Kening Laura mengernyit dalam. “Apa ini?” tanyanya sambil membolak-balikkan kartu berwarna emas itu di tangannya.
“Anggap saja itu kartu kredit yang bisa kamu gunakan untuk membeli semua yang kamu mau.”
“Aku tidak membutuhkan kartu kredit. Jika aku bisa makan dan tidur dengan gratis di sini, itu sudah lebih dari cukup,” ujar Laura sambil menyerahkan kembali kartu tersebut pada Tomshon.
“Simpanlah! Hanya untuk berjaga-jaga. Kamu tidak harus menggunakannya jika memang tidak membutuhkan sesuatu.”
Laura berpikir sejenak dan akhirnya menerima kartu tersebut. “Baiklah, terima kasih untuk kartunya,” kata Laura.
“Sama-sama,” balas Tomshon.
Setelah mengatakan hal tersebut, pintu mobil dibuka oleh anak buah Tomshon. “Masuklah!”
“Apakah kamu tidak ikut masuk?” tanya Laura.
“Apakah kamu berharap aku masuk ke sana bersamamu?” goda Tomshon.
“Bukan itu maksudku,” jawab Laura salah tingkah.
“Selamat malam, tidurlah yang nyenyak. Besok pagi aku akan menjemputmu untuk mempersiapkanmu menjadi calon istri yang pantas untuk majikanku,” kata Tomshon mengucapkan salam perpisahan.
“Selamat malam, terima kasih untuk malam ini.”
*
Laura terkesima menatap kamar di depannya. Dia mendapatkan Presidential Suite yaitu kamar termewah dan termahal di hotel tersebut. Untuk menyewa kamar termurah di hotel ini saja, Laura tidak mampu. Apalagi dengan kamar yang dia dapatkan saat ini, berapa tahun dia harus mengumpulkan uang untuk bisa menginap di kamar seperti ini?
Kamar di depannya di dominasi warna krem lembut. Lantainya berupa lantai marmer halus tanpa garis sambungan sedikit pun. Karpetnya sangat terbal dan lembut. Rasanya lebih nyaman tidur di karpet lantai hotel dibanding dengan ranjangnya.
Laura menilik ranjang yang akan dia gunakan dan tercekat dengan kemewahannya. Ranjang itu begitu besar, bahkan bisa untuk tidur tiga sampai empat orang.
Pemandangan dari jendela kamar membuat Laura tidak mampu berkedip. Bukan jendela kamar biasa, tetapi dinding kaca yang sangat besar, yang menampakkan pemandangan kota dengan bertaburkan lampu malam, membuatnya merasa sedang berdiri di atas awan. Berdiri di atas kotanya sendiri, tempat di mana rumah yang dulu ditinggalinya berada di bawah kakinya.
Melihat ranjang hangat dan empuk di depannya, ingin sekali menghempaskan dirinya di atasnya, tetapi Laura ingat jika tubuhnya sangat kotor. Tidak mau mengotori ranjang mewah tersebut, Laura memutuskan untuk mandi terlebih dahulu.
Ternyata ia membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk mandi. Bukan karena dia suka dengan air hotel atau ritual mandinya, tetapi karena dia kebingungan dengan semua tombol yang ada di kamar mandi tersebut.
Baru saja keluar dari kamar mandi, perut Laura berteriak minta diisi. Dia baru ingat jika malam ini belum makan sama sekali. Dia membuka buku menu yang disediakan di kamar hotel. Betapa kaget dirinya ketika melihat berbagai macam menu mewah yang tertulis di sana. Matanya semakin melebar melihat harga yang tertera di sana.
Bergaya seperti orang kaya, dia pun memilih menu yang disuka. Bukan hanya satu, tetapi beberapa menu sekaligus yang bisa muat di perutnya. “Paling tidak hari ini aku bisa menikmati hidupku karena tidak tahu apa yang bakal terjadi esok hari,” gumam Laura.
