Share

3. Ibu Sembuh, Bisa Ngasuh Lagi

Air mataku terus mengalir dengan derasnya, bayangan Mas Nasrul tengah merangkul Sarah kian menambah sesak di dadaku. Meski Mas Nasrul suka marah-marah, tak bisa dipungkiri kalau aku sangat mencintainya. Mas Nasrul itu cinta pertama dan akan menjadi cinta terakhir bagiku. Bantu doa ya, kawan. 

Aamiin … Nah, gitu!

"Dara, buka pintunya, Sayang. Dengarkan penjelasan Mas dulu," pinta Mas Nasrul sambil terus mengetok pintu kamar kami.

Aku masih bergeming. Sakit hatiku, Mas. Ibu juga, kenapa malah mendiamkan kelakuan mereka. Apa diam-diam Ibu justru menyukai Sarah? Karena kalau kuperhatikan, Ibu cukup dekat dengannya. Apa-apa selalu minta tolong Sarah.

"Dara kenapa, Rul?" Terdengar suara Mbak Nira mendekat.

"Salah paham, Mbak. Pas Dara masuk ke kamar Ibu tadi, dia melihatku sedang merangkul Sarah—" 

"Pantes aja Dara marah, Mbak juga bakal marah kalau gitu kondisinya." Mbak Nira memotong penjelasan adiknya dengan nada gregetan.

"Denger dulu, Mbak. Tadi itu Sarah ingin memberikan minum pada Ibu, karena kakinya kesemutan berdirinya jadi oleng. Dari pada dia jatuh menimpa Ibu, kutahan saja badannya. Lha, dia yang kaget malah berontak dan mau jatuh kearahku. Kalau nggak aku tahan bahunya tadi, bisa-bisa beneran meluk aku dianya." Dengan panjang lebar Mas Nasrul menjelaskan kejadian tadi pada Mbak Nira.

Diam-diam aku menguping dari dalam. Apa benar kejadiannya begitu? Sejauh ini Mas Nasrul orang yang jujur, apalagi kejadian tadi terjadi di depan Ibu. Ah, ya, baiknya kutanya Ibu saja habis ini. Hmm … Lagian, coba si Sarah segera pulang begitu Ibu siuman, pasti kejadiannya tidak begini.

Sebaiknya aku tetap pura-pura masih marah besar, biar Mas Nasrul menuruti semua keinginanku. Termasuk segera mengganti ponsel logo jerukku.

"Sudah. Biarkan Dara tenang dulu, kalau kamu jelasin sekarang bakal percuma. Dia lagi emosi. Yuk, makan bareng Mbak, tadi Dara beliin kita ayam geprek. Katanya kamu belum makan dari pagi." Perlahan suara mereka menghilang, sepertinya sudah beranjak ke ruang makan.

Membayangkan ayam geprek tadi, tiba-tiba laparku kembali melilit. Duh! Mau ke luar sekarang, gengsi. Kubawa tidur sajalah, nanti saja makannya.

Baru saja aku terlelap, Nada merengek bangun. Aarrgghh! Gagal lagi tidurku, hiks ….

***

"Sarapan, Ra," ajak Mbak Nira begitu melihatku ke luar kamar dengan pakaian kantor.

"Iya, Mbak. Hmm … wangi banget, masak cumi kemarin, ya?" Hidungku mengendus aroma masakan dari meja makan, sepertinya sangat nikmat.

"Iya. Makan, ya. Semalam kamu nggak makan, perutmu pasti lapar cuma diisi ayam geprek sore kemarin." Mbak Nira menyendok oseng-oseng cumi ke atas nasi dalam piringku. Dengan lahap kuhabiskan sarapanku segera, sebelum terlambat ngantor.

