Tanpa di minta dua kali, pria itu berlari. Tapi, tidak secepat saat berlari di jalanan. Batu kerikil yang menghiasi jalan kereta membuatnya kesulitan untuk melangkah.
Eaaaa Eaaa! Alea semakin panik mendengar bayinya menangis. Dia menoleh ke belakang. Terlihat anak buah Carlos semakin dekat. "Turunkan aku di sini!" pinta Alea seraya terisak. "Cepat! Turunkan aku!" Pria itu menoleh sedikit. Napasnya tersengal-sengal. "Apa maksudmu?" "Kita tidak akan selamat jika kamu berlari sambil menggendongku. Turunkan aku! Cepat!" Alea meremas bahu pria yang menggendongnya seraya memberontak turun. Sontak, langkah pria yang menggendong Alea pun oleng, hingga membuatnya dan Alea jatuh. Beruntung bayi yang digendongnya selamat. "Bayiku." Alea merangkak meraih bayinya. Dia menatap bayinya lekat-lekat, lalu mengecupi wajahnya. "Ssst! Jangan menangis, Nak! Tidak perlu takut. Mamah akan melindungimu." Air mata Alea luruh tidak terbendung. Berulang kali, dia mengecupi wajah bayinya seraya mendekapnya dengan erat. "Ayo cepat! Tangkap mereka!" Anak buah Carlos hampir mencapai Alea dan bayinya. Sebelum orang-orang itu semakin mendekat, Alea menyerahkan bayinya pada pria lusuh dihadapannya. "Bayiku, tolong selamatkan bayiku. Bawa bayiku bersamamu! "Apa maksudmu?" Pria itu kaget dengan permintaan Alea. "Aku berjanji akan mengambilnya kembali. Tapi untuk saat ini, tolong bawa bayiku pergi. Mereka tidak akan membiarkannya hidup." "Tapi–." "Cepatlah pergi!" Alea mendorong pria itu dan bayinya. "Pergi dari sini! Selamatkan putraku!" pinta Alea dengan air mata yang berlinang. "Akhirnya kalian tertangkap! Kalian tidak bisa lari lagi." Anak buah Carlos tiba di hadapan Alea. "Pergilah!" lirih Alea dengan wajah berurai air mata. Tidak rela melepas kepergian putranya. Pria itu mengangguk. Tanpa pikir panjang, pria itu berlari kencang menuju stasiun. Sontak, sebagian anak buah Carlos mengejarnya. Tangis Alea pecah. Dia mengulurkan tangan mengantar kepergian bayinya. Nampak, pria yang membawa bayi Alea berhasil masuk ke dalam gerbong kereta, lalu kereta pun mulai melaju. "Bayiku," isak Alea seraya mendekap erat tubuhnya sendiri. Sedih melihat putranya yang sudah tidak terlihat. "Alea, sayang." Carlos datang mendekap istrinya. Dia mengecupi wajahnya. "Kenapa kamu lari dariku? Aku tidak akan menyakitimu." "Pergi! Aku jijik denganmu." Alea mendorong Carlos. Namun, pria itu malah semakin mempererat dekapannya. "Tidak sayang, aku tidak akan kemana-mana. Ayo kita pulang!" Carlos melerai pelukannya. Dia terkesiap melihat darah yang memenuhi bagian bawah gaun pasien istrinya. "Alea, kamu terluka? Kita harus segera ke rumah sakit." Carlos mengangkat tubuh Alea. Begitu kakinya mulai melangkah. Terdengar suara decitan dan tubrukan yang cukup keras. BOOM! Langkah Carlos terhenti. Alea menatap nanar asap hitam yang mengepul dari kejauhan. "Bayiku ... TIDAAAK!" jerit Alea. Dia meronta dari pangkuan Carlos. Namun, kegelapan lebih dulu melahap dirinya. 