*
“Cari informasi tentang gadis bernama Laura Aurelie. Aku akan mengirim fotonya padamu. Aku ingin identitas wanita itu sedetil mungkin. Besok pagi aku ingin dokumennya sudah berada di mejaku,” perintah Tomshon pada bawahannya tanpa bisa dibantah lagi.
Mobilnya sampai di depan rumah megah. Dia sengaja tidak menemui Nicholas karena belum mendapatkan informasi detil tentang gadis yang akan pria itu nikahi. Tomshon berharap, Nicholas mendapatkan gadis yang tepat. Dia langsung pergi ke kamar dan beristirahat sebelum menyambut hari esok dengan rutinitas yang padat.
*
Tidur Laura terganggu karena cahaya matahari yang menyilaukan mata, tanpa sadar dia tertidur di depan dinding kaca besar. Laura memukul keningnya merasa bodoh dan kecewa karena semalam tidak bisa menikmati nyamannya ranjang hotel yang mewah. Dia menyesal, semalam tidak langsung naik ke ranjang, tetapi malah ketiduran di tempat yang tidak seharusnya.
Tepat setelah selesai sarapan, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Laura berlari dan membuka pintu kamar tersebut. Ia mengira Tomshon yang datang, tetapi ia harus menelan kekecawaan saat kenyataan mengatakan sebaliknya.
Seorang pria yang semalam terlihat bersama Tomshon berdiri di depan kamar hotel Laura.
“Selamat pagi, Nona. Bagaimana tidur Anda?” sapa pria itu dengan sopan.
“Pagi, tidurku lumayan nyenyak. Di mana Tomshon? Apakah dia tidak datang bersamamu?” tanya Laura.
“Tuan Tomshon sudah menunggu Anda di bawah.”
“Baiklah, aku akan segera turun,” ujar Laura yang kemudian meminta pria itu menunggu di depan kamar, memberi waktu baginya untuk bersiap. Setelah yakin dengan dandanannya, Laura turun bersama pria yang menjemputnya.
Tomshon beranjak dari tempat duduk ketika melihat Laura berjalan mendekatinya.
“Selamat pagi,” sapa Tomshon dengan ramah.
“Selamat pagi,” jawab Laura dengan senyum manis.
Tomshon tersenyum melihat ekspresi ceria Laura. Tidak terlihat trauma di wajah gadis itu, mengingat apa yang dialami tadi malam. Raut wajah ketakutan dan sedih yang Tomshon lihat tadi malam telah hilang. Laura memang gadis pemberani. Menyadari hal itu, Tomshon semakin yakin jika Laura adalah gadis yang tepat untuk Nicholas.
“Jadi kita akan ke mana hari ini?”
“Kita akan melakukan tes kesehatan,” jawab Tomshon.
“Tes kesehatan? Apa maksudmu?” tanya Laura.
Pagi ini kita akan ke rumah sakit dan memeriksakan kesehatanmu. Setelah dari sana, kita akan membeli beberapa barang yang kamu butuhkan.
“Apakah itu perlu? Apakah kamu tidak percaya dengan keterangan aku tadi malam?” tanya Laura.
“Aku tidak ingin membuat kesalahan. Hasil dari rumah sakit akan lebih bisa dipercaya,” jawab Tomshon mengabaikan perasaan Laura yang tersinggung seolah menganggapnya wanita jalang, tapi tanggung jawabnya lebih penting dari semua itu.
“Baiklah kalau begitu, aku akan mengikuti kemauan kamu,” jawab Laura pasrah.
Mereka kemudian berangkat ke rumah sakit. Di sana Laura menjalani beberapa tes kesehatan yang dia sendiri tidak mengerti kegunaan tes tersebut. Bahkan beberapa cairan tubuhnya diambil oleh dokter yang menanganinya. Mulai dari pengambilan sampel darah, swab di hidung, di tenggorokan, bahkan bagian intim Laura pun tidak luput dari pemeriksaan, rasanya sangat memalukan.
Saat dokter keluar dari ruang pemeriksaan, Tomshon sudah menunggunya. Dokter tersebut mengangguk sambil menatap mata Tomshon seakan sedang memberitahukannya sesuatu. Kode yang hanya mereka berdua yang tahu, yang menjelaskan bahwa Laura memang belum disentuh oleh pria manapun.
