Kennard masih berdiri di depan pintu ketika ia melihat buliran hangat itu jatuh dari mata hazel Joana. Tetesan bening yang tak pernah ia kira akan membuat langkahnya terhenti begitu saja.Lelaki dingin itu menatapnya dalam. Joana suskes menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak. Akan tetapi, gagal. Luka itu sudah terlalu lama dipendam dan malam ini—karena satu nama, Javier—tangisnya pecah juga.Kennard urung mendekat ke sliding door walk-in closet. Napasnya mengembus berat. Tanpa suara, ia memangkas jarak ke sisi Joana dan menuntunnya ke ranjang.“Saya batal pergi,” ucapnya datar, tetapi terdengar menggetarkan.Joana mengerjap. “Apa?”“Saya bilang, saya tidak akan pergi malam ini.”Ia meraih ponsel dari atas nakas sisi ranjang dan menekan satu tombol panggilan cepat. Panggilan terhubung dalam hitungan detik. “Edmund, jangan lepaskan Javier. Paksa dia bicara. Saya ingin tahu siapa yang menyuruhnya. Kalau perlu, buat dia bicara dengan cara apa pun. Saya beri waktu dua puluh empat j
Joana menatap kertas sketsa putih polos di hadapannya. Pensil kayu di tangannya terasa berat. Bukan karena bobotnya, tetapi karena perasaan yang terus bergejolak di dalam hatinya.“Kenapa diam? Gambar saja apa yang ada di dalam pikiranmu. Bebas,” pinta Kennard lagi. Alhasil, Joana memandang sekelilingnya. Lampu-lampu Kota Paris yang berkedip lembut, langit-langit kaca bening tempat bintang-bintang terpantul, dan cahaya lilin mungil di meja bundar tempat mereka duduk. Semuanya terasa terlalu magis dan menyentuh.Akan tetapi, bukan waktunya untuk jatuh cinta pada suasana. Ia harus menggambar. Ini bukan tentang perasaan. Ini tes. Tes dari seorang CEO dingin yang menyembunyikan perhatian dalam bentuk aneh.Tangan Joana mulai bergerak. Garis demi garis muncul. Ia menciptakan siluet gaun malam elegan yang mengadopsi permainan transparansi, seperti kaca galeri di sekelilingnya. Bagian bawah gaun diberi motif melengkung seperti pantulan lampu malam di permukaan sungai. Sementara pada bagian
Langit malam mulai bertabur bintang ketika mereka melangkah keluar dari mansion Darriston, menembus sejuknya udara di distrik yang menjadi pusat bisnis Kota Paris dengan Mercedes-Benz tersebut. Jalanan di Distrik La Défense yang gemerlap diterangi lampu-lampu kota, membuat hati kian tak terkendali. Joana menggenggam ujung mantel panjang yang tadi Kennard pakaikan untuknya.Warna cokelat gelap mantel itu menyatu sempurna dengan long dress lavender keabuan yang ia kenakan sejak makan malam tadi. Mobil hitam mewah yang dikemudikan oleh sopir pribadi Kennard membawa mereka melewati deretan pusat perbelanjaan, restoran mewah, galeri seni, dan menara kaca raksasa.Joana baru menyadari bahwa tempat ini sangat berbeda dari yang biasa ia lihat di Madeleine. Ini seperti dunia lain. Lebih metropolitan, lebih maju, dan juga tetap menawan.Begitu turun dari mobil, Kennard menyodorkan tangannya. “Ayo, hati-hati,” ajaknya tanpa senyuman segaris pun.Joana ragu sepersekian detik, tetapi akhirnya ia m
Setelah makan malam yang kembali menambah daftar kebencian di hati Alexa dan Daniella, Grandpa Lionel mengajak semua anggota keluarga yang hadir untuk berkumpul di ruang utama keluarga Darriston. Sebuah ruang duduk luas bergaya klasik dengan dinding kayu gelap dan lampu gantung kristal yang menyala terang.Joana berdiri di samping Kennard. Ia merasa jantungnya berdetak tak keruan. Tak hanya karena kenyataan bahwa malam ini banyak hal terjadi, tetapi karena tatapan semua orang terasa berat mengarah padanya. Terutama tatapan menusuk dari Alexa dan ibu sambung suaminya, Daniella.Grandpa Lionel duduk di kursi empuk bermotif kulit cokelat tua. Ia menyilangkan kaki, memegang tongkat yang hanya sesekali ia gunakan, dan menarik napas dalam.“Saya minta perhatian kalian semua,” ucapnya tenang pun tegas.Semua orang langsung terdiam. Hanya suara detik jam antik yang terdengar dari ujung ruangan.“Saya tahu makan malam malam ini tak berjalan seperti biasanya. Tapi, justru karena ketidakteratura
Joana berdiri di depan cermin besar kamar tidur, memandangi pantulan dirinya yang tampak berbeda dari biasanya. Make-up yang diaplikasikan Leah benar-benar menakjubkan. Wajahnya tampak segar, cerah, dan anggun. Bahkan, long dress abu-abu lavender itu terasa seperti pakaian seorang putri bangsawan Eropa. “Setidaknya, tidak kelihatan ruamnya,” gumamnya, sebelum mengembuskan napas lega. Tanpa melihat dengan jelas bahwa dua bekas ruam merah di lehernya justru sengaja tidak ditutupi Leah.Beberapa menit setelah Leah pamit dan meninggalkan kamar dengan kalimat, “Semoga makan malamnya lancar, Ana. And enjoy the battlefield”, Joana kembali berdiri gelisah di depan pintu balkon besar yang menghadap taman. Langit mulai gelap. Waktu makan malam tinggal lima belas menit lagi. Namun, Kennard belum juga kembali."Dia benar-benar akan membiarkanku makan malam sendiri?" ujar Joana, mulai merasa kecil hati.Kini, hanya rasa cemas yang mengendap semakin dalam. Akan tetapi, tepat kala jarum jam menunju
Menyentuh sore yang tenang di lantai tiga mansion Darriston, Joana tengah membaringkan tubuhnya di ranjang megah berbalut seprai linen putih lembut. Ruam kemerahan di pipi, tangan, dan lehernya belum juga memudar. Begitu pun dengan gatal dan panas yang belum sepenuhnya hilang. Napasnya memang mulai teratur, tetapi pikirannya tak tenang. Ia masih mengingat pembicaraan Kennard soal Alexa dan keluarga Lin yang akan datang untuk makan malam bersama nanti.Tak lama, ketukan pelan kembali terdengar dari balik pintu."Permisi, Tuan muda. Dokter Leah telah tiba," seru Arley dengan suara khas yang terdengar sopan.Kennard berjalan tegap membuka pintu, dan di luar sana sudah berdiri seorang perempuan anggun, sebaya dengannya, mengenakan blus putih krem dan loose pants biru tua. Rambut pirangnya dikuncir tinggi, dengan wajah tegas yang seimbang antara karisma dan kecantikannya. Dialah Leah Beatrix, dokter pribadi keluarga Darriston, sekaligus sahabat lama Kennard."Akhirnya kamu datang," sapa K