Suara Victoria memecah keheningan katedral. Dinding tinggi yang dipenuhi kaca patri memantulkan cahaya pagi, tapi suasananya berubah dingin, penuh bisikan. Setiap tamu menoleh, mata mereka bergeser dari pengantin pria ke wanita yang berani mengacaukan upacara sakral.
Emily berdiri kaku di samping Alex, jemarinya bergetar dalam genggaman tangannya. Gaun putih yang semula membuatnya anggun kini terasa seperti belenggu. Apa yang dia maksud? Apa rahasia yang Alex sembunyikan dariku? Victoria melangkah maju, gaun merah darahnya menyapu lantai marmer dengan suara mendesis. Senyumnya tipis, penuh ejekan. “Alex, kau pikir bisa berdiri di sini, berpura-pura suci, sementara aku—wanita yang pernah kau janjikan hidup bersama—kau buang begitu saja?” Bisikan tamu berubah menjadi riuh rendah. Beberapa bahkan berdiri, mencoba melihat lebih dekat. Emily menundukkan wajah, dadanya sesak. Alexander tidak goyah. Sorot matanya tetap dingin, rahangnya terkatup rapat. Ketika ia akhirnya membuka mulut, suaranya bergema keras, mengalahkan gemuruh bisikan. “Victoria, masa depan yang pernah kubicarakan denganmu… sudah lama mati.” Suara tawa tipis keluar dari bibir Victoria. “Mati? Atau kau takut aku mengungkap siapa sebenarnya kau di depan semua orang ini?” Emily menegang, pikirannya berputar. Siapa sebenarnya Alex? Pastor berusaha melanjutkan upacara, namun Alex mengangkat tangan, menghentikan semua gerakan. Ia menoleh pada Emily. Tatapan itu lembut—begitu kontras dengan ketegangan yang ada, hingga membuat Emily tercekat. “Kita pergi,” ucapnya singkat. Sebelum Emily bisa bertanya, Alex menarik tangannya, menuntun langkahnya melewati lorong panjang katedral. Para tamu terdiam, hanya suara tumit sepatu mereka yang bergema. Dari belakang, Victoria berteriak, “Kau pengecut, Alex!” tapi suaranya ditelan gaung katedral. Alex tidak menoleh. --- Limosin hitam meluncur cepat meninggalkan kota. Tirai kaca menutup sebagian pandangan ke luar, tapi cahaya keemasan matahari pagi tetap menembus, menyoroti wajah Emily yang pucat. Ia duduk di kursi belakang, tangannya meremas lipatan gaunnya. Jantungnya masih berdetak liar. Di sampingnya, Alex duduk dengan tenang, mata terarah lurus ke depan. Emily menoleh dengan suara bergetar. “Apa yang baru saja kau lakukan? Kita meninggalkan semua orang, Alex… meninggalkan upacara itu!” Alex tidak menjawab. Hanya suara mesin mobil dan detak jantung Emily yang terasa keras di telinganya. “Apakah kau takut?” Emily memberanikan diri lagi. “Takut rahasiamu terbongkar? Takut Victoria mengatakan sesuatu yang tidak bisa kau sangkal?” Akhirnya Alex menoleh. Tatapan itu begitu tajam, tapi bukan marah. Ada sesuatu yang lain—campuran kesabaran dan obsesi. “Aku tidak meninggalkan katedral karena takut,” ucapnya tenang. “Aku hanya tidak mau membuang waktuku untuk drama murahan.” Emily membeku, tersedak oleh jawabannya. Alex mendekat sedikit, suaranya lebih rendah, seperti racun manis. “Waktu itu berharga. Dan aku tidak akan menghabiskannya untuk siapa pun… kecuali pengantinku.” Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada kemarahan. Emily merasakan kulitnya panas, seolah sinar matahari menelanjangi seluruh pertahanannya. --- Mobil berhenti di sebuah pantai yang sepi. Ombak berkejaran, cahaya matahari memantul di atas air yang berkilau keemasan. Angin asin menerpa wajah, mengibaskan helaian rambut Emily. Alex turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuknya. Ia menunduk sedikit, menawarkan tangan. “Turunlah.” Emily menatap tangannya ragu, tapi akhirnya menerima. Sentuhan itu membuat tubuhnya seolah kehilangan bobot, dunia berhenti berputar sesaat. Mereka berjalan menyusuri pasir basah, gaun Emily terseret, meninggalkan jejak panjang di belakangnya. Suara deburan ombak menutupi keheningan yang mencekam di antara mereka. Emily menatap ke horizon, berusaha menata napas. “Kenapa kau membawa aku ke sini? Apa kau benar-benar kabur dari semua itu?” Alex menyelipkan kedua tangannya ke saku jas, berdiri di sampingnya. Matanya menatap lurus ke