Share

5. Benjolan di Kening Nada

Tangis Nada melengking kesakitan. Sebuah benjolan sebesar kelereng menghiasi keningnya. Sarah yang sedang menggendongnya terus menimang-nimang agar tenang. 

Cewek gesrek! Kenapa pula sudah ada di sini, bukannya tadi masih di rumahnya?

Kuambil Nada dengan emosi yang kian bercokol di hati. Sudahlah anakku kesakitan, ada Sara pula. Apes!

"Nada kenapa?" tanyaku ketus. Kukusuk benjolan Nada dengan rambutku, konon hal itu dapat menenangkan sang anak.

"Em … Itu, Mbak, tadi Nada mau aku ajak beli jajan di warung seberang. Tiba-tiba ada motor lewat cukup ngebut, lalu Nada menangis. Mungkin ada kerikil yang terpelanting mengenai keningnya ini." Sarah menjelaskan dengan tak enak.

"Kenapa pula kamu ajak Nada jajan? Apa Ibu nggak pernah kasih tau kamu kalau aku nggak mau anakku jajan sembarangan? Lain kali jangan sotoy sama anak orang." Kutinggalkan dia yang seketika mematung mendengar ocehanku.

"Ibu, liat! Ini kenapa aku cuma mau Ibu yang ngasuh Nada. Orang lain nggak setelaten Ibu, mereka cuma mau cari muka doang. Nggak tulus!" Aku memperlihatkan benjolan Nada pada Ibu.

"Ya Allah, Nak. Sini sama Uti, Sayang. Sstt … Anteng, ya, ini ada Uti sama Mama." Ibu meraih Nada dari gendonganku, meniup-niup keningnya. "Udah, ya. Ssstt … Tante Sarah nggak sengaja."

Spontan aku memasang muka cemberut mendengar perkataan Ibu. Menyebalkan! Dalam kondisi seperti ini, masih sempat-sempatnya membela Sarah. Lagian kemana perginya Mbak Nira? Bukannya tadi Nada sama dia, kok, ini sudah sama Sarah.

"Masuk yuk, Bu. Kita olesin minyak, pasti sakit banget itu," kugamit lengan Ibu, lalu berjalan lebih dulu.

"Maaf ya, Rah. Dara sedang emosi liat Nada nangis kesakitan tadi. Ibu masuk dulu, kamu mau masuk?" Samar kudengar Ibu masih berbicara dengan Sarah. Duh! Apalah Ibu ini, pakai minta maaf atas namaku segala.

Aku tak tau apa yang Sarah ucapkan, karena suaranya tertelan deru motorku yang dibawa Doni. Segera kuhampiri ia. Syukurlah motorku tak apa, hanya lecet sedikit.

"Terima kasih ya, Don. Ngopi dulu?" tawarku.

"Sama-sama, Mbak. Nggak, deh, tadi di balai desa juga dikasih kopi," tolaknya halus.

"Oh, ya sudah. Pulangnya gimana?" tanyaku melihatnya hanya sendiri.

"Nebeng temen, Mbak. Tuh dia," tunjuknya pada seseorang yang barusan sampai.

"Yowes. Salam sama Nita, ya."

"Iya, Mbak. Nanti aku sampaikan. Eh, itu kening Nada kenapa?" Doni menghampiri Nada yang masih bersama Ibu dan Sarah.

"Biasalah, Don. Ada yang nggak ikhlas ngasuh Nada, gitu hasilnya." Aku bersedekap memandang Sarah tak suka, dia pun menundukkan pandangannya. 

"Duh, ponakan Om … Sakit, ya? Pinter, udah nggak nangis." Doni mengelus kepala Nada yang di balas kekeh riangnya. 

Nada memang mudah dekat dengan siapapun, baik laki-laki pun perempuan. Itu juga penyebab aku meminta Ibu mengawasi Nada selalu, takut ada yang berniat tidak baik dengan pura-pura ingin mengasuhnya. Ya, macam Sarah itu.

"Pinter, Om. Kayak Mama Papa …" kekehku. 

Kutatap tajam Sarah yang mencuri pandang padaku. Biar! Biar dia tahu kalau aku sudah menambuh genderang perang dengannya. Biar dia tahu kalau aku sudah mencium aroma-aroma kelicikannya.