Senyuman tipis terukir di bibir Tomshon. Harapannya agar Nicholas mendapat istri yang baik, semakin besar.
Tidak lama kemudian Laura keluar dari ruang pemeriksaan dan bergabung dengan Tomshon.
“Hasil pemeriksaan akan keluar tiga hari lagi, aku akan langsung menginformasikannya kepada Anda, jika hasilnya sudah keluar,” kata dokter tersebut kepada Tomshon.
“Terimakasih, Dok. Kami menunggu kabar baiknya,” jawab Tomshon.
“Sama-sama,” jawab dokter tersebut dengan tersenyum ramah, kemudian meninggalkan Tomshon dan Laura. Setelah dokter tersebut pergi, Tomshon mengajak Laura meninggalkan rumah sakit.
“Fernando, hentikan! Kamu bisa membunuhnya.” Joselie yang tidak mau pergi dari ruangan tersebut melepaskan diri dari dekapan putranya lalu berlari mendapatkan suaminya, tetapi tegurannya diabaikan oleh Fernando.Tomshon langsung menarik dan memegang tubuh Fernando untuk menahan pria itu.“Lepaskan aku, Tom! Biarkan aku membunuhnya!” geram Fernando diliputi amarah.Tangis Joselie semakin keras mendengar perkataan suaminya. Nicholas langsung menarik dan memeluk Mamanya kembali.Untuk beberapa saat, Joselie menangis di pelukan putranya. Setelah keadaan agak tenang, Nicholas membawa Mamanya menjauh dan pergi ke kamar. Tomshon pun menarik tubuh Fernando dan membawanya pergi dari ruangan tersebut.Saat Tomshon dan Fernando melewati ruang keluarga, Gabriella terkejut karena melihat tangan Fernando berlumuran darah. Susan yang melihatnya langsung berlari mendekati suaminya.“Apa yang terjadi dengan Fernando?” tanya Susan khawatir.“Fernando baik-baik saja. Panggil pengawal dan suruh Gabriella
Pagi harinya dengan muka lelah, Austin dan Gabriella sampai di depan rumah yang sangat besar. Melihat rumah tersebut, Gabriella hanya terdiam dengan mulut ternganga.“Benarkah ini kediaman Pierre?” tanyanya pada suaminya.“Ya, ini adalah kediaman Pierre,” jawab Austin, menyakinkan Gabriella.“Rasanya seperti sedang berada di sebuah istana modern. Aku tidak menyangka ada rumah sebesar ini.” Gabriella masih terkagum dengan rumah di depannya.“Ayo kita masuk!” ajak Austin yang kemudian diikuti oleh Gabriella di belakang.Mereka melangkah memasuki teras rumah keluarga Pierre. Dengan sedikit ragu, Austin mengetuk pintu besar rumah tersebut.Tidak lama kemudian terlihat seorang pelayan membuka pintu. Setelah Austin memperkenalkan diri, pelayan itu berkata, “Tuan Fernando telah menunggu Anda, silakan masuk. Barang-barangnya biarkan di sini saja, nanti saya yang akan mengurusnya.”Austin dan Gabriella mengikuti langkah pelayan tersebut yang membawa mereka ke sebuah ruangan. “Tuan, Nyonya, Tua
Hari berikutnya, Austin dan Gabriella mulai mencari keberadaan Olivia. Mereka pergi menuju ke alamat yang diberikan Grace. Dengan jantung berdebar, Austin berdiri di rumah berwarna putih dengan taman yang cantik yang berada di depan rumah tersebut.“Apakah kamu sudah siap menemuinya?” tanya Gabriella.“Apakah aku mempunyai pilihan? Siap tidak siap, aku harus menemuinya sekarang, agar urusan kita cepat selesai. Semakin kita menundanya, maka beban yang harus aku tanggung semakin berat.”Gabriella mengangguk mengiyakan apa yang suaminya katakan.Austin mengetuk pintu rumah tersebut beberapa kali, tapi rumah tersebut tampak sepi. Dia memutuskan untuk mengetuk terakhir kalinya, jika belum ada juga yang membukakan pintu untuknya, maka besok dia akan datang kembali.Tepat saat Austin menurunkan tangan, pintu di depannya terbuka. Seorang gadis cantik terlihat di balik pintu sambil menatap Gabriella dan Austin dengan heran.“Ada yang bisa aku bantu?” tanya gadis itu.“Apakah benar ini rumah ke