laut. “Aku tidak kabur. Aku memilih.” “Memilih apa?” Emily menoleh, suaranya meninggi. “Memilih lari dari tanggung jawab? Memilih meninggalkan orang-orang yang menunggu di sana?” Alex menoleh perlahan, tatapannya menusuk hingga membuat Emily mundur setengah langkah. “Aku memilih mempersingkat waktu yang tidak perlu… agar bisa kuhabiskan bersamamu. Hanya kau.” Emily menelan ludah. Hatinya berteriak menolak, tapi tubuhnya bergetar oleh intensitas kata-kata itu. Ia mencoba mengumpulkan keberanian. “Kalau begitu, buktikan. Buktikan kalau semua yang dikatakan Victoria tidak benar.” Senyum tipis muncul di bibir Alex. Senyum itu lebih menakutkan daripada amarah. “Aku tidak perlu membuktikan apa pun. Yang perlu kau tahu hanya satu…” Ia mendekat, jarak di antara mereka hampir hilang. “…kau milikku, Emily. Dan aku tidak akan pernah melepaskanmu.” Ombak menghantam karang dengan keras, seolah menegaskan kata-kata Alex. Emily berdiri kaku, terperangkap antara rasa takut, keraguan, dan sesuatu yang lebih berbahaya—perasaan bahwa mungkin, hanya mungkin, hatinya tak sepenuhnya ingin melarikan diri. Alex mendekat, tatapannya begitu kuat hingga Emily merasa seolah tak ada jalan keluar. “Kau milikku, Emily. Dan aku tidak akan pernah melepaskanmu.” Emily menggeleng cepat, mencoba menahan suara bergetar. “Aku bukan milikmu, Alex. Belum. Tidak ada janji yang mengikat kita.” Sekilas, mata Alex berkilat, seolah kata-kata Emily menyalakan bara di dalam dirinya. Namun bukannya marah, ia justru mendekat lebih rapat, napasnya terasa hangat di pelipis Emily. “Sejak kau menandatangani kontrak itu… kau sudah menjadi milikku,” katanya pelan, namun penuh tekanan. “Bahkan sebelum itu—bahkan sejak dulu—aku tahu kau diciptakan untukku. Untuk aku seorang.” Emily menelan ludah, dadanya naik turun tak beraturan. Tidak, aku tidak boleh larut. Ia merasakan sesuatu yang berbeda kali ini—sebuah keberanian kecil yang bangkit entah dari mana. “Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhku… tidak sampai ada janji yang benar-benar mengikat,” bisiknya tegas, meski tubuhnya masih bergetar. Hening sesaat. Lalu Alex tersenyum—senyum yang bukan sekadar ramah, tapi senyum seseorang yang sudah menduga jawabannya sejak awal. “Itulah yang kuharapkan darimu.” Ia lalu meraih jemari Emily dengan lembut, kontras dengan kata-katanya yang penuh obsesi. “Kalau itu yang kau mau, mari kita buat janji itu sekarang.” Emily menatapnya terkejut. “Sekarang?” “Sekarang.” Alex mengantar Emily masuk kembali ke mobil. Tanpa banyak bicara, mereka meluncur menyusuri jalan desa kecil. Cahaya matahari pagi menembus kaca jendela, memberi suasana tenang yang justru terasa janggal setelah semua ketegangan yang terjadi. Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah katedral tua di tepi desa. Bangunannya sederhana, jauh dari megahnya katedral kota, tapi suasana sakralnya terasa lebih dalam. Burung-burung beterbangan di menara lonceng, dan udara asin dari laut masih bisa mereka hirup. Alex turun, lalu membukakan pintu untuk Emily. “Ayo.” Emily ragu. “Kau benar-benar serius?” Alex menatapnya, kali ini tanpa senyum sinis, hanya sebuah keteguhan yang membuat Emily kembali goyah. “Aku selalu serius kalau menyangkut dirimu." Mereka melangkah masuk ke dalam katedral kecil itu. Di dalam, hanya ada beberapa lilin menyala dan seorang pendeta tua yang sedang berdoa. Ketika menyadari kehadiran mereka, pendeta itu mengangkat wajahnya, sedikit terkejut melihat dua anak muda dengan pakaian pernikahan yang tak lengkap dan wajah tegang. “Anak-anak, ada apa?” tanyanya hati-hati. Alex maju selangkah, ekspresi dingin di wajahnya berubah menjadi penuh keyakinan. Tangannya masih menggenggam jemari Emily dengan erat. “Kami pengantin,” katanya dengan suara dalam yang membuat ruangan bergema. “Kami kabur dari rumah karena cinta kami tidak mendapat restu. Tapi cinta sejati tidak bisa dihalangi oleh siapa pun. Hanya Tuhan yang berhak menjadi saksi.” Emily menoleh padanya dengan terkejut. Kata-kata Alex menusuk hatinya—ada kebenaran, ada