Home / Romansa / Penjara Cinta CEO Dingin / Bab 06: Hanya Tuhan Yang Bisa Bantu

Share

Bab 06: Hanya Tuhan Yang Bisa Bantu

Author: Bon Johnham
last update Last Updated: 2025-09-01 14:12:46

Suara lonceng katedral masih menggema di telinga Emily saat ia melangkah keluar, menggandeng lengan Alex yang berdiri menjulang di sampingnya. Hujan kelopak mawar putih berjatuhan dari tangan para tamu undangan yang berjejer di depan pintu besar katedral. Senyum mereka merekah, kamera-kamera berkilat, sorak sorai ucapan selamat terdengar ke segala penjuru.

Emily tersenyum tipis, kaku. Dalam hatinya, ia hanya ingin kabur. Gaun pengantin putih gading yang indah itu terasa seperti belenggu, setiap langkahnya seolah berat.

Alex, di sisi lain, tampak tenang, bahkan terlalu tenang. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi genggaman tangannya di lengan Emily terlalu erat—seakan mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah membiarkan Emily pergi.

Sebuah mobil limousine hitam sudah menunggu di depan katedral. Sopir membukakan pintu, dan para tamu masih menyoraki keduanya seperti pasangan bahagia. Emily melangkah masuk lebih dulu, diikuti Alex. Begitu pintu tertutup, sorak sorai di luar langsung meredup. Hanya tersisa keheningan tegang di dalam mobil.

Emily menatap keluar jendela, memandangi bangunan-bangunan kota yang berlari mundur. Ia bisa merasakan mata Alex yang tak pernah lepas darinya. Keheningan itu akhirnya pecah oleh suara rendah, bernada mengejek.

“Kau tegang?” Alex mencondongkan tubuh, matanya berkilat. “Kupikir kau bahkan tidak menginginkan pernikahan ini.”

Emily menoleh cepat, menatapnya dengan dingin. “Dan aku masih tidak menginginkannya.”

Alex hanya mendengus, senyum tipisnya menghilang. Tidak ada balasan lagi, hanya keheningan berat yang mengisi sisa perjalanan.

---

Hotel Blackwood berdiri megah di pusat kota, menjulang dengan kemewahan yang membuat para tamu terpesona. Ballroom besar di lantai dasar sudah dihias dengan ribuan bunga segar, lampu kristal raksasa menggantung di langit-langit, dan musik biola mengalun lembut.

Begitu pasangan pengantin memasuki ballroom, tepuk tangan dan sorak-sorai kembali terdengar. Semua mata tertuju pada mereka. Emily kembali mengenakan topeng senyuman, meski dadanya terasa sesak.

Jamuan makan malam berlangsung penuh formalitas. Para tamu berdatangan, mengucapkan selamat, memuji kecantikan Emily dan karisma Alex. Setiap kali itu terjadi, Alex selalu menggenggam tangan Emily lebih kencang, seolah ingin menunjukkan kepemilikan di hadapan dunia.

Di sela percakapan basa-basi dengan tamu, Alex kembali menunduk, berbisik di telinga Emily. “Sunggingkan senyum di wajahmu. Mereka semua menatap kita.”

Emily menoleh, bibirnya melengkung dengan getir. “Aku tidak tahu mana yang lebih palsu, senyumku… atau pernikahan ini.”

Ucapan itu menusuk. Alex terdiam, rahangnya mengeras. Ia menegakkan punggungnya, kembali menatap para tamu dengan ekspresi sempurna. Tapi genggamannya pada Emily makin erat, begitu kuat hingga membuat jemari Emily nyaris sakit.

Emily pura-pura tersenyum ke arah tetamu di meja seberang, meski hatinya bergetar. Ia bisa merasakan badai yang tertahan dalam diri Alex, badai yang suatu saat akan meledak.

Larut malam, resepsi akhirnya selesai. Para tamu mulai pamit satu per satu, lampu ballroom diredupkan. Emily merasa lega ketika akhirnya ia bisa keluar dari ruangan itu, meski tahu apa yang menunggunya setelah ini justru lebih menakutkan.

Mereka kembali naik lift khusus menuju lantai tertinggi hotel, menuju kamar suite pengantin. Pintu terbuka, menampilkan ruang mewah dengan dekorasi elegan, lampu temaram, dan aroma mawar yang samar memenuhi udara.

Emily berdiri di dekat jendela besar, memandangi city light kota yang berkilauan. Tangannya meremas kain gaun erat-erat, mencoba menenangkan debar jantungnya.

Suara langkah Alex terdengar mendekat. Ia sudah melepas jas hitamnya, menyisakan kemeja putih dengan lengan tergulung. Meski lelah, tatapannya justru semakin tajam.

