Share

2. Ibu Pingsan

Pengasuh Gratis Itu, Mertuaku.

Bab 2

"Astaga! Mas, kenapa Nada kamu taruh di lantai kayak gitu? Itu kotor, jorok tau!" Kuraih tubuh Nada yang masih meraung-raung. Duh! Ingusnya kena bajuku, alamat bau semua ini. Ck!

"Matamu picek, hah! Nggak liat? Ibu pingsan. Buruan telepon Sarah! Suruh ke sini." Mas Nasrul membopong tubuh Ibu memasuki kamar setelah sebelumnya menyuruhku menelepon bidan desa, Sarah.

"Gimana mau telepon, kan, hapeku udah jadi sampah!" Sungutku jengkel, kalau ingat benda pipihku itu sudah hancur ingin rasanya kucekik laki-laki yang dua tahun ini menjadi suamiku.

Terdengar decak dari mulut Mas Nasrul. "Pakai hape Mas." Dilemparnya ponsel dengan tiba-tiba, untung tanganku lihai menangkapnya.

Kuutak-atik ponsel ketinggalan zaman milik Mas Nasrul, setelah selesai kukembalikan padanya yang sedang memijit tubuh Ibu. Duh! Pakai pingsan segala lagi, aku bisa telat ke arisan kalau begini. Kulirik jam tangan pink di pergelanganku. Tuh, kan! Udah telat 10 menit. Ck!

"Telepon Mbak Nira juga. Bilang aja Ibu nggak enak badan, jangan bilang kalau pingsan, nanti dia panik." Titah Mas Nasrul begitu aku ingin memberikan ponsel padanya.

"Iya," jawabku sebel. Tinggal telepon apa susahnya, sih? Masa itu saja harus aku. "Udah. Sebentar lagi Mbak Nira berangkat, tunggu suaminya pulang dari pasar katanya." Kusodorkan ponselnya segera, jangan sampai disuruh-suruh lagi.

"Ya udah, siniin Nada. Kamu beres-beres rumah dulu, ya. Nggak enak kalau diliat Mbak Nira. Kamu juga nanti yang diomelin, apalagi kalau dia ngadu ke Mbak Nana." Mas Nasrul ingin meraih Nada, tapi kutepis.

"Nggak. Mas aja yang beres-beres, aku udah rapi, Mas. Nanti keringat semua," elakku cepat. Enak aja, orang udah ganti baju bagus gini disuruh beres-beres.

"Allahuakbar ... Ya udah, kamu pijitin Ibu, kasih minyak di depan hidungnya biar cepet siuman." Mas Nasrul beranjak, dan mendudukkanku di kursi samping ranjang, lalu meninggalkanku bersama Nada yang mulai diam dan Ibu yang masih pingsan.

Kutatap wajah Ibu mertuaku ini, sesekali dahinya mengernyit lalu tenang kembali. Sebenarnya Ibu ini baik, tidak banyak protes kalau kuminta ini dan itu. Hanya saja rasa tak suka mulai datang kala mengetahui dulu Ibu sempat tidak merestui Mas Nasrul menikah denganku. Alasannya karena aku anak perempuan satu-satunya, takut nanti jadi istri manja, melawan suami, egois, pemalas, dan sebagainya. Nyatanya kalau tanpa sebab aku tidaklah begitu, kalau ada yang tak sesuai dengan hati, kita wajib melawan, kan. Iya, dong?

"Assalamu'alaikum …." Terdengar salam dari luar

"W*'alaikumsalam, masuk, Rah, Ibu di kamar." Mas Nasrul mempersilahkan tamu yang ternyata Sarah untuk masuk.

"Gimana ceritanya Ibu bisa pingsan, Mas?" tanya Sarah pada Mas Nasrul.

"Nggak tau, Rah. Tadi itu Ibu pamit ke dapur, lalu Mas menyusul Ibu. Pas sampai di dapur, Ibu udah pingsan." Mas Nasrul menceritakan kronologi pingsannya Ibu pagi ini.

"Sebentar, ya, Sarah periksa dulu," ucap Sarah mulai memeriksa Ibu. Setelah mengukur tensi dan segala macam serta mengetuk-ngetuk perut Ibu, Sarah berucap, "Sepertinya maag Ibu kambuh, Mas. Ibu makannya telat, jadi pusing dan lemas."

