Elena menegakkan bahunya, ia menatap Jack dengan penuh keyakinan. "Jack. Apa kau bisa mengatur wartawan?"
Jack mengangguk tegas. "Bisa, Nona."
"Datangkan mereka ke rumah sakit ini, Jack. Minta mereka merekam aku dan Meix secara diam-diam," perintah Elena. Nada suaranya tegas. Tatapannya melayang pada sebuah rencana yang tergambar jelas di otaknya.
Jack mengangguk samar, kelopak matanya tak berkedip menatap Elena—penuh tanda tanya. "Apa yang akan Anda rencanakan, Nona?"
Elena menatap kosong ke arah lorong rumah sakit. Jemarinya mengusap pelan dagunya, seolah tengah menyusun rencana. "Nama Meix sekarang tercemar hanya karena insiden itu. Masyarakat menganggapnya sebagai pria kasar dan arogan."
Ia menoleh pelan, menatap Jack untuk meyakinkannya. Ada tekad yang tak tergoyahkan di matanya. "Aku akan berusaha mengembalikan nama baiknya, Jack. Semua orang... Harus bersimpati padanya."
Jack mulai tersenyum tipis, pelan-pelan ketegangan di waja
Elena menegakkan bahunya, ia menatap Jack dengan penuh keyakinan. "Jack. Apa kau bisa mengatur wartawan?"Jack mengangguk tegas. "Bisa, Nona.""Datangkan mereka ke rumah sakit ini, Jack. Minta mereka merekam aku dan Meix secara diam-diam," perintah Elena. Nada suaranya tegas. Tatapannya melayang pada sebuah rencana yang tergambar jelas di otaknya.Jack mengangguk samar, kelopak matanya tak berkedip menatap Elena—penuh tanda tanya. "Apa yang akan Anda rencanakan, Nona?"Elena menatap kosong ke arah lorong rumah sakit. Jemarinya mengusap pelan dagunya, seolah tengah menyusun rencana. "Nama Meix sekarang tercemar hanya karena insiden itu. Masyarakat menganggapnya sebagai pria kasar dan arogan."Ia menoleh pelan, menatap Jack untuk meyakinkannya. Ada tekad yang tak tergoyahkan di matanya. "Aku akan berusaha mengembalikan nama baiknya, Jack. Semua orang... Harus bersimpati padanya."Jack mulai tersenyum tipis, pelan-pelan ketegangan di waja
Meix menoleh. Suara Elena mengalun lembut di telinganya, meniup segala kegelisahan dalam batinnya. "Elena..." bisiknya lirih.Kelopak matanya bergerak cepat, bibirnya bergetar samar. Ia bangun sambil tertatih, melebar bibirnya yang masih pucat. "Elena... Kau-" suaranya tercekat di tenggorokan. Perasaannya yang begitu bahagia seolah membuat bibirnya kacau untuk menyusun kata-kata.Senyum Elena pecah begitu saja, matanya berkilau, dan langkahnya tanpa sadar mempercepat jarak antara dirinya dan Meix."Meix..." desahnya. Ia merangkul tubuh suaminya dengan erat, menenggelamkan kepalanya dalam dada bidangnya. "Apa kau baik-baik saja? Aku sangat merindukanmu, Meix..."Meix sempat membeku sesaat. Tangannya bergetar saat terangkat untuk membalas dekapan Elena. Bibirnya tak mampu berucap, hanya suara batin yang menggema dalam relung hatinya.'Elena... Akhirnya kau datang padaku. Aku juga sangat merindukanmu.'Napasnya terlepas panjang, bahunya j
