“Kak Nadia, ayo temani aku main bola!” teriak Sean yang kini sudah berlari ke taman di samping rumah. Hari itu dirinya pulang lebih awal, jadi dia tidak pulang dengan sang ayah.
Ketika Nadia sedang sibuk menemani Sean bermain bola, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan halaman rumah. Seorang wanita cantik berpakaian modis dengan kacamata hitam tampak keluar sambil menenteng tas mewah. Hal itu membuat Nadia bertanya-tanya mengenai siapa tamu tersebut.“Sean?” panggil wanita itu dari balik pintu gerbang dengan sebuah senyuman, mengalihkan pandangan bocah kecil tersebut.Seketika, wajah Sean berubah ceria. "Mama!"Nadia pun langsung mengerti. 'Oh, jadi itu ibu kandung Sean?' batinnya seraya menghampiri wanita itu bersama Sean. 'Kalau nggak salah ... namanya Monica?'Menyadari bahwa satpam gerbang sedang tidak di tempat, Nadia pun langsung membukakan pintu. Wanita dengan rambut coklat bergelombang dan bibir kemerahan nan ranum itu pun melenggang masuk dan memeluk Sean."Sean, sayang. Kenapa kamu di luar?" tanya Monica dengan alis meninggi.“Mama! Tadi aku main bola sama Kakak, dan aku menang!” ucap Sean sembari memeluk Monica, wajah tampannya semakin berseri karena tawa senangnya.Melihat Sean yang tertawa bahagia, Monica merasa asing. Pasalnya, dia tidak ingat kapan terakhir kali buah hatinya itu menunjukkan ekspresi seperti itu."Siang, Bu Monica," sapa Nadia sembari membungkuk sopan.Mendapati keberadaan Nadia, senyuman Monica menghilang. "Siapa kamu?" tanyanya ketus sembari menilai penampilan gadis di hadapan."Perkenalkan, Bu. Saya Nadia, baby sitter baru Sean." Nadia tersenyum ramah, tidak ingin memberikan impresi buruk di kali pertama bertemu.Melihat senyuman Nadia terlihat begitu manis, hati Monica diselimuti kekesalan. 'Baby sitter?' ulangnya dalam hati. 'Baby sitter mana cantik begini? Si Daniel mau cari pengasuh atau calon istri baru, hah?' Wanita itu pun berujung berkata, "Tidak sopan, panggil dia Tuan Muda Sean! Hanya baby sitter, tapi bertingkah layaknya nyonya!"Seketika, wajah Nadia berubah pias. Dia merasa terkejut dengan penuturan Monica. Walau bingung dan merasa tidak seharusnya dia dimaki sedemikian rupa, Nadia hanya bisa diam saja dan membalas, "Saya mengerti, Nyonya."Monica mendengus dingin. "Emang harus diingat. Kalau nggak, percuma aja dibayar tapi nggak tahu aturan!"Menyadari bahwa sang ibu terlihat tidak menyukai Nadia, Sean pun berceletuk, "Mama, Mama, Kak Nadia baik banget. Sean suka sama Kak Nadia! Nggak perlu kok Kak Nadia manggil Sean begi—""Diam, Sean," tegur Monica dengan tatapan nyalang. "Aturan tetap aturan, tidak boleh dilanggar, paham?"Bentakan Monica membuat Sean tersentak, bocah itu pun mengangguk pelan sembari menggigit bibir, menahan tangis. "Iya, Ma."Interaksi ibu dan anak itu membuat Nadia mengerutkan keningnya. Menurutnya, tidak seharusnya Monica membentak anaknya seperti itu. Akan tetapi, siapa dia? Hanya baby sitter saja. Dia tidak memiliki hak untuk mengatur cara seorang ibu mendidik anaknya."Heh, ngapain berdiri diam aja di situ? Buatkan minuman sana," perintah Monica dengan nada membentak ketika menyaksikan manik Nadia yang terus terarah kepada anaknya. "Saya yang akan main dengan Sean.""Ah, i-iya, Nyonya." Nadia buru-buru mengangguk dan berlalu pergi. Namun dia mengerucutkan bibirnya setelah berbalik, agak bingung dengan sikap Monica. 