POV AriniSetelah mendengar celoteh Ibu dengan Mas Danu di dapur, ketenanganku sungguh terusik. Ada rasa sakit yang semakin dalam menyiksa batin.Lara dan air mata yang telah lama mengering, kini seolah tersiram air cuka kembali. Perih dan menyayat mengetahui kenyataan bahwa ibu yang dulu pernah kunanti kepulangannya, justru belum berubah. Bahkan penyesalan saja tak ada di hatinya.Aku sengaja pamit ke Mas Danu dengan alasan ada pelatihan sosialisasi tabungan baru. Padahal itu semua hanyalah bagian dari rencanaku.Dua hari sebelum rencana kepergianku, aku telah memasang beberapa chip penyadap suara yang dilengkapi dengan video perekam dan mikropon yang aku pesan dari teman. Chip itu aku tempel di tempat-tempat tersembunyi yang tak akan terlihat.Chip pertama aku pasang di dapur, di dalam buffet kaca menempel pada pegangan sebuah panci presto. Chip kedua aku pasang di kamar tidurku, tepat di bagian rak buku paling atas di sela-sela tatanan buku.Rak buku yang sengaja aku letakkan di su
POV AriniAdakalanya sabar itu luas bak samudra, namun adakalanya kesabaran itu menipis terkikis oleh berbagai ulah yang teramat menyebalkan. Begitu jua dengan kesabaran yang kumiliki.Jujur, tingkah ibuku yang sudah melampaui batas kewajaran membuatku muak dan kesabaran yang selama ini aku miliki menguap tak bersisa. Hanya saja aku punya rencana lain untuk membuatnya benar-benar jera, syukur-syukur bisa menjadi jalan ia bertaubat.Jika menuruti nafsu, mungkin saja aku sudah mengusirnya sejak aku tahu gelagatnya yang tak sungkan memperlihatkan belahan dada dan mulusnya kaki atas pada suamiku. Ini sungguh tak wajar, kenyataan yang tak pernah kubayangkan selama ini.Aku tak mengerti kenapa ibu mempunyai sifat seperti itu. Ia begitu tega menghianati bahkan menghancurkan kehidupan suami yang sudah memberikan kehidupan layak, mengangkatnya dari kehidupan sebagai orang teraniaya.Dan sekarang ... bagaimana bisa ia juga tega akan menghancurkan kehidupan rumah tangga anaknya sendiri? Tak wara
POV DanuKuseka keringat yang membasahi dahi. Langkah gontai menuju sebuah kedai kecil. Kupesan segelas es teh untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering. Terik matahari membakar kulit, menjadikan suhu tubuh naik dan gerah.Dua puluh menit aku berjalan menghabiskan waktu menunggu Arini pulang. Martin yang kutuju tak juga kudapati di tempat kost. Ia pergi dengan kekasih baru, katanya. Enak bener dia, tanggal merah untuk kencan dengan cewek.Tak seperti aku yang harus berjalan panas-panasan hanya demi menghindar dari ibu mertua. Seharusnya rumah itu bisa memberiku ketenangan, namun semenjak nenek semlohai itu hadir dalam kehidupan rumah tanggaku, semua jadi kacau.Rasa takut malam-malam ia datang menggerayangi tubuhku membuat bulu kuduk meremang. Ketakutan yang berlebih menjadikan aku phobia dengan yang namanya ibu mertua. Bikin paranoid saja itu nenek semlohai.Aku teguk es teh hingga tandas, kemudian minta diisi kembali. Pas sekali, ada gorengan risoles isi kentang kesukaanku. Ja
Seperti biasa, pulang kerja aku selalu menunggu Arini di mushola dekat rumah. Tetangga sekitar sudah hafal kalau aku adalah orang yang paling rajin ke mushola, bahkan mereka mengacungi jempol untukku. Banyak pujian aku terima karena mereka menganggap aku mau mengabdikan diri dengan membersihkan tempat ibadah.Sebenarnya bukan pujian yang aku harapkan, apalagi apa yang aku lakukan bukanlah sesuatu yang besar. Aku sengaja membersihkan mushala karena memang sekalian menghabiskan waktu menunggu Arini pulang. Nggak etis jika hanya duduk bermain gawai di tempat ibadah, kan?Sepertinya Allah kasih bonusnya berlebihan. Allah memang baik. Kasih istri yang pengertian, memberiku jalan rejeki yang halal dan mudah, dan sekarang hal kecil pun Allah kasih balasan untukku. Tapi ... sepertinya Allah kasih ujian juga, yaitu kehadiran ibu mertua yang menggoda iman.Tak habis aku berpikir, kehidupan ini terkadang aneh. Bobby ganteng dan tajir melintir, tapi bisa jatuh ke pelukan wanita tua. Bahkan hingga
