Share

Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku
Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku
Author: Emya

1. Tingkah Dara

"Dara! Kamu apa-apaan, sih?! Ibu itu lagi sakit, kenapa kamu suruh Ibu ngasuh Nada? Ini hari libur Dara, harusnya Nada sama kamu." Mas Nasrul yang baru pulang dari gotong-royong masuk ke kamar sambil bersungut-sungut.

"Biasa aja kali, Mas. Aku udah capek kerja seminggu full, mumpung libur gini, ya wajarlah kalau aku me time." Dengan santai kujawab perkataan Mas Nasrul sambil memainkan benda pipih di tanganku.

"Wajar itu kalau kita belum punya anak, Ra. Ibu itu udah tua, beliau selama seminggu ini udah capek ngasuh Nada yang semakin aktif. Ibu ju-"

"Aduh! Udah deh, Mas. Nggak usah lebay gitu kenapa? Ibu yang mau, kok Mas yang sewot." Kupotong langsung ocehan Mas Nasrul sebelum melebar kemana-mana. Lebih baik aku siap-siap pergi ke arisan daripada mendengar ceramah basi Mas Nasrul.

Mas Nasrul menghela napas kasar, lalu meraih handuk yang bergantung di belakang pintu. "Ya udah, siapin Mas sarapan, tadi di balai desa cuma ngemil ubi goreng," titah Mas Nasrul.

"Mas liat aja di dapur, Ibu udah masak apa belum. Aku belum ada ke dapur, Mas." Sambil cekikikan berbalas pesan dengan teman arisan, kujawab titah Mas Nasrul.

Terdengar dengusan tak suka sebelum Mas Nasrul meninggalkan kamar. Masa bodoh! Gitu aja manja. 

Mas Nasrul merupakan bungsu dari tiga bersaudara, kedua kakaknya perempuan, biasa aku pangil Mbak Nira dan Mbak Nana. Anak pertama Mbak Nira, sudah menikah selama tiga tahun tapi belum dikaruniai anak. Itulah sebabnya kenapa Ibu sangat sayang pada Nada, anakku. Mbak Nira dan suami tinggal di kecamatan sebelah, tetapi setiap bulan pasti berkunjung dengan membawa banyak oleh-oleh kesukaanku. Sedangkan Mbak Nana anak nomor dua, belum menikah meski usianya sudah mendekati kepala tiga, saat ini dia sedang berkarir di kota. Setiap tahun dia pasti pulang, biasanya saat lebaran tiba. Mas Nasrul selaku anak bungsu tidak diperbolehkan kemana-mana, harus menjaga Ibu di rumah. Dulu kami bertemu diperantauan, setelah menikah ia iseng ikut tes CPNS di desa kelahirannya. Nasib baik berpihak, Mas Nasrul lulus dan menjadi sekretaris desa. Aku? Aku tidak mau gelarku terbuang sia-sia dengan menjadi ibu rumah tangga, maka berkat relasi keluarga Ibu mertua aku berhasil menjadi salah satu tenaga honorer di kantor camat setempat.

Selang beberapa saat setelah Mas Nasrul meninggalkan kamar, terdengar kegaduhan di dapur.

Prang!!! Suara benda yang dihempaskan ke lantai.

"Dara! Sini, kamu!" Suara Mas Nasrul menggelegar memenuhi gendang telingaku, disusul tangisan keras Nada dari arah kamar Ibu.

Dengan malas aku beranjak memenuhi panggilan Mas Nasrul. Belumlah sampai di muka pintu, ponselku berdering. Setelah kulihat, ternyata Mama yang menelepon. Sebagai satu-satunya anak perempuan di keluargaku, hingga usia 23 tahun ini aku masih diperlakukan dengan manja oleh Mama.

"Halo, Ma," sapaku pada Mama di ujung telepon.

"Halo, Sayang. Lagi apa? Nada mana?" jawab Mama dengan ceria.

"Nada lagi sama Ibu, Ma. Ini Dara ma-"

"Dara!!" Mas Nasrul masuk dengan mata nyalang. Melihatku yang sedang memegang ponsel, dia merangsek maju dan merampas ponselku, lalu melemparnya ke udara dengan bebas. Setelahnya, meraih batu pengganjal pintu kamar dan memukulkannya. Ponselku ... hancur tak berbentuk.

Aku menatapnya nanar.