Sudah kukatakan, Mbak Nira itu baik. Ya, sesekali dia kadang mengomeliku terkait beberapa hal. Tapi, hanya sebatas itu. Aku harus selalu bisa bermain cantik, supaya Mbak Nira selalu menyayangiku. Ibu dan Mas Nasrul tak mungkin mengadu, aku paham betul sifat mereka. Karena kondisi Ibu yang belum terlalu pulih, Mbak Nira memutuskan tinggal sementara di sini. Sedangkan Bang Roy harus pulang karena pekerjaanya sudah menunggu. Ya, artinya yang mengasuh Nada adalah Ibu, pekerjaan rumah diurus Mbak Nira.

Setelah selesai sarapan, aku berpamitan pada Ibu dengan membawa Nada. Nampak Ibu sedang selonjoran sambil mengaji dengan suara lirih. Tuh! Ibu sebenarnya sudah sembuh, Mas Nasrul dan Mbak Nira saja yang lebay.

"Bu, Dara kerja, ya. Nada sama Ibu. Dia baru bangun itu, belum mandi. Sekalian sama Ibu, ya, mandinya." Kuraih tangan Ibu untuk kucium, lalu mengecup pipi gembul Nada. "Dah, Sayang. Sama Uti, ya. Jangan nakal." Batita 1 tahun itu hanya membalas dengan kekehan khas bayi.

"Sayang—"

"Apa?!" jawabku ketus ketika Mas Nasrul memanggilku.

"Nada titip di rumah Mama dulu, ya? Kasihan Ibu, belum terlalu pulih," ucap Mas Nasrul.

"Mama nggak bisa, Mas. Mama dari awal udah wakti-wanti ke anak-anaknya, nggak mau direpotin sama urusan cucu. Lagian Mama itu banyak kegiatan, yang arisan, yang pengajian, yang senam lansia, macem-macem, deh! Nggak paham aku. Rumah Mama juga lumayan jauh dari sini, kalau nganter Nada ke sana, alamat telat aku ngantornya. Gimana, sih!" Kuraih helm dari atas lemari sepatu teras, sebentar lagi jam 8. Jangan sampai telat.

Mas Nasrul menghela napas panjang. "Tapi Ibu butuh istirahat, Ra, kasihan. Atau kita minta Bik Wati jaga Nada, ya? Kan, dia udah nggak kerja di kota lagi." Mas Nasrul mengusulkan ide babysitter padaku.

"Nggak, nggak, nggak! Bik Wati itu orang lain, Mas. Aku nggak percaya Nada diasuh sembarangan orang. Lagian gaji pengasuh itu lebih mahal dari pembantu, Mas, sayang duitnya. Mending ditabung buat beli kebun kelapa sawit. Liat tuh, Kak Deri, kebunnya udah makin luas, cuannya mengalir deras tiap bulan." Sambil memanaskan mesin motor, aku mengomel.

Mas Nasrul ini memang harus diceramahi dulu biar pikirannya terbuka, tiap hari pembahasannya selalu Ibu, Ibu, Ibu terus. Sesekali tirulah kakak-kakakku, mereka semua sukses punya banyak kebun. Kelak yang bangga juga pasti orangtua, kan?

"Tapi, Ra—"

"Udah! Cukup! Ini masih pagi, Mas! Aku males debat. Ibu aja nggak protes kumintai tolong ngasuh Nada, kok Mas yang keberatan. Lagian ada Mbak Nira yang beberes rumah beberapa hari ke depan. Ibu cuma ngasuh Nada, cuma ngasuh." Kupakai jaketku, bersiap berangkat.

Lagi-lagi Mas Nasrul menghela napasnya dengan kasar lalu mengacak-acak rambutnya.

Saat hendak mencium tangan Mas Nasrul untuk berpamitan, mataku tertuju pada paperbag yang ada di tangannya.

"Apa itu, Mas?" tanyaku.

"Hapemu. Nih!" Disodorkannya paperbag itu padaku.

"Serius? Kapan belinya? Kok, nggak ngajak aku, sih!" Senyumku mengambang bak adonan roti yang diendap semalaman. Kubuka paperbag dengan tak sabar. Sehari semalam tanpa ponsel itu tidak enak, kawan. Membosankan.

"Semalam. Gimana mau ngajak kamu, kamunya aja masih ngambek gitu. Cemburu buta, kok, dipelihara," cibir Mas Narul sambil mencebikkan bibirnya.