Teriakan histeris dari mulut wanita yang berjuluk ibu mertua itu kian melemah. Mungkin energi yang sedari tadi ia luapkan kini melemah. Ia menjatuhkan diri di lantai, bersandar pada dinding bercat biru muda.Perlahan namun pasti, lelaki bertubuh atletis itu mendekati Bu Hera. Ia mengulurkan tangan yang kemudian ditepis kasar oleh wanita itu. Jangankan menerima uluran tangan dari Bobby, melihat wajah pria yang level kegantengannya di atasku itu saja dia tak mau."Hera, kenapa kamu jadi membenciku? Apa salahku sampai-sampai kamu meninggalkan aku?""Aku tidak sudi hidup miskin denganmu!""Apa karena aku miskin kamu meninggalkan aku?""Kamu itu bodoh, Bob! Orang tua kamu kaya raya, tapi malah mengajakku hidup melarat! Apa kamu pikir aku menikah denganmu karena ketampananmu?"Bobby menurunkan satu lutut dan duduk setengah berjongkok menghadap ke arah Bu Hera. Ada kilatan rindu yang menggelora di mata sendu itu."Aku pikir kamu mau menikah denganku karena tulus mencintaiku," ucap Bobby sera
Setelah menunggu ibu mertua bersiap-siap selama dua puluh menit, akhirnya wanita itu muncul dengan gamis berwarna navy membalut tubuh montoknya. Hijab warna senada menonjolkan wajah yang masih menyisakan kecantikan masa muda.MashaAllah ... sungguh cantik ia dalam balutan pakaian syar'i. Seandainya saja hidayah itu datang, mungkin hati yang hampir mati itu akan kembali ke fitrahnya sebagai istri dan ibu yang baik."Bobby, buruan pesen ojek online!" perintah Bu Hera sembari duduk dengan kaki kanan di atas kaki kiri."Untuk apa?" "Pesen mobil lah ... emangnya kamu pikir aku mau naik motor bututmu itu!"Ya, Allah ... baru saja dalam hatiku mengagumi kecantikan fisiknya, tapi sosok anggun itu justru masih saja menampakkan sifat aslinya.Bobby hanya mendengus, kemudian meraih gawai yang ada dalam waistbag. "Pak Nardi, tolong bawa mobil ke sini, ya." "Pak Nardi? Bukankah dia sopir Ayah kamu?" tanya Bu Heran dengan memicingkan netra."Iya, kenapa?" jawab Bobby dengan cuek."Itu artinya kam
Sinar terang menyilaukan serasa memaksa kelopak mata untuk sedikit menutup, membiarkan bulu netra menghalangi intensitas cahaya yang berpendar.Kuedarkan pandangan tatkala sinar itu perlahan memudar. "Masihkah aku hidup?" Pertanyaan itulah yang pertama ingin kutemukan jawabnya.Entahlah, aku tak mengerti. Pasalnya, aku berasa melayang. Tubuh ini begitu ringan dan ... tunggu! Aku melihat sosok yang sering aku lihat dalam cermin."Aku? Itu aku?" gumamku tak percaya, kucoba mendekat untuk memastikan sosok tubuh yang terbaring lemah dengan beberapa alat menempel di tubuh itu.Bagai dihentak oleh ribuan kilogram beban, dadaku serasa menyesak tatkala menyaksikan kebenaran bahwa yang tergolek lemah itu adalah jasadku.Apa yang terjadi denganku? Apa aku mati suri? Lalu di mana semua orang? Kenapa tidak satu pun di antara mereka yang menungguiku? Di mana Arini?Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepala. Aku mencoba mengingat apa yang telah menimpaku. Sejenak aku terdiam, membiarkan detik
POV AriniDenting sendok beradu dengan piring menghiasi makan malam. Hanya berdua, aku dan Mas Danu. Seperti biasa, Ibu lebih suka mengurung diri. Bahkan untuk makan saja ia bawa masuk ke kamar.Aku tangkap ada sorot kegelisahan dalam tatapan mata Mas Danu. Kegelisahan yang kian hari kian menjadi, membuat ketenangan lelakiku terusik.Aku tahu Mas Danu selama ini selalu menjaga hati dan kesetiaan untukku. Tak pernah ia biarkan ibu merayunya kembali.Semakin hari rasa tidak nyaman juga muncul dan kian menekan batinku. Ketakutan akan hal-hal buruk yang sewaktu-waktu bisa menghancurkan biduk rumah tangga terus membayang.Baiklah, sepertinya apa yang telah aku rencanakan dengan Bobby harus aku jalankan segera. Apalagi ketika melihat ibu kembali berulah, rasa ingin segera membuatnya pergi dari rumah ini semakin begitu kuat.Sore itu juga segera kuhubungi Bobby untuk segera bersiap datang ke rumah. Apapun nanti resiko yang akan terjadi, aku sudah siap. Aku yakin, Bobby mampu membawa ibu perg