Share

4. Distrik Waringin

last update Last Updated: 2023-05-08 20:15:29

Srini dan Kembang turun dari kereta delman.

"Ini Paman, sesuai perjanjian awal. 1 koin perak." Srini memberikan 1 benda bulat yang ukurannya sebesar tutup botol tapi lebih tipis lagi. 

Tukang delman itu menerima dengan senang.

"Terimakasih."

Srini tersenyum. "Tidak, aku yang harusnya berterimakasih."

Saat Tukang delman memasukan koin itu ke dalam saku baju, Srini dan Kembang memperhatikan sesaat.

"Ah iya, Paman ... sebentar lagi akan petang. Apa kau akan kembali sekarang?"

"Iya, saya akan langsung pulang lagi ke Distrik Kates. Mungkin sampai sana akan malam, tetapi tidak terlalu malam juga."

"Baiklah, hati-hati di jalan ... semoga perjalanmu lancar sekali lagi terima kasih."

.

"Sama-sama, ya sudah ... saya pamit dulu." Srini mengangguk sembari tersenyum simpul. 

Tukang delman menaiki delmannya, lalu membuat kuda-kudanya berbalik arah dan mulai mencambuk pant4t kudanya. Kemudian melambaikan tangan pada Srini dan Kembang. 

Mereka pun mengangkat tangan, membalas lambaian sembari senyum.

"Orang yang ramah," celetuk Kembang, terus menatap ke arah perginya Tukang delman. Membuat Srini menoleh ke arahnya. 

Sadar sedang diperhatikan, Kembang grogi dan hal itu membuat Srini tertawa. 

"Benar, Paman itu sangat ramah dan baik, mau mengantarkan kita ke sini."

Srini menengadah, melihat langit yang perlahan akan petang. Perutnya tiba-tiba saja merasa lapar, ia pun melihat salah satu tukang jualan dan mengajak Kembang ke sana. 

"Nah ... Kembang, bagaimana sekarang kalau kita makan dulu. Aku pun sudah merasa lapar sejak tadi siang makan bersamamu."

Kembang mengangguk saja. 

"Ayo kita ke sana." 

Ada beberapa orang yang sedang makan di sana, tempat itu tidak besar, tetapi dilihat dari banyaknya orang yang makan di sana sepertinya makannya cukup enak. 

Kembang dan Srini duduk di sebrang kursi kayu panjang yang di sebrangnya lagi sudah ada ibu-ibu yang umurnya sekitar 37 tahun, bersama anak laki-laki seusia Kembang.

Sebelum duduk, Srini dan ibu anak itu tak sengaja bertemu tatap. Sehingga membuat Srini reflek tersenyum padanya, ibu anak itu juga membalas senyuman Srini. 

Pemilik tempat makan itu menghampiri Srini dan Kembang. "Berapa porsi, Dik? Lauknya mau pakai apa?"

"Ah, 2 porsi, lauknya ayam sama sayur gulai nangka saja," kata Srini.

"Minumnya?"

"Air teh tawar hangat saja."

"Baik." Laki-laki yang usianya sekitar 50 tahunan itu pergi setelah menerima pesanan Srini. 

Ibu-ibu dengan anak laki-laki di hadapan Srini tidak memesan. Nampaknya, mereka sudah memesan sebelum Srini dan Kembang tiba di sana hanya saja pesannya belum datang.

"Dari mana, Nduk?" tanya ibu-ibu itu pada Srini. Nduk adalah panggilan Jawa untuk anak perempuan.

"Saya dari rumah, Bu ...," jawab Kembang.

"Dari rumah? Memangnya di mana rumahmu?"

"Di Distrik Kates ...."

"Distrik Kates? Wah, di sana tempat terkenal karena banyaknya kebun Kates, ya?"

"Iya, benar ... Ibu tau Distrik itu? Apa pernah ke sana?"

"Dulu saya dan orang tua saya tinggal di sana, tapi setelah Ibu kami menikah dengan orang sini. Kami semua pindah ke sini, dan menetap di sini."