Setelah memberi Nada uang jajan, Doni pulang bersama temannya. Kukira Sarah akan pulang juga, tapi ternyata salah, sepertinya dia mau ikut masuk ke rumah. Terlihat dari gesturnya yang berjalan pelan bersama Ibu menuju pintu rumah.

"Sarah. Kamu nggak pulang? Kan, ada pasien di rumahmu." Sengaja kuhadang langkahnya, sedangkan Ibu sudah masuk lebih dulu.

"Ada asistenku yang urus, Mbak. Aku mau mengobati benjolan di kening Nada," ucapnya enteng. 

Benar-benar luar biasa orang satu ini. Tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa aku tak menyukai kehadirannya sekarang-sekarang ini.

"Nggak usah! Ada aku dan Ibu. Sebaiknya kamu pulang, ndak elok anak gadis sering-sering main ke rumah mantan pacar yang sudah menikah." Kuskak dia.

Mata Sarah membulat mendengar ucapanku, berdirinya menjadi gelisah. Wajahnya berubah menjadi gugup.

"Mbak, aku-"

"Udah. Aku udah tau semuanya. Aku tau kamu terlanjur dekat dengan Ibu. Tapi, nggak semua permintaan Ibu harus kamu turuti. Ibu itu mertuaku, tolong jangan jadi dinding pemisah di antara kami. Oh, satu lagi, semakin kamu sering ke sini, semakin sulit kamu move on dari suamiku. Jadi, baiknya kamu jangan sering ke sini kalau kamu nggak mau dibilang penggangu suami orang." Aku berbalik dan meninggalkan Sarah yang termangu di depan pintu.

Brak! Kubanting daun pintu, lalu menghampiri Ibu yang sedang mengolesi benjolan Nada dengan minyak.

"Sarah mana, Nduk?" tanya Ibu sambil terus mengolesi kening Nada. Syukurlah anakku sangat pintar, dia tidak menangis saat benjolannya disentuh.

"Pulang."

"Nduk, kamu jangan terlalu menampakkan ketidaksukaanmu pada Sarah. Ndak elok, bisa jadi ke depan nanti kita butuh bantuannya." Ibu mulai menasihatiku lagi.

"Bu, Nada begini karena Sarah. Coba kalau Sarah nggak ngajak Nada jajan, nggak bakal gini kejadiannya. Ibu kenapa selalu membela Sarah, sih?" Aku mendengus tak suka dengan perkataan Ibu.

"Bukan membela. Sikap kamu yang begitu bisa menjatuhkan harga diri suamimu. Seolah-olah suamimu tidak mendidikmu dalam bersikap ke orang lain. Itu saja."

Alasan! Bilang saja tidak rela Sarah kumarahi.

"Lain kali jangan asal kasih Nada ke orang lain, Bu. Dara nggak suka. Baru sebentar saja sudah begini, kan? Kalau Ibu udah nggak mau ngasuh Nada, bilang aja. Biar Dara bawa ker-"

"Ngomong apa kamu ini, Nduk? Nada ini cucu Ibu, tentu saja Ibu mau ngasuhnya." Ibu memotong ucapanku cepat.

"Ya sudah. Beneran lho, Bu, jangan suka kasih Nada ke orang lain. Dara cuma percaya sama Ibu."

"Iya. Mau makan?" tanya Ibu.

"Belum selera, Bu. Dara ke kamar dulu, pusing." Aku memijit-mijit pelipisku pelan.

"Yowes, tidurlah. Nada biar sama Ibu."

Tanpa menjawab aku berlalu ke kamar. Baru mau terpejam aku teringat ponsel baru di jok motorku. Secepat kilat aku ke luar dan mengambilnya.

Setelah memasang kartu yang aku pilah dari remahan ponsel lamaku pada ponsel baru, kunyalakan dengan hati gembira. Setelah logo jeruk muncul, tak lama kemudian layar menyala penuh dengan masih setelan pabrik. Selesai setting sana dan sini, kukirim pesan pada Mas Nasrul agar membawa bakso samping balai desa ketika pulang nanti. Lalu kutulis status pada storyku.

