Mereka selesai makan, Srini sudah membayar makannya dan keluar bersama Bu Ami juga Pandu.
"Ibu sendiri habis dari mana bawa pakaian banyak seperti itu?" tanya Srini melihat kantung besar bewarna merah, yang dibuntal seperti menggendong bayi.
Secuil kain terlihat menyembul keluar dari mulut kantung, membuat Srini mengetahui itu adalah pakaian.
"Ibu habis dari rumah Paman. Dia sakit sudah 2 minggu, jadi Ibu harus menjenguknya. Sempat menginap 4 hari di sana karena Paman ingin Ibu menginap."
"Ooh, kalau boleh tau ... Paman Ibu sakit apa?"
"Dia jatuh, tergelincir dari hutan saat mencari kayu."
"Aaah ... bagaimana kondisinya sekarang?"
"Kakinya kesleo, dia masih kesulitan berjalan, tetapi sudah jauh lebih baik."
"Sukurlah ...."
"Kau sudah tau, kan? Rumah teman Ibumu itu?"
Srini membuang napas berat. "Belum, saya harus mencarinya dulu. Mungkin malam ini saya akan mencari penginapan dulu."
"Menginaplah di rumahku kalau begitu," tawar Bu Ami.
Srini terkejut. "A-apa? Menginap di rumah Ibu?"
Kembang yang berdiri di samping Srini, langsung menoleh, menengadah cepat ke arah ibu angkatnya itu sedetik setelah ikut mendengar tawaran Bu Ami.
Gadis cilik itu mulai gelisah. Dia menggigit bagian dalam bawah bibirnya sedikit, sebenarnya Kembang kurang setuju. Kembang menurunkan pandangan, melihat Pandu yang berdiri di sisi Bu Ami, tepat dua langkah di hadapannya. Tengah sibuk memakan sepotong sayap goreng.
Sebelum keluar, Pandu ingin makan sayap goreng sambil pulang katanya. Bu Ami ibu yang sangat baik sekali, tidak tega menolak keinginan putranya.
"Ah ... tidak usah, saya tidak mau merepotkan Ibu ... saya cari penginapan saja."
"Suamiku pulang larut malam, apalagi malam ini dia kebagian jaga ronda. Pulangnya akan jam 4 dini hari. Daripada mencari penginapan, mahal, uangnya simpan saja."
Srini terdiam. Dia tengah memikirkannya.
Sementara itu, Kembang kembali melihat ke arah Srini untuk memastikan jawaban Srini adalah tidak.
"Besok akan aku bantu tanyakan pada suamiku, barangkali dia tau teman baik Ibumu." Bu Ami tersenyum, berharap Srini mau menerima tawarannya.
"Baiklah, kalau Ibu berkata begitu." Akhirnya Srini menerima tawaran menginap bu Ami.
Membuat wanita itu tersenyum senang, karena tidak akan sendirian di rumah.
Kembang mengembuskan napas berat. Raut wajahnya merengut dan lesu, karena itu tandanya dia akan bertemu lebih lama bersama Pandu.
Setuju tidak setuju, Kembang tidak ada keberanian.
'Aku mana berani mengatakan tidak setuju pada Ibu, setelah satu hari ini cukup banyak hal yang aku ketahui, bagiku sekarang bersamanya adalah anugerah,' batin Kembang, Srini sudah berhasil melekat di hatinya. Menatap lesu Pandu yang memanyunkan bibir, lalu mencebik singkat padanya. Ciuman jarak jauh.
"Ayo ayo," kata bu Ami, mengajak Srini ikut pulang. Srini tersenyum menanggapi, lalu mulai berjalan bersama.
Mereka berjalan kaki 10 menit dari tempat itu.
Kemudian, sampailah pada rumah bu Ami dan keluarganya.
"Ini rumah Ibu, ayo masuk ...." Srini mengangguk, tersenyum. Rumah yang dindingnya dari bata merah, lalu lantainya tanah.
"Silakan duduk dulu, saya buatkan minum," kata Bu Ami.
"Terimakasih, maaf kami merepotkan."
"Ah! Tidak, tidak merepotkan ... saya malah senang dalat tamu. Apalagi dari Distrik tempat saya lahir dulu," jawab bu Ami, tersenyum sambil meletakan barang-barang di atas ranjang kayu, alasnya dari bambu.
Bu Ami pergi ke belakang, lalu Pandu pergi ke salah satu ruangan yang Srini yakin itu pasti kamar.
Rumah bu Ami memang jauh berbeda dari rumah Srini di Distrik Kates.
Tetapi, rumah itu sangat rapi, bersih. Jadi, walau tidak terlalu lebar sangat nyaman rasanya berada di sana.
Pandu ke luar dari kamar, dia menghampiri Kembang dan Srini, bertepatan dengan Bu Ami yang membawa dua gelas teh manis hangat untuk mereka.
"Kembang." Bukan hanya pemilik nama saja yang menoleh, Srini dan Bu Ami pun menoleh pada Pandu sesaat setelah bocah itu memanggil Kembang.
"Ayo main," ajak Pandu.
Kembang terdiam, dia melihat ke arah Srini seakan melihat tanggapannya.
'Bu, tolong katakan sesuatu ...,' batinnya. Dia sangat berharap Srini akan berkata sesuatu yang membuat Kembang tidak usah repot-repot menerima ajakan Pandu.
"Kembang akan kau ajak main apa?" Bu Ami yang bertanya.
"Sesuatu yang sangat menyenangkan dan mengenyangkan perut," jawab Pandu.
"Biarlah Kembang istirahat dulu," ucap Bu Ami.
Kembang sedikit bernapas lega. Bu Ami mengerti.
Pandu ke luar rumah, entah dia ke mana.
Srini dan Bu Ami kembali berbincang, Bu Ami bercerita kalau dia sangat senang bisa bertemu Kembang.
"Ayo di minum," kata Bu Ami.
"Ah, Baiklah ... terimakasih sebelumnya."
"Ngomong-ngomong, aku sangat senang bisa bertemu denganmu ...," kata Bu Ami, duduk di sebrang bangku kayu di hadapan Srini.
"Benarkah? Saya juga sangat senang bisa bertemu dengan Bu Ami."
Bu Ami tertawa ringan. "Ya, aku sangat senang. Karena bisa bertemu orang dari Distrik kelahiranku. Seperti dikunjungi oleh sodara."
"Terimakasih sekali, aku sangat tersanjung ... apa sodara Ibu yang ada di sana tidak pernah berkunjung ke sini?"
"Kami sudah tidak ada sodara lagi di sana. Entah kebetulan atau apa, semua keluarga kami berjodoh dengan orang sini. Jadi, kami semua pindah ke sini ...."
Srini mengangguk paham.
Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin
Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa
Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu
14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan
Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug
12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat