Share

BAGIAN 2

4 Tahun kemudian di Los Angeles

Bunyi alarm mengagetkanku pada sore hari. Tidak seperti kebanyakan orang-orang yang mengatur alarm di pagi hari, karena aku bekerja mulai dari sore hingga tengah malam. Pemilik Restoran tempatku bekerja adalah seorang pria yang sudah berusia hampir 50 tahunan, sehingga tanggung jawabnya diserahkan kepada keponakannya bernama Mischelle.

Aku nyaman bekerja di tempat itu karena bisa mengurangi tekanan masa laluku yang buruk. Bertemu dengan orang banyak tanpa harus berbicara terlalu panjang. Memperhatikan setiap gerak orang-orang yang memiliki kesibukannya masing-masing.

Suara keran menyala membuat air mengguyur ke seluruh badanku. Itu terasa menyegarkan bukan hanya tubuhku, tetapi juga pikiranku.

Jaket terakhir kukenakan sebagai penutup baju seragam kerja. Berjalan keluar dari apartemen buruk dan kecil yang selalu bisa menjadi tempat terakhirku saat ini ketika ada masalah. Melihat orang-orang berjalan bergerombol dan sesekali tertawa membuatku lupa bagaimana cara melakukannya.

Setelah berjalan melewati 3 persimpangan, sampailah aku di sebuah tempat bernuansa klasik dengan gambar cangkir hitam di bagian atasnya. Aku membuka pintu sehingga lonceng berbunyi.

Mataku tertuju pada Winnie yang merupakan seorang kasir yang selalu berjaga di depan. Dia tersenyum hangat padaku.

“Hei Mario, bagaimana kabarmu?” Pertanyaan itu selalu keluar dari mulutnya, padahal kami selalu bertemu hampir setiap hari. Ya, aku mengambil cuti setiap hari kamis. Sedangkan wanita itu memilih hari Selasa untuk hari tenangnya.

“Seperti biasa, mimpi buruk lagi,” kataku jujur padanya, tidak ragu untuk menceritakan masa laluku pada wanita itu, karena dialah yang membuatku bertemu dengan seorang psiokolog bernama Zack yang sangat baik dan memberi harga rendah disetiap pertemuanku.

“Kau harus mencoba saranku untuk minum susu hangat sebelum tidur,” katanya lagi menoleh padaku yang tengah mengambil secangkir air mineral.

Aku mengangguk pelan. “Aku akan mencobanya,” jawabku seraya masuk ke ruangan dalam dimana tempat aku bekerja.

Mac Fadden, salah satu rekan kerja yang usianya lebih tua satu tahun dariku, dia terlihat was-was melirik ke arahku. Dengan celemek berwarna hitamnya dia menghampiriku. “Apakah kau menuruti perkataannya lagi?” tanyanya menyelidik. Aku sedikit berpikir apa yang dia maksud, tapi dengan cepat aku mengangguk tak perduli.

“Astaga kau beruntung!” ujarnya seraya menepuk pundakku.

“Kau tahu, walau dia sudah menginjak usia 30-an tapi kuyakin tubuhnya masih-”

“Sssshhh… aku hanya menemaninya mabuk, tidak lebih!” Aku memelototinya.

Mac sedikit mundur dan berpindah tempat ke sebelah kiriku. “Kau yakin? Tapi kulihat dia tergila-gila padamu. Come on!”

Mac beribicara tentang keponakan pemilik restoran ini, yaitu Mischelle. Wanita itu selalu mengambil kesempatan disaat aku melakukan kesalahan di restoran ini. Bodohnya lagi, aku selalu melakukan kesalahan itu seperti memecahkan piring di depan pelanggan, memberikan menu yang salah dan kecelakaan di dapur. Aku tidak bisa mentolerirnya karena terlalu banyak kerugian yang aku tanggung, dan Mischelle mengampuninya jika aku menemaninya pergi.