[Hidup itu memang begini. Ketika kamu belum punya apa-apa orang semacam pasrah untuk dekat, tapi ketika kamu sukses? Pepet trussss 😂]

Send.

Kepalaku semakin berdenyut setelah memandangi layar ponsel cukup lama. Sebaiknya aku tidur dulu, Nada juga sudah tenang bersama Ibu. Awas saja kalau Ibu oper Nada ke orang lain.

Entah berapa lama aku tertidur, yang jelas ketika aku terjaga suara Mas Nasrul terdengar sedang berbincang dengan Ibu seiring denting sendok yang beradu dengan piring. Oh, rupanya Mas Nasrul pulang makan siang. Tumben.

Kreek … Suara pintu kamar yang kubuka perlahan.

"Udah bangun, Ra?" sapa Mas Nasrul sambil memilah cumi dan pete di pinggir piring makan siangnya. Mas Nasrul tak suka makan pete, kalau ada masakan bercampur dengan pete seperti masakan Mbak Nira hari ini, biasanya aku yang memakan petenya nanti.

"Iya, Mas. Tumben pulang siang?" tanyaku.

"Sekalian, Ra. Tadi Sarah telepon, Mas disuruh ambil salep buat Nada. Ya udah, sekalian aja Mas pulang makan siang, biar salepnya bisa dipakein ke Nada swgera. Dia juga minta maaf ke kamu karena udah bikin Nada benjol." Tanpa mengalihkan pandangannya dari piring, Mas Nasrul menjawab tanyaku.

"Caper!" sengitku kesal.

"Hust! Udah, dia udah minta maaf. Namanya juga nggak sengaja." Mas Nasrul menyuap nasi dengan cuminya lahap.

"Maafnya ke Mas, kenapa dia nggak chat aku? Lain kali kalau dia chat Mas, suruh chat aku. Nggak etis tau, chat-chatan sama mantan yang udah jadi suami orang." 

"Uhuk!" Mas Nasrul tersedak, cepat kusodorkan air minum yang kemudian diteguknya hingga habis. "Ngomong apa sih, Ra?" Mas Nasrul salah tingkah.

"Aku udah tau, Mas, Sarah mantan Mas, kan? Huuu … Jangan mentang-mentang aku nggak pernah ngulik masa lalu Mas, Mas anggap aku nggak tau apa-apa, ya." Aku mencibir Mas Nasrul yang seketika nyengir, memamerkan gigi rapinya.

"Mantan, Ra. Dia cuma mantan. Istri Mas, kan, kamu. Nggak usah sewot, ah. Cantiknya ilang," goda Mas Nasrul.

"Mas liat, kan, anak kita begini gara-gara dia. Itulah kenapa aku cuma mau Ibu yang ngasuh Nada. Lagian selama ada Mbak Nira, Ibu juga nggak ngurusin rumah dan dapur, Ibu cuma ngurus Nada." Aku memulai ceramah siangku.

"Iya … Iya … Udah, makan itu baksonya. Mas taruh di dalam magicom biar tetap panas, mienya di atas meja." Mas Nasrul menunjuk ke arah dapur dengan dagunya.

"Ibu mau juga?" tawarku pada Ibu yang dari tadi hanya diam.

"Nanti, Nduk. Ibu makan nasi dulu, biar maagnya tidak kambuh." Ibu menolak tawaranku.

"Ya sudah." Kutinggalkan mereka ke dapur.

Liurku hampir menetes menatap bulatan bakso kuah cabe di depanku. Sudah lama aku tak menikmati bakso favoritku ini. 1 2 3 4, ah, lupa sudah berapa hari.

Kuhirup kuah bakso terlaris di desa ini, hmm … Memang ter the best. Begitu baksonya di belah, wuuu … campuran daging cincang sambalnya melambai-lambai minta dikunyah. Pedasnya serasa mau gampar muka Sarah. Eh!

Sedang kepedasan menikmati bakso di mangkukku, Mbak Nira pulang dengan isak tertahan. Ada apa lagi ini?

"Kenapa, Mbak?" Kutinggalkan baksoku, kuhampiri Mbak Nira yang sedang menghembus ingusnya dengan tisu.

"Hiks hiks … Huaaaa …."

Tangis Mbak Nira pecah. Lho, kok?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status