"Ya Allah … Ini Ibu belum siuman dari tadi, gimana? Apa kita bawa ke puskesmas?" tanya Mas Nasrul panik, aku hanya memperhatikan diskusi keduanya dan malas terlibat.

"Nggak perlu, Mas. InSyaa Allah sebentar lagi Ibu siuman. Mbak, bisa minta tolong buatkan bubur? Supaya nanti bisa langsung Ibu makan begitu beliau siuman." Sarah menatapku tersenyum, sambil memainkan tangan Nada.

"Hmm? O-oke. Mas!" Kuberi kode pada Mas Nasrul supaya mengikutiku ke luar kamar.

"Kenapa?" tanya Mas Nasrul polos.

"Kok, kenapa? Mas yang bikin buburnya, biar lebih afdol dibuatin anak laki kesayangan," jawabku berlalu masuk kamar.

"Dara! Kamu ini kenapa jadi keterlaluan banget, sih? Cuma masak bubur buat Ibu apa susahnya?" Rahang Mas Nasrul mengeras, sebisa mungkin menahan intonasi suaranya agar tak terdengar Sarah.

Kuangkat sebelah alisku, "Nggak susah! Tapi apa Mas lupa tadi aku bilang apa? Aku nggak akan pernah masak sebelum Mas ganti hapeku, titik!" Kubaringkan Nada yang ternyata telah tertidur. Tuh, gampang, kan, ngasuh Nada? Mas Nasrul aja yang suka lebay kalau Ibu ngasuh Nada.

"Ya Allah … Astaghfirullah … Ampuni hamba ya Allah. Astaghfirullah, astaghfirullah ..." Sambil berjalan ke luar kamar Mas Nasrul terus beristighfar. Nah, mending begitu, biar setan-setan pada kabur, tidak marah-marah terus.

Kurebahkan tubuhku di samping anakku, Nada. Mau pergi arisan pun percuma, sudah telat. Kalau ponselku ada, pasti mereka sudah sibuk menanyaiku. Lamat kudengar suara Sarah berbicara dengan Ibu di kamar seberang, syukurlah kalau Ibu sudah siuman. Artinya besok aku bisa bekerja dengan tenang, karena Ibu sudah bisa mengasuh Nada lagi.

Krucuutt! Perutku berbunyi. Duh, aku lupa kalau dari pagi belum sarapan. Pelan aku bangkit dari rebahan agar Nada tak bangun. Kulangkahkan kaki menuju dapur, nampak Mas Nasrul sedang menabur bawang goreng di atas piring bubur Ibu. Wangi sekali ….

"Mas," sapaku padanya yang masih menekuk muka.

"Hmm …" jawabnya dengan deheman.

"Buburnya masih?" tanyaku pelan, takut dia tiba-tiba beristighfar layaknya melihat hantu.

"Habis. Mas cuma masak buat Ibu." Mas Masrul berlalu.

Aarrghh!! Suami tak punya akhlak. Apa susahnya masak sekalian banyak, apa dia tak lapar?

Kubuka lemari penyimpanan, tidak ada apapun selain tepung serbaguna dan agar-agar bubuk. Aku lupa, kemarin belum sempat belanja bulanan. Kubuang napas dengan kesal.

"Mas, hape Mas mana? Pinjem." Aku menadahkan tangan padanya yang sedang menyuapi Ibu sambil ngobrol ringan dengan Sarah.

Ngapain Sarah masih di sini? Betah bener.

Tanpa bersuara, Mas Nasrul menyerahkan ponselnya padaku. Huh! Aku benci melihatnya cuek begini. Sambil cemberut kuambil ponselnya, lalu kutinggalkan mereka bertiga.

"Halo, Tia. Ayam gepreknya masih?" Kutelepon Tia, penjual ayam geprek dekat pos ronda.

"Masih, Mbak. Mau berapa?" tanyanya antusias.

"Satu aja. Hmm … empat, deh," jawabku.

Aku teringat Mas Nasrul yang belum makan, kasihan juga dia. Dua lagi untuk Mbak Niar dan suaminya, Mbak Niar pernah bilang bahwa sangat suka dengan ayam geprek buatan Tia. Itung-itung ambil hati ipar, biar aku dan anakku makin disayang, he he he ….

"Ashiap! Ditunggu ya, Mbak Dara."

"Oke." Klik! 