"Mas! Kamu …" Tanganku mengepal menyaksikan ponsel baruku sudah hancur tak berbentuk, retak beribu-ribu seperti perasaanku saat ini.

"Semakin Mas diamkan, kamu semakin menjadi! Ngapain aja sepagian ini, hah? Dapur masih berantakan, rumah berpasir dan lengket. Jangankan makanan, bahkan air di termos pun nggak ada! Cucian juga masih numpuk di mesin cuci!" Napas Mas Nasrul memburu berpacu dengan napasku yang ikut memburu.

"Kenapa Mas tanya aku? Mas tanya Ibu, lah! Aku manusia, Mas, bukan robot. Aku juga butuh me time, butuh istirahat. Masa iya urusan rumah juga masih harus aku? Ibu, kan, di rumah aja, ya wajar kalau semua perkerjaan rumah ini menjadi tugas Ibu. Nggak usah lebay, lah!" Dengan sewot kutumpahkan uneg-unegku pada anak laki-laki satu-satunya mertuaku ini.

"Astaghfirullah, Dara!" Mas Nasrul meremas kasar rambut tebalnya, lalu mencekal tanganku dengan kuat. "Ikut Mas! Mas nggak mau tau, hari ini kamu yang masak dan beres-beres. Ibu lagi sakit, beliau butuh istirahat. Nada biar sama Mas." Diseretnya aku dengan paksa.

Aku yang sudah terlanjur emosi karena ponselku yang dihancurkannya, menyentak tangannya dengan kasar. 

"Nggak! Aku nggak mau sebelum hapeku Mas ganti. Itu hape mahal, Mas! Hadiah dari Mama. Ganti atau aku nggak akan masak sama sekali sampai kapanpun, titik!" Kuberikan tekanan pada setiap kata-kataku, agar ia tahu bahwa aku juga sedang dalam kondisi marah besar.

"Dara! Kamu ini ..." Tangan Mas Nasrul melayang di udara, siap memberi cap merah di pipiku.

"Nasrul! Astaghfirullah … Istighfar, Nak!" Ibu datang dengan tergopoh-gopoh. Menurunkan tangan Mas Nasrul yang seketika tertahan kala mendengar teriakan Ibu. Di elus-elusnya punggung Mas Nasrul, memberikan ketenangan pada anaknya yang tengah kesetanan itu. "Sabar, Rul. Jangan pakai emosi, semua bisa diselesaikan baik-baik. Istighfar, Nak, istighfar …" Ibu kembali menyabarkan Mas Nasrul.

"Dara sudah keterlaluan, Bu. Nasrul bukan tidak tahu kalau selama ini Ibu kelelahan berjibaku dengan pekerjaan rumah dan mengasuh Nada. Tapi, kali ini Dara sudah kelewatan." Intonasi suara Mas Nasrul melembut saat berbicara dengan Ibunya, seperti putus asa. Mungkin.

Aku memainkan bibirku dengan kesal mendengar aduan Mas Nasrul. Dikira aku juga tidak capek apa? Aku kerja dari senin sampai sabtu. Hari minggu begini waktunya aku rebahan. Sedangkan Ibu? Cukup santai, tidak perlu ikut capek cari duit, taunya semua ada. Hanya mengurus rumah dan momong cucu semata wayang, apa susahnya? Kalau sakit, ya berobat. Simple, kan? Mas Nasrul saja yang suka membesar-besarkan masalah, apalagi kalau sudah menyangkut soal pengasuhan Nada pada Ibu.

"Sudah! Sudah! Biar Ibu yang masak. Dara, kamu pegang Nada. Dia lagi rewel, minta digendong terus." Ibu mengalah dan memberikan Nada padaku.

Aku yang sudah bersiap pergi arisan, memberikan Nada pada Mas Nasrul. Dengan muka ditekuk, digendongnya Nada menuju dapur. Menyusul Ibu.

Saat aku hendak melangkahkan kaki ke luar rumah, terdengar teriakan Mas Nasrul,

"Ibu!" Pekik Mas Nasrul. "Dara!" Pekik Mas Nasrul kembali, memanggilku, disusul lagi tangisan Nada yang meraung-raung memekakkan telinga.

Ada apa lagi, sih? Dengan kesal kuhentakkan kaki menuju dapur. Akhir-akhir ini sepertinya orang di rumah ini sangat tak ingin melihatku bahagia, meski sebentar saja.

Sesampainya di dapur mataku terbelalak. Astaga!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status