Gedung Darriston Couture mulai lengang ketika jam kantor menunjukkan pukul lima lewat dua puluh tiga menit. Cahaya jingga dari senja Paris membias pelan di antara gedung-gedung tinggi, menyiratkan akhir dari hiruk pikuk pekerjaan hari itu. Di ruangannya, Kennard tengah berdiri membelakangi jendela besar yang menghadap ke jalan utama. Jas navy-nya sudah ia lepas, digantungkan rapi di kursi kebesarannya itu, menyisakan kemeja putih dengan kancing atas terbuka dan dasi yang digulung longgar di leher.Joana mengetuk pintu sebelum masuk. Wajahnya masih segar meski sedikit kelelahan. "Ken, Edmund bilang kamu memanggilku?"Kennard menoleh, tatapannya tampak kusut meski berusaha tetap tenang. "Joana, saya akan pergi sebentar. Pulanglah dengan Edmund. Jangan tunggu saya."Joana menatapnya bingung sekaligus tidak tenang. "Ke mana? Perlu aku temani?""Tidak," potong Kennard. "Saya hanya ada urusan pribadi. Tidak bisa ditunda."Joana ingin bertanya lebih, tetapi sorot mata biru Kennard memintanya
Suasana di lobi Darriston Couture diselimuti atmosfer menegangkan. Ryuzaki masih berdiri dengan sebelah tangan melingkar di pinggang Joana, sementara Kennard melangkah perlahan untuk memangkas jaraknya. Manik ocean blue sang CEO tampak tajam kala menatap pemandangan di depannya itu tanpa berucap satu kata pun.Joana langsung menyadari aura gelap dari sosok yang baru muncul dari lift tersebut. Ia segera menarik sedikit tubuhnya, menjauh dari Ryuzaki. Tatapannya tak sengaja bertemu pandang dengan Kennard. Hati kecilnya menyempilkan bisikan, "Apakah dia marah? Atau hanya tidak suka dosenku menyentuhku begitu saja? Kenapa tatapannya begitu, sih?"Tatapan Kennard belum juga dialihkan dari tangan Ryuzaki yang bertengger di pinggang Joana. Namun, lelaki itu tetap dengan sikap dingin dan tidak bereaksi impulsif. Dengan tenang, ia melirik asisten pibadinya yang sedari tadi menunduk, tampak cekikikan sendiri. “Edmund,” panggilnya pelan. Hening. Kennard yang mempunyai kesabaran setipis sayap
Mentari pagi baru saja menembus kaca tinggi kamar utama di mansion Darriston. Udara masih menggigil oleh sisa embun dini hari, tetapi Joana sudah berdiri di depan cermin, mengenakan loose pants warna krem dipadukan dengan blouse model ruffle warna dusty pink. Rambut panjangnya digerai rapi, hanya dibingkai penjepit mutiara kecil di sisi kanan. Wajahnya bersih tanpa riasan tebal, hanya pelembap, lip tint coral peach, dan sapuan bedak tipis yang menyamarkan sisa ruam alergi.Setelah puas memastikan penampilannya, ia melangkah ke sisi ranjang dan membangunkan Kennard."Ken, sudah pagi. Kamu harus bersiap ke kantor. Sudah pukul enam lebih sepuluh menit."Kennard membuka mata perlahan, tampak sedikit heran melihat Joana sudah begitu rapi dan siap pagi itu. Ia tak berkata apa pun, hanya mengangguk kecil sebelum bangkit menuju kamar mandi tanpa sepatah kata pun.Joana menggigit bibir bawahnya. Masih terasa sisa dingin dari pertengkaran mereka tadi malam. Ia menarik napas pelan, lalu memberes
Sore itu, cahaya matahari yang menyusup dari balik tirai tipis kamar utama kediaman Darriston memantulkan nuansa hangat yang menghapus kesuraman hari-hari sebelumnya. Joana duduk di tepian tempat tidur, mengenakan gaun santai berwarna sage. Wajahnya tampak lebih tenang meski rona pucat masih melekat di pipinya. Grandpa Lionel duduk di sofa berlapis beludru hijau yang menghadap ke ranjang cucu menantunya. Pandangannya teduh, penuh perhatian, tak lepas dari sosok Joana yang duduk diam, menanti. "Dokter Leah sudah tiba, Tuan," ucap Arley dari luar pintu. "Ya, suruh masuk," jawab Lionel tenang. Tak lama kemudian, Dokter Leah memasuki kamar dengan langkah ringan dan profesional. Rambutnya dikuncir satu di belakang, wajahnya bersih dan penuh ketenangan. Di tangan kirinya tergantung tas jinjing berisi perlengkapan medis. "Selamat sore, Joana. Selamat sore, Tuan Lionel," sapanya ramah. "Selamat sore, Leah. Terima kasih telah meluangkan waktu sore ini," balas Lionel dengan anggukan
Pagi itu di Mansion keluarga Lin yang megah dan luas, suasana terlihat tenang di luar, tetapi tidak dengan isi pikiran sang pemilik rumah.Di lantai dua, di dalam ruang kerja bercat kelabu lembut yang langsung terhubung ke balkon pribadi, Aaron Lin berdiri di depan jendela kaca besar. Tangannya menggenggam ponsel, suara napasnya teratur tapi sarat kegelisahan. Angin musim panas berembus pelan menerpa tirai sutra yang menyingkap rak-rak buku lawas miliknya.Suara di seberang sambungan terdengar lembut. “Tuan Aaron, ada yang bisa saya bantu?” tanya Jacob, asisten pribadinya yang setia selama lebih dari dua dekade.Aaron membenarkan kerah kemeja tidur putihnya lalu berjalan pelan ke arah meja kerja dari kayu rosewood tua.“Jacob, saya ingin kamu melakukan sesuatu untuk saya. Rahasiakan dari siapa pun. Bahkan dari Ivana dan Alexa,” ujarnya tegas.Jacob diam sejenak sebelum menjawab, “Saya mengerti, Tuan. Apa instruksinya?”Aaron duduk perlahan, lalu menatap potret lawas yang dibingkai di
Kennard masih berdiri di depan pintu ketika ia melihat buliran hangat itu jatuh dari mata hazel Joana. Tetesan bening yang tak pernah ia kira akan membuat langkahnya terhenti begitu saja. Lelaki dingin itu menatapnya dalam. Joana sukses menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak. Akan tetapi, gagal. Luka itu sudah terlalu lama dipendam dan malam ini—karena satu nama, Javier—tangisnya pecah juga. Kennard urung mendekat ke sliding door walk-in closet. Napasnya mengembus berat. Tanpa suara, ia memangkas jarak ke sisi Joana dan menuntunnya ke ranjang. “Saya batal pergi,” ucapnya datar, tetapi terdengar menggetarkan. Joana mengerjap. “Apa?” “Saya bilang, saya tidak akan pergi malam ini.” Ia meraih ponsel dari atas nakas sisi ranjang dan menekan satu tombol panggilan cepat. Panggilan pun terhubung dalam hitungan detik. “Edmund, jangan lepaskan Javier. Paksa dia bicara. Saya ingin tahu siapa yang menyuruhnya. Kalau perlu, buat dia bicara dengan cara apa pun. Saya beri waktu du