“Maretha, aku sudah tidak tahan lagi. Aku benar-benar benci dengan cara Simon memperlakukan kita,” ujar Dorothy, suaranya berbisik, penuh kebencian. Mereka duduk di meja dapur, jauh dari jangkauan pandangan Sasha.
Maretha dan Dorothy juga pelayan dalam Keluarga Vanderbilt. Mereka tidak terima mendengar cerita Nancy yang akhirnya dipecat setelah Simon mengadukan perbuatan Nancy pada Sasha. Tentu tidak ada yang menyangka Simon akan mengadukan perbuatan Nancy, padahal sebelumnya semua pelayan berpikir Simon hanya menggertak saja. Namun, ternyata Simon bertindak tegas dengan mengadukan sifat buruk Nancy pada ayah Sasha.
Maretha mengangguk pelan, memegang cangkir teh yang masih panas. “Kau benar. Aku rasa sudah saatnya kita lakukan sesuatu. Aku tidak mengerti kenapa Tuan Vanderbilt begitu buta terhadap semua ini.” Dia mengerutkan kening, menatap Dorothy dengan penuh perhatian. “Simon itu terlalu arogan. Apalagi setelah dia membuat Nancy dipecat, semua hanya karena dia melaporkan beberapa hal kecil yang terjadi di rumah. Aku benar-benar tak terima dengan ini.”
Dorothy tertawa sinis. “Nancy hanya melakukan pelanggaran kecil dan tiba-tiba dia dipecat tanpa ampun. Rasanya seperti Simon punya kekuasaan lebih dari kita yang telah lama menguasai rumah ini.”
“Lalu, apa kita harus pasrah dan membiarkan begitu saja? Aku tidak mau dia terus membuat kita semua terlihat bodoh,” ucap Maretha kesal, menatap pintu tempat Sasha sering lewat. “Aku punya ide. Kita bisa beri pelajaran pada Simon. Kita harus buat dia jatuh dari posisi tingginya. Kalau Nona Sasha sampai percaya bahwa dia salah memilih pengawal, dia pasti akan memecatnya.”
Dorothy tersenyum licik. “Apa yang kau pikirkan?”
Maretha mencondongkan tubuh ke depan, bicara dengan suara pelan tetapi penuh kegembiraan. “Kita buat Nona Sasha meragukan Simon. Kita bisa pasang jebakan. Mungkin kita bisa mulai dengan menunjukkan sisi lain dari Simon yang belum si buta itu lihat.”
Dorothy menyandarkan tubuhnya di kursi, merenung sejenak. “Sebuah jebakan? Itu terdengar menarik. Tapi, bagaimana kita melakukannya?” tanyanya ingin tahu lebih dalam.
“Pasti ada cara. Kita bisa mulai dengan menyebarkan rumor bahwa Simon memiliki masa lalu gelap dengan majikan sebelumnya. Atau mungkin kita bisa buat dia terlihat tidak profesional dalam pekerjaannya. Kalau Nona Sasha mulai mempertanyakan profesionalismenya, dia akan merasa ragu dan mungkin memecatnya,” jawab Martha dengan seringai di wajahnya.
Dorothy tertawa, mengangkat cangkir teh. “Maretha, kau memang jahat. Aku suka ide itu.”
Maretha mengangguk penuh kepuasan, senyumnya semakin mengerikan. “Begitu Simon terjebak, kita akan lihat apakah Sasha masih bisa memercayainya. Kita akan ambil kembali kendali di rumah ini.”
Maretha dan Dorothy melakukan cheers, dan tidak sabar menjalankan ide jahat mereka.
Sementara para pelayan bergosip, Sasha sedang berada di ruang tamu, menyambut sahabatnya, Anna, yang akan datang. Dia mengenal suara dan parfum Ana begitu Ana memasuki ruang tamu.
“Ya Tuhan, Sasha! Aku sangat mencemaskanmu.” Anna memeluk Sasha seraya mengusap punggung sahabatnya itu.
Sasha tersenyum. “Aku baik-baik saja, Anna. Kau tidak perlu mencemaskanku.”
Anna mengurai pelukannya, dan menatap jengkel Sasha. “Bagaimana aku tidak mencemaskanmu? Terakhir kita pergi kau mengalami celaka, tepat di saat aku sedang di toilet. Kau juga langsung pergi begitu saja. Kau mengirimkanku pesan kau sudah di rumah, dan menceritakan sedikit tentang hal buruk yang menimpamu. Kau tahu? Aku sangat khawatir.”
