"Tutup mulutmu atau aku pecat sekarang juga!"
Reyhan seketika mengunci mulutnya rapat-rapat. Tak berani membantah. Anak dan istrinya yang ada di rumah tidak akan bisa hidup nyaman jika bukan karena ia bekerja dengan Jayden. Lebih baik ia fokus menyetir dan membiarkan suasana mobil hening hingga tiba di sebuah apartemen yang menjulang tinggi."Anu, Bos. Maaf. Saya harus mengangkat telepon, apakah Anda bisa membawa gadis tadi ke dalam terlebih dahulu?" Reyhan sudah membukakan pintu untuk Jayden sambil memegang ponselnya yang berdering.Jayden berdecak dan keluar mobil. "Memangnya siapa yang meneleponmu?""Istri saya, Bos."Jawaban itu membuat hati Jayden melunak. Ia tidak bisa menolak jika urusan itu berhubungan dengan seorang istri atau ibu. Jayden pun menghela napas pelan sebelum membuka pintu belakang untuk membawa Agatha masuk ke apartemen."Kamar nomor berapa yang kosong?" tanya Jayden setelah menggendong Agatha ala bridal style. Tangan gadis itu ia kalungkan ke lehernya agar tidak terjatuh.Reyhan menatap dengan binar mata senang karena mendapatkan izin. "Nomor 24, Bos."Jayden mengernyit sebentar. "Bukankah itu di sebelah kamarku?""Ah, iya. Kebetulan memang di sana sedang kosong. Saya pikir Anda bisa sekalian mengawasi gadis itu jika terjadi sesuatu dengannya," jawab Reyhan tenang.Jayden ingin kesal, tapi ia memilih tidak berkata apapun dan berjalan melewati Reyhan begitu saja. Lagi pula tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya Jayden sendiri juga berpikiran yang sama dengan Reyhan. Gadis yang ada di gendongannya ini ... memang sejak awal ingin ia lindungi.Reyhan pun tersenyum dan segera mengangkat teleponnya, sementara Jayden bergegas masuk ke apartemen lalu naik lift. Berhubung apartemen ini miliknya, Jayden bisa menggunakan lift yang berbeda alis VVIP. Selang beberapa saat akhirnya ia tiba di lantai yang sama dengan letak kamarnya."Aku harap besok gadis ini tidak ingat apapun," ucap Jayden di dalam hati seraya menggosok sebuah kartu dan pintu ruangan di depannya itu terbuka.Jayden masuk dan menunju salah satu kamar di dekat ruang televisi. Ia merebahkan tubuh Agatha ke ranjang yang luas dan empuk itu dengan hati-hati. Setelahnya Jayden mengembuskan napas lega. Selama Agatha dalam gendongannya tadi, degup jantung Jayden bisa dibilang tidak normal."Dia mengingatkanku pada seorang gadis kecil di masa lalu." Jayden menatap lekat wajah Agatha yang masih terlelap. Tetapi kemudian menggeleng cepat."Tidak, pasti aku salah ingat."Jayden menghela napas panjang guna menepis daya ingatannya yang belum tentu benar itu. Ia melihat jam di pergelangan tangannya, lalu membalikkan badan untuk segera keluar dari ruangan ini. Tetapi saat sampai di ambang pintu, suara lirih tiba-tiba masuk ke telinga."Ibu ... ayah ... jangan pergi ...."Jayden dengan terpaksa menghentikan pergerakannya. Ia berbalik lagi, melihat gadis itu sedang mengigau. Terlihat keringat keluar dari pelipis, alis yang menaut serta dahi yang mengerut, bibir mungilnya juga bergerak tidak jelas tanpa suara. Kaki Jayden entah kenapa berjalan mendekat."Orang tuamu di mana?" Jayden bertanya lirih, mendudukkan dirinya ke tepi ranjang, menatap wajah Agatha lagi.Hingga tanpa diduga Agatha yang semula terlentang mendadak memiringkan tubuh dan memegang lengan Jayden erat. Jayden reflek tersentak. Dengan mata terpejam, gadis itu berucap untuk tidak meninggalkannya pergi. Berulang kali hingga membuat Jayden tidak tega. Sampai Jayden akan menyentuh wajah gadis itu, ia segera tersadar.Jayden menggelengkan kepalanya kuat. "Tidak. Aku harus pergi dari sini sebelum terjadi sesuatu."Jayden melepas tangan Agatha dengan perlahan