Saat Kyra melihat jelas siapa orang itu, dia langsung mengepalkan tangan dengan erat dan tebersit tatapan sinis di matanya. Ternyata dia yang terlalu berharap, mana mungkin Deven akan datang?Jika Deven memang tidak ingin melihatnya menderita, Keluarga Scott tidak akan berakhir seperti ini hari ini. Kyra merasa sangat frustrasi menatap Irish yang berdiri di hadapannya ini. Dulunya Irish adalah sahabat terbaiknya, tapi kelakuannya ternyata begitu menjijikkan.Riasan Irish sangat menor. Dia mengenakan busana bermerek dan sepatu hak tinggi yang elegan, tersenyum tipis sambil berkata, "Wah, bukannya ini putri kesayangan dan kebanggaan Keluarga Scott? Ternyata ada juga saatnya kamu berlutut dan memohon sama orang? Seingatku, kamu bahkan nggak pernah sehina ini saat suamimu mengabaikanmu dan memaksamu untuk bercerai?""Minggir sana!" Kyra hanya melontarkan sepatah kata dengan ketus tanpa meliriknya sama sekali."Wah, sudah mau jadi dicampakkan saja masih sesombong itu? Kyra, aku paling benci
Tangannya yang putih mulus terinjak-injak oleh sepatu para wartawan tersebut. Kyra kesakitan hingga air mata dan keringat dinginnya mengalir deras. Namun, Deven dan Irish malah pergi begitu saja dari pintu belakang gedung Grup Scott, meninggalkannya seorang diri di sana.Sungguh menggelikan! Bisa-bisanya Kyra beranggapan Deven akan menolongnya. Ternyata Deven hanya teringat dengan Irish dan melupakan istrinya yang dikerumuni wartawan. Banyak sekali kamera yang terus memotret wajahnya. Kyra baru saja ingin berdiri, tetapi dia malah didorong hingga terjatuh lagi oleh para wartawan itu.Pertanyaan yang mereka ajukan juga sangat menyudutkan Kyra. Mereka menyodorkan mikrofon itu ke hadapan Kyra dan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi. Isinya seputar situasi pernikahannya saat ini dan apakah ayahnya sudah tidak bisa diselamatkan lagi?Kyra merasa sangat sakit hati mendengar semua pertanyaan itu. Dalam hatinya terus mengutuk Deven yang membuat harga dirinya terinjak-injak seperti sekarang ini.
Kyra menggenggam erat ponselnya dan duduk di atas tiang jembatan. Tiang jembatan itu terasa sangat dingin hingga menusuk ke tulang."Memangnya kenapa kalau iya? Kalau nggak juga, apa urusannya denganmu?" balas Deven sambil tertawa santai. Melihat Deven yang masih bisa tertawa di kondisi seperti ini, Kyra benar-benar merasa pria ini adalah seorang bajingan. Akan tetapi, semua itu tidak penting lagi sekarang."Deven, aku sudah mengikuti perintahmu untuk berlutut selama 2 jam di bawah gedung Grup Scott.""Lalu, aku harus beri penghargaan padamu?" sindir Deven."Saatnya kamu menepati janjimu, berikan aku 10 miliar," ujar Kyra dengan bersusah payah. Selama Deven terus berpura-pura bodoh, Kyra terpaksa harus menanggung malu untuk terus-menerus mengingatkannya."Bu Kyra, memangnya sejak kapan aku berjanji mau menolong ayahmu?""Deven!" teriak Kyra sambil menggenggam erat ponselnya."Sepertinya aku bilang, justru orang yang paling menginginkan kematiannya itu adalah aku, 'kan? Kamu sendiri yan
Lengannya perlahan-lahan menjadi lemas. Namun, Kyra benar-benar penasaran apakah itu adalah telepon dari Deven atau bukan. Jawaban ini sangat penting baginya. Kyra berusaha mengambil ponselnya dan melihat layar itu. Dia hanya mentertawakan dirinya yang konyol, lalu menyalakan pengeras suara saat menjawab panggilan tersebut."Kyra, uangnya sudah ada? Rumah sakit sudah keluarkan pemberitahuan kritis yang kedua! Mereka menyuruh kita untuk pindah ke rumah sakit lain karena mereka nggak mau menunggunya lagi .... Kyra, Ibu benar-benar nggak tahu harus bagaimana lagi. Kalau kamu kesulitan, tolong beri tahu Ibu. Kumohon, Ibu nggak bisa hidup tanpa ayahmu. Ibu sangat mencintainya. Tanpa dia, Ibu juga nggak bisa bertahan hidup lagi."Mia yang berada di ujung telepon terdengar sangat putus asa dan menangis tersedu-sedu. Ibunya benar-benar sedang memohon padanya sekarang. Tubuh Kyra terasa membengkak karena berendam air hangat. Air itu memasuki pembuluh darahnya dan menggerogotinya dengan cepat."
