Share

03 - Pengantin Pesanan

PENGANTIN PESANAN

03 – Pengantin Pesanan

“Dunia ini enggak seluas daun kelor, Dan. Lo harus buka diri lo untuk kesempatan yang datang. Eksplor, man.” Rafi memulai presentasinya.

Danesh berusaha mendengarkan Rafi, namun perhatiannya teralihkan oleh tangan-tangan halus yang menggerayangi dadanya. Harum parfum yang dikenakan perempuan-perempuan itu mulai membuat kepalanya terasa ringan. Efek memabukkan dari alkohol dan sentuhan perempuan-perempuan cantik membuat Danesh kehilangan konsentrasinya.

“Hmmm…” dia hanya mengangguk-angguk. Pengacara ganteng itu duduk di atas sebuah sofa di sebuah kamar. Tiga dari perempuan tercantik pilihan Mami duduk di pangkuan dan kanan-kirinya.

Saat ini dia merasa layaknya Raja yang dikelilingi oleh selir-selirnya.

Seorang perempuan yang duduk di pangkuannya melepaskan kancing kemeja Danesh dan membelai bulu-bulu halus di dadanya. Danesh mengembuskan napasnya ketika perempuan itu mulai mendaratkan kecupan-kecupan kecil di tubuhnya.

Kalau tau jadi duda bakal menyenangkan seperti ini, dia tidak akan buang waktu untuk menggugat cerai istri yang selingkuh darinya.

Sekarang, institusi pernikahan kehilangan kesakralannya; setiap orang dengan mudah menikah, buat anak dan bercerai.

Rafi nyengir lebar melihat temannya yang mulai mengendurkan pertahanannya. Danesh yang selalu memasang tampang serius itu kelihatan lebih rileks. Seakan beban yang selama ini berada di pundaknya, gugur begitu saja.

“Lo pernah denger Mail-Order Bride, man?” tanya Rafi lagi.

Danesh yang sedang dikerubungi oleh perempuan-perempuan itu menyahut, “Ha?”

Mami dan Rafi saling melemparkan pandang, ternyata pengacara kita ini belum familiar dengan konsep Mail-Order Bride.

“Mi, jelasin dulu, Mi…” pinta Rafi yang menyilakan Mami untuk bicara.

Mami mengambil sepotong cokelat dari piring saji dan berjalan dengan anggun menuju Daneshwara, beliau bergumam, “Buka mulutnya, Danesh.”

Heran namun penasaran, Danesh menuruti wanita yang baru saja ditemuinya ini. Dia membuka mulutnya dan sepotong cokelat itu jatuh di mulutnya, meleleh di atas permukaan lidahnya yang panas.

“Gimana rasanya?” tanya Mami.

“Mmmm…” Danesh mengangguk-angguk, merasakan aroma pekat dan rasa manis meledak dalam rongga mulutnya.

Mami merunduk di dekat telinganya dan berbisik, “Bayangkan kalau kamu menikmati cokelat itu di atas tubuh perempuan yang baru saja jadi kamu nikahi.”

Danesh hampir saja tersedak oleh cokelatnya, dia meringis dan menggeleng. Tangannya melambai pada Mami, dia membalas, “Saya baru saja menduda, Mami. Saya rasa saya sudah muak dengan institusi yang bernama pernikahan…”

“Oh, kamu belum move on rupanya…?”

“Maaf?” Danesh mengerutkan keningnya, “saya membutuhkan lanjutan dari kalimat itu. Tolong jangan membuat asumsi yang tidak berdasar—”

“Wow, ternyata kamu memang Pengacara, ya?” Mami terlihat takjub, “bahkan ketika kamu dikelilingi perempuan cantik ini, kamu masih bisa bersikap defensif.”

Danesh menatap Mami sambil mengerutkan sudut matanya, dia menyadari bahwa wanita ini bukan wanita biasa. Ada otak yang bekerja di balik kepalanya yang ditumbuhi rambut beraroma hairspray yang menyengat.