kebohongan, bercampur menjadi satu racun yang manis. Pendeta itu mengerutkan kening, seolah ragu. Tapi tatapan Alex begitu mantap, penuh keyakinan tak tergoyahkan. Aura pria itu membuatnya sulit untuk menolak. Perlahan, pendeta mengangguk. “Jika kalian sungguh-sungguh, maka Tuhan akan menjadi saksi.” Emily merasa lututnya lemas. Kabur? Tidak direstui? Ia ingin menyanggah, ingin mengatakan pada pendeta bahwa semua ini hanya permainan dari kontrak gila yang ia tanda tangani. Tapi suaranya membeku di tenggorokannya. Alex menunduk ke telinganya, berbisik dengan nada rendah yang hanya bisa didengar Emily. “Biarkan dia percaya. Bukankah ini yang kau mau? Janji yang sesungguhnya?” Emily menggigit bibir, dadanya bergetar. Ia tidak bisa menolak, meski hatinya penuh dengan ketakutan. Alex kembali menatap pendeta, kini dengan senyum samar di bibirnya. “Tolong satukan kami. Cinta kami hanya bisa dilindungi oleh Tuhan.” Pendeta menghela napas panjang, lalu mulai mempersiapkan doa. Suasana di katedral kecil itu berubah sunyi, hanya ada gema suara burung dari luar dan detak jantung Emily yang bergema di telinganya sendiri. Alex meremas tangannya lebih erat, menoleh sekilas padanya. “Mulai saat ini, kau bukan hanya milikku karena kontrak, Emily. Kau akan menjadi milikku di mata Tuhan.” Emily menutup mata, merasakan campuran getir antara perlawanan dan ketundukan. “Kami ingin membuat janji. Sekarang.” Emily berdiri di sampingnya, jantungnya berdegup kencang. Perasaannya campur aduk—antara takut, bingung, dan anehnya… ada sedikit rasa aman yang merayap pelan. Saat pendeta mulai mempersiapkan doa, Alex menoleh padanya, menunduk cukup dekat hingga Emily bisa merasakan sentuhan rambutnya di pipinya. “Kau tidak akan pernah bisa kabur dariku, Emily. Tapi mulai saat ini… aku tidak hanya mengikatmu dengan kontrak. Aku akan mengikatmu dengan janji yang bahkan Tuhan pun mendengarnya.” Emily menutup mata, berusaha menahan air mata. Ia ingin melawan, tapi bagian kecil dari dirinya—bagian yang rapuh dan tersembunyi—merasa hangat oleh kata-kata itu.Suara Victoria memecah keheningan katedral. Dinding tinggi yang dipenuhi kaca patri memantulkan cahaya pagi, tapi suasananya berubah dingin, penuh bisikan. Setiap tamu menoleh, mata mereka bergeser dari pengantin pria ke wanita yang berani mengacaukan upacara sakral. Emily berdiri kaku di samping Alex, jemarinya bergetar dalam genggaman tangannya. Gaun putih yang semula membuatnya anggun kini terasa seperti belenggu. Apa yang dia maksud? Apa rahasia yang Alex sembunyikan dariku? Victoria melangkah maju, gaun merah darahnya menyapu lantai marmer dengan suara mendesis. Senyumnya tipis, penuh ejekan. “Alex, kau pikir bisa berdiri di sini, berpura-pura suci, sementara aku—wanita yang pernah kau janjikan hidup bersama—kau buang begitu saja?” Bisikan tamu berubah menjadi riuh rendah. Beberapa bahkan berdiri, mencoba melihat lebih dekat. Emily menundukkan wajah, dadanya sesak. Alexander tidak goyah. Sorot matanya tetap dingin, rahangnya terkatup rapat. Ketika ia akhirnya membuka mulut,
Matahari pagi menembus tirai kamar dengan cahaya keemasan yang menusuk mata. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuh seakan tak siap menghadapi kenyataan. Hari ini—hari pernikahannya dengan Alexander Blackwood.Ia bangkit perlahan, menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah pucat, mata sembab akibat tangis semalaman. “Aku terlihat… seperti tahanan,” gumamnya lirih, bibirnya bergetar.Victoria sempat datang menemuinya sewaktu lebih pagi, membawa gaun putih yang telah dipersiapkan keluarga Carter. “Kau harus terlihat sempurna, Emily. Dunia akan melihatmu berdiri di samping Alexander.” Kalimat itu masih terngiang di kepalanya, seperti perintah tanpa pilihan.Emily menyentuh gaun itu dengan jemari gemetar. Benang-benang renda seolah berubah menjadi rantai yang membelenggunya. Sekali lagi ia mencoba meyakinkan dirinya. Aku dan Alex… kami pernah dekat. Dia mengenalku lebih baik daripada siapa pun. Semua ini akan baik-baik saja.Namun pikirannya menolak. Hatinya menjerit. Ia tahu Alexa
