Share

4. Sarah Ternyata ...

Aku yang tengah memacu motor dengan kecepatan cukup tinggi, mau tidak mau menarik pedal rem secara penuh ketika sebuah mobil menghantam keras seekor kambing yang tiba-tiba melintas di sampingku. Hal itu tentu membuat motor yang kukendarai berhenti secara tiba-tiba, ban motor bagian belakang bergesekan dengan bebatuan hingga menghasilkan debu dan kerikil yang beterbangan. Karena kaget, keseimbanganku menjadi oleng, akhirnya aku jatuh bersamaan dengan motor. Lalu, semuanya gelap.

"Dara. Sayang, bangun." Samar kudengar suara Mas Nasrul memanggilku dengan cemas, menepuk-nepuk pelan pipi kananku.

Perlahan kubuka kedua mataku, menyipit silau akan sinar yang masuk dari jendela.

"Mas …."

"Alhamdulillah … Kamu udah siuman, Sayang. Ada yang sakit? Pusing?" Mas Nasrul membelai rambutku dengan sayang, lalu mengecup keningku.

"Nggak ada, Mas. Tadi aku kaget, terus lemes. Ini kita di mana?" Kupandangi sekeliling ruangan tempatku berada, bukan di kantor pun di kamar kami.

"Di praktik bidan Sarah. Tadi kami semua panik, jadi mencari tempat terdekat dari kantor," jawab Mas Nasrul pelan.

"Ooh. Ya udah, kita pulang, yuk. Males aku lama-lama di sini, ntar dia cari-cari kesempatan godain Mas." Aku segera duduk dan bersiap menuruni ranjang untuk pulang.

"Sabar, Ra. Kamu baru siuman, belum stabil," ujar Mas Nasrul menahan bahuku.

"Nggak, ah! Kelamaan di sini emosiku yang nggak stabil, Mas. Lho, sepatuku mana, Mas?" Kuedar pandanganku ke penjuru ruangan, tak juga kutemukan.

"Nggak tau. Mas nggak merhatiin, begitu sampai tadi kamu sudah dibawa ke ruangan kantor. Jadi, Mas nggak ngurusin sepatu kamu." 

"Aduh, Mas, itu sepatu baru aku. Aku belinya di officialshop langsung, original itu, Mas." Aku nelangsa membayangkan sepatuku yang hilang.

"Udah, udah … Nanti kamu tanya temen-temen kantormu, ya. Barangkali disimpan sama mereka." Mas Nasrul memelukku.

"Kalau hape jerukku, Mas? Tadi aku masukkan ke dalam jok motor," tanyaku mendongakkan kepala menatap Mas Nasrul.

"Aman. Motormu aman, artinya hapemu juga aman. Kan, masih dalam kotaknya."

"Syukurlah …."

Tak ingin berlama-lama, kami segera pulang. Sengaja aku bersikap manja di hadapan Sarah, biar dia tahu bahwa dirinya tak punya kesempatan sedikitpun. Huh!

Sesampainya di rumah, Ibu tergopoh-gopoh menyambutku, disusul Mbak Nira yang tengah menggendong Nada. Ibu ini, sudahlah pekerjaan rumah diurus Mbak Nira, Nada juga diasuh sama Mbak Nira. Nggak becus banget jadi Uti.

"Nduk ... Ya Allah, kamu nggak apa-apa? Ayo masuk. Rul, ayok tuntun Dara ke kamar. Ganti bajunya dengan baju longgar biar nggak gerah." Ibu menggeser tubuhnya dari depan pintu, mengiringi kami memasuki rumah.

Rupanya Mas Nasrul sudah mengabari Ibu perihal kecelakaan yang menimpaku. Baguslah, dengan begitu Ibu tak punya alasan untuk tidak mengasuh Nada jika aku di rumah seperti ini. Untuk beberapa hari ke depan, pastilah aku disuruh istirahat kerja dulu.

Mas Nasrul membantuku mengganti baju dinas dengan daster, lalu menyiapkan tempat peraduan. Setelah memastikan aku berbaring dengan nyaman, ia ke luar kamar dan tak lama kemudian kembali dengan secangkir teh melati kesukaanku.

Romantis, ya, suamiku? Iyalah, siapa dulu istrinya. Dara Tunggadewi.

