“Aku akan menikah hari ini.” Ruby membatin sambil mencubit pahanya—yang tersembunyi diantara rok mengembang gaun berwarna putih. Memastikan ia tidak sedang bermimpi.
Ia benar-benar akan menikah hari ini, padahal dua hari lalu ia bahkan belum punya kekasih.
"Ingat, kalau kau ingin ibumu mendapat perawatan dan uang itu, kau tidak boleh mundur maupun membongkar perjanjian diantara kita."
Ruby yang baru saja menahan napas—meredakan mual di perutnya, menoleh memandang pria tua dengan kepala botak yang saat ini menggandeng tangannya. Kata-kata itu hanya bisikan, tapi cukup jelas terdengar diantara dengung tamu yang ada di depan altar
"Saya sudah berjanji, tidak akan ingkar." Ruby berbisik juga. Menegaskan kalau ia akan melakukan bagian pekerjaan yang telah mereka sepakati.
Ruby setuju untuk menikah dengan pria asing yang hanya dilihatnya dari foto dengan imbalan uang. Inti dari perkerjaannya hanya itu saja. Ruby tahu segala resiko, dan sepadan seharusnya.
"Lebih baik kau mengingatnya, dan jangan sampai pria itu tahu kau bukan anakku." Pria yang dalam sandiwara ini berstatus sebagai ayahnya itu, kembali memastikan kalau setelah ini Ruby tidak melakukan kesalahan.
"Saya mengerti, Senor." Ruby mengangguk, sambil membenarkan veil yang menjuntai menutupi wajahnya. Kegugupannya kembali—juga mual di perutnya, karena peringatan pria itu membuat Ruby teringat bagian paling sulit dari perjanjiannya, yaitu berpura-pura menjadi Liz—anak dari pria yang ada di sampingnya.
Liz yang seharusnya menikah hari ini, tapi kecelakaan menimpanya dan Ruby hanya tahu kalau wajah mereka mirip—dan pernikahan itu tidak boleh batal. Ruby tidak terlalu ingin tahu dengan detail, karena hanya fokus pada bagian janji yang menyebut ibunya akan diobati dan mendapat uang setara gajinya selama lima puluh tahun sebagai pelayan restoran.
“Pakai matamu!” Desisan dengan nada menegur dari ‘ayahnya’ itu memutus lamunan Ruby. Ia baru saja menginjak kakinya tanpa sengaja.
Ruby terhuyung karena ayah palsunya itu mendorong tangannya dengan refleks. Tidak terlalu kuat, hanya Ruby memang sedang tidak dalam keadaan seimbang. Untung saja Ruby masih mencengkram tangan ayahhnya itu, jadi tidak terjerembab.
Tapi Ruby harus menahan sakit hati. Dorongan itu tidak perlu. Nyaris saja membuatnya malu. Selain menanggung berat gaun, kepala Ruby seperti berputar. Entah karena tegang atau kurang sehat, Ruby sempat muntah juga tadi selama perjalanan. Kesulitan yang tentu saja disimpan. Tidak akan ada yang peduli dengan keadaannya. ‘Ayahnya’ itu hanya ingin tahu kalau pernikahan itu berjalan lancar.
Ia kini mencengkram balik tangan Ruby, seolah ingin memastikan Ruby tidak lari, karena mereka sampai di depan altar. Tapi Ruby tidak melihat pria yang akan menjadi suaminya.
“Don Rosas masih menerima panggilan penting. Sebentar lagi.” Pastor yang memimpin upacara menjelaskan sebelum ada yang bertanya.
Ruby tidak peduli—malah bersyukur masih punya waktu untuk menenangkan diri. Kepala dan perutnya semakin kacau, seirama dengan detak jantungnya yang semakin menderu.
Ruby sudah melihat wajah ‘calon suaminya’ dari foto, dan ia tampan. Tipikal pria latin yang berwajah tegas dengan rambut ikal. Jarak usia mereka cukup jauh---lebih dari dua belas tahun, tapi tampan.
“Ah… Itu. Don Rosas sudah datang.” Pastor itu berseru lega.
Ruby belum mendongak, karena kepala dan perutnya belum membaik. Ruby menuduk memandang ujung gaunnya sendiri saat tangannya berpindah. Ia merasakan tangan berkulit kecoklatan menggenggam, kuat, dan kokoh. Calon suami Liz.