kemudian berdiri. Gadis itu masih mengigau. Namun Jayden berusaha tidak peduli. Ini keputusan yang baik dari pada ia berakhir melakukan hal gila di luar akal sehatnya. Jayden menulikan pendengaran dan bergegas keluar kamar. Menutup pintunya hati-hati lalu mengusap wajah dengan kasar."Aku benar-benar sudah gila," desis Jayden yang sekarang sudah berada di luar ruangan nomor 24 itu.Pagi pun tiba, Agatha terbangun saat mendengar ponselnya berbunyi nyaring bertanda ada telepon masuk. Meski dengan kepala yang terasa pusing, Agatha meraih ponselnya yang berada di saku celana. Baru saja ponsel itu menempel ke telinga, suara seseorang di seberang sudah sangat memekakkan."Agatha kamu jangan kesiangan! Hari ini kelas masuk pagi, loh! Awas saja kalau kamu sampai telat! Aku tidak akan mentraktirmu makan siang!"Panggilan sudah diputus secara sepihak. Agatha menatap layar ponsel yang menampilkan nama 'Aluna' itu dengan tatapan lelah. Sang sahabat satu-satunya yang ia punya selama di kampus, teramat perhatian sampai menelepon sepagi ini hanya untuk mengatakan hal itu alih-alih membangunkannya.Agatha semula hendak meletakkan ponselnya ke nakas, tapi tiba-tiba ia merasa ada yang janggal di sini. Seingat Agatha, di sebelah ranjangnya tidak ada nakas, melainkan meja belajar. Dan juga, kasur yang ia duduki kini rasanya sangat empuk dan besar, berbeda dengan yang biasa ia tiduri."Tunggu, aku di mana?" Agatha terdiam sebentar, lalu menatap ke sekeliling yang terlihat asing, dan seketika itu ia membulatkan mata."Ini, kan, bukan kamarku!" pekik Agatha yang kemudian turun dari ranjang."Kenapa aku ada di sini?"Agatha buru-buru membuka pintu kamar. Lagi-lagi ia dikejutkan dengan apa yang dilihatnya sekarang. Ruangan yang luas. Terdapat dapur, kamar mandi, meja makan, hingga ruang TV. Ini jelas bukan kos-kosannya yang sempit, atap yang terkadang bocor, serta dinding yang catnya luntur di beberapa bagian."Apa yang terjadi kemarin malam?" gumam Agatha bingung. Ia mendudukkan diri ke sofa yang ada di depan TV.Agatha menghela napas panjang, yang teringat di sebagian otaknya hanya sewaktu ia mendapat minuman gratis, lalu kepalanya tiba-tiba pusing, kemudian dua orang datang entah untuk apa. Dan Agatha tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Kalau benar ia telah dijebak, seharusnya ia terbangun tanpa sehelai pakaian. Tetapi jika mungkin saja ia pingsan lalu diselamatkan, Agatha harus berterima kasih.Namun yang menjadi masalah, siapa yang membawanya ke sini?"Pasti bukan sembarang orang yang bisa menyewa tempat ini hanya untuk membaringkan tubuhku yang pingsan."Agatha ingin mengingat lagi perihal tadi malam, tapi saat melihat jam di pergelangan tangannya, ia tidak bisa terus berlama-lama di sana. Agatha tidak mau ambil pusing, yang terpenting tubuhnya masih selamat dan tersegel, ia memutuskan untuk melupakan kejadian ini. Kalau memang suatu saat ia bertemu dengan orang yang menyelamatkannya, Agatha pasti akan membalas budi.Agatha berdiri dan bergegas keluar dari ruangan mewah itu. Melewati koridor yang cukup panjang, di kanan kiri ia melihat pintu yang bernomor. Lantai yang ia pijak sangat kinclong. Tetapi Agatha tidak mau terpesona lama-lama, ia harus mencari lift untuk turun. Sayangnya sebelum tiba di depan pintu lift, ia malah melihat pertengkaran kecil.Agatha memilih berdiri di kejauhan untuk menunggu mereka dilerai oleh seseorang atau satpam. Agatha juga berpikir ia tidak berhak ikut campur dalam urusan mereka."Anak kecil sialan! Apa yang kamu lakukan pada bajuku?" bentak seorang wanita dengan tatapan marah.Gadis kecil di hadapannya menundukkan kepala sambil memegang stik es