Aku dan Rafa berjalan beriringan menyusuri perkebunan jagung. Pulang dari sekolah pukul sebelas siang. Di bawah terik matahari yang menyengat. Sementara, Rafa berjalan dengan lesu di samping. Sepanjang jalan, kami tidak banyak bicara, hanya sesekali menyeka keringat yang menetes di dahi. Menggunakan punggung tangan."Ayah, Rafa haus," ucap Rafa menengadahkan kepala ke atas.Segera kuraih botol minum yang ada di dalam tasnya, lalu membNainan pada Rafa yang sedang kehausan. Rafa langsung meneguk minuman sampai habis tak tersisa. Melihat senyumnya yang manis membuatku merasa bahagia. Walau kehidupannya tak seberuntung anak yang lainnya, tetapi dia tak pernah mengeluh.Sejak kecil dia sudah hidup menderita bersamaku. Tidak banyak protes meski teman-teman sebayanya sering membuli."Terima kasih, Ayah."Rafa membNainan botol bekas air mineral kepadaku. Kembali kumasakukan wadah kosong ke dalam tasnya.Dengan pelan kita menyusuri melanjutkan perjalanan menuju ke arah desa. Begitu memasuki pe
Bab 17. Beasiswa Rafa masih menangis sembari memegangi lututnya yang berdarah. Ada rasa ngilu yang terkoyak menyayat hati bagai sebilah pisau tajam. Tega sekali Sakira tidak mengakui darah dagingnya sendiri. Sehina itukah kami di matanya?“Nak, sudah jangan menangis lagi. Ayo, bangunlah!” ucapku membantunya berdiri.Mungkin karena seragam yang dipakai Rafa lusuh. Hingga terlihat perbedaan status sosial. Uang menjadi bukti. Cinta seorang ibu telah berubah untuk anaknya.“Rafa, jangan menangis, Nak. Ibu akan belikan mainan mobil-mobilan yang bagus untukmu," bujuk Bu Ersa.Bu Ersa mencoba menghibur Rafa. Pertemuan yang dramatis tadi telah menimbulkan rasa trauma bagi anak sekecil Rafa.Bahkan, binatang saja tahu kalau itu anaknya tapi Sakira tidak. Seorang ibu tega melalaikan buah hatinya demi harta dan pria lain. Apakah dia masih layak disebut sebagai ibu?Dengan rasa perih kupeluk tubuh Rafa yang malang. Aku dengan berat hati melepas kepergiannya. Mungkin ini terakhir kali aku bersed
Beberapa tahun kemudian, Rafa lulus sekolah TK. Kini, dia sudah duduk di bangku sekolah dasar. Kelas tiga SD dengan nilai yang sangat memuaskan.Sebelum fajar terbit naik di ufuk timur. Aku sudah bersiap-siap untuk berangkat menemani Rafa. Pergi ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan cerdas cermat. Kebetulan dia terpilih menjadi siswa yang berprestasi di kelasnya.Persiapan pakaian dan minyak angin sudah semua aku packing dalam tas ransel. Tidak banyak yang kubawa, karena memang kami hanya beberapa hari saja di sana. Setelah perlombaan selesai akan kembali ke kampung."Ayah, kita akan pergi bersama Bu Naina. Dia guru yang mewakili sekolah Rafa untuk mendampingi ke Jakarta.""Iya," jawabku sembari melipat pakaian.Kami pergi diantar oleh oleh kepala sekolah dan guru-guru yang lain dengan mengendarai mobil. Pak Hamdan juga memberikan alamat Sakira yang ada di Jakarta. Dia mengatakan, 'Rumah Sakira di Jakarta bagus.'Saat itu, dia pernah menjadi pekerjanya. Sebagai tukang kebun dan bersih
Bab 19. Teganya IbuPesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara Soekarno. Setelah melakukan perjalanan selama dua jam. Berada di ketinggian 10000 ribu kaki membuat perutku terasa dikocok-kocok. Rasanya sangat tidak enak karena mual.Aku berjalan sembari menggandeng tangan Rafa. Saat menuruni tangga keluar pintu pesawat. Neng Naina berjalan mengekor di belakang. Sementara, Umi Aisyah juga mulai turun, dan berjalan mengikuti kami.Siang itu, udara di bandara Soekarno, Hatta terasa sangat panas. Angin menyapu sepoi-sepoi basah terasa menembus kulit ariku. Baju kemeja yang kukenakan berkibar tertiup angin."Maaf, Kang Danu. Kalau boleh kita makan dulu, ya. Neng lapar nih," ujar Neng Naina.Wajah Neng Naina yang tersenyum ke arahku. Gamisnya yang menjuntai melambai tertiup angin."Boleh, Neng."Aku menuruti kemauan Naina yang mengajak makan di sebuah restoran. Sementara, Umi Aisyah masih berjalan menyusul kami kemudian. Sesekali dia terlihat tersenyum ke arahku."Ayah," panggil Rafa.Se