Pria itu tidak mengucapkan apapun, Ruby pun tidak ingin bicara karena merasa akan muntah kalau membuka mulut. Maka upacara berjalan sementara mereka berdiri berhadapan.
Ruby masih terus menunduk. Berdoa agar mual dan pusingnya sedikit reda. Masih ada acara pesta yang akan dijalaninya setelah ini.
“Baiklah, kita mulai.” Pastor itu memulai upacara. Membuka dengan ceramah yang terlewat oleh Ruby karena keringat dingin mulai mengalir di punggung dan keningnya. Tubuhnya yang tidak sehat bertumpuk dengan ketegangan.
“Lizeth Marin Ramos, terimalah ini sebagai tanda cinta dan kepercayaanku padamu.”
Ucapan itu disebut dengan jelas, sementara pria itu menyerahkan nampan berisi tiga belas keping emas. Itu adalah simbol kepercayaan setempat. Sebagai tanda pria akan bertanggung jawab pada wanita yang dinikahinya.
Tangan Ruby sedikit gemetar akibat mengangkat kepala, tapi berhasil menerima nampan tembaga itu.
“Eduardo Rosas dan Lizeth, apa kalian sudah siap untuk saling memiliki dan menghormati dalam pernikahan seumur hidup?”
Ruby untungnya mendengar pertanyaan itu
“Sí.” (Iya)
"S...Si."
Jawaban mempelai pria lancar, tapi Ruby tergagap. Selain tegang, tangan hangat suami Liz itu membuatnya panik. Ia menikah dengan nama palsu, tapi beban tangan itu nyata. Tangan itu yang akan menyentuh tubuhnya nanti—saat mereka tidur bersama.
“Tuhan mempersatukan kalian pada saat ini, semoga akan selalu bersama selamanya.”
Pastor itu tampak lega dan para tamu di dalam chapel itu juga bertepuk tangan. Pastor itu kembali memberi doa tambahan, sebelum meminta sesuatu yang membuat jantung Ruby kembali mencelos.
“Anda boleh mencium mempelai.”
Wajah Ruby terlihat semakin pucat dengan titik-titik keringat bermunculan di keningnya. Ia lupa tentang bagian ciuman itu.
Terasa desir angin saat veil yang menutupi terangkat. Ruby menahan napas ketika melihat tangan terulur, menyentuh dagu dan meminta Ruby mendongak. Ruby tidak melawan, karena termasuk tugasnya. Lagi pula tidak akan sangat buruk, pria yang menciumnya akan tampan.
Ruby mendongak, dan memandang pria yang sudah menjadi suaminya itu, mengharapkan wajah yang langsung membuatnya terpana.
Namun, tepat saat Ruby membuka matanya, wanita itu reflek melangkah mundur, tak menyangka pemandangan tepat beberapa senti di hadapannya.
“AGHH!” Ruby menjerit.
Halooo... Selamat datang di rumah Ruby~ Eduardo. Semoga betah berkemah di sini ya. Wkwk.. Mudah2an juga nulisnya lancar. Selamat membaca. LOPE U PULL XOXO
“Dasar anak bodoh!” Cacian beserta tamparan tepat di pipi Ruby membuat wanita yang baru saja kehilangan kesadarannya itu membuka mata. Ruby mengelus pipinya yang pedih, dan serta merta pandangan kaburnya menjadi jernih. Ia tersadar bahwa dirinya kini berada di ranjang besar setelah tubuhnya terkulai lemas karena melihat wajah buruk rupa suaminya. “Kau ingin membuat kita semua mati atau bagaimana? Kau hanya perlu menciumnya! Dasar tidak becus!” ucap Esli—ayah Liz. Ia tampak murka sembari sesekali menoleh ke arah pintu, tampak khawatir ada yang mendengar. Ruby terlalu terkejut untuk bisa menanggapi hinaan dari ayah seorang wanita yang seharusnya berada di posisinya. Ia tidak menyangka akan mendapat amarah seburuk itu. Lagipula, bukan keinginannya untuk pingsan. Siapa yang akan menyangka bahwa pria yang menjadi pasangannya justru akan terlihat seperti monster?“Kau berteriak di depan wajahnya? Dan pingsan? Kau baru saja menghinanya, Bodoh! Kenapa kau tidak sekalian saja melempar waja