Gosh! Kenapa dia hanya tertarik kepadamu, aku juga tak kalah keren ‘kan?” Mac mengangkat kedua alisnya seraya menyengir kuda. Aku tahu dia mengejekku. Tapi juju raku mulai merasa tidak nyaman dengan Mischelle.

*Krreekkk*

Suara pintu dapur terbuka mengambil perhatian kedua mata kami. Wanita yang baru dibicarakan tiba dengan sempurna. Bibirnya yang tebal selalu dipoles dengan lipstik merah. Matanya yang cukup besar membuatku sedikit ketakutan, dan dia memiliki proposi tubuh yang sempurna. Aku yakin dia bekerja keras untuk menjaga berat badannya.

“Hei Honey, bisa nonton malam ini?” tanyany secara langsung tanpa melihat Mac sama sekali.

Aku mulai gugup dan sedikit keringat muncul di dahi. “Uhm, maaf Mischelle, aku tidak bisa,” jawabku dengan tenang. Dia mulai mendekatiku dan merangkul pada lengan kiriku, membuat Mac menjauh dari kami tetapi terus memperhatikan.

“Oh ayolah, kau masih punya utang satu padaku. Jangan menolak yah,” katanya lagi dengan suara yang merayu. Mac mungkin akan mabuk dengan suaranya, tetapi aku tidak, justru aku merasakan sebaliknya. Aku telah muak dengan sikapnya yang selalu mengatur.

“Aku sibuk dengan pekerjaanku yang lain, maaf.” Aku berbohong untuk membebaskan diriku malam ini darinya.

Michelle melepaskan rangkulannya dan menatap ke arah mataku. “Kau tidak perlu melakukan itu, aku akan memberikanmu uang.” Penawaran yang sangat mengesankan tapi aku tidak akan menerimanya sampai aku mati sekarat.

Wanita itu baru bercerai dengan suaminya 4 bulan yang lalu, dan sejak saat itu dia selalu merayuku. Pamannya tidak pernah tahu tentang perilaku keponakannya yang selalu mendiskriminasi pekerja sepertiku.

“Tidak, aku sudah terlalu banyak merepotkanmu. Aku bisa mencari uang sendiri,” kataku dengan tenang namun tegas. Aku ingin memperingatinya agar tidak terlalu mendekatiku lagi.

Wanita itu menepuk pelan pundakku. “Baiklah, aku tidak ingin memaksamu lebih jauh lagi. mungkin lain waktu kita bisa menonton bersama.” Napasku lega mendengarnya yang kali ini mengalah. Apakah dia mulai merasa jika aku tidak nyaman?

Michelle pergi dari ruang dapur dan dengan cepat Mac menghampiriku lagi. “Gosh! Kau menolaknya, kalau aku jadi kamu, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas itu.”

Mac adalah tipikal pria yang mudah tergoda dengan wanita seksi, terlebih lagi yang memiliki banyak harta. Dia bilang, dengan kita memiliki wanita seperti Michelle, kita tidak perlu bersusah payah mencari dollar di kota besar ini.

“Jika kamu tertarik padanya, dekati saja,” saranku seraya berjalan ke arah sudut untuk mengambil celemek bagianku. Pria itu terlihat berpikir dan menatapku untuk yang terakhir kalinya.

“Kau betul, jika dia belum melirikku, lebih baik aku yang berusaha untuk merayunya,” ucapnya sebelum berlari pergi mengejar wanita itu. Aku terkekeh dan berharap agar dia berhasil. Sehingga wanita itu tidak menggangguku lagi.

Restoran malam itu cukup ramai pengunjung, kebanyakan adalah para remaja yang sedang mengalami kencan pertamanya. Itu sangat lucu, tapi aku sedikit memperhatikan mereka untuk belajar hal baru. Zack –Psikologku mengatakan jika itu adalah hal yang bagus untuk menghilangkan trauma masa laluku.

Sudah 4 tahun aku masih memiliki bayang-bayang tentang Ruby. Seolah dia tidak ingin aku melupakannya. Mimpi buruk yang menjadi gejala utamaku dalam penderitaan PTSD berlangsung lama.

