Home / Horor / Pengantin dari Dunia Gaib / Malam Ritual dan Pengkhianatan

Share

Malam Ritual dan Pengkhianatan

last update Last Updated: 2025-12-05 13:17:58

Sejak kejadian di kamar, seluruh rumah Wiradipa seperti berubah.

Pelayan berjalan lebih cepat, mata mereka gelisah. Setiap pintu ditutup rapat, setiap cermin ditutup lebih tebal, dan aroma dupa memenuhi hampir seluruh ruangan.

Menjelang malam, Surya mengetuk pintu kamar Nara.

“Malam ini kita melakukan ritual,” ucapnya tanpa basa-basi.

Nara menelan ludah. “Ritual… untuk roh Sari?”

“Untuk menenangkan,” jawab Surya. “Agar dia tidak mengambil nyawamu.”

Ucapan itu membuat kaki Nara melemas, tetapi ia tetap mengikuti Surya ke ruang dalam rumah—ruangan yang bahkan Raka jarang masuki.

Di sana, beberapa orang berkumpul mengenakan pakaian serba putih.

Di tengah ruangan, terdapat tikar menghadap altar berisi sesajen, bunga, dan dupa yang menyala.

Raka berdiri di sisi ruangan, wajahnya tegang.

Saat Nara masuk, ia segera mendekat.

“Kau tidak harus ikut jika tidak mau,” bisik Raka.

“Tapi kalau aku tidak ikut… apa dia akan makin marah?” balas Nara pelan.

Raka tidak menjawab. Diamnya saja sudah cukup menjadi jawaban.


Pelayan tua membimbing Nara duduk di tikar.

Lampu ruangan diredupkan.

Pemimpin ritual—seorang dukun tua—menggumamkan mantra. Suara gumamannya bergetar pelan, seolah berasal dari dua dunia sekaligus.

Nara merasakan udara menurun drastis.

Aroma bunga melati yang semula harum berubah menjadi anyir… seperti darah lama.

Ia memejamkan mata, berusaha mengatur napas.

Namun suara-suara berbisik mulai muncul dari sudut ruangan.

“Dia bukan penggantiku… dia hanya pengganggu…”

“Raka milikku… milikku…”

Bisikan itu bukan dari manusia.

Nara membuka mata dan melihat bayangan putih berdiri di pojok ruangan, tubuhnya separuh tenggelam dalam gelap.

Roh Sari.

Wajahnya menatap Nara tajam, jejak air mata darah mengalir dari matanya.

Nara terdiam, tubuhnya menggigil.

Dukun tua berseru keras dalam mantra, mencoba menahan kehadiran roh itu.

Tetapi sesuatu yang lain membuat Nara merinding.

Bukan roh Sari.

Melainkan sekelompok orang di belakangnya—para anggota keluarga Wiradipa—yang berbisik satu sama lain.

Nara menajamkan pendengaran.

“…kalau dia mati, kutukan selesai…”

“…perempuan desa saja… pengorbanan kecil…”

“…lebih baik satu pengantin baru daripada keluarga kita semua…”

Nara menahan napas.

Matanya membesar.

Mereka tidak berniat menyelamatkannya.

Mereka berniat mengorbankannya.

Ia menoleh ke Raka, berharap ia mendengarnya.

Tapi Raka terpaku pada roh Sari, seolah tidak menyadari pengkhianatan keluarganya.

Ritual semakin intens.

Dupa menyala makin terang, angin dingin berhembus dari arah altar.

Roh Sari melangkah maju.

Setiap langkahnya membuat lantai berderit seperti kayu sudah mati sejak lama.

“Tinggalkan dia…,” suara Raka bergetar.

“Kau tidak berhak menyentuhnya.”

Roh Sari berhenti dan menatap Raka dengan tatapan menyedihkan, seperti cinta lama yang patah.

“Raka…” suaranya lembut, sekaligus menyeramkan. “Kau pernah berjanji akan menikahiku.”

Raka mengepal tangan. “Kau sudah mati, Sari!”

Sari tersenyum kecil—senyum miring yang membuat bulu kuduk merinding.

“Dan kau ingin menggantikanku dengannya?”

Nara tertarik mundur, tetapi pelayan di belakangnya tiba-tiba menahan bahunya.

Pegangannya kuat—terlalu kuat untuk seorang pelayan renta.

“Aku tidak bisa membiarkanmu lari, Neng,” bisiknya.