Sasha kembali tersenyum, mendengar ucapan Anna yang tersirat khawatir padanya. Meski tak bisa melihat, tetapi dia yakin pasti raut wajah Anna menunjukkan rasa kesal. Harus dia akui ini memang salahnya, karena langsung pergi begitu saja meninggalkan Anna, dan memberi tahu sahabatnya itu ketika dirinya sudah berada di mansion.
Sasha tak memiliki pilihan lain. Waktu itu Simon sudah berinisiatif mengantarnya pulang setelah hal buruk nyaris menimpanya. Itu kenapa dia setuju Simon mengantarnya pulang, dan dia menceritakan sedikit pada Anna tepat di kala dirinya sudah pulang.
“Maafkan aku yang waktu itu langsung pulang,” ucap Sasha tulus, meminta maaf pada sahabatnya.
Anna menghela napas dalam, meski kesal tetapi dia tak mau memperpanjang masalah. Dia hendak berbicara lagi, tapi tanpa sengaja tatapannya tertuju pada sosok pria tampan berdiri di dekat pintu.
Anna terdiam sekaligus terkejut melihat sosok sangat tampan itu di mansion Sasha. Dia sampai terpukau akan pemandangan yang dia lihat ini. Pria tampan itu tampak tenang, dengan tatapan tajam yang penuh misteri.
“Oh wow, siapa ini?” tanya Anna yang tak lepas menatap pria tampan itu.
Sasha sedikit mengendus aroma agar tahu siapa yang di dekatnya. “Simon? Apa kau di sana?” tanyanya yang merasa bahwa Simon ada di dekatnya.
“Ya, aku di sini.” Simon mendekat ke arah Sasha.
Sasha tersenyum samar di kala dugaannya benar. Meski tak bisa melihat, tetapi dia masih bisa menggunakan indra penciumannya untuk mengenali seseorang. Pun apalagi Simon kerap di dekatnya, jadi dia sangat hafal.
Mata Anna menyapu tubuh pria tampan di depannya itu dari ujung rambutn yang rapi hingga jaket kulit hitam yang memeluk tubuh pria tampan itu dengan sempurna. Ada sesuatu tentang pria ini yang membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang tak terjangkau dalam dirinya.
“Ana, ini Simon, pengawalku,” kata Sasha dengan nada yang cukup ringan, mencoba memperkenalkan mereka.
“Ah, aku Anna.” Anna langsung berinistasif memperkenalkan diri pada Simon.
Simon menundukkan kepala, memberikan penghormatan singkat, tetapi tetap mempertahankan aura dinginnya. “Senang bertemu dengan Anda, Nona Anna,” katanya dengan suara serak yang dalam, tetapi sopan.
Anna yang baru saja berusaha menenangkan diri, merasa jantungnya berdebar lebih cepat. “Senang juga bertemu denganmu, Simon,” jawabnya, agak tergagap. Matanya tak bisa lepas dari Simon, mencoba membaca ekspresinya yang dingin, tetapi begitu menggoda.
Setelah beberapa detik hening, Anna akhirnya berbicara, mencoba mengendalikan dirinya. “Hmm … aku hanya ingin mengatakan, kau sangat menarik, Simon,” katanya dengan suara yang sedikit lebih rendah dari biasanya, seolah mencoba untuk tidak terlalu mengungkapkan kekagumannya.
Sasha tertawa, tidak menyadari ada sesuatu yang muncul di antara mereka. “Oh, dia memang begitu, misterius dan dingin. Tapi, jangan khawatir, dia lebih baik dari yang terlihat.”
Anna mengangkat alis, masih memperhatikan Simon yang berdiri tegak tanpa ekspresi. “Aku rasa dia lebih dari sekadar itu, Sasha. Ada sesuatu tentang dia ... yang aku tahu pasti, Simon bukan pria biasa,” bisiknya pelan di telinga Sasha.
Kening Sasha mengerut mendengar bisikan sahabatnya itu. Hatinya merasa ada yang mengganjal. Namun, dia tak mau menunjukkan itu. Dia tetap tenang, seakan bisikan Anna hangat angin.
“Simon, tolong tinggalkan aku berdua dengan Anna,” ucap Sasha meminta Simon untuk meninggalkannya berdua dengan Anna.
Simon menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Sasha dan Anna.
Begitu Simon pergi, Sasha melanjutkan apa yang ingin dia tanyakan pada sahabatnya itu. “Anna, bisa kau jelaskan apa maksudmu tadi?”