“Mohon maaf, sikap defensif dan offensive sudah menjadi bagian dari hidup saya.” Danesh dengan lihai mengubah suasana yang sempat menegang kembali mencair. Apalagi ketika dia tersenyum, siapapun akan langsung melunak melihat senyuman mautnya.

Bahkan hakim saja sering terpana melihat penampilannya.

“Saya banyak mendengar cerita mengenai kamu, Danesh. Tidak menyangka bahwa kamu sama persis dengan omongan orang!” Mata Mami berbinar-binar, tangannya menangkup di dada, tidak menyangka bahwa akhirnya dia bisa berhadapan dengan Pengacara kondang yang wajahnya sering wara-wiri di televisi.

“Saya harap perkataan mereka hal-hal baik tentang saya.”

Mami tertawa tertahan; antara geli dan meremehkan, “Oh, lebih baik kamu enggak usah tau apa saja omongan orang di belakangmu. Mereka sama sekali tidak penting.”

Danesh hanya mencebikkan bibirnya. Itu yang dilakukannya selama ini. Satu prinsip yang dipakainya untuk bertahan hidup dalam dunianya yang keras.

“Baiklah, kembali pada fokus utama dari pertemuan ini …. Ehm, Mami.” Danesh masih canggung memanggil wanita yang tidak ada hubungan darah dengannya dengan sebutan ‘Mami’.

“Apa yang dimaksud ‘Mail-Order Bride’?”

Mami tersenyum dan melirik anak-anak asuhnya, “Mereka ini …. Perempuan-perempuan Eropa cantik yang berasal dari negara miskin bersedia untuk menikah dengan lelaki yang berada di luar negara mereka, demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik; bagi dirinya dan keluarganya.”

“Semacam pernikahan kontrak?”

“Oh, enggak …. Enggak. Mereka bersedia dinikahi secara resmi, punya anak dan hidup berkeluarga. Konsepnya bukan pernikahan kontrak yang sering dilakukan para pria Arab yang berkunjung hanya selama musim panas saja. Para perempuan ini ingin mendapatkan kehidupan yang layak di negara lelaki yang akan menjadi suami mereka.”

“Green card, Dan! Bisa dibilang mereka ini pencari suaka!” seru Rafi dengan mulut setengah penuh cokelat.

Mendengar kata ‘Green Card’, istilah bagi sebuah kartu yang dikeluarkan Amerika bagi warga negara asing untuk tinggal, hidup dan bekerja secara legal di Amerika Serikat, membuat Danesh dalam posisi waspada.

Mami menjentikkan jarinya, “Nah, itu! Akh, kenapa susah banget ngejelasinnya, ya? Yah, pokoknya, mereka ini bersedia dinikahi oleh lelaki yang mencari seorang istri yang cantik, seksi dan keturunan Eropa!”

“Dan sebagai gantinya, mereka akan mendapatkan ‘Green Card’, begitu?”

“That’s right!” Mami tersenyum lebar, “it’s a win-win solution for everybody, right? Saya yakin mantan istri kamu pasti jealous berat tau kamu dapetin perempuan Eropa yang cantik.”

Mami merunduk lagi dan berbisik di dekat telinga Danesh, “Dan yang jelas, mereka jago di ranjang.”

Ada sesuatu yang menggeliat dalam diri Danesh, sudah cukup lama ranjangnya dingin.

Mami tersenyum puas melihat reaksi dari lelaki yang telah melalui proses panjang untuk mendapatkan status duda, “Sekarang, saya akan membiarkan kamu merasakan ‘sedikit’ rasa dari apa yang mereka tawarkan. Silakan menikmati waktumu dengan mereka, Danesh.”

Rafi berdiri dari duduknya bersamaan dengan Mami yang berjalan meninggalkan ruangan.

“Hey, tunggu, Raf.” Panggil Danesh sebelum Rafi keluar bersama dengan Mami.

“Ya?”

“Gue harus bayar mereka setelah ini?” tanya Danesh sedikit khawatir, dia enggan mengeluarkan uang untuk sesuatu yang katanya dihadiahkan untuknya.