'Apa ini perasaanku saja atau ... ada yang salah dengan wanita itu?' Namun, Nadia menghela napas dan mengangkat kedua pundaknya. 'Sabar aja deh, mungkin memang orang kaya begitu sikapnya. Tuan Kulkas juga sama aja,' pikirnya ketika mengingat sosok jutek Daniel.Tidak perlu waktu lama bagi Nadia untuk mempersiapkan minuman untuk Monica. Dia pun kembali ke ruang tamu dan melihat Sean sedang menunduk dan bermain sendiri di hadapan sang ibu. Kentara ada ketidaknyamanan di mata bocah tersebut.Nadia berusaha untuk tetap tenang dan menjulurkan tangan untuk meletakkan gelas di atas meja. "Ini minumannya, Nyonya."Manik Monica melirik ke arah tangan Nadia yang terjulur ke arahnya. Pancaran mata keji terlihat dari matanya seiring dirinya menggerakkan tangannya sedikit.PRANG!"Ah!"Suara pecahan kaca dan teriakan terkejut terdengar bergema di ruang tamu. Hal itu diikuti dengan suara tetesan yang bertemu dengan lantai."Dasar bodoh!" maki Monica sembari langsung berdiri untuk menghindari lantai yang basah dan dipenuhi pecahan kaca. "Sean, kamu nggak apa-apa?" tanya Monica sembari menarik putranya menjauh dari tempat kejadian. Dia pun menatap nyalang Nadia. "Kamu nggak becus kerja, ya?! Taruh gelas aja nggak bisa! Kalau Sean sampai terluka gimana?!"Cacian yang diucapkan Monica membuat jantung Nadia berdegup kencang. Pasalnya, dia yakin telah meletakkan gelas berisi minuman itu dengan baik. Lalu, bagaimana mungkin gelas itu jatuh setelah dia meletakkannya?Mata Nadia mengarah pada Monica. 'Dia ... sengaja?'Netra Monica mendapati Nadia menatapnya dengan pandangan tak gentar. Menyadari hal itu, wanita tersebut pun berteriak, "Heh! Kok diam aja? Cepat bersihkan! Dasar pembantu gak becus!"Mendengar cacian kasar dari Monica, Nadia terdiam sesaat. Gadis itu menimang-nimang apa yang harus dia lakukan mengetahui wanita di hadapan dengan sengaja mencari masalah dengannya.Namun, pada akhirnya, Nadia hanya mengangguk pelan dan berkata, "Ya, Nyonya." Tak ada pilihan lain, dirinya memerlukan pekerjaan dengan gaji tinggi ini untuk biaya rumah sakit sang ibu."Sean, kamu ke kamar, ganti baju karena baju kamu basah."Nadia bisa mendengar Monica memerintahkan putranya. Dia pun mengangkat pandangan sedikit, mendapati Sean menatapnya dengan iba. Sepertinya, bocah itu juga tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, dia tidak berani banyak bicara.Melihat hal itu, Nadia pun tersenyum dan menggelengkan kepalanya, memberikan isyarat dirinya tidak apa-apa. Hanya setelah dirinya mengatakan hal itu barulah Sean berbalik dan pergi ke kamarnya untuk mengganti baju.Setelah Sean pergi, Nadia pun kembali fokus mengumpulkan pecahan kaca. Baru saja dia ingin meraih pecahan kaca besar terakhir, sebuah hak mendadak menginjak tangannya."Ah!" Nadia memekik, terkejut karena rasa sakit yang menyerang. Dia pun menengadah dan melihat bahwa pemilik kaki itu adalah Monica. "N-Nyonya?!" Nadia