Anna melangkah lebih dekat, masih belum bisa mengalihkan pandangannya dari Simon yang melangkah menjauh. “Sebelum aku bicara, aku ingin tahu bagaimana bisa Simon bekerja di tempatmu?” tanyanya serius.
“Kau ingat tempo hari aku hampir celaka saat kau pergi ke toilet, kan?” balas Sasha tenang.
Anna berdecak pelan. “Tentu saja aku ingat! Tadi kan aku bahas. Aku tidak akan lupa hal yang baru aku bahas beberapa menit lalu.”
“Orang yang menolongku adalah Simon. Dia mengantarku pulang, dan kebetulan dia juga membutuhkan pekerjaan. Itu kenapa dia mengajukan diri pada ayahku untuk menjadi pengawal pribadiku. Kau tahu aku ini tidak bisa melihat, jadi ayahku selalu khawatir padaku,” kata Sasha menceritakan.
Anna mengangguk-angguk paham.
“Tunggu, kau belum menjawab pertanyaanku, kenapa tadi kau berbisik padaku seperti itu?” tanya Sasha lagi yang penasaran.
Anna tersenyum tipis. “Sebagai seorang fashion designer dengan pengalaman dan jam terbang tinggi, aku bisa melihat kualitas dalam segala hal. Dari cara dia berpakaian, sepatu yang dia kenakan, bahkan jam tangan di pergelangan tangannya. Semua bukan barang murahan, Sasha. Simon ini bukan pria sembarangan. Kau harus menyadarinya.”
Sasha tertawa pelan, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Anna. “Kau serius, Anna? Hanya karena dia memakai pakaian bagus?”
Anna mengangguk tanpa ragu, tetap tidak bisa mengalihkan perhatian dari Simon. “Ya. Dia punya karisma yang kuat, dan bukan hanya itu. Lihat saja ... dari mata, dari sikapnya, dia jelas bukan orang yang datang dari kalangan biasa. Pakaian yang dia kenakan saja sudah menunjukkan banyak hal.”
Sasha hanya menggelengkan kepala, berpikir sahabatnya terlalu banyak berimajinasi. “Ah, itu hanya kebetulan. Simon itu hanya pengawal, tidak lebih dari itu. Lagipula aku ini tidak bisa melihat, bagaimana aku bisa melihat penampilannya?”
“Girl, kau ahli, ayolah. Kau pasti sadar wangi parfum mahal dan parfum murahan bukan?” Anna tetap pada penilaiannya. “Aku rasa dia bisa jauh lebih dari sekadar pengawal, Sasha. Daya tarik Simon jelas membuat aku ingin kenal lebih dekat dengan dia. Mungkin kau bisa ... menjodohkan kami berdua?”
Sasha terkejut, tertawa kecil mendengar usulan sahabatnya. “Hah, kau ini bercanda, kan? Kau dan Simon? Ayolah, jangan bercanda.”
Anna hanya tersenyum misterius, meski tahu Sasha tak benar-benar menganggapnya serius.
***
Malamnya saat jam makan tiba, Sasha duduk dengan tenang di meja makan bersama Simon. Mereka dihadapkan pada hidangan malam yang lezat yang disajikan oleh pelayan.
Teringat ucapan sahabatnya, Sasha membuka pembicaraan yang agak tak terduga. “Simon,” panggilnya tiba-tiba.
“Ya?” Simon menatap Sasha.
Sasha terdiam sebentar, dan tampak berpikir. “Hm, aku ingin bertanya suatu hal padamu, apa boleh?” tanyanya pelan.
Sebelah alis Simon terangkat. “Tentu saja boleh. Apa yang ingin kau tanyakan?” balasnya yang semakin menatap dalam Sasha.
“Apa menurut pendapatmu tentang Anna?”
“Anna?”
“Iya, sahabatku yang tadi siang datang ke mansion.”
“Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang itu?”
“Jawab saja, Simon. Aku ingin tahu pendapatmu tentang Anna.”
Simon yang tadi memegang garpu dan pisau, langsung meletakan sebentar ke atas piring. “Anna, sahabatmu itu cantik. Sepertinya dari nada bicaranya dia sosok yang periang. Tapi, aku tidak bisa menilai seseorang dari luarnya apalagi baru pertama kali bertemu. Kenapa kau bertanya itu?”
Sasha mengangguk paham. “Dia seorang desainer. Pembawaannya memang ceria, tapi dia punya mata yang jeli. Anna tadi bilang kalau pakaianmu itu ... cukup mahal, ya? Dia bahkan bilang kau bukan orang biasa.”
