Mentari pagi baru saja menembus kaca tinggi kamar utama di mansion Darriston. Udara masih menggigil oleh sisa embun dini hari, tetapi Joana sudah berdiri di depan cermin, mengenakan loose pants warna krem dipadukan dengan blouse model ruffle warna dusty pink. Rambut panjangnya digerai rapi, hanya dibingkai penjepit mutiara kecil di sisi kanan. Wajahnya bersih tanpa riasan tebal, hanya pelembap, lip tint coral peach, dan sapuan bedak tipis yang menyamarkan sisa ruam alergi.Setelah puas memastikan penampilannya, ia melangkah ke sisi ranjang dan membangunkan Kennard."Ken, sudah pagi. Kamu harus bersiap ke kantor. Sudah pukul enam lebih sepuluh menit."Kennard membuka mata perlahan, tampak sedikit heran melihat Joana sudah begitu rapi dan siap pagi itu. Ia tak berkata apa pun, hanya mengangguk kecil sebelum bangkit menuju kamar mandi tanpa sepatah kata pun.Joana menggigit bibir bawahnya. Masih terasa sisa dingin dari pertengkaran mereka tadi malam. Ia menarik napas pelan, lalu memberes
Sore itu, cahaya matahari yang menyusup dari balik tirai tipis kamar utama kediaman Darriston memantulkan nuansa hangat yang menghapus kesuraman hari-hari sebelumnya. Joana duduk di tepian tempat tidur, mengenakan gaun santai berwarna sage. Wajahnya tampak lebih tenang meski rona pucat masih melekat di pipinya. Grandpa Lionel duduk di sofa berlapis beludru hijau yang menghadap ke ranjang cucu menantunya. Pandangannya teduh, penuh perhatian, tak lepas dari sosok Joana yang duduk diam, menanti. "Dokter Leah sudah tiba, Tuan," ucap Arley dari luar pintu. "Ya, suruh masuk," jawab Lionel tenang. Tak lama kemudian, Dokter Leah memasuki kamar dengan langkah ringan dan profesional. Rambutnya dikuncir satu di belakang, wajahnya bersih dan penuh ketenangan. Di tangan kirinya tergantung tas jinjing berisi perlengkapan medis. "Selamat sore, Joana. Selamat sore, Tuan Lionel," sapanya ramah. "Selamat sore, Leah. Terima kasih telah meluangkan waktu sore ini," balas Lionel dengan anggukan
Pagi itu di Mansion keluarga Lin yang megah dan luas, suasana terlihat tenang di luar, tetapi tidak dengan isi pikiran sang pemilik rumah.Di lantai dua, di dalam ruang kerja bercat kelabu lembut yang langsung terhubung ke balkon pribadi, Aaron Lin berdiri di depan jendela kaca besar. Tangannya menggenggam ponsel, suara napasnya teratur tapi sarat kegelisahan. Angin musim panas berembus pelan menerpa tirai sutra yang menyingkap rak-rak buku lawas miliknya.Suara di seberang sambungan terdengar lembut. “Tuan Aaron, ada yang bisa saya bantu?” tanya Jacob, asisten pribadinya yang setia selama lebih dari dua dekade.Aaron membenarkan kerah kemeja tidur putihnya lalu berjalan pelan ke arah meja kerja dari kayu rosewood tua.“Jacob, saya ingin kamu melakukan sesuatu untuk saya. Rahasiakan dari siapa pun. Bahkan dari Ivana dan Alexa,” ujarnya tegas.Jacob diam sejenak sebelum menjawab, “Saya mengerti, Tuan. Apa instruksinya?”Aaron duduk perlahan, lalu menatap potret lawas yang dibingkai di
Kennard masih berdiri di depan pintu ketika ia melihat buliran hangat itu jatuh dari mata hazel Joana. Tetesan bening yang tak pernah ia kira akan membuat langkahnya terhenti begitu saja. Lelaki dingin itu menatapnya dalam. Joana sukses menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak. Akan tetapi, gagal. Luka itu sudah terlalu lama dipendam dan malam ini—karena satu nama, Javier—tangisnya pecah juga. Kennard urung mendekat ke sliding door walk-in closet. Napasnya mengembus berat. Tanpa suara, ia memangkas jarak ke sisi Joana dan menuntunnya ke ranjang. “Saya batal pergi,” ucapnya datar, tetapi terdengar menggetarkan. Joana mengerjap. “Apa?” “Saya bilang, saya tidak akan pergi malam ini.” Ia meraih ponsel dari atas nakas sisi ranjang dan menekan satu tombol panggilan cepat. Panggilan pun terhubung dalam hitungan detik. “Edmund, jangan lepaskan Javier. Paksa dia bicara. Saya ingin tahu siapa yang menyuruhnya. Kalau perlu, buat dia bicara dengan cara apa pun. Saya beri waktu du
Joana menatap kertas sketsa putih polos di hadapannya. Pensil kayu di tangan terasa berat. Bukan karena bobotnya, tetapi karena perasaan yang terus bergejolak di dalam hatinya. “Kenapa diam? Gambar saja apa yang ada di dalam pikiranmu. Bebas,” pinta Kennard lagi. Alhasil, Joana memandang sekelilingnya. Lampu-lampu Kota Paris yang berkedip lembut, langit-langit kaca bening tempat bintang-bintang terpantul, dan cahaya lilin mungil di meja bundar tempat mereka duduk. Semuanya terasa terlalu magis dan menyentuh. Akan tetapi, bukan waktunya untuk jatuh cinta pada suasana. Ia harus menggambar. Ini bukan tentang perasaan. Ini tes. Tes dari seorang CEO dingin yang menyembunyikan perhatian dalam bentuk aneh. Tangan Joana mulai bergerak. Garis demi garis muncul. Ia menciptakan siluet gaun malam elegan yang mengadopsi permainan transparansi, seperti kaca galeri di sekelilingnya. Bagian bawah gaun diberi motif melengkung seperti pantulan lampu malam di permukaan sungai. Sementara pada bag
Langit malam mulai bertabur bintang ketika mereka melangkah keluar dari mansion Darriston, menembus sejuknya udara di distrik yang menjadi pusat bisnis Kota Paris dengan Mercedes-Benz tersebut. Jalanan di Distrik La Défense yang gemerlap diterangi lampu-lampu kota, membuat hati kian tak terkendali. Joana menggenggam ujung mantel panjang yang tadi Kennard pakaikan untuknya.Warna cokelat gelap mantel itu menyatu sempurna dengan long dress lavender keabuan yang ia kenakan sejak makan malam tadi. Mobil hitam mewah yang dikemudikan oleh sopir pribadi Kennard membawa mereka melewati deretan pusat perbelanjaan, restoran mewah, galeri seni, dan menara kaca raksasa.Joana baru menyadari bahwa tempat ini sangat berbeda dari yang biasa ia lihat di Madeleine. Ini seperti dunia lain. Lebih metropolitan, lebih maju, dan juga tetap menawan.Begitu turun dari mobil, Kennard menyodorkan tangannya. “Ayo, hati-hati,” ajaknya tanpa senyuman segaris pun.Joana ragu sepersekian detik, tetapi akhirnya ia m