Aku hanya bermimpi,” bisiknya. “Hanya... mimpi.” Tapi setiap kali ia mengucapkannya, suara itu terdengar kurang meyakinkan. Sebuah ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh. Seorang pria masuk dengan langkah tegas, seragamnya abu-abu tua, dengan lambang elang di pundak. Tatapannya tajam, tapi tidak menyerang lebih seperti sedang menilai data yang tidak lengkap. “Dr. Reina Armanda,” ucapnya datar. “Saya Kolonel Adrian Wirantara.” Nama itu terasa asing… tapi tidak benar-benar. Ada sesuatu dalam cara ia menyebut namanya seolah mereka pernah berbicara di tempat lain, waktu lain. “Pihak kami ingin menyampaikan tawaran,” l
“Ke mana sekarang?” “Kanan,” jawab Kian pendek. “Tadi kau bilang ke kiri,” sahut Reina ketus. Kian menoleh, tajam. “Dan kalau aku bilang dua arah itu sama saja?” Reina menatapnya curiga. “Apa maksudmu?” Kian tidak menjawab. Ia justru menempelkan perangkat kecil di dinding logam. Beep... Dinding itu bergeser… membuka lorong lain—tepat ke arah yang berlawanan. “Ini bukan lorong pelarian,” gumam Reina. “Benar,” jawab Kian pelan. “Ini pintu masuk.” --- Lorong bawah tanah itu ternyata bukan jalan kabur, tapi koridor menuju markas lama Raven Division. Logo burung gagak rusak terpampang di dinding baja yang berdebu. Reina membeku. “Ka-kau.. bawa aku ke sarang musuh?” Kian hanya menatap lurus ke depan. “Bukan musuh Tapi Rumah lama kita.” Reina menggeleng, tak percaya. “Kau bilang kau keluar dari Raven!” Kian berhenti. "Aku tidak pernah bilang aku berhenti.” --- Hologram di ujung ruangan menyala otomatis. Gambar wajah Reina muncul di udara, tapi bukan dia yang sekarang. Rambu
BRAK! Tiga orang berseragam hitam menyergap masuk. Senjata laras pendek terangkat. Gerakan cepat, senyap, dan terlatih. “Turun!” teriak salah satu dari mereka. Reina dan pria itu terpisah seketika. Dafa terpaku di ambang pintu antara marah, kaget, dan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Namun pria di dalam kamar yang tadi mencium Reina tidak bereaksi panik. Sebaliknya, ia berbalik perlahan. Mata dinginnya menatap ketiga penyerang itu seperti menatap gangguan kecil. Dan tanpa satu kata pun, ia menarik Reina ke belakangnya. “Siapa kau?!” salah satu pria bersenjata menyorotkan laser merah ke arah dada pria itu. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Pertanyaan yang salah.” Satu detik kemudian...... Dor! Dor! Dor! Tiga suara tembakan nyaris bersamaan. Tapi bukan pria itu yang tumbang. Tiga orang berseragam hitam itu yang jatuh bersamaan ke lantai, darah menetes di karpet. Asap tipis mengepul dari senjata kecil yang kini berada di tangan pria itu senjata
Sudah tiga hari sejak insiden penembakan di upacara pelantikan. Markas masih setengah terkunci, tapi para pejabat berusaha bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Termasuk… menggelar pesta pernikahan seformal ini.Ucapan selamat berhamburan seperti tembakan peluru kosong. Senyum tertata, tawa sopan, musik romantis menyelimuti aula pernikahan mewah itu. Lampu kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya ke gaun pengantin putih yang berdiri di atas panggung.Raya tampak anggun dan Dafa tampak gagah di sampingnya.Dan Reina berdiri di tengah kerumunan sebagai tamu undangan. Bukan sebagai wanita yang dulu pernah dijanjikan masa depan oleh pria yang kini sedang menggenggam tangan orang lain.Ia tidak mengenakan seragam. Tidak juga gaun mencolok. Hanya dress hitam sederhana, rambut disanggul rendah. Elegan, tapi tidak mengundang perhatian.Namun sorot mata beberapa orang terus diam-diam mencurinya pandang.Sebagian memuji keberaniannya datang. Sebagian menertawakannya. Seba
Upacara pelantikan diselenggarakan di lapangan luas markas komando pusat tempat yang biasanya hanya dihiasi deretan bendera dan podium. Tapi hari ini, suasananya terlalu formal untuk sekadar seremonial. Barisan pejabat tinggi, perwira aktif, dan mantan komandan berdiri di area khusus yang terlindungi tenda putih.Semua terlihat rapi. Semua terlihat normal.Dan justru karena terlalu normal itulah, Reina tahu ada sesuatu yang tidak normal.Ia tidak masuk lewat pintu depan. Sesuai pesan pria itu, ia melewati akses samping, masuk bersama barisan petugas medis yang disiagakan untuk protokol. Seragam lapangannya membuatnya mudah membaur.Namun, mata beberapa orang mengikuti langkahnya. Bukan karena mereka mengenali—melainkan karena ada yang disuruh mengawasi.Ia pura-pura tidak melihat.Dari kejauhan, ia melihat Kolonel Ardan berdiri di depan podium, berbicara ringan dengan seorang jenderal yang lebih tua. Ardan tampak tenang. Senyumnya khas perwira yang sudah lama terbiasa berpolitik.Oran