Badanku sudah mulai merasa lelah, karena aku bekerja nonstop selama 9 jam. Aku mengecek arlojiku yang menunjukkan waktu tengah malam. Keringat mulai bercucuran aku mataku melihat kursi yang mulai kosong dan berantakan. Aku harap Mac bisa menyelesaikan itu semua sehingga aku bisa langsung pulang.

“Bro, kamu bisa pulang duluan. Aku akan mengerjakan yang bagian terakhir itu.” Sebuah suara yang tiba-tiba muncul ketika pintu dapur terbuka, itu adalah Mac. Wajahnya bersinar seperti telah mendapatkan grand prize dari sebuah undian.

Aku melirik bangga padanya. “Kau hebat, Mac. Bekerja dengan semangat penuh tanpa kenal lelah,” pujiku membuatnya tersenyum dan mendekatiku.

“Kau tahu, kita sedang berada pada masa jiwa muda, selalu semangat mengerjakan apapun tanpa mengenal kata menyerah. Apalagi jika jiwa muda kita sedang bergelora dengan bumbu cinta dan api asmara.” Mac bertingkah seolah dia adalah penyair. Tapi dengan wajah konyolnya membuatku ingin semakin tertawa.

“Kau berhasil mendapatkannya?” Aku bertanya soal Michelle.

Dia mengembangkan senyumannya dan mengangguk. “Dia adalah tipe wanita yang malu-malu kucing menurutku. Awalnya dia selalu menolak dan marah, tetapi lama kelamaan, dia mulai melirikku dan setuju dengan kencan pertama kita besok.”

Aku lega mendengarnya, karena sedikit terlepas dari Michelle. Sungguh, sangat lelah menemani wanita itu setelah pulang kerja selarut ini dan baru pulang di pagi hari.

Good luck!” kataku seraya mengambil jaketku kembali.

Aku meninggalkannya dan berjalan keluar restoran. Diluar aku mulai tertawa lagi mendegar pendapat Mac tentang Michelle yang malu-malu kucing. Itu adalah sebuah kebohongan besar.

Langkah kakiku terdengar karena sepatu yang kukenakan cukup tebal. Kota ini mulai sedikit sepi, walau lalu lalang kendaran masih ada. Aku melewati persimpangan pertama dan mulai merasakan hal aneh. Mataku terfokus pada satu titik, sedangkan kedua telingaku mempertajam pendengarannya.

Sebuah isakan tangis seorang perempuan terdengar dari sudut gedung tingkat dua. Aku sedikit berlari menemui asal suara dan behenti di depan gedung. Tetapi sepertinya salah, suaranya bukan dari gedung itu.

“Tolong jangan mendekat!”

Sebuah suara kembali muncul semakin lirih dan pelan. Karena sunyinya kota, aku mulai mencari lagi dan mendapati seorang perempuan dengan tas gendong berwarna pink tengah diganggu oleh kedua pria.

“Jangan takut, Anak manis. Kami tidak akan menyakitimu,” ucap salah satu pria itu.

Aku bisa mendengar bagaimana kedua pria itu mengganggu wanita muda yang kuperkirakan usianya tidak jauh dariku, tetapi melihat penampilannya yang kekanak-kanakan membuat kedua pria yang sepertinya mabuk semakin mengganggunya.

“Ekhmm.” Aku berpura-pura batuk untuk mengambil perhatian keduanya. Itu berhasil, keduanya menoleh padaku termasuk wanita aneh itu.

“Mau apa? Kau ingin coba untuk menyelamatkannya, huhh?” tanyanya pria sebelahnya dengan kepala yang tidak seimbang karena mabuk.

“Maaf Tuan-tuan sekalian. Dia adalah kekasiku, aku sedang mencarinya,” ucapku dengan yakin seraya mendekatinya.

Kedua pria itu saling memandang satu sama lain. Aku berharap mereka yang bodoh karena anggur mempercayaiku. Tetapi hal diluar dugaan terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status