Simon terbatuk pelan, menunduk sedikit. “Oh, itu ... aku hanya menerima beberapa hadiah dari orang-orang terdekat. Seperti istri walikota dan putrinya. Mereka sering memberiku setelan dari brand ternama. Itu saja.”
Sasha menunggu Simon menjelaskan lagi, tapi tidak ada penjelasan lebih lanjut. “Jadi, kau tidak membeli sendiri pakaian itu, tapi hadiah dari orang lain?” tanyanya ingin tahu lebih dalam.
Simon mengangguk, mencoba untuk tetap tenang meski tak menampik ada sedikir rasa khawatir dalam dirinya. “Iya, itu benar. Mereka memberikanku beberapa pakaian dan barang-barang sebagai bentuk penghargaan.”
Sasha mengangguk pelan, meskipun ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh. “Mereka sangat baik padamu. Aku yakin kau dulu pasti melakukan sesuatu yang membuat mereka memberikan hadiah padamu.”
Simon hanya tersenyum tipis, tetap menjaga jarak emosional. “Terkadang lebih baik untuk tidak terlalu menggali masa lalu seseorang, Sasha. Fokus pada dirimu, dan jangan memikirkan orang lain.”
Sasha mengangguk lagi, merasa sedikit bingung, tetapi tidak mendesak lebih jauh. Meski jujur, ada sesuatu yang merasa aneh di hatinya. Namun, penjelasan Simon sudah cukup jelas, dan dia tidak enak untuk memaksa pria itu.
“Simon? Simon Kingsley? Itu kau, kan?”Langkah Simon terhenti mendadak. Jantungnya berdegup kencang, tetapi wajahnya tetap tenang. Suara itu berasal dari seorang pria paruh baya yang berdiri tidak jauh dari mereka—kolega ayahnya. Ini adalah salah satu pertemuan yang paling dia hindari.Simon segera mengeluarkan ponselnya, mengetik beberapa kata dengan cepat, lalu melangkah mendekati pria paruh baya itu tersebut sambil memasang senyum tipis. Dia menunjukkan layar ponselnya kepada pria paruh baya itu tanpa berkata apa-apa.Pria paruh baya itu membaca pesan yang tertulis: Aku sedang menyamar. Jangan sampai dia tahu. Kumohon, bantu aku.Pria paruh baya itu tampak bingung sesaat, tetapi tatapan Simon memancarkan desakan yang sulit diabaikan. Pria paruh baya itu akhirnya tersenyum kikuk, lalu berkata, “Ah, maaf. Sepertinya aku salah orang.”Sasha yang berdiri tidak jauh dari Simon, memiringkan kepala, merasa ada sesuatu yang aneh. “Simon? Ada apa?” tanyanya pelan, suaranya terdengar waspada
Malam itu udara cukup dingin, tetapi suasana di rumah Sasha jauh lebih dingin daripada cuaca di luar. Terlihat di ruang tamu, Dorothy dan Maretha berdiri dengan wajah tertekan, koper kecil di sisi mereka. Sementara Sasha duduk di kursinya dengan tangan terlipat di pangkuan, ekspresinya sedih.“Nona, tolong jangan usir kami!” Maretha memohon lebih dulu.Dorothy menyusul, dia berlutut di kaki Sasha. “Nona, maafkan kami! Kami tidak akan melakukannya lagi, sungguh!”“Dorothy, Maretha,” kata Sasha akhirnya, suaranya lembut tetapi terdengar tegas. “Aku tidak pernah menyangka kalian tega melakukan itu. Aku percaya pada kalian … tapi ini sudah terlalu jauh.”Dorothy mencoba berbicara, suaranya penuh penyesalan palsu. “Nona Sasha, tolong beri kami kesempatan lagi. Kami bersumpah tidak akan mengulangi hal ini. Berikan kami satu saja kesempatan untuk memperbaiki kesalahan kami, Nona.”Sasha menggelengkan kepala, wajahnya menunduk mencoba meneguhkan dirinya bahwa keputusannya tidak salah sama sek
“Dorothy,” panggil Sasha dengan nada lembut. “Bisakah kau buatkan aku dua panna cotta? Aku ingin menikmatinya bersama teh,” lanjutnya meminta tolong pada Dorothy.Siang itu, matahari bersinar terik, membuat hawa di dalam mansion terasa lebih hangat dari biasanya. Sasha duduk di ruang makan dengan tenang, dan ingin sesuatu makanan yang segar.Dorothy muncul dari dapur dengan ekspresi malas seperti biasa. “Bahan-bahannya hanya cukup untuk satu,” jawabnya ketus.Sasha tampak kecewa sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, buatkan satu saja untukku. Dan ... aku juga ingin pai apel. Aku ingin memberikannya pada Simon sebagai ucapan terima kasih.”Dorothy mendadak menyeringai, ide licik terlintas di benaknya. “Baik, Nona Sasha,” jawabnya dengan nada manis yang dibuat-buat. Dia berbalik menuju dapur sambil mendekat pada Maretha yang kebetulan ada di sana.“Maretha,” panggil Dorthy sambil menepuk lengan Maretha.Maretha menatap Dorothy. “Iya, ada apa, Dorothy?”Dorothy tersenyum licik.