Di tengah perbincangan Srini dan Ibu itu, Kembang dan anak laki-laki yang duduk di depannya tak sengaja bertemu pandang. 

Anak dengan pipi, juga perutnya yang bulat itu terus saja menatap Kembang sejak ia dan Srini pertama kali duduk. 

Awalnya Kembang biasa saja, tapi matanya tiba-tiba melebar kala anak laki-laki itu mengedipkan mata dan tersenyum padanya. 

"Siapa namamu, Nduk? Kalau saya Ami, panggil saja Bu Ami. Ini anak saja, namanya Pandu, usinya baru 9 tahun."

"Nama saya Srini, ini anak saja Kembang. Usinya 10 tahun," jawab Srini. 

Untung saja Srini sempat menanyakan umur Kembang saat anak itu selesai mandi tadi, saat masih di rumahnya. 

"Berapa umurmu?" tanya Srini saat itu. 

"Aku tidak tahu," jawab Kembang sambil memakai baju. 

"Apa kau tahu, kau lahir tahun berapa?"

"Ayah pernah bilang aku lahir tahun 82."

Srini terdiam, ia mengerti maksud ayah Kembang pasti tahun 1982. Sekarang sudah tahun 1992.

Berarti benar usia Kembang adalah 10 tahun.

Pesanan mereka datang. Bu Ami dan anaknya memesan nasi dengan lauknya Ayam goreng dan Sayur sop. Srini tersenyum saat melihat lauk anak Bu Ami—Pandu, lebih banyak dari ibunya. 

2 ayam goreng, 1 potong gepuk sapi, dan sayur nangka kari. 

Sambil makan, Bu Ami yang sepertinya penasaran kembali mengajak Srini bicara. 

"Kalau boleh tau, memangnya kamu mau ke tempat siapa di sini sampai datang dari jauh? Apa ada sodara juga di sini?"

Walau tengah makan, Srini tidak keberatan menanggapi. Baginya itu lebih baik, daripada diam-diaman, karena mereka duduk berhadap-hadapan. Akan tidak nyaman jika semuanya diam. Dengan mengobrol seperti itu, membuat Srini dan Bu Ami tampak seperti sebuah keluarga yang sengaja makan bersama di tempat itu. 

"Iya, saya ke sini untuk menemui teman baik Ibu saya."

Bu Ami mengangguk, sambil menyuap makanannya. Mereka terus lanjut mengobrol saling bertanya dan menjawab tentang hal-hal lain. Seperti Srini yang bertanya Pandu sudah sekolah kelas berapa, apakah Pandu punya kakak atau adik. 

Kembang memakan makanannya dengan tenang, dia tidak memperhatikan ibu angkat berbicara apa saja. 

Tiba-tiba saat tenggorokannya sedikit serat, ia mengambil minum yang ada di depan piringnya. 

Kembang melihat ada beberapa tetesan air dari kuah gulai nangka di dekat piring Srini. 

Melihat Srini masih asik berbincang, Kembang secara inisiatif ingin mengelapnya. Dia mengulurkan tangan hendak mengambil lap yang disediakan di sana, hanya saja elap itu lebih dekat dengan piring Pandu. Walau tidak dekat sekali. 

Tangan Kembang tidak sampai, dia berniat akan berdiri lebih dulu tapi lagi-lagi Kembang di buat tercengang oleh Pandu. Anak gempal itu menggeser elap yang akan diambil oleh Kembang, mendekatkannya ke tangan gadis itu, seraya tersenyum aneh. Ditambah alis anak itu naik turun kala Kembang diam menatapnya.

Kembang mengambil elap tersebut secepat mungkin, ia mengelap tetesan kuah makanan di dekat piring Srini secara hati-hati sambil terus tidak memperdulikan Pandu. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   17. Secarik Surat Perkenalan

    Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   16. Antar Pulang

    Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   15. Teror Kampung

    Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   14. Makan Malam

    14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   13. Mancing ikan

    Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   12. Bantu masak

    12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status