'Nak, maaf mamah tidak bisa melindungimu,' batin Alea sebelum kesadarannya tenggelam. *** "Bayiku, kembalikan bayiku!" Alea menangis seraya meronta. Nampak, sabuk biru yang tersambung dengan baju restrain melingkari punggung Alea. Membuat tangannya bertumpu di depan perut. "Tenanglah sayang, bayi kita sudah aman. Dia sudah bahagia di alam sana," ucap Carlos menenangkan istrinya. Dia mendekap Alea yang terus memberontak. Seminggu berlalu sejak kecelakaan kereta api yang Alea saksikan. Karena kelalaian kondektur yang melajukan kereta pada jalur yang salah. Malam itu, terjadi tabrakan antara dua kereta yang berlawanan arah. Tidak ada penumpang yang selamat dalam kecelakaan tersebut, semuanya dinyatakan meninggal. Termasuk bayi Alea dan pria yang membawanya. "Kamu harus merelakan bayi kita Alea. Dia sudah tiada." "Tidak!" Alea menggeleng. Matanya yang bengkak terlihat merah karena tangis yang terus mengalir. "Tolong bawa bayiku. Dia pasti lapar. Aku harus menyusuinya." Sejak kehilangan bayinya, Alea kehilangan akal. Dia terus menangis dan menjerit histeris. Alea belum dapat menerima kematian bayinya. "Tidak sayang. Kamu tidak akan pernah bisa menyusuinya. Kamu tidak bisa lagi melihat bayi kita. Dia sudah tiada. Bayi kita pergi untuk selamanya." Argh! Alea menjerit histeris. Tubuhnya memberontak. Kepalanya menggeleng tidak beraturan. Andai tidak ada tali restrain yang mengekang bagian atas kakinya, mungkin Alea sudah mengamuk dan melukai suaminya. "Carlos! Ayo kita pergi! Biarkan dokter yang menangani Alea." Fiona menarik tangan Carlos yang masih saja mendekap istrinya. "Tidak!" Carlos menghempas tangan Fiona. Dia mengusap air mata Alea. Sekilas, Carlos menatap bekas lebam yang melingkari leher istrinya. Tatapannya meredup. Raut wajah Carlos berubah sedih. Selama seminggu ini, kondisi kejiwaan Alea tidak stabil. Dia terguncang. Rasa kecewa karena pengkhianatan dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi bayinya serta rasa sedih atas meninggalnya Andrean membuat Alea tertekan. Alea tidak bisa menerima kenyataan, hingga beberapa kali, dia mencoba bunuh diri. Alea mencoba mengakhiri hidup dengan menyayat nadi, bahkan menggantung diri. Beruntung, Carlos dan dokter berhasil mencegah. Dan saat ini, Carlos terpaksa menempatkan Alea pada ruangan khusus yang berada bawah pemantau beberapa psikiater. "Sayang, aku mohon jangan seperti ini. Tenanglah! Aku akan membawakan bayi yang kamu inginkan. Tapi aku mohon, jangan lukai dirimu sendiri." "Carlos! Ini sudah waktunya, kita harus segera pergi ke catatan sipil." Fiona mengingatkan Carlos dengan rencana mereka. Hari ini, Fiona dan Carlos berencana pergi ke kantor catatan sipil untuk menikah, sekaligus mendaftarkan pernikahan. Tapi tadi sebelum berangkat, mereka mendapat telpon dari rumah sakit tentang Alea yang mencoba menggantung diri pada teralis jendela di kamar rawatnya. Carlos pun menunda pernikahannya dan bergegas pergi menuju rumah sakit. "Diam Fiona! Aku tidak akan pergi kemanapun sebelum Alea tenang," bentak Carlos. Fiona kesal. Dia menatap sinis anak tirinya. "Dasar wanita gila!" cibir Fiona. Dia beranjak keluar dari kamar rawat. Sekilas, Fiona melirik salah satu psikiater yang ada di ruangan tersebut. Begitu Fiona sampai di depan kamar, seorang dokter menghampirinya. "Kenapa Alea bisa seperti itu? Apa kamu lupa memberinya obat?" tanya Fiona dengan wajah geram. "Maaf nyonya, kami memang sengaja mengurangi dosis obat yang nona Alea konsumsi. Kondisi kejiwaan nona Alea akan semakin buruk jika terus diberi obat berlebihan," jawab dokter. Fiona mengeraskan rahang. Tanpa Carlos ketahui, selama seminggu ini Fiona memerintahkan dokter untuk memberikan obat penenang dosis tinggi pada Alea, yang mana efek samping dari obat tersebut akan memicu halusinasi hingga menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. "Aku tidak peduli dengan resiko yang akan wanita itu alami. Tugasmu membuat wanita itu tenang agar dia tidak lagi menggangguku dan Carlos," ucap Fiona seraya menatap dokter di hadapannya dengan tajam. "Ingat Alex, aku tidak segan membuat rumah sakit ini bangkrut kalau kamu tidak memenuhi permintaanku." Dokter bernama Alex terlihat takut. Dia segera menunduk. "Baik nyonya. Saya akan melakukan perintah anda." Fiona tersenyum miring. Beruntung, perusahaan ayah Alea merupakan donatur tetap di rumah sakit tempat Alea sekarang dirawat, sehingga Fiona bisa mengendalikan dokter dan perawat yang ada di rumah sakit dengan mudah. "Alea … jika aku tidak bisa membuatmu mati secepatnya, maka aku akan membuatmu terkurung di rumah sakit jiwa ini untuk selamanya.""Nyonya Alea?" Kening Alea mengernyit. Mendengar seseorang memanggil namanya. Dia perlahan membuka mata, kemudian memutar sedikit kepala untuk melihat orang yang memanggilnya. Alea terkesiap melihat sosok pria yang semalam ditemuinya. Bibir Alea seketika tersenyum, lalu mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan anak laki-laki yang semalam sudah berhasil mencuri hatinya. 'Akhirnya, kamu datang juga,' batin Alea. Tanpa mengindahkan keberadaan Liam.Liam mengeratkan rahang begitu melihat senyum di bibir Alea. Reaksi Alea yang tiba-tiba terlihat senang memberitahu Liam tentang Alea yang ingin kembali bertemu Ansel. Liam pun mendengus. Merutuki perbuatan licik yang Alea lakukan. Liam yakin, Alea memang sudah mengambil gantungan kalung milik putranya. "Anda tidak akan mendapatkan apa yang anda inginkan dengan mudah, nyonya," tutur Liam dengan nada dingin. Senyum di wajah Alea memudar. Tatapannya tertuju pada liam yang menatap datar dirinya. Alea sadar, anak laki-laki yang dari semalam
"Siapkan pesawat! Kita pergi menyusul mereka." "Apa?!" Darvin tercengang mendengar perintah atasannya. Tidak menyangka Liam akan repot-repot menyusul Alea dan keluarganya. Padahal, pekerjaan pria itu sangat banyak. Dan tidak biasanya Liam pergi meninggalkan pekerjaannya."Maaf tuan, apa maksud anda kita akan pergi menyusul Nyonya Alea?" tanya Darvin dengan hati-hati. Memastikan perintah yang baru saja didengarnya. Liam melayangkan tatapan dinginnya. "Apa perintahku kurang jelas? Aku tidak suka mengulang perintah." "Ma-maaf Tuan! Saya akan segera menyiapkan pesawat," sahut Darvin seraya menegakkan badan. Gugup mendapatkan tatapan dingin dari Liam. Meski atasannya tersebut tidak terlihat marah, tapi Darvin tahu Liam bukan pria yang banyak berkata. Dia tidak suka menunggu atau mengulang perintah. Pria itu lebih baik kehilangan bawahan dari pada harus mengulang perkataannya. Tidak mau kehilangan pekerjaan yang sudah lima tahun ini dijabatnya, Darvin pun segera undur diri dari hadapa
"Tangisanmu tidak akan berpengaruh pada papah, Ansel. Jangan harap Papah akan memaafkanmu begitu saja." Liam menolak permohonan putranya dengan tegas. Ansel merapatkan bibir. Menahan isakannya agar tidak keluar. Takut Liam akan semakin marah. Aliana menatap kakak dan keponakannya bergantian. Merasa iba pada Ansel. Dia ingin membela keponakannya, namun takut Liam akan berbalik marah padanya. Aliana pun hanya diam tanpa mampu berbuat apa-apa. "Sekarang katakan! Kenapa semalam kamu membuat masalah?" Liam mempertanyakan alasan Ansel kabur dari pesta. Dengan tangan bergetar, Ansel mengambil buku tulisnya dari tangan Liam, lalu mengambil pulpen dari Aliana. Ansel menuliskan sesuatu pada kertas yang terbuka dihadapannya. 'Maaf!' Ansel menunduk seraya memperlihatkan tulisan tersebut. Liam menatap putranya dalam-dalam, jika kata maaf sudah keluar, artinya Ansel tidak akan memberikan penjelasan apapun. "Papah khawatir!" Ansel mendongak mendengar dua kata yang ayahnya ucapkan. Matanya be