"Mas tinggal ke kantor dulu, ya? Ada rapat desa seperempat jam lagi. Nggak apa-apa, kan?" Mas Nasrul mengelus-ngelus punggung tanganku.

"Iya nggak apa-apa, Mas. Kan, ada Ibu sama Mbak Nira, kalau ada apa-apa aku minta tolong mereka aja." Kulepas dengan ikhlas kepergian Mas Nasrul untuk bekerja, demi reputasi dan cuan yang akan mengalir jika ia loyal dalam tugasnya.

"Oke. Nanti motor dan barang-barangmu biar dianter Doni. Kebetulan nanti dia bakal ada urusan ke kantor camat." Doni adalah sepupunya yang merupakan seorang ketua RT. 

"Iya, Mas. Tapi, jangan terlalu siang, ya. Aku mau setting hapenya," ujarku.

"Iya …."

Setelah Mas Nasrul pergi, Ibu datang ke kamar, tanpa Nada.

"Nduk-"

"Nada mana, Bu? Kok, nggak sama Ibu?" 

"Dibawa Mbakmu main ke tetangga, biar nggak bosen katanya," jawab Ibu sambil menata buah di atas meja rias. "Mau buah, Nduk?" tawar Ibu.

"Mau mangga, Bu," tunjukku pada buah mangga hijau montok dan wangi.

"Lain kali hati-hati ya, Nduk. Di sini memang masih banyak kambing yang dibiarkan bebas mencari makan oleh pemiliknya." Sambil mengupas mangga, Ibu menasihatiku.

"Iya, tadi itu Dara cepet-cepet karena takut kesiangan. Hmm … Bu, Sarah itu … keliatannya deket banget sama Ibu. Dia siapanya kita, Bu?" Kutatap wajah Ibu yang tiba-tiba berubah tak nyaman.

"Bu?" Kusentuh tangan Ibu. Orang nanya, kok, dicuekin, sih. Sebel.

"Hah? Sarah, ya? Dia itu … Temen anak-anak Ibu, jadi dari dulu sudah biasa main ke sini," jelasnya dengan sedikit gugup.

"Termasuk teman Mas Nasrul?" tanyaku memastikan.

"Ini, makan mangganya biar seger. Ibu mau liat Nada dulu, takutnya dia nangis." Ibu mengalihkan pembicaraan dan hendak pergi.

"Ibu!" Panggilanku menghentikan langkah kakinya. "Aku merasa Ibu menyembunyikan sesuatu tentang Sarah. Apa kejadian di kamar Ibu kemarin benar-benar suatu kebetulan? Kenapa Ibu mendiamkan kejadian itu? Kenapa Ibu tidak berusaha menjelaskan ke Dara soal kesalahpahaman itu?" Aku mencecar Ibu dengan pertanyaan yang dari kemarin menggangu pikiranku.

Ibu menghela napas, lalu kembali duduk di sisi ranjangku.

"Itu salah paham. Ibu tidak perlu menjelaskan karena Nasrul pasti bisa mengatasinya. Kamu jangan berpikir macam-macam." Ibu menepuk-nepuk lututku.

"Lalu Sarah? Siapa dia, Bu? Aku bisa merasakan kalau Ibu menyayanginya lebih dari aku. Hanya sekedar masuk angin saja Ibu memanggil Sarah, padahal ada aku di rumah ini." Kutatap tajam mata Ibu, dia mengalihkannya dengan membenahi letak pisau di atas piring buah.

"Sarah sudah seperti anak bagi Ibu, itulah kenapa Ibu tak pernah singkul meminta bantuannya. Kamu lelah bekerja setiap hari, Ibu tidak mau merepotkanmu." Pandangan Ibu menerawang jauh, melewati jendela kamar yang terbuka.

"Kalau Ibu bilang, Dara bisa bantu," jawabku cepat.

"Bahkan mengurusi Nada saja kamu tidak sempat, Nduk. Bagaimana tega Ibu merepotkanmu." Ibu beralih menatapku.

"Ibu keberatan dimintai mengasuh Nada? Cucu semata wayang Ibu," sengitku tak suka disinggung.