ingin menarik tangannya, tapi gadis itu tahu melakukan itu malah akan memperparah luka yang dibentuk oleh pecahan kaca.Monica kini menyaksikan Nadia yang berada di bawahnya sembari mengulas senyum licik. "Kenapa? Tidak terima?" tanyanya. "Ini pelajaran biar kamu kalau kerja itu yang bener! Cuma masalah kecil kayak gini aja nggak becus, apalagi jagain Sean?"Mata Nadia menatap cairan jingga dari jus jeruk yang tumpah mulai bercampur merah darah miliknya. Akan tetapi, dia hanya menutup mata dan menahan rasa sakit itu. 'Bertahan, Nadia. Ingat, semua ini demi Ibu.'Melihat Nadia hanya diam saja dan memasang wajah tegar, hati Monica membara dengan kebencian. "Kenapa malah diam saja, hah?! Apa kamu tidak tahu cara minta—""Apa-apaan ini?!" seru suara bariton yang tak terdengar asing di telinga Nadia, membuatnya menoleh dan melihat sosok pria yang baru saja kembali dari kantornya.Dengan tubuh masih diselimuti kemeja kerjanya, Daniel berlari menghampiri Nadia dan mendorong Monica menjauh, menyebabkan wanita itu memekik, "Ah!"Tangan kekar pria itu terjulur menyentuh tangan Nadia, dengan hati-hati mengangkatnya dari pecahan kaca di lantai.“T-Tuan Daniel …,” panggil Nadia dengan wajah meringis.Melihat darah yang menetes deras dari telapak tangan gadis itu, Daniel pun melemparkan tatapan nyalang kepada Monica. "Apa yang kamu pikir kamu lakukan kepada orangku?!""Apa yang kamu pikir kamu lakukan kepada orangku?!"Pertanyaan Daniel membuat Monica tampak terkejut. Apa maksud pria itu dengan ‘orangku’? Mengesampingkan hal tersebut, Monica sendiri tidak menyangka pria tersebut pulang lebih cepat dari biasanya. "Kamu sudah pulang?" Dia terlihat tidak peduli dengan apa yang telah dia lakukan pada Nadia.Dengan tatapan mata tajam, Daniel menggeram, "Aku bertanya, apa yang kamu pikir telah kamu lakukan!?" Bentakan pria itu bergema di seluruh penjuru rumah, menyebabkan beberapa pelayan yang mendengar langsung berlari ke ruang tamu untuk mengecek keadaan. "Siapa yang mengizinkan wanita ini masuk ke rumah ini?!""Oh, ya ampun!" seru sang kepala pelayan ketika melihat darah yang berceceran di lantai. Dia juga terkejut melihat sosok Monica di ruang tamu kediaman itu.Melihat sang kepala pelayan telah tiba di ruang tamu, Daniel langsung membentak, "Bawa Nadia, periksa tangannya dan pastikan dia baik-baik saja!""B-baik, Tuan!" balas sang kepala pelayan yan
"Kamu ini gimana sih, kenapa tadi diam saja dan nggak minta tolong? Apa kamu nggak takut jika Nyonya Monica melakukan hal lebih sama kamu?" Kepala pelayan mengomeli Nadia selagi dirinya mengobati tangan gadis itu. “Lihat ini, lukanya dalam sekali!”Nadia pun tertawa dengan canggung. Jujur saja, dirinya di zaman sekolah dulu adalah seorang berandal, suka berkelahi, bahkan dengan para laki-laki. Luka yang Nadia derita sekarang bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan luka bekas tawuran dulu."Saya lebih takut jika dipecat dari sini sih, Kak,” balas Nadia sembari menggaruk kepalanya. “Ibu masih butuh banyak uang untuk bisa kembali sehat," jawabnya sembari tertawa untuk menceriakan suasana.Akan tetapi, ucapan Nadia malah membuat Kepala Pelayan menjadi semakin tidak enak. Dia pun menasehati, “Lain kali, kalau Bu Monica datang, jangan biarkan masuk tanpa seizin Pak Daniel. Selain itu, kalau ada yang berani bersikap seperti ini lagi atau kurang ajar sama kamu, teriak aja. Kami semua yang di s
Nadia membuka matanya perlahan. Gadis itu merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, tapi rasa nyeri yang paling kentara berasal dari area intimnya."Ugh … sakit," lirihnya.Samar, dia menatap ruangan yang tak asing, namun juga tak terlalu akrab. Suara deru napas seseorang membuatnya menoleh ke samping. Seketika, matanya membulat.Pria tampan itu masih memejamkan matanya rapat. Jantung Nadia berdetak semakin kencang. Apa ini semua? Pikirnya.Dia bukan gadis bodoh. Mereka kini berada di ranjang yang sama!Wajah Nadia mulai memucat seolah darah dikuras habis dari tubuhnya. Dia lantas memeriksa tubuhnya dan kembali terkejut ketika sadar tak ada sehelai benang pun yang melekat di kulitnya.Wajah Nadia seketika jadi pias. Ingatan kemarin malam kembali muncul dan membuatnya hampir berteriak.'Ini nggak mungkin,' batinnya lagi sambil menggigit bibirnya.Perlahan, Nadia menyibakkan selimut dan duduk di sisi ranjang. Dia meremas sprei dengan perasaan yang campur aduk. Bisa dilihat, kulitnya kini dihi
Bab 9“Papa!” seru Sean yang turun dengan Nadia ke ruang makan.Melihat sosok Nadia yang berada di samping Sean, jantung Daniel berdetak kencang. Dia hanya menganggukkan kepala kepada putranya dan terdiam setelah meminta anaknya untuk duduk.Sesekali, netra hitam Daniel mendarat pada sosok Nadia. Mengingat kembali akan kesalahannya semalam, juga dengan kenyataan dia telah merenggut kesucian gadis tersebut, rasa bersalah pria itu menjadi semakin besar.Akan tetapi, ketenangan Nadia membuat Daniel bertanya-tanya. 'Kenapa … dia tidak membuat keributan dan meminta pertanggungjawaban?' batin Daniel. Sejak bangun tadi, Daniel sudah bersiap akan keributan yang mungkin saja terjadi. Tapi apa ini? Nadia malah lebih sibuk mengurus Sean dibandingkan mencari penyelesaian masalah mereka?!Nadia yang tengah sibuk menyuapi Sean, juga merasa seseorang sejak tadi meliriknya. Tapi, gadis ini pura-pura tak tahu. Tidak Daniel ketahui, dalam pikiran gadis itu, hanya ada satu pertanyaan penting. Apa dirin
“Operasi ibumu berhasil. Sekarang, kita hanya perlu menunggu kapan beliau sadar,” jelas seorang dokter yang di sampingnya ditemani seorang suster. “Seharusnya, tidak lama lagi.”Mendengar hal itu, senyuman merekah di wajah Nadia dan matanya berkaca-kaca. Dia membungkuk hormat kepada sang dokter seraya berkata, “Terima kasih, Dok! Terima kasih!”Ketika dokter keluar dari ruangan, Nadia pun duduk di samping tempat tidur sang ibu. Dia menggenggam tangan ibunya yang begitu kurus sampai tulang terlihat menonjol.“Ibu dengar kata dokter, ‘kan? Ibu sudah baik-baik saja,” ucapnya dengan suara rendah sembari mengelus wajah sang ibu. “Ibu akan segera sadar."Setelah sekian lama ibunya berada dalam keadaan koma, hari ini adalah hari pertama dia mendapatkan kabar baik mengenai sang ibu. Ibunya akan sadar, dan Nadia percaya itu.Walau memang operasi ini berlangsung setelah sebuah malapetaka terjadi, tapi Nadia rela. Demi sang ibu, bahkan harga diri rela gadis itu jual.Tanpa Nadia ketahui, ada sepa