Deven mengeluarkannya dari bak mandi dengan wajah muram dan menggendongnya keluar. Anehnya, Kyra malah melihat kepanikan dan ketakutan dalam tatapan Deven. Kyra berpikir, 'Ternyata orang yang sudah mau meninggal memang bisa melihat halusinasi yang nggak realistis.'Setelah itu, Kyra kehilangan kesadaran sepenuhnya.Deven yang mengenakan setelan jas berwarna hitam, langsung menggendongnya hingga ke parkiran basemen. Saat menyadari bahwa ada yang aneh dengan tubuh Kyra, dia langsung mengulurkan jarinya untuk mengecek napas Kyra.Deven mengerutkan alisnya sekilas, lalu meletakkan Kyra ke kursi penumpang depan. Setelah itu, dia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Setiap kali bertemu dengan lampu merah, Deven memukul setirnya dengan kuat.Selanjutnya, Deven mencari rute yang lebih sedikit lampu lalu lintasnya dan menginjak pedal gas sekuat tenaga. Tangan Deven menggenggam setir dengan erat hingga urat-uratnya terlihat jelas. Wajahnya yang tampan kini terlihat sanga
Deven mengangkat pandangannya dan melirik sekilas papan nama dokter itu.[ Dokter Utama ]Setelah itu, Deven sekali lagi mengamati dokter tersebut. Tubuhnya tinggi dan kurus, wajahnya juga sangat tampan. Zaman sekarang, ada banyak wanita yang menyukai tipe pria seperti ini.Di saat bersamaan, dokter itu juga mengamati penampilan Deven. Dia mengenakan jas hitam dan kacamata berbingkai emas. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Bahkan tanpa berbicara sekalipun, aura Deven terasa sangat kuat. Jelas sekali, pria ini bukan orang biasa. Terlebih lagi, dia dan Kyra memang tampak cocok sebagai pasangan suami istri."Kamu seharusnya suami Kyra bukan?" tanya dokter itu sekali lagi."Bukan!" sergah Deven dengan ketus."Kalau begitu, kamu keluarganya?" Dokter itu tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Sebab, penyakit Kyra memang sudah sangat parah hingga tidak bisa diobati lagi. Dia merasa harus memberitahukan hal ini kepada pihak keluarga Kyra."Kamu suka padanya?" tanya Deven sambil tersenyum s
"Pak Deven bilang dia sibuk sekali, nggak bisa datang," jawab Maya dengan ekspresi yang kesulitan.'Jangan-jangan dia nggak transfer uang ke Ibu? Kalau begitu Ayah ....'Kyra melihat ke sekitarnya sejenak, lalu menyibak selimut dan bantalnya. Dia menyadari ada sesuatu yang hilang."Nona Kyra, apa yang sedang kamu cari?" tanya Maya setelah meletakkan sup ayamnya ke atas lemari di samping tempat tidur. Kemudian, dia melihatnya dengan kebingungan dan menimpali, "Coba beri tahu aku, biar kubantu untuk mencarinya.""Di mana ponselku? Di mana kalian menyembunyikan ponselku?" tanyanya."Ponselmu sudah dibawa pergi oleh Pak Deven," jawab Maya.Berani-beraninya Deven membawa pergi ponselnya? Pantas saja ibunya tidak bisa menghubunginya. Kyra mulai panik dan meraih tangan Maya sambil memohon, "Bi Maya, boleh pinjam ponselmu sebentar nggak? Aku ada urusan mendesak.""Nona Kyra, bukannya aku pelit nggak mau meminjamkanmu. Pak Deven sudah bilang, kalau mau terima gaji, aku harus menyerahkan ponselk
"Mana kutahu bagaimana kondisi ayahmu? Tanya saja pada ibumu." Deven tertawa sinis, dia sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan ini.Saking kesalnya, Kyra sampai tertawa getir. Kemudian, dia berusaha menahan amarahnya dan bertanya lagi, "Aku nggak bisa hubungi mereka karena kamu mengambil ponselku. Sebenarnya kamu ada transfer uangnya ke ibuku nggak?" Kyra ingin mencari petunjuk melalui ekspresi Deven.Sudah beberapa hari tidak ada kabar tentang ayahnya. Kyra harus tahu bagaimana nasib ayahnya saat ini. Apakah Deven mentransfer uang itu pada ayahnya atau tidak? Namun, ekspresi Deven yang datar itu membuatnya semakin gelisah."Kamu nggak transfer uangnya ya?" tanya Kyra dengan panik."Minum dulu sup ayam buatan Bi Maya." Deven mengangkat pandangannya yang dingin untuk menatap Kyra. Hati Kyra benar-benar tidak karuan lagi dibuat oleh Deven. Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah Deven benar-benar tidak mentransfer uangnya ke Mia? Kalau begitu, bukankah ayahnya sudah ...."Deven, cepat b