“Jangan harap kau bisa lari atau mencoba menghindar, karena wajah ini akan selalu menjadi mimpi burukmu!” Ruby tersentak ketika Eduardo menghimpitnya ke dinding yang berada tepat di belakangnya. Ruby menggigit bibir dengan sekuat tenaga sembari memejamkan matanya demi menahan isak ketakutan. Sayangnya, tak peduli Ruby berusaha menahan, air mata tetap berhasil kabur dari manik cokelatnya. Bagaimana tidak? Tatapan nyalang dari pria yang sudah menjadi suami sahnya itu seakan menghunus hatinya. “Hapus air mata itu dan lakukan tugasmu sebagai istri dengan baik! Jangan sampai mereka berpikir aku menyiksamu!” Eduardo membentak sambil melemparkan selembar sapu tangan ke arah Ruby. Esli memungut sapu tangan itu, berpura-pura membantu Ruby membersihkan wajahnya demi terlihat baik di depan Eduardo. Tepat ketika pria itu memastikan bahwa Eduardo sudah meninggalkan ruangan, Esli mendekatkan wajahnya ke telinga Ruby, “Kalau kau masih ingin melihat ibumu, pastikan kau melakukan segalanya dengan
“Mau pergi ke mana, istriku tercinta?”Tarikan di lengan Ruby membuat wanita itu seketika bergedik ngeri. Pria itu jelas tidak sedang bersikap hangat padanya, terlihat dari tatapan nyalang beserta cengkeraman kasar di lengan sang wanita yang mebuat dirinya mendesis."Apa kau ingin lari?!" bentak Eduardo, saat tubuh Ruby tertarik dan kembali hampir terpelanting karena tarikan Eduardo. Sama sekali tidak ada kelembutan dalam pertolongan itu.“Jangan kasar, Ed.” Pastor itu mencoba menenangkan, tapi peringan itu hanya sekadar lewat."Berani sekali kau mencoba lari!" Eduardo menyeret Ruby masuk, sementara Ruby telah gemetar karena ketakutan. Eduardo menyeramkan bukan hanya karena wajahnya, tapi karena sikapnya. Ruby lebih takut pada sifatnya dari pada wajahnya saat ini.“Aku tidak lari. Aku hanya…”Ruby mencoba untuk membela diri, tapi percuma. Eduardo sudah tidak ingin mendengar segala kata yang keluar dari mulutnya. Keputusan impulsif yang diambil Ruby tadi kini mengancam keselamatannya.
Clang!Jatuhnya ikat pinggang milik Eduardo yang menatap Ruby seolah dirinya adalah mangsa memecah keheningan di dalam kamar. Ruby berusaha menghiraukannya, wanita itu masih berkutat dengan dua potong kain terakhir yang masih menempel di tubuhnya. Ruby mencoba meraih pengait di punggungnya, tapi terus gagal. Tangan Ruby terlalu gemetar, campuran ketakutan, dingin dan keengganan. Kesulitan itu terlihat, tapi bagi Eduardo yang otaknya sudah keruh oleh nafsu, ia hanya melihat Ruby yang tengah memamerkan tubuhnya dengan membusungkan dada. Memancing nafsunya.“Nah, begitu lebih benar. Jangan menangis dan menjadi sok suci—malah tidak pantas. Kau dan ayahmu itu sama saja! Munafik.” Sebelum Ruby bisa mengartikan kalimat membingungkan itu, Eduardo tiba-tiba berdiri, membuat sekujur tubuh sang wanita yang nyaris telanjang itu merinding.Pengalaman Ruby nol, dan ibunya telah memastikan Ruby tidak mengenal hal dewasa sebelum waktunya. Ruby hanya tahu secara global—ia harus telanjang, tapi tida
“Apa itu!?” Suara lantang seorang pria membangunkan Ruby yang masih terlelap, merasa lelah setelah malam panjang yang membuat area bawahnya perih.Saat Ruby membuka mata, wanita itu terkejut melihat pria yang sudah sah menjadi suaminya berdiri menjulang di samping ranjang, memandangnya dengan kening berkerut.Ruby memaksakan kepalanya berpaling, manik cokelatnya mengarah ke telunjuk Eduardo. Tepat saat itulah, Ruby menyaksikan noda merah pekat yang mengotori bed cover tempat keduanya bergumul semalaman. “Darah.” Ruby menjawab dalam gumaman, karena tidak yakin jawabannya benar. Noda itu sudah jelas adalah darah, tidak perlu ditanyakan. Ruby curiga kalau pertanyaan itu hanya jebakan.“Aku tahu itu darah! Tapi kenapa kau berdarah?! Kau tidak sedang menstruasi, kan?!” Bentakan Eduardo, semakin keras. Ruby tentu saja dengan otomatis tersentak, sementara perlahan wajahnya memerah–malu.Ia jelas tahu darah itu berasal dari mana, dan seharusnya Eduardo juga tahu. Hal itu membuat Ruby terdia