"Apa ini?" Nadia tampak kebingungan saat menerima sebuah surat dari Daniel di ruang kerja pria itu. Dia mendongakkan kepalanya dan menatap sosok pria yang memasang wajah datar itu."Mulai minggu depan kamu akan kuliah khusus di hari Sabtu dan Minggu."Mata Nadia membulat dengan sempurna. Apa telinganya tak salah dengar? Kuliah? Kenapa sangat mendadak?"A-apa? Kenapa Anda tiba-tiba--""Tak ada alasan khusus. Aku hanya ingin baby sitter anakku tidak bersikap memalukan dan mengajarkan kata-kata yang tidak benar," kilahnya penuh kebohongan. Daniel tak ingin mengatakan yang sebenarnya. Cukup dia seorang saja yang tahu alasannya.Nadia tersentak kaget. Kata-kata Daniel barusan terkesan menyinggungnya sebagai gadis yang 'bodoh' dan tak berpendidikan.Gadis itu pun menurunkan pandangannya, lalu terkejut dengan jurusan yang didaftarkan Daniel untuknya. “Sastra?” Matanya berbinar, dan tangan Nadia menutup mulutnya. Dia melirik pria di hadapannya. ‘Bagaimana … bisa dia tahu aku–’Sebelum dirinya
"Oh, jadi maksud kamu saya nggak pantas jadi suami kamu?"DEG!Detik itu juga, tubuh Nadia membeku. Suara bariton familier itu mengakibatkan mata gadis itu membulat, mulutnya bahkan menganga lebar. Perlahan, pandangan Nadia terangkat, melihat sosok Daniel kini sudah bersandar tepat di kusen pintu kamar Sean dengan kedua tangannya terlipat di depan dada.‘Sejak kapan pria dingin itu ada di sini? Seberapa banyak yang dia dengar? Ya Tuhan! Habis sudah!’Dengan tatapan tajam netra hitamnya, Daniel mengulangi pertanyaannya, “Gimana Nadia, saya nggak layak jadi suami kamu? Gitu maksud kamu?”"A-anu itu … saya cuma bicara tentang fakta, Tuan.” Nadia memutar otak. “S-saya ‘kan bawel, Tuan ‘kan jutek– Eh! Maksudnya kalem, jadi nggak cocok.” Dia menutup mata rapat dan berbicara cepat setengah berseru, “Intinya, nggak kebayang deh kalau kita nikah!”Semakin Nadia mencoba menjelaskan, dia malah menggali masalah makin dalam. Gadis itu bisa melihat tatapan tajam Daniel seolah-olah ingin mengulitiny
Bab 13“Kenapa kamu bisa kenal ayah saya?”Di saat pertanyaan Daniel terlontar, Nadia menjawab, "Ayah Tuan langganan di minimarket saya bekerja dulu." Gadis itu tersenyum sumringah pada ayah Daniel."Benarkah?" tanya Daniel sedikit kaget dengan alis kanannya terangkat, terlihat mempertahankan kebenaran ucapan Nadia. Netra coklatnya tampak mengarah pada sang ayah, meminta konfirmasi.“Itu benar,” jawab ayah daniel, Hendrawan Adhitama, dengan sebuah senyuman ramah. Pria itu pun menoleh kepada sang istri dan berkata, “Dia gadis yang aku bilang selalu berceramah tentang cokelat yang kubeli.”Martha Nugroho, istri dari Hendrawan dan ibu dari Daniel, tertawa kecil. “Oh, jadi ini.” Dia pun menepuk kecil pundak suaminya. “Memang Bapak bandel, harusnya nggak boleh makan cokelat masih makan,” ucapnya membuat Nadia terkekeh selagi Hendrawan memasang wajah tak berdaya.Melihat keakraban Nadia dengan kedua orang tuanya membuat Daniel merasa aneh. Kenapa sepertinya orang-orang di sekelilingnya selal