Keesokan harinya, terjadi kerusuhan di rumah keluarga Abraham. Ansel, cucu tunggal keluarga Abraham, mogok makan dan tidak mau membuka mulut sedikit pun. Aliana yang sudah Liam percaya untuk menjaga Ansel pun bingung. Dia tidak mau Liam menjauhkan Ansel darinya. "Ansel, tolong jangan membuatku susah. Ayahmu sudah marah padaku karena kejadian semalam, buka mulutmu dan makanlah!" pinta Aliana setengah memelas. Takut kondisi Ansel kembali drop hingga Liam menyalahkannya. Selama ini, Liam sangat protektif pada putranya. Dia tidak membiarkan siapapun berdekatan dengan Ansel, termasuk orangtua dan adiknya. Liam tidak mempercayakan pengawasan Ansel pada orang lain. Namun dua tahun lalu, setelah Aliana membujuk Liam dengan menjanjikan akan membuat Ansel sembuh dari speech delaynya dan tidak akan membiarkan Ansel kekurangan kasih sayang seorang ibu, Liam pun akhirnya mempercayakan pengawasan Ansel pada adiknya, mengingat dirinya yang memang tidak bisa berceloteh banyak seperti yang Aliana l
Beberapa jam berlalu. Begitu Calros dan Fiona pergi ke kamar mandi, Alea membuka mata. Tadi, dia hanya berpura-pura tidur untuk menghindari Carlos. Alea tidak sudi melayani suaminya. Selama empat tahun ini, Alea harus bertahan dengan Calros dan Fiona yang tidak punya malu berhubung badan dihadapannya. Alea muak. Dia ingin menghentikan mereka, namun tidak ada yang bisa Alea lakukan selain menghindar. Biasanya, Alea pura-pura tidur atau mengamuk histeris untuk menghindari sentuhan Carlos. Namun, hal itu kadang tidak berguna jika Carlos ataupun Fiona menggunakan obat perangsang untuk membuatnya terlibat dalam percintaan. Air mata Alea menetes. Menangis tanpa suara. Tidak mudah bertahan hidup dalam kebobrokan moral yang dilakukan oleh suaminya. Carlos sebagai suami tidak memikirkan perasaan Alea yang harus melihat percintaannya dengan wanita lain. Alea sadar, dirinya mulai gila. Bahkan mungkin sudah gila seperti yang sering Fiona katakan. Tapi sayang, sejak empat tahun lalu, kesadara
Alea berjalan menuju rumah dengan langkah anggun. Senyum manis terukir di wajahnya. Tidak dipedulikannya sepatu dan ujung gaunnya yang kotor terkena lumpur, bahkan pakaiannya pun basah karena air hujan."Alea dari mana saja kamu?"Carlos menghampiri Alea dengan wajah cemas. Dia menilik penampilan istrinya. Carlos terkesiap melihat luka di pergelangan tangan Alea."Alea kamu melukai diri sendiri lagi?" Alea menarik tangannya dari genggaman Carlos. Dia menatapnya dengan tatapan dingin. "Jangan sentuh!" Alea menyembunyikan luka di tangannya.Plak! Tiba-tiba, sebuah tamparan mendarat di wajah Alea. Nampak, Fiona berdiri dihadapannya dengan wajah geram."Dasar wanita gila! Bisa-bisanya kamu pergi di tengah pesta. Kamu hampir menghancurkan pesta ulang tahun putraku," teriak Fiona. Dia hendak melayangkan kembali pukulannya, namun Carlos lebih dulu menahan laju tangannya. "Cukup!" cegah Carlos dengan tegas. "Jangan berlebihan!" Fiona mendelik. "Berlebihan? Dia–." "Oma, aku mengangtuk."