Rafi terbahak, “Kalau Mami bilang ‘sampel’ ya ‘sampel’, man. Jangan nolak barang gratis, Danny Boy! Waktunya cuma satu jam. Gue yakin lo bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. So …. Yeah …. ENJOY!”

Brakk!

Rafi keluar dan menutup pintu. Masih terdengar tawanya yang membahana dari balik pintu.

Danesh mengerjapkan matanya tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Kepalanya terlalu penuh untuk memproses informasi yang datang bersamaan. Kepala di atas lehernya dan kepala di selangkangannya sedang tidak kompak.

Salah satu perempuan yang duduk di pangkuannya merayap turun, bersimpuh di hadapannya. Tangannya menyentuh sesuatu yang mengeras di antara pahanya.

Danesh menarik napasnya dalam-dalam. Baiklah, tidak ada salahnya mencoba ‘barang gratis’ dari Mami. Tangannya menurunkan ritsleting celananya dan mengeluarkan kejantanannya yang setengah berdiri, “Suck it.” perintahnya pada perempuan itu.

*

Matahari mulai meredupkan sinarnya ketika Danesh keluar dari ruangan. Rambutnya acak-acakan, bekas-bekas lipstick bertebaran di wajahnya sementara dia nyengir lebar.

“Baru liat lagi senyum goblok lu, man.” Rafi berkomentar ketika Danesh menghampirinya.

“Kemana orang-orang?” tanya Danesh yang heran jumlah tamu undangan sudah menurun drastis.

“Pulang, pergi ke hotel, molor, muntah di kamar mandi …. Bodo amatlah.” Gerutu Rafi, dia meraih botol alkohol yang ada di atas meja “yang jelas, hari ini lo puas, man! Gila, gue emang jenius banget!”

Danesh terkekeh, dia menghempaskan dirinya di sebelah Rafi dan bertanya, “Di mana Mami?”

“Kenapa?” tanya Rafi.

Danesh tidak langsung menjawab, dia tercenung sebentar sebelum bergumam, “Mail-Order Bride itu …. Menarik.”

Rafi tergelak, “Oh, yeah. Range harga mereka sekitar seratus ribu sampai lima ratus ribu dollar. US. Ceteklah buat lo, yeah?”

“Hm.” Danesh terlihat berpikir.

“Man, lo jangan pelit ke diri sendiri!” seru Rafi sambil menepuk bahu Danesh, “seratus ribu dollar bukan apa-apa dibanding pengkhianatan dari mantan lo itu. Fuck lah sama cewek-cewek yang sok jago, sok mandiri dan anggap kita ini …. Apa? Keset? Tukang angkat galon? Benerin genteng? Lelaki macam lo, perlu perempuan yang nurut. Ngemong. Siap kapan aja lo butuh pelukan, kehangatan, tempat untuk melepas lelah. Ya ‘kan?”

Danesh memandang Rafi takjub, “Gue enggak nyangka lo bisa brilian juga, Raf!”

Rafi menepuk dadanya, “Gue ngerti banget, Dan. Lo udah mati-matian kerja buat keluarga kecil lo. Memenuhi kebutuhan istri lo. Beli rumah, mobil, tas mahal, berlian di sekujur badannya, liburan mewah di luar negeri, tapi apa balasannya? She fucked your friend, man! That bitch!”

Mengingat kembali pengkhianatan mantan istrinya membuat Danesh ingin muntah. Dia buru-buru bertanya pada Rafi, “Gimana caranya gue mesen pengantin dari Rusia ini?”

“Oh, lo tertarik sama yang Rusia?”

“Yeah, teknik lidahnya mantep banget!”

Rafi ngakak berat, sampai-sampai alkohol tumpah di atas bajunya. Namun, dia tidak peduli. Rafi meraih ponselnya dan berseru, “MAM! DANESH MAU PESEN PENGANTEN DARI RUSIA!”

*

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Herni Widjaya
Mammm...ada pesenan nihhhhhh...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status