Di antara kedua iparku, aku paling segan dengan Mbak Nana. Mulutnya pedas kalau berucap, aku tak suka. Sedangkan Mbak Niar orangnya lemah lembut, penyayang juga. Kalau pulang tak lupa membawa aneka oleh-oleh, terutama untuk Nada. Kalau ada Mbak Niar, Ibu juga jadi seperti ratu, semua dikerjakan Mbak Niar. Nada juga diasuh oleh suaminya. Harusnya Ibu bersyukur memiliki waktu empat hari full dalam sebulan untuk beristirahat total. Lha, aku? Cuma sekali seminggu saja harus berperang selalu. Huh! Tak adil.

Sambil menunggu Tia mengantar ayam geprek, kuganti bajuku dengan daster rumahan. Daster baru yang aku beli dari Riani, menantu Hj. Jum, teman Ibu.

"Assalamu'alaikum, Mbak Dara!" Terdengar suara Tia memanggilku.

"W*'alaikumsalam, masuk Tia." Kuhampiri Tia yang menenteng empat ayam geprek. "Berapa semuanya?" tanyaku sambil membuka dompet.

"Empat puluh delapan ribu, Mbak. Free es teh empat cup," jelas Tia sumringah.

"Wiihh, keren! Nih, dua ribunya buat tambahan bensin." Kuberikan lembaran biru pada Tia, yang disambutnya dengan mata berbinar.

"Makasih, Mbak Dara. Udah cantik, pinter cari duit, baik pula," kelakar Tia.

"Bisa aja kamu, dah, balik sana. Mbak mau makan, lapeerr," ucapku dengan wajah meringis lapar.

"He he …. Selamat menikmati ya, Mbak." Tia pulang mengendarai motor dengan suara komprang.

Belum sampai aku ke dapur, terdengar deru mesin mobil berhenti tepat di depan rumah. Siapa, ya? Mbak Niar, kah?

Segera kulihat siapa gerangan yang datang.

"Mbak!" Aku melonjak senang melihat Mbak Niar turun dari mobil.

"Hay, Ra. Ibu mana?" Sambil berjalan cepat, ia menerobos masuk begitu saja. Heh?

"Di kamar, Mbak. Masuk aja." Telat. Mbak Niar sudah menghilang di balik pintu kamar.

"Dara. Nih, buat lauk malam ini. Maaf, ya, nggak sempet beli oleh-oleh, tadi buru-buru begitu tau Ibu sakit." Bang Roy menyerahkan kantong kresek hitam padaku, lalu menyusul istrinya ke dalam kamar Ibu.

Tak ada oleh-oleh? Huh! Padahal aku sudah siapkan ayam geprek, tapi aku tidak dibawakan apapun. Apa isi plastik ini? Kuintip perlahan. Cumi? Alamat bakalan disuruh masak, nih. Duh! Gimana, ya? Aku lagi malas masak, kecuali Mas Nasrul mengganti ponselku dengan yang baru.

Kusimpan cumi segar ke dalam freezer. Begitu hendak melangkah ke ruang tengah, Mbak Niar dan Bang Roy ke luar dari kamar Ibu.

"Masak apa, Ra? Mbak belum sempat makan, nih. Sekarang baru terasa lapar," tanya Mbak Niar sambil mengusap-ngusap perutnya.

"Nggak sempet masak, Mbak. Tapi, aku ada beli ayam geprek kesukaan Mbak, tuh!" Tunjukku pada kotak di atas meja.

"MaaSyaa Allah … Kamu tuh emang ipar idaman banget, Dara. Tau aja kesukaan Mbak. Makan bareng, yuk!" ajak Mbak Niar dengan mata berninar.

"Dara panggil Mas Nasrul dulu ya, Mbak. Kasihan, dia juga belum makan," pamitku pada suami istr iyang mulai membuka kotak ayam geprek.

"Cieee … so sweet banget, sih. Ngiri, deh," goda Mbak Niar membuatku tersipu.

Tanpa memanggil, aku menerobos masuk ke dalam kamar Ibu.

"Mas Nasrul ..." lirihku, air mata tanpa dikomando berlomba menuruni pipi mulus terawatku.

"Ra–" belum selesai Mas Nasrul berkata, langsung kuputar balik langkahku menuju kamar. Hilang sudah rasa laparku.

Brak!! Kubanting pintu kamar dengan kasar.

Tok! Tok! Tok!

"Ra, Dara!" Panggil Mas Nasrul panik.

Aku? Bungkam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status