krim. "M–maaf, aku tidak sengaja, Bi.""Gara-gara kamu bajuku jadi kotor begini!" Wanita mengenakan dress pendek selutut itu menunjukkan noda di bajunya."Bibi juga menghalangi jalanku," jawab si gadis kecil yang mengangkat kepalanya berani.Agatha tertegun dengan anak itu, diam-diam tersenyum kagum. Namun sampai wanita kasar itu mengangkat tangan yang sepertinya hendak memukul, Agatha seketika membelalakkan mata dan langsung berlari mendekat."Beraninya kamu menjawabku? Dasar anak tidak sopan! Kamu—""Hei, jangan kasar ke anak kecil!" Agatha memekik dan menangkap lengan wanita di hadapannya itu dalam satu gerakan."Agatha, aku benar-benar menyesal atas semua yang telah kulakukan. Aku ingin memperbaiki kesalahan itu, sungguh," ucap Grace, matanya penuh penyesalan. Agatha yang sejak awal sudah mencoba untuk memaafkan, tersenyum lembut, "Kak Grace, aku percaya bahwa setiap orang bisa berubah. Aku sudah memaafkan kamu, Kak."Mendengar kata-kata itu, mata Grace berkaca-kaca, merasa beban besar terangkat dari pundaknya. "Terima kasih, Agatha. Aku berharap kebahagiaan selalu menyertaimu."Agatha kemudian mendekat dan memeluk Grace. Sementara itu, Grace yang lega sampai menangis, merasa terharu karena Agatha masih begitu baik padanya meskipun semua kesalahannya di masa lalu."Sukses untuk karirmu di luar negeri, ya, Kak Grace. Aku yakin kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri di sana," ucap Agatha sambil tersenyum.Dengan hati yang lega dan bersih, Grace pun pergi, meninggalkan Agatha yang semakin siap menyongsong hari pernikahannya dengan Jayden. Sebelum itu, tak lupa Grace mengucapkan selamat kepa
"Bagaimana dengan skripsimu? Apa masih perlu direvisi lagi?" tanya Jayden di suatu malam. Lelaki itu duduk di sebelah Agatha yang tengah menatap laptopnya. Agatha pun menoleh, mukanya tampak cemas dan ragu. Hal itu tentu membuat Jayden seketika ikut khawatir. "Hei? Apa ada yang salah lagi? Katakan saja, aku akan membantumu," ucap Jayden sambil memegang kedua pundak Agatha.Beberapa detik raut wajah Agatha berubah cerah, ia tertawa renyah. Seketika membuat Jayden terkesiap. Seketika ia menaikkan alisnya. Merasa telah dikerjai.Agatha tersenyum lebar. "Tidak, Jayden. Aku hanya ingin melihat reaksimu. Skripsiku sudah selesai dan tidak perlu revisi lagi. Aku mendapatkan nilai bagus, dan sekarang semuanya sudah selesai. Tinggal menunggu giliran sidang saja."Jayden melepaskan napas lega. "Astaga, kamu sungguh membuatku khawatir. Tapi sungguh, aku bangga padamu, Agatha. Kamu melakukan dengan sangat baik."Agatha tersenyum lebih lebar lagi. "Terima kasih, Jayden. Ini semua juga berkat duku
Anna yang terlampau bahagia, tanpa sadar mengeluarkan air mata. "Benarkah? Ini sungguh-sungguh hadiah yang paling indah! Terima kasih, Papa! Terima kasih, Tante Agatha!"Anna langsung memeluk keduanya erat, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Mereka bertiga berpelukan dalam momen yang sarat makna. Kinara dan Oma Sarah yang melihatnya, tak bisa membendung titik air yang keluar dari mata. Mereka ikut bahagia.Jayden tersenyum sambil merangkul Anna dan Agatha. "Kita berdua sangat mencintaimu, Anna. Kita pasti akan menjadi keluarga yang bahagia seterusnya."Di tengah pelukan hangat itu, Kinara mengusap matanya lalu tersenyum sumringah. "Terima kasih, Agatha. Kehadiranmu membawa begitu banyak kebahagiaan pada keluarga ini."Oma Sarah turut menyampaikan rasa terima kasihnya. Ia tersenyum lembut dengan sisa air matanya. "Benar, Anna pasti sangat bahagia memiliki ibu seperti kamu, Agatha."Agatha mengangguk, tersenyum tulus. "Saya juga sangat bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga ini.