Sudah tiga hari, hubungan antara Sasha dan Simon terasa canggung. Sasha terus berusaha menjaga jarak, sementara Simon hanya bisa menatap wanita itu dari jauh. Ya, Simon bertindak menatap Sasha dari jauh tentunya agar Sasha jauh lebih nyaman, karena kondisi sekarang berbeda—di mana Sasha sedang dalam hasutan.Siang itu, Anna datang berkunjung ke mansion Sasha. Anna adalah wanita ceria dengan mata tajam yang selalu mampu membaca suasana. Begitu memasuki ruang tamu, dia langsung menyadari ada sesuatu yang salah.“Sasha, apa yang terjadi?” tanya Anna sambil duduk di sofa, menatap sahabatnya yang tampak gelisah.“Tidak ada apa-apa,” jawab Sasha, berusaha tersenyum tapi gagal.Anna menyipitkan matanya. “Jangan bohong. Aku tahu ada sesuatu. Kau dan Simon kelihatan aneh. Biasanya kalian selalu dekat, tapi sekarang malah seperti dua orang asing.”Sasha menghela napas panjang, akhirnya menyerah. “Aku ... aku dengar sesuatu tentang Simon.”“Apa yang kau dengar?” Anna bertanya, penasaran.“Katany
Pagi menyapa, Sasha duduk di ruang tengah dengan secangkir teh hangat di tangannya. Meski tidak bisa melihat, dia tahu suasana di rumah sedikit lebih tenang pagi itu. Langkah ringan terdengar mendekat, dan tak lama kemudian suara Dorothy yang pelan tapi canggung menyapanya.“Nona Sasha,” kata Dorothy, suaranya terdengar sedikit berbeda dari biasanya.Sasha mengangkat wajahnya. “Dorothy? Ada apa?”Dorothy menarik napas dalam, lalu berkata dengan nada penuh penyesalan, “Saya ingin meminta maaf untuk kejadian kemarin. Saya benar-benar tidak bermaksud seperti itu. Itu ... kesalahan saya. Saya sadar saya sudah terlalu kasar. Sekali lagi maafkan saya, Nona.”Sasha terdiam sejenak mndengar apa yang dikatakan oleh Dorothy, dan mencoba merasakan ketulusan dari kata-kata Dorothy. Dia bisa membaca ekspresi wajah, tetapi nada Dorothy terdengar cukup meyakinkan dirinya.“Tidak apa-apa, Dorothy,” jawab Sasha akhirnya, suaranya lembut seperti biasa. “Semua orang pernah melakukan kesalahan. Aku sudah
Sasha meraba-raba meja di ruang tengah, mencoba mencari kain lap yang biasa diletakkan di dekatnya. Akan tetapi tangannya hanya menyentuh permukaan meja yang basah, jejak dari segelas susu yang baru saja dia tumpahkan.“Dorothy, bisa ke sini sebentar?” panggil Sasha sedikit keras, tetapi tetap sopan agar pelayan bisa datang.Dorothy yang sedang bersantai di teras bersama Maretha, mendengar panggilan itu dengan kesal. Dia meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi keras, membuat Maretha melirik dengan alis terangkat.“Ada apa lagi sekarang?” gumam Dorothy setengah hati, tetapi cukup keras untuk didengar Maretha. “Tidak bisakah si buta itu tak menggangguku sebentar saja?”“Pergilah. Mungkin Nona Sasha benar-benar butuh bantuan,” ucap Maretha dengan nada tenang, berusaha menenangkan suasana.Dorothy mendengkus pelan lalu berdiri. Dia melangkah masuk ke rumah dengan langkah berat, dan mendapati Sasha masih berdiri di dekat meja, tampak menunjukkan kecemasan.“Ada apa, Nona Sasha?” Dorothy ber