Share

9. Boleh Ikut?

"Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. 

"Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. 

Bu latih tersenyum mendengarnya. 

"Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."

Srini tersenyum. 

Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. 

"Hanya aku saja," jawab Srini. 

"Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya."

"Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. 

"Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"

Srini terdiam, bukan ia tak mau menemani, hanya saja ayahnya. Ia takut ayahnya akan marah lagi. 

Meski begitu, Srini yang sejak awal tidak menceritakan alasannya ke sini karena lari dari perjodohan dan pertengkaran ayahnya, mengiyakan kata-kata bu Latih. 

"Tentu saja," jawab Srini. 

"Oh, ya Srini. Di mana suamimu? Kenapa yang ke sini hanya kau dan Kembang?" Bu Latih yang mengira, Kembang adalah anak kandung Srini pun mempertanyakan di mana suaminya.

Srini terdiam, kemudian menjawab.

"Aku belum menikah, Kembang adalah anak angkatku," jawabnya. Seusai jawaban itu, Srini berharap kalau bu Latih tidak akan mempertanyakan di mana Srini menemukan Kembang. Dia tidak mau memberi tahu orang lain, kalau Kembang dulunya adalah budak yang dijual belikan. 

Tanpa di duga, bu Latih tersenyum.

"Kau orang yang sangat baik," kata bu Latih.

Kembang pergi memancing dengan Pandu, dia duduk di sisi sungai bersama anak gempal itu. Memegangi kayu kecil dan panjang, menunggu umpan mereka di makan oleh ikan. 

Karena mereka tidak punya joran, Pandu pun membuat dengan cara yang sangat sederhana. Yaitu, menggunakan kayu. 

Sebetulnya, Kembang tidak berniat ikut memancing. Hanya saja, karena dia bosan di rumah bu Latih sendiri, dia memutuskan tidak ikut pada Srini yang akan melihat para pekerja membangun rumah baru mereka bersama bu Latih.

Tirta dan Hera, sudah pergi main sendiri-sendiri. 

Sebelumnya, pak Bejo melihat Kembang duduk di depan rumah sendirian. Ia pun menghampiri gadis cilik itu dan bertanya. "Kembang, kenapa kau masih di sini? Kenapa tidak ikut Ibumu?"

Gadis itu menoleh. "Ah, aku hanya sedang tidak ingin ikut saja, Pak."

Lalu, tiba-tiba anak gempal lewat jalan setapak yang tidak jauh dari rumah bu Latih. 

Anak itu membawa ember, dan membawa kayu kecil yang cukup panjang, sambil memakan paha ayam goreng. 

"Pandu?" gumamnya. 

"Kalau kau bosan di rumah, ikut main saja dengan Pandu. Sepertinya dia akan memancing," kata pak Bejo. 

Kembang pun tertarik, daripada dia diam di rumah tetapi enggan menyusul ibunya juga. Lebih baik, dia ikut Pandu saja. 

"Ah, benar ... kalau begitu, aku pergi dulu, ya," ucapnya, bangun menengadah melihat pak Bejo. 

Lelaki itu memegangi tangan di belakang tubuh, tersenyum. "Pergilah, jika Ibumu nanti pulang akan aku katakan kau pergi main dengan Pandu."

"Terimakasih, Pak!" Kembang tersenyum lebar, dan segera mencicing kain jarik yang melebihi lututnya, dan berlari mengejar Pandu. 

"Pandu!" Bocah itu berbalik, dan menoleh.

"Mau ke mana?" tanya Kembang. 

Pandu membuang tulang ayamnya ke sembarang arah, lalu menjawab."Mau mancing di sungai."

"Boleh aku ikut?" 

"Kau tidak sakit 'kan?" 

Kembang bingung. "Memangnya kenapa?"

"Tidak ada. Hanya saja, sudah 2 minggu kita tidak bertemu setelah kau pindah ke rumah Bibi Ati, dan setiap aku menemuimu untuk mengajak main, kau selalu tidak mau menemuiku ...."

