Share

4. Distrik Waringin

Srini dan Kembang turun dari kereta delman.

"Ini Paman, sesuai perjanjian awal. 1 koin perak." Srini memberikan 1 benda bulat yang ukurannya sebesar tutup botol tapi lebih tipis lagi. 

Tukang delman itu menerima dengan senang.

"Terimakasih."

Srini tersenyum. "Tidak, aku yang harusnya berterimakasih."

Saat Tukang delman memasukan koin itu ke dalam saku baju, Srini dan Kembang memperhatikan sesaat.

"Ah iya, Paman ... sebentar lagi akan petang. Apa kau akan kembali sekarang?"

"Iya, saya akan langsung pulang lagi ke Distrik Kates. Mungkin sampai sana akan malam, tetapi tidak terlalu malam juga."

"Baiklah, hati-hati di jalan ... semoga perjalanmu lancar sekali lagi terima kasih."

.

"Sama-sama, ya sudah ... saya pamit dulu." Srini mengangguk sembari tersenyum simpul. 

Tukang delman menaiki delmannya, lalu membuat kuda-kudanya berbalik arah dan mulai mencambuk pant4t kudanya. Kemudian melambaikan tangan pada Srini dan Kembang. 

Mereka pun mengangkat tangan, membalas lambaian sembari senyum.

"Orang yang ramah," celetuk Kembang, terus menatap ke arah perginya Tukang delman. Membuat Srini menoleh ke arahnya. 

Sadar sedang diperhatikan, Kembang grogi dan hal itu membuat Srini tertawa. 

"Benar, Paman itu sangat ramah dan baik, mau mengantarkan kita ke sini."

Srini menengadah, melihat langit yang perlahan akan petang. Perutnya tiba-tiba saja merasa lapar, ia pun melihat salah satu tukang jualan dan mengajak Kembang ke sana. 

"Nah ... Kembang, bagaimana sekarang kalau kita makan dulu. Aku pun sudah merasa lapar sejak tadi siang makan bersamamu."

Kembang mengangguk saja. 

"Ayo kita ke sana." 

Ada beberapa orang yang sedang makan di sana, tempat itu tidak besar, tetapi dilihat dari banyaknya orang yang makan di sana sepertinya makannya cukup enak. 

Kembang dan Srini duduk di sebrang kursi kayu panjang yang di sebrangnya lagi sudah ada ibu-ibu yang umurnya sekitar 37 tahun, bersama anak laki-laki seusia Kembang.

Sebelum duduk, Srini dan ibu anak itu tak sengaja bertemu tatap. Sehingga membuat Srini reflek tersenyum padanya, ibu anak itu juga membalas senyuman Srini. 

Pemilik tempat makan itu menghampiri Srini dan Kembang. "Berapa porsi, Dik? Lauknya mau pakai apa?"

"Ah, 2 porsi, lauknya ayam sama sayur gulai nangka saja," kata Srini.

"Minumnya?"

"Air teh tawar hangat saja."

"Baik." Laki-laki yang usianya sekitar 50 tahunan itu pergi setelah menerima pesanan Srini. 

Ibu-ibu dengan anak laki-laki di hadapan Srini tidak memesan. Nampaknya, mereka sudah memesan sebelum Srini dan Kembang tiba di sana hanya saja pesannya belum datang.

"Dari mana, Nduk?" tanya ibu-ibu itu pada Srini. Nduk adalah panggilan Jawa untuk anak perempuan.

"Saya dari rumah, Bu ...," jawab Kembang.

"Dari rumah? Memangnya di mana rumahmu?"

"Di Distrik Kates ...."

"Distrik Kates? Wah, di sana tempat terkenal karena banyaknya kebun Kates, ya?"

"Iya, benar ... Ibu tau Distrik itu? Apa pernah ke sana?"

"Dulu saya dan orang tua saya tinggal di sana, tapi setelah Ibu kami menikah dengan orang sini. Kami semua pindah ke sini, dan menetap di sini."

Di tengah perbincangan Srini dan Ibu itu, Kembang dan anak laki-laki yang duduk di depannya tak sengaja bertemu pandang. 

Anak dengan pipi, juga perutnya yang bulat itu terus saja menatap Kembang sejak ia dan Srini pertama kali duduk. 

Awalnya Kembang biasa saja, tapi matanya tiba-tiba melebar kala anak laki-laki itu mengedipkan mata dan tersenyum padanya. 

"Siapa namamu, Nduk? Kalau saya Ami, panggil saja Bu Ami. Ini anak saja, namanya Pandu, usinya baru 9 tahun."

"Nama saya Srini, ini anak saja Kembang. Usinya 10 tahun," jawab Srini. 

Untung saja Srini sempat menanyakan umur Kembang saat anak itu selesai mandi tadi, saat masih di rumahnya. 

"Berapa umurmu?" tanya Srini saat itu. 

"Aku tidak tahu," jawab Kembang sambil memakai baju. 

"Apa kau tahu, kau lahir tahun berapa?"

"Ayah pernah bilang aku lahir tahun 82."

Srini terdiam, ia mengerti maksud ayah Kembang pasti tahun 1982. Sekarang sudah tahun 1992.

Berarti benar usia Kembang adalah 10 tahun.

Pesanan mereka datang. Bu Ami dan anaknya memesan nasi dengan lauknya Ayam goreng dan Sayur sop. Srini tersenyum saat melihat lauk anak Bu Ami—Pandu, lebih banyak dari ibunya. 

2 ayam goreng, 1 potong gepuk sapi, dan sayur nangka kari. 

Sambil makan, Bu Ami yang sepertinya penasaran kembali mengajak Srini bicara. 

"Kalau boleh tau, memangnya kamu mau ke tempat siapa di sini sampai datang dari jauh? Apa ada sodara juga di sini?"

Walau tengah makan, Srini tidak keberatan menanggapi. Baginya itu lebih baik, daripada diam-diaman, karena mereka duduk berhadap-hadapan. Akan tidak nyaman jika semuanya diam. Dengan mengobrol seperti itu, membuat Srini dan Bu Ami tampak seperti sebuah keluarga yang sengaja makan bersama di tempat itu. 

"Iya, saya ke sini untuk menemui teman baik Ibu saya."

Bu Ami mengangguk, sambil menyuap makanannya. Mereka terus lanjut mengobrol saling bertanya dan menjawab tentang hal-hal lain. Seperti Srini yang bertanya Pandu sudah sekolah kelas berapa, apakah Pandu punya kakak atau adik. 

Kembang memakan makanannya dengan tenang, dia tidak memperhatikan ibu angkat berbicara apa saja. 

Tiba-tiba saat tenggorokannya sedikit serat, ia mengambil minum yang ada di depan piringnya. 

Kembang melihat ada beberapa tetesan air dari kuah gulai nangka di dekat piring Srini. 

Melihat Srini masih asik berbincang, Kembang secara inisiatif ingin mengelapnya. Dia mengulurkan tangan hendak mengambil lap yang disediakan di sana, hanya saja elap itu lebih dekat dengan piring Pandu. Walau tidak dekat sekali. 

Tangan Kembang tidak sampai, dia berniat akan berdiri lebih dulu tapi lagi-lagi Kembang di buat tercengang oleh Pandu. Anak gempal itu menggeser elap yang akan diambil oleh Kembang, mendekatkannya ke tangan gadis itu, seraya tersenyum aneh. Ditambah alis anak itu naik turun kala Kembang diam menatapnya.

Kembang mengambil elap tersebut secepat mungkin, ia mengelap tetesan kuah makanan di dekat piring Srini secara hati-hati sambil terus tidak memperdulikan Pandu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status