"Bangsat kau, Lucien!"Meix spontan melempar ponselnya, lalu mencabut selang infus di tangannya. Ia segera turun dari ranjang hendak menghampiri Elena.Namun Jack segera merangkul tubuh tuannya itu, menghalanginya untuk pergi. "Tuan... Tenanglah. Anda tidak bisa pergi.""Lepaskan aku, Jack! Tidak akan kubiarkan pria sialan itu menyentuh istriku!" Meix meronta berusaha melepaskan diri dari rangkulan sekretarisnya.Tapi lebih berusaha keras untuk menahannya. Meski tubuhnya kalah besar dari Meix, ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk melarang Meix pergi."Tidak, Tuan. Kalau Anda pergi, dokter akan memborgol Anda lagi!" teriaknya, napasnya terengah menahan berat tubuh Meix yang kekar.Mendadak, kekuatan tubuh Meix melemah. Ia tiba-tiba membeku, lalu menjatuhkan tubuhnya ke lantai seolah tak berdaya.Sementara itu di ruangan Elena. Ia mendorong tubuh Lucien menjauh, lalu bergegas duduk. "Apa yang kau lakukan, Lucien ?!" bentaknya.L
Jemari Meix meremas kuat tablet yang dipegangnya. Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam penuh bara. "Siapa dalangnya, Jack?!" desisnya dengan suara berat.Jack menyeret tubuhnya lebih dekat dengan Meix. Ia menggeser isi galerinya, menunjukkan video lain di tablet itu. "Ini adalah rekaman CCTV di sekitar restoran itu."Ia memperbesar gambarnya dengan jari. Fokus pada sebuah mobil yang parkir tak jauh dari tempat itu. "Ini adalah mobil Lucien, Tuan. Dia terlihat mengawasi restoran saat kejadian itu berlangsung."Mata Meix tak berkedip menatap tajam rekaman itu. Ia berusaha menata napas, namun urat di lehernya perlahan menonjol. Kemarahan itu mendidih dalam dirinya, siap meledak. "Lucien!" desisnya.Tak berselang, Lucien datang membawa satu keranjang buah di tangannya. Ia masuk ke dalam ruang perawatan Meix dengan langkah santai namun penuh perhitungan."Apa kau mencariku?" sergahnya.Bibirnya terangkat miring, membentuk senyum ti
Viviane membuka pintu Ravenhall dengan gerakan kasar, seolah sedang melampiaskan emosinya. Ia berlari , menyapu segala area dalam mansion itu sembari merengek. "Ibu... Kau di mana? Aku punya kabar buruk!"Ia masuk ke dalam kamarnya, membuang tasnya ke lantai, lalu melempar tubuhnya ke kasar. Ia berguling tak karuan, kakinya mengacak-acak sprei, tangannya memukul-mukul kasur sembari terus merengek. "Ibu... Cepatlah datang! Suasana hatiku sangat buruk. Ibu!" teriaknya.Tak lama kemudian, Camille datang masuk ke dalam kamar Viviane dengan langkah cepat. Kepalanya condong ke depan, mata membesar dan bergerak cepat menyapu sekitar. Hela napasnya tertahan, sementara sudut bibirnya sedikit terangkat, tak sabar ingin tahu apa yang terjadi pada putrinya yang manja."Ada apa sayang? Kenapa kau teriak-teriak?"Viviane bangkit dan duduk. Ujung bibirnya meruncing, napasnya tersengal-sengal seperti menahan tangis. Matanya berkaca-kaca, sesekali mengedip cepat sam
Dokter itu menghentikan gerakannya. Keningnya berkerut, menatap Elena. "Tentu saja bayi Anda," jelas dokter itu, melanjutkan menulis resep.Napas Elena tercekat, pupil matanya membesar. Bahunya membeku, seolah tubuhnya menolak bergerak. Bibirnya terbuka, tapi hanya gumaman kecil yang hampir tak terdengar yang lolos darinya."Bayiku? Tidak mungkin...""Saya sudah menuliskan resep vitamin agar bayi Anda tetap sehat." Senyum dokter itu terlihat merekah, seolah menyambut kabar gembira itu.Tapi tidak dengan Elena. Ia masih mematung dengan alis yang saling mendekat. Matanya terus bergerak mencari sesuatu yang tak jelas. "Aku belum melakukan apapun. Kenapa aku bisa hamil?"Bibirnya digigit pelan, sementara jemarinya tak henti meremas ujung bajunya. Napasnya pendek-pendek, merasakan dadanya yang begitu sesak. "Apa yang harus aku katakan pada Meix?"Ia memijat keningnya yang terasa berdenyut. Bibirnya terus berkomat kamit, me