"Wah! Ini lebih keren dari hape lamaku, Mas. Makasih, ya," ucapku manja sambil berjinjit mengecup pipinya.

"Iya, sama-sama. Nggak marah lagi, kan?" Dielusnya puncak kepalaku dengan gemas.

"Udah nggak. Aku berangkat duluan ya, Mas," pamitku padanya lagi.

"Iya. Hati-hati. Pulang kantor langsung ke rumah, jangan nongkrong," pesannya.

"Iyaa. Daagh!" Kulambaikan tangan pada Mas Nasrul yang masih menatapku hingga jauh.

Hampir setiap hari pesan Mas Nasrul selalu sama, hati-hati dan langsung pulang ke rumah. Ya … Aku memang sering nongkrong begitu pulang kerja. Buat apa cepat-cepat pulang, rumah dan Nada sudah ada Ibu yang mengurusi. Apa lagi? Nongkrong juga bisa membuat moodku membaik setelah seharian terkurung di kantor.

Aku tahu, di antara kalian pasti berpikir aku ini menantu jahat, durhaka. Teeserah! Karena yang tahu kondisi rumahtanggaku hanya aku. Mas Nasrul memang memiliki gaji tetap sebagai seorang sekdes, tapi itu tidak akan cukup kalau harus membayar pengasuh pun pembantu.

Begitu Mas Nasrul diterima sebagai PNS, aku langsung memintanya membeli mobil. Apa kata dunia jika seorang sekdes muda hanya berkendaraan sebuah motor. No, no, no! Mobil tersebut meski kami beli secara cash, tapi uangnya tetap kami pinjam dari bank dan mencicilnya setiap bulan. Sekarang kalian bisa bayangkan berapa sisa gaji yang kami miliki. 

Untungnya, almarhum Bapak meninggalkan warisan berupa tanah yang lumayan luas. Karena Mas Nasrul anak laki-laki satu-satunya, dia mendapat bagian yang lebih banyak. Bagian Mas Nasrul itu kemudian kami tanami kelapa sawit yang kini sudah mulai berbuah. Nah, uang dari kebun ini selalu aku sisihkan untuk masa depan Nada. Tak boleh diganggu gugat, kecuali sangat kepepet. Lha, perihal pengasuh dan pembantu, kan, bukan hal urgent. Makanya aku tak mau mengeluarkan uang ini. Lagian ada Ibu yang masih bisa melakukan semuanya. Aman.

Aku? Gajiku ya buatku. Masih untung untuk kebutuhanku aku tak merepotkan Mas Nasrul. Tak seperti Ibu yang selalu mengandalkan pemberian anak-anaknya setiap bulan, aku memiliki penghasilan sendiri. Meski begitu, Mas Nasrul tetap memberiku uang sebagai nafkah pribadiku. Uang tersebut aku pakai untuk merawat diri supaya pantas bersanding dengannya. Semua penghasilannya termasuk seseran kantor juga ia berikan padaku. Itulah kenapa aku semakin sayang padanya. Eit! Jangan berpikir aku pelit, ya! Setiap bulan aku selalu memberikan jatah Ibu sesuai titah Mas Nasrul, awas kalau bilang aku pelit!

Kupacu motorku dengan kecepatan cukup tinggi, aku paling tidak suka dengan terlambat, terlebih ini hari senin. Semua ini gara-gara Ibu! Coba kalau Ibu tidak pakai acara sakit, semua pasti berjalan baik seperti biasanya. Aku tidak ribut dengan Mas Nasrul, Nada diasuh Ibu, tidurku cukup, jadi tidak terburu-buru karena harus mengawali hari dengan perdebatan. 

Ibu … Ibu … Padahal aku ini tidak minta banyak hal, cuma ngasuh. Kok, ya bisa sampai sakit. Ckckck ….

Saat ingin berbelok memasuki gerbang kantor, tiba-tiba,

Ciittt! Brak!

Sebuah mobil melaju kencang ke arahku. Lalu, semua gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status