"Sadarlah, Cakra! Kamu tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kamu mau! Kamu juga tidak bisa memaksa perasaan seseorang untuk menyukaimu!" bentak Kinara tanpa ampun. Meski air mata turun dari kelopaknya, ia tetap menampilkan wajah yang penuh amarah."Jangan sekali-kali kamu merendahkan seseorang yang ada di bawahmu!" Kinara kemudian melepaskan cekalannya pada dagu Cakra dan mengembuskan napas panjang."Pergi ke kamarmu dan pikirkan perbuatan bejatmu itu! Sampai sebelum papamu pulang, kamu jangan berharap bisa keluar dari sana! Renungi kesalahan yang telah kamu perbuat sampai kamu benar-benar sadar bahwa perbuatanmu sudah sangat memalukan keluarga kita!""Kamu telah membuat ibu kecewa, Cakra!" teriak Kinara untuk yang terakhir kali sebelum menutup pintu kamar Cakra dengan kasar hingga menimbulkan suara sangat keras.Cakra tetap diam, menanggung setiap amarah dan makian yang dilontarkan oleh Kinara. Wajahnya terlihat tanpa ekspresi, namun matanya mengandung rasa penyesalan yang dalam. M
Agatha menatap kagum. "Ini ..... Ini sangat indah, Jayden. Apakah ini bagian dari hadiah untuk Anna?"Jayden menggeleng sambil tersenyum. "Ini untuk kamu, dan kita berdua yang akan menikmati momen ini bersama.""S–sungguh?"Jayden mengangguk. Agatha terpana, tak menyangka Jayden merencanakan sesuatu seindah ini. Setelah Jayden menggandeng Agatha keluar mobil, mereka duduk bersama di tepi danau, menyaksikan gemerlap lentera-lentera kecil yang mengapung di permukaan air. Suasana menjadi semakin hangat di bawah sinar rembulan.Jayden menatap Agatha dari samping. "Aku harap kita bisa menjadikan malam ini sebagai kenangan indah bersama."Agatha menoleh, tersenyum bahagia, merasa terharu dengan kejutan yang dilakukan Jayden. Malam itu, di tepi danau yang tenang, Jayden dan Agatha merasakan suasana romantis yang tak terlupakan.Tak lama Jayden mengambil kotak kecil di kantongnya. Ia merasa berdebar-debar. "Agatha, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu."Agatha menatap Jayden den
"Terima kasih sudah menemukanku. Sekarang aku baik-baik saja, Jayden."Agatha tersenyum hampir menangis, rasanya terharu saat seseorang yang mencemaskan dirinya sampai seperti ini. Ia tidak menyangka apalagi orang itu adalah Jayden Byhantara."Apa kamu terluka? Lelaki bejat itu telah melakukan apa terhadapmu?" Jayden melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Agatha. Menatapnya ke dalam matanya. Penuh kecemasan dan kekhawatiran yang membara.Agatha menatap mata Jayden yang penuh perhatian dan belum pernah ia lihat sebelumnya. Suara dari orang-orang di belakang Jayden yang bergegas masuk mengalun samar, tapi fokus Agatha hanya sepenuhnya tertuju pada pria yang ada di depannya ini.Agatha tersenyum senyum tipis dan lembut. "Tidak, Jayden. Aku tidak terluka. Berkat keahlianku, aku bisa mengatasi situasinya. Dia juga belum sempat melakukan sesuatu yang bejat terhadapku."Jayden menghela napas lega. Diusapnya kepala Agatha. "Aku sungguh khawatir. Jangan pernah lagi menyusahkan dirimu