"Bukan begitu maksud Ibu, Nduk-"

"Sudah lah, Bu. Semakin ke sini, Dara perhatikan Ibu semakin tidak ikhlas mengasuh Nada. Begitu Dara mulai kerja, Nada biar Dara bawa saja. Daripada diam-diam Ibu minta tolong Sarah menjaga Nada di sini. Dara tahu semuanya, Ibu berusaha mendekatkan Nada dengan Sarah, ya?" Aku menggertak Ibu. Aku tahu Ibu tidak akan mengizinkannya.

"Jangan, Nduk. Ibu hanya sesekali meminta bantuan Sarah, itu pun kalau Ibu lagi tidak enak badan. Jangan bawa Nada kerja, ya. Kasihan." Tuh, kan! Benar dugaanku.

"Oke. Tapi Ibu jujur sama Dara. Kenapa Ibu bisa sangat dekat dengan Sarah. Dara nggak suka, Bu." 

"Sarah itu … Sarah itu dulu pacar Nasrul. Mereka pacaran cukup lama, dulu Ibu sempat meminta Nasrul melamarnya. Karena Nasrul belum punya pekerjaan yang layak, Nasrul merantau. Tak ada yang menduga kalau diperantauan Nasrul justru bertemu kamu, Nduk. Sarah yang sudah terlanjur dekat dengan Ibu tak pernah mempermasalahkan itu, ia tetap baik dan perhatian pada Ibu. Baginya jodoh itu mutlak urusan Allah. Kamu jangan salah paham ya, Nduk, Sarah begitu karena sudah menganggap Ibu layaknya orangtua. Terlebih dia sudah tak memiliki Ibu sejak lama." Ibu menggenggam tanganku erat saat bercerita, matanya basah. Menyesalkan ia tak jadi memiliki Sarah sebagai menantu?

Kubuang mukaku dari pandangan Ibu, genggamannya semakin erat terasa di tanganku. 

"Itu juga salah satu alasan kenapa Ibu sempat tak merestui kami kan, Bu?" tanyaku tanpa menoleh.

"Nduk, sudah, ya. Semua sudah berlalu. Nyatanya menantu Ibu itu kamu, bukan Sarah. Yang dicintai Nasrul itu kamu, bukan lagi Sarah. Sudah, Ibu mau ke kamar mandi dulu. Mangganya dihabiskan." Tanpa menunggu jawabanku, Ibu berlalu.

Bu, aku tahu Ibu masih belum move on dari Sarah. Aku bisa merasakan itu, Bu. Hatiku sakit. Dari awal pernikahan aku selalu berusaha mengambil hati Ibu, tetapi semakin aku berusaha, Ibu terasa semakin jauh. Ibu tidak jahat, tapi juga tak begitu menampakkan sayang. Ibu memperlakukan aku dengan baik karena aku istri anaknya, bukan karena menyayangiku layaknya dengan anak. Kedekatan Ibu dan Sarah pelan tapi pasti memupuk rasa tak sukaku pada Ibu. Jangan salahkan aku, Bu. 

Masih kuingat dengan jelas kejadian sebulan yang lalu. Saat itu hari minggu, Ibu sedang tak enak badan. Ibu meminta Mas Nasrul menelepon Sarah agar datang ke rumah, kupikir Ibu minta disuntik atau diresepkan obat. Ternyata kedatangan Sarah hanya untuk mengerok Ibu, padahal ada aku di rumah, menantunya. Kenapa Ibu tidak meminta bantuanku? Dari sana aku semakin menyadari, Ibu telah menbangun dinding di antara kami, dinding yang sulit untuk aku robohkan karena adanya Sarah yang ikut menahannya.

Kukunyah mangga madu kupasan Ibu, tak kusadari cairan bening turut mengalir hingga terasa asin di lidahku. Belumlah sampai pada potongan kedua, terdengar tangisan kencang Nada dari arah luar. Gegas aku berlari, dari tangisannya sepertinya Nada tengah kesakitan.

Sesampainya di luar, aku berlari ke arah sumber suara di samping rumah. Lariku terhenti demi melihat siapa yang ada bersama Nada.

"Ibu!" Teriakku memanggil Ibu yang masih berada di dalam rumah.

Ini semua gara-gara Ibu, kenapa pula mempercayakan Nada pada orang selain dirinya.

Dengan berlari pelan Ibu datang,

"Ya Allah …"

Hanya kalimat itu yang mampu aku dengar. Selanjutnya aku tak tahu, karena fokusku ada pada Nada yang semakin meraung kala melihatku dan Utinya datang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status