“Lalu kau pikir aku tidur dengan siapa? Aku mabuk tapi masih bisa membedakan wajah!” bentak Eduardo. Jengkel karena Javier malah berpendapat absurd. Eduardo tahu ia mabuk tadi malam, tapi tidak mungkin menduri wanita yang salah.“Tapi bagaimana mungkin? Ini Liz. Aku tahu benar pergaulannya seperti apa. Dia beruntung lolos dari tanganku… dulu.” Javier menambahkan karena pergaulannya saat ini tentu berbeda.“Aku sering bertemu dengannya di hotel bersama pria bergantian setiap kalinya. Sebentar! Aku ingat dulu.” Javier mengerutkan kening, lalu melipat telunjuknya untuk menunjuk hitungan pertama.“Aku bertemu dengannya di Cancun, lalu Chilangolandia*. Terakhir aku bertemu dengannya di resort Playa del Carmen. Ia memakai bikini dan bergandengan tangan ke pantai—dia delapan belas saat itu.” Javier menampilan sederet bukti yang membuatnya sulit percaya kalau Lizeth Ramos masih perawan.“Dia juga pernah dikabarkan dekat dengan salah satu pemain film bukan? Aku lupa yang mana.” Kabar itu terl
Ruby bisa melangkah dengan lebih baik. Masih merasakan nyeri diantara kakinya, tapi tidak lagi menyiksa. “Sebentar.” Ruby mendengar ketukan di pintu kamar tadi, dan memaksakan diri untuk berjalan. Ruby bersyukur telah merapikan diri. Setelah menangis dengan puas tadi, Ruby berendam cukup lama di bak mandi mewah yang ada di kamarnya. Penampilannya cukup layak sekarang, meski rambutnya masih separuh basah. Ruby berharap matanya yang lebam tidak terlalu kentara. “Senora* Rosas, Anda sudah bangun dan terlihat cantik..” Ruby mendengar sapaan bernada ramah dan lembut saat membuka pintu. Ruby jelas tidak tahu siapa. Semua orang yang dilihatnya saat hari pernikahan kemarin tidak lebih sepintas lalu—baik tamu maupun penghuni rumah itu. “Saya, Tita. Pelayan di sini. Saya mengurus makanan dan kebutuhan rumah.” Tita mengulurkan tangan sambil membungkuk. Kulitnya gelap, sementara tubuhnya kurus, tapi tampak tegap. Rambutnya yang berbaur dengan warna abu-abu, terkepang dua dengan rapi. “Ru
“Perkenalkan, Pedro. Aku tinggal di sini juga. Aku tidak tahu kau ingat atau tidak, tapi aku ikut menolong saat kau pingsan kemarin.” Pria itu mengulurkan tangan. Meski tidak ingin, Ruby terpaksa menerima. Ia tidak ingin bersikap tidak sopan pada salah satu penghuni rumah itu. Dan tentu Ruby tidak ingat pria itu menolongnya. Ia benar-benar pingsan tanpa menyisakan kesadaran setelah melihat wajah Eduardo.“Halo.” Ruby mengangguk pelan, sambil melirik lorong. Berharap Tita lebih cepat kembali. Ia tidak ingin bersama pria itu berdua saja.“Aku pikir pernikahan kalian tidak akan terjadi. Tapi akhirnya rumah ini bisa lebih ceria. Wajah baru yang cantik membuat perbedaan yang nyata.” Pedro memuji, tapi Ruby sama sekali tidak gembira mendengarnya. Jenis pujian cantik itu berbeda dengan yang didengar dari Tita tadi. Jenis yang ini sering didengar Ruby saat ia bekerja di restoran. Sebagai pelayan restoran, Ruby tentu sering bertemu konsumen hidung belang, dan membuat muak.“Kau pendiam rupa