“Mandilah dahulu, aku akan memesan makanan untuk kita,” kata Austin pada Gabriella setelah mendapatkan kamar.“Baiklah aku akan mandi terlebih dahulu,” Gabriella mengiyakan perkataan suaminya.Dia masuk ke kamar mandi dan melepas semua pakaian, mengatur suhu air sehingga menjadi hangat. Saat air hangat itu membasahi tubuhnya, semua rasa lelahnya terasa menguap dan tubuhnya terasa segar kembali.Gabriella terlonjak kaget saat tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang.“Astaga Austin, kamu mengagetkanku. Jantungku serasa mau copot,” tegur Gabriella.Bukannya meminta maaf, Austin malah sibuk mengendus tengkuk Gabriella. Dengan sigap, dia membalikkan tubuh istrinya sehingga berhadapan dengan dirinya.Mata Gabriella terbelalak saat tahu jika Austin tidak memakai apapun seperti dirinya. Dia yakin setelah ini mandinya pasti akan terganggu.Austin mendorong tubuh Gabriella dan menghimpitnya ke tembok kamar mandi. Dengan cepat dia melumat bibir istrinya.Gabriella menyambut lumatan bibir Aus
Gabriella menatap Austin seakan ingin berkata jika jangan mengharapkannya. Dia kemudian menceritakan tentang keadaan dirinya saat itu.“Setelah Olivia diadopsi aku harus tinggal di asrama dan mengikuti pendidikan. Selama di asrama, aku jarang pulang ke panti karena peraturan asrama sangat ketat. Aku ke panti jika ada libur panjang. Setelah menyelesaikan pendidikan, aku langsung bekerja dan hidup di rumah kost. Terakhir kali aku melihat Olivia adalah saat dia berumur 7 tahun dan sampai sekarang aku tidak pernah melihatnya lagi.”“Apa yang kamu ceritakan, sangat berarti bagiku, aku memiliki harapan baru untuk menemukannya. Bagaimana jika hari ini kita pergi ke panti asuhan tempatmu tinggal dan dibesarkan,” ajak Austin membuat Gabriella cukup terkejut.“Tetapi itu cukup jauh, kita harus keluar kota dan belum menyiapkan penerbangan serta apa saja yang dibutuhkan untuk ke sana,” ujar Gabriella.“Aku akan mencari penerbangan paling awal hari ini, bantu aku untuk berkemas.”Tidak tega menola
Setelah menceritakan apa yang mengganjal di hati, Austin terlihat sangat rapuh. Itu adalah kesalahan besar yang tidak termaafkan. Gabriella yang melihat betapa rapuh suaminya, langsung mendekapnya dengan erat. Bahkan saat dulu Austin menceritakan tentang pelecehan yang dia alami, dia tidak serapuh ini.Dengan lembut Gabriella mengusap punggung Austin. “Kita harus memberitahu Fernando dan Joselie. Seberat apa pun hukuman yang akan mereka berikan, mereka berhak tahu kebenarannya dan kita harus menerima segala konsekuensi.”“Apakah kita harus memberitahukan hal ini secepatnya pada mereka?” tanya Austin terlihat keberatan dan butuh waktu, dia tidak akan sanggup menatap wajah kecewa dan sedih Fernando dan Joselie terhadap dirinya.“Jika kamu belum siap, kita bisa menundanya dan mencari tahu terlebih dahulu apakah anak itu masih hidup atau sudah meninggal sehingga saat kita bertemu dengan keluarga Pierre, kita memiliki sedikit informasi.”“Tapi dari mana kita mencarinya? Itu sama saja menca