“Kalau kamu pergi… kami yang mati.”

Nara terperanjat. “Lepaskan aku!”

Tapi pelayan itu menahan erat.

Sari mengangkat tangannya ke arah Nara.

Angin dingin menyapu ruangan.

Lampu padam.

Hanya cahaya lilin di altar yang menyala, bergetar seperti ingin mati.

Raka berlari ke arah Nara, tetapi Surya menghadangnya.

“Jangan ikut campur! Jika kau melawan, kutukan tidak akan pernah selesai!”

“Dia bukan milik Sari!” teriak Raka.

Surya mendorongnya. “Justru dia yang dipilih roh! Kita harus menyerahkannya!”

Nara terhenti.

Jadi benar—keluarga ini ingin menjadikannya tumbal.

Di tengah kekacauan, roh Sari berbisik tepat di telinga Nara:

“Malam ini… seseorang harus ikut denganku.”

Wajah Sari berubah mengerikan—mata hitam membesar, mulutnya terbuka lebar hingga ke pipi.

Nara menjerit.

Dukun menghantam lantai dengan tongkat, mencoba mengusir roh itu.

Tetapi telat.

Sari menatap Nara dengan tatapan mengunci.

Dan Nara merasakan dirinya ditarik… keluar dari dunia nyata.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Wujud Sebenarnya Mulai Terlihat

    Ritual pertama membuat seluruh ruangan terasa berat, seperti udara menjadi lebih tebal dari biasanya. Nara masih bersandar pada Raka, napasnya belum sepenuhnya pulih. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, namun perutnya terasa jauh lebih ringan dibanding sebelum ritual. Beban yang tadinya seperti tangan mencengkeram kini melemah menjadi tekanan lembut.“Aku… merasa dia menjauh sedikit,” bisik Nara, hampir tidak percaya.“Karena ikatan pertamanya sudah putus,” jelas Laksmi. “Tapi dia tidak akan tinggal diam. Dia akan mencoba melakukan serangan balik.”Raka menatap Laksmi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Kita istirahat sebentar,” jawab Laksmi sambil merapikan alat ritualnya. “Setelah itu, kita lihat apakah ada tanda-tanda gangguan. Ritual berikutnya tidak bisa dilakukan langsung—kita harus menunggu agar tubuh Nara tidak rusak.”Nara mengangguk lemah. “Berapa lama aku harus menunggu?”“Paling cepat beberapa jam.” Laksmi memandang keluar jendela. “Tapi melihat betapa gelisahnya

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Ritual Pembersihan Pertama

    Mobil berhenti tepat di depan sebuah gapura kayu tua. Gapura itu dijaga dua patung kecil berbentuk makhluk hutan—bermata bulat, bertaring tetapi tersenyum—ukiran lama yang sudah pudar oleh usia. Lampu-lampu minyak menggantung di sepanjang pagar bambu, membuat suasana desa terlihat seperti tersangkut di antara dunia modern dan masa silam.“Selamat datang di desaku,” ujar Laksmi pelan.Nara memandang sekeliling. Rumah-rumah panggung berdiri berjajar, dikelilingi hutan rimbun dan sungai kecil yang mengalir tenang. Meskipun malam, desa terasa hangat. Namun di balik hangatnya itu, ada sesuatu… sesuatu yang tua dan hidup, seakan desa ini bernapas mengikuti denyut bumi.Raka turun lebih dulu dan membantu Nara. “Kau baik?”“Sedikit pusing,” jawab Nara, memegang perutnya. “Tapi… lebih baik daripada tadi.”Laksmi berjalan di depan, memimpin mereka melewati jalan setapak yang diterangi obor. Penduduk yang masih terjaga memperhatikan mereka dari kejauhan. Sebagian mengangguk hormat pada Laksmi. S

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Desa Belantara & Kekuatan Lama