Emily menatap wanita di depannya dengan ngeri. Nama itu—Victoria Hale—bergaung di kepalanya seperti gema yang tak berhenti. Mantan tunangan Alexander. Ia tak pernah mendengar Alexander menyebut nama itu. Tidak sekali pun dalam seluruh percakapan dingin mereka sejak kontrak pernikahan ditandatangani. Alexander seolah tak memiliki masa lalu, tak memiliki kehidupan sebelum kekuasaan dan obsesi. Dan kini, di depan matanya, masa lalu itu berdiri dengan senyum getir. Emily menelan ludah. “Kenapa… kenapa kau di sini?” suaranya serak, hampir berbisik. Victoria melangkah masuk tanpa diundang, gerakannya penuh percaya diri. “Karena kau berhak tahu siapa sebenarnya pria yang akan kau nikahi besok.” Kata-kata itu menusuk Emily. Ia menutup pintu dengan tangan gemetar, lalu menatap tamunya dengan tatapan penuh waspada. “Apa maksudmu?” Victoria duduk di kursi dekat jendela, menyilangkan kaki. Gerakannya elegan, tapi sorot matanya keras. “Alexander tidak pernah berubah. Dia hanya semakin pa
Ruang keluarga rumah Carter malam itu dipenuhi keheningan yang mencekik. Lampu gantung kristal berkilau lembut, tapi bagi Emily, cahaya itu terasa seperti sorot lampu interogasi yang menyilaukan matanya. Esok pagi, ia akan menjadi istri Alexander Blackwood. Dan setiap detik yang menghitung mundur ke sana adalah cambuk bagi jiwanya.“Aku tidak mengerti kenapa kalian harus memaksaku melakukannya,” suara Emily pecah, tangannya meremas gaun tidurnya. “Kenapa aku yang harus dikorbankan?”Ibunya, Margaret Carter, menegakkan bahunya. Wanita itu terlihat letih, tapi tetap keras. “Ini bukan tentang pengorbanan, Emily. Ini tentang menyelamatkan nama keluarga kita. Alexander memberi kita kesempatan kedua, dan kau akan menerimanya.”Kata-kata itu menusuk Emily lebih dalam daripada belati. Menyelamatkan nama keluarga. Menyelamatkan kehormatan Carter. Seolah dirinya hanya pion yang bisa digeser demi gengsi.Ayahnya hanya terdiam di kursi kulitnya, wajahnya tersembunyi di balik asap rokok yang perla
Ruang fitting butik itu terasa dingin, meski lampu-lampu kristal memancarkan cahaya hangat. Emily menatap bayangan dirinya di cermin besar—gaun pengantin putih melekat sempurna di tubuhnya, memantulkan sosok yang seharusnya tampak bahagia. Namun, matanya kosong.Gaun itu bukan simbol cinta. Ia hanya rantai.Pernikahannya dengan Alexander Blackwood akan berlangsung seminggu lagi. Seharusnya ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu seorang wanita, tapi Emily justru merasa terjebak. Ia tahu mengapa ia di sini: ayahnya, perusahaan keluarganya, dan kontrak yang ditawarkan Alexander. Semua demi menyelamatkan keluarga Emily yang hampir bangkrut.“Indah,” suara berat yang familiar terdengar di belakangnya.Emily terlonjak. Alexander berdiri di ambang pintu, jas hitamnya rapi, dasi longgar, aura dingin yang selalu membuat orang menunduk. Ia tidak mengetuk, tidak pernah memberi isyarat—selalu hadir seakan-akan ia pemilik segalanya. Termasuk dirinya.Emily memalingkan wajah. “Kau tidak seharusnya
"Jika kau menolak sentuhanku, kau tahu apa yang aku lakukan pada keluargamu, Emily." Emily membeku. Ia berhenti memberontak atas sentuhan tangan dingin yang kini berani menelusuri kulitnya. Napasnya tercekat, ketakutan menekan dadanya. Kata-kata pria itu menjeratnya, tak memberi celah untuk lari. "Pada akhirnya, kau tetap milikku, Emily." Suara rendah dan dalam yang mengklaim dirinya itu mengirimkan hawa dingin ke sekujur tubuh Emily. Ia masih tak menyangka, malam itu… Malam di tengah guyuran hujan deras di New York adalah awal dari penjara cinta yang kini ia rasakan. ---Hujan menuruni kaca jendela gedung pencakar langit Blackwood Corporation, mengalir seperti air mata yang tak pernah berhenti. New York malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggantung di dada Emily Carter.Ia berdiri di lobi, tubuhnya basah kuyup. Gaun hitam sederhana melekat pada kulit, sepatu haknya berdecit setiap kali ia melangkah. Namun rasa dingin itu tak ada ap