Kembang terdiam, ia tergagap ingin berkata dan menyangkalnya, tetapi tidak ada kata yang pas untuk menjadi alasan. 

"A-aku bukan tidak mau menemuimu ... akhir-akhir ini, aku juga sibuk membantu Bu Os di dapur menyiapkan makan," Alasannya. 

Pandu diam saja. Dia tau Kembang berbohong, tetapi dia tidak mempermasalahkannya. 

"Ja-jadi, bagaimana ... aku boleh ikut?"

"Ayolah," jawab Pandu, dia berbalik dan berjalan duluan. 

Kembang diam-diam bersorak senang, mengatakan 'Yes!' tanpa suara lalu mengikuti Pandu. 

*

Saat sedang memancing, kail Kembang dimangsa lebih dulu oleh ikan. 

"Eh, kenapa punyaku goyang-goyang dan rasanya berat?" tanya Kembang, Pandu melirik. 

"Punyamu dapat itu!" Pandu segera berdiri dan mengambil alih kayu milik Kembang, menariknya, tampak ikan nila tergelepak di atas rumput karena mulutnya lepas dari kail. 

Secepatnya, Pandu mengambil ikan itu dan memasukannya ke dalam ember yang sudah diisi air seperempat oleh Pandu. 

"Waaaah ...." Kembang terkesan, ikan yang memakan kailnya sebesar dua telapak tangannya ketika dijejerkan. 

"Kau hebat," puji Pandu. 

Kembang tersenyum, dan tak lama kemudian kail milik Pandu juga mendapat ikan. 

7 tahun berlalu, secepat membalik halaman buku, dua bocah itu tumbuh dewasa. 

usia Kembang 17 tahun, dan Pandu 16 tahun. Pandu tidak lagi gempal seperti dulu, tubuhnya menjadi langsing. Sekarang dia menjadi salah satu jajaran anak laki-laki tampan di Distrik Waringin. 

Kembang menjadi gadis yang sangat cantik, rambutnya panjang lurus seperti dulu, kulitnya jauh lebih bersih dari saat dia kecil. 

"Kembaaaaaang! Lariiii!" Teriak Pandu. 

Kembang berlari di belakang Pandu, dan Pandu tertawa terbahak-bahak di tidak jauh dari Kembang. Mereka berdua dikejar 3 angsa. 

"Pandu! Tunggu!" teriak Kembang. 

"Cepaaat!" 

Pandu berhenti di bawah pohon, menunggu Kembang. Lalu setelah Kembang sampai, dia membantunya naik ke pohon jambu, setelahnya dia pun ikut naik. 

Di atas pohon jambu, mereka berdua tertawa renyah sambil ngos-ngosan. Menertawakan angsa yang tidak bisa naik, dan beberapa menit angsa-angsa itu pergi. 

Pandu melompat turun, lalu Kembang dia turun perlahan. 

"E-E-Eh! Pandu!" Kaki Kembang merosot dari dahan pohon. 

Bruk!

Reflek, Pandu menangkapnya. 

Di atas sanggaan tangan pandu, Kembang melebarkan matanya, kedua tangan Kembang merangkul leher Pandu. 

Sepasang mata saling bertatapan, lalu berhembus angin sempoi-sempoi yang menerbangkan rambut-rambut tipis milik Kembang. 

"Ekhem!"

Kembang dan Pandu tersadar, segera Pandu menurunkan Kembang saat ada bocah berumur 12 tahun yang memergoki mereka saling diam menatap tanpa kata. 

"Habis lari-larian dikejar soang, langsung mesra-mesraan, ya?" ucap bocah itu, menggoda. Mahesa, cucu almarhum pak De'eng yang rambutannya sering dipetik tanpa izin oleh Pandu, pun sudah tumbuh besar. 

"Mana ada!" Bantah Kembang, sedangkan Pandu terdiam karena merasakan detakan aneh yang begitu awet di dalam dada. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status