Bab 20. Sate DagingRasa letih terasa menyerangku setelah seharian dalam perjalan. Tujuan kami kini sudah sampai di hotel yang telah disediakan oleh para panitia."Naina, kita sudah sampai penginapan yang sudah disediakan panitia. Maaf, aku harus meninggalkan kalian di sini. Untuk dewan juri dan panitia menempatkan ruang berbeda. Juri dari luar kota ada di hotel VIP yang lain," ujar Aisyah.Aisayah lantas mengambil koper, lalu berpamitan menuju hotel VIP para juri. Pertandingan ini bukan hanya dari daerah provinsi saja. Namun ada juga anak luar negeri seperti daerah Malaysia, Singapura dan juga Brunei. Negara tetangga juga diundang dalam perlombaan cerdas cermat tingkatan umur 8-9 tahun."Iya, Dek Aisyah. Terima kasih sudah mau menemani kami sampai tujuan," balasku mengulas senyum."Rafa, Mas Danu, Erik, saya pamit, ya?" lanjutnya. Aisyah langsung pergi meninggalkan hotel tempat kami menginap.Aku mengangguk pelan. "Iya, Dek.""Jaga diri kalian baik-baik! Kalau ada perlu hubungi saja
Bab 21. Rela Jadi Pengemis"Rafa sakit, Dek Aisyah. Kami akan membawanya ke rumah sakit," jawabku cepat."Sakit apa, Mas Danu?" tanyanya lagi."Sepertinya, Rafa keracunan makanan, Dek. Tiba-tiba saja muntah-muntah. Badannya juga demam.""Apa? Keracunan? Kok bisa? Bagaimana ini terjadi?" mata Aisyah langsung melotot mendengar penjelasanku."Ndak tahu, Dek. Aku juga baru mengetahui kejadiannya tadi pagi ketika bangun jam empat.""Aisyah, katakan pada dewan juri agar menunda perlombaan. Salah satu peserta sedang sakit," ujar Naina."Baiklah, Naina. Akan aku katakan pada dewan juri. Aku hanya bisa membantu menunda beberapa jam saja. Selanjutnya, keberuntungan ada pada Rafa.""Aku mengerti. Secepatnya kami akan membawa Rafa kembali." Naina mengangguk, lalu segera naik ke dalam mobil.Kuda besi segera meninggalkan hotel menuju rumah sakit terdekat. Sementara, aku memangku Rafa. Memperhatikan dalam kegusaran. Mengingat butuh biaya besar untuk mengobati penyakit Rafa. Jakarta bukanlah Medan.
Bab 22. Racun"Baiklah, Tuan. Jika itu maumu akan kuturuti. Kulakukan semua demi nyawa Rafa. Bagiku, Rafa adalah segala-galanya. Ku rela melakukan apa pun untuknya," ucapku lirih. Kucium kaki Tanaka sesuai kemauannya.Dengan mata yang berkaca-kaca aku bersujud, sembari mencium kaki pria bule itu. Walau rasa sakit terasa menyayat hati, tetapi semua rela kulakukan demi buah hatiku. Apalah arti penghinaan ini dibanding dengan nyawa Rafa."Ha ha ha!" Tanaka tertawa girang.Satu menit kemudian, dia menghamburkan uang itu ke lantai. Tanpa punya hati pria keturunan Jepang itu membuang uang, lalu memintaku mengutip dengan memakai mulut."Ambil uang itu sekarang dengan menggunakan mulut! Jika kau memang sangat membutuhkannya.""Baik.""Mas Danu, jangan lakukan itu! Kehormatan lebih penting dari uang itu," ucap Sakira menimpali."Apalah arti kehormatanku, Sakira. Jika nyawa Rafa tidak bisa diselamatkan, maka aku pun tak ingin hidup lebih lama lagi.""Mas Danu!" Teriak Sakira.Aku tidak menginda
Neng Naina, ada apa?" tanyaku penasaran. Terlihat wajah Naina menegang melihat ke arah Rafa. Dia seperti orang yang sedang bingung."Aisyah mengirim pesan agar kita segera kembali ke hotel. Dalam waktu empat puluh menit kita harus segera sampai. Jika tidak, Rafa akan dianggap gugur. Panitia tidak akan mentoleransi peserta yang tidak disiplin," jelasnya dengan ekspresi gelisah.Tatapannya kini beralih pada jam tangan yang dikenakan di pergelangan tangan. Jantungku seolah berhenti berdetak. Di satu sisi kondisi Rafa masih lemah. Di satu sisi yang lainnya perlombaan tak mungkin ditunda walau keadaannya masih sakit.Hanya Tuhan yang Maha Baik bisa menolong hambanya. Aku berharap Rafa akan menang, tetapi itu tak mungkin. Keadaannya masih sangat lemah. Mungkinkah membawanya dalam keadaan sakit?"Tidak mungkin kita bisa sampai dalam waktu empat puluh menit, Neng. Melihat kondisi Rafa sekarang itu mustahil," ucapku bersedih.Bagaimana mungkin tiba di tempat perlombaan dalam waktu empat puluh