    Sosok kabut kecil itu melangkah mendekat, perlahan tapi pasti. Setiap langkahnya membuat udara di sekeliling mobil bergetar, seolah kaca tipis yang ditekan dari dua sisi. Raka menahan napas, tangannya tetap memegang setir, tapi mobil tidak ia gerakkan seinci pun.Lampu depan menyorot tubuh kabut itu—tidak padat, namun cukup jelas untuk membentuk siluet anak kecil dengan kepala tertunduk. Di dadanya, cahaya merah samar berdenyut pelan, mirip dengan tanda yang muncul di perut Nara.“Dia mencoba memaksa keluar dari wilayah rumahnya,” gumam Laksmi, matanya menyipit waspada. “Ini… tidak seharusnya mungkin.”Nara menggenggam lengan Raka lebih erat. “Kalau dia berhasil… apa yang terjadi padaku?”“Dia akan punya pijakan lebih kuat di tubuhmu,” jawab Laksmi jujur. “Dan jarak tidak akan berarti lagi. Di mana pun kau berada, dia bisa menyentuhmu.”Raka merasakan amarah dan ketakutan bercampur menjadi satu. “Lalu kita harus menghentikannya sekarang.”Kabut itu berhenti tepat di tengah sorotan lam

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Kedatangan Para Pengamat

    Cahaya-cahaya kecil itu semakin jelas ketika mereka mendekati halaman rumah. Awalnya Alya mengira itu kilatan hewan malam, tetapi semakin dekat, ia melihat bentuknya: titik cahaya bulat sebesar kelereng dengan warna berbeda-beda, melayang tanpa sayap, menyala lembut seperti kunang-kunang namun memiliki pola yang teratur.“Apa itu…?” Alya berbisik, menelan rasa takut yang mulai naik ke tenggorokan.“Mereka Para Pengamat,” jawab Mirza dengan suara yang tiba-tiba berat. “Makhluk-makhluk kecil yang mengikuti getaran energi dari penyatuanmu.”Ardan memperhatikan mereka dengan tajam. “Jika Para Pengamat datang, artinya dunia gaib sedang menilai kita.”Alya melangkah mundur satu langkah. “Menilai… apa maksudnya?”“Menilai apakah penyatuanmu layak diterima atau harus dihentikan,” jawab Mirza tanpa basa-basi.Alya menahan napas. “Dihentikan? Bahkan setelah semua ini?”Mirza mengangguk. “Tidak semua penyatuan manusia dan makhluk gaib dianggap sah. Energi dunia gaib akan memilih—menerima atau me

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Jejak Luka di Antara Dua Dunia

    Rumah itu masih dipenuhi keheningan yang menegangkan setelah bayangan gelap melarikan diri. Lilin-lilin padam, pintu depan rusak parah, dan udara yang tertinggal terasa seperti bekas badai yang baru saja reda. Arya duduk perlahan di lantai, tubuhnya masih bergetar akibat tenaga besar yang mengalir darinya beberapa menit sebelumnya.Alya memandang tangannya—cahaya merah itu sudah menghilang, namun sensasi hangat di kulitnya masih terasa. “Apa… itu benar-benar kekuatanku?” gumamnya ragu.Ardan mendekat, berlutut di depannya. “Ya. Itu bagian dari penyatuan kita.”Alya menatap matanya. Untuk pertama kalinya ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya… kagum. Ardan tidak hanya melindunginya—ia terlihat bangga. “Tapi aku tidak mengendalikannya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku melakukannya.”Mirza, yang sedang merapikan lingkaran ritual yang hancur, menoleh. “Karena itu bukan muncul dari kekuatanmu semata. Itu respons dari ikatan kalian. Kau bertindak karena terancam… dan ik

  • Pengantin dari Dunia Gaib   Setelah Cahaya Mereda

    Cahaya merah yang melingkupi Alya dan Ardan perlahan mereda, berubah menjadi kilau lembut seperti bara api yang mulai padam. Ruangan kembali terlihat jelas: lilin-lilin banyak yang tumbang, kertas mantra berserakan, dan udara dipenuhi debu halus yang berkilau.Alya terengah, tubuhnya nyaris ambruk jika Ardan tidak memegangi pinggangnya.“Alya… kau bisa mendengarku?” suara Ardan pelan, namun ditahan oleh kecemasan yang nyata.Alya membuka mata, pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya kembali fokus. “Aku… aku masih di sini.”Mirza mendekat dengan cepat, memeriksa gelang, denyut nadi Alya, dan bekas cahaya yang masih tersisa di udara. “Ritual ini… belum pernah menghasilkan pancaran sebesar itu dalam puluhan tahun,” gumamnya. “Energi yang keluar darimu bahkan melampaui batas normal penyatuan.”Alya memaksakan diri untuk berdiri tegak. “Apa… ritualnya berhasil?”Mirza menatapnya tajam, lalu mengangguk perlahan. “Ya. Ikatanmu dengan Ardan telah terhubung. Setidaknya… setengahnya.”“Seten

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status