“Kenapa diam?” suaranya rendah, mengandung sesuatu yang membuat bulu kuduk Emily meremang. “Seharusnya kau bersyukur. Kau sudah mendapatkan semua yang kau inginkan—pernikahan sempurna, pesta mewah, kehidupan mapan.”

Emily menoleh cepat, sorot matanya dingin. “Yang kau sebut sempurna hanyalah penjara yang kau bangun, Alex. Kau pikir aku menginginkan ini?”

Alex maju, jaraknya terlalu dekat. Tangannya terangkat, mencengkeram dagu Emily, memaksa wajahnya mendongak. “Kau pikir aku terbiasa ditolak?” desisnya. “Seumur hidupku, Emily, tak ada yang berani menolak apa pun yang kuinginkan. Kau satu-satunya pengecualian. Dan kau tahu apa akibatnya?”

Emily menepis tangannya kasar. “Apa? Kau menikahiku dengan paksaan? Itu balas dendammu?”

Alex menatapnya lama, lalu tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip ancaman. “Balas dendam? Tidak. Ini penebusan. Aku kehilangan terlalu banyak hanya karena sekali kau menolak aku. Aku tidak akan membiarkan itu sia-sia.”

Kata-kata itu membuat dada Emily bergetar. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi belum sempat bibirnya bergerak, Alex sudah meraih pinggangnya dan menarik tubuhnya ke dalam dekapan.

Bibir Alex menempel di bibirnya, keras dan penuh tuntutan. Emily menahan, menekan dadanya, tapi genggaman Alex begitu kuat. Ciuman itu panas, kasar, menyala dengan campuran amarah dan obsesi.

Emily meronta, memalingkan wajah, terengah. “Berhenti… aku bukan bonekamu.”

Alex menunduk, mencium sisi lehernya, membuat tubuh Emily bergetar. “Tidak, kau bukan boneka. Kau lebih dari itu. Kau milikku. Sepenuhnya.”

Emily terjebak di antara rasa takut dan sesuatu yang lebih gelap—kenangan masa lalu yang berbaur dengan lelaki di hadapannya sekarang. Ia benci mengakuinya, tapi tubuhnya masih mengingat Alex, meski pikirannya menolak.

Dan itulah penyiksaan sebenarnya.

Emily terduduk di tepi ranjang, jantungnya berdebar kacau. Gaun putih yang sejak siang membalut tubuhnya kini terasa semakin menyesakkan. Alexander berdiri di hadapannya, dasinya sudah terlepas, kemejanya terbuka beberapa kancing, memperlihatkan dada bidang yang naik-turun perlahan.

Suasana kamar hotel mewah itu seakan menutup mereka dari dunia luar. Lampu temaram menyorot wajah Alexander, menajamkan sorot matanya yang tak pernah bisa ia artikan: cinta, obsesi, atau sekadar hasrat kepemilikan.

Alexander menunduk, jemarinya menyentuh pundak Emily, lalu menelusuri tali tipis gaun pengantin itu. “Biarkan aku,” bisiknya.

Emily ingin berkata “tidak”, ingin menepis tangannya, tapi suara itu lenyap di tenggorokan. Jemari hangatnya sudah menyentuh kulit telanjang bahunya, membuat tubuhnya bergetar. Ia menggigit bibir, berusaha melawan, tapi justru sensasi itu yang membuatnya semakin hanyut.

“Alex…” suaranya lirih, nyaris seperti permohonan.

Alexander menunduk, mengecup pelan bahu putihnya. “Aku tidak akan berhenti malam ini. Benci aku, lawan aku, teriaklah. Aku tidak peduli. Tapi kau akan tahu seberapa dalam aku menginginkanmu.”

Tali gaunnya meluncur turun, diikuti sentuhan bibirnya di sepanjang bahu dan leher. Emily menegang, jemarinya mencengkeram seprai. Ada pertarungan dalam dirinya: otak yang memerintahkan untuk menolak, hati yang kacau, dan tubuh yang mulai menyerah pada setiap sentuhan.

Saat Alexander mendorongnya perlahan ke ranjang, Emily memejamkan mata. Napasnya terengah, gaunnya sudah separuh terbuka. Ia merasa telanjang meski kain masih menutupi sebagian tubuhnya. Tatapan Alexander menembus, seolah melucuti apapun yang dipandangnya.

Alexander menindihnya, satu tangan menyangga tubuhnya agar tidak menekan penuh, sementara tangan lainnya menelusuri sisi tubuh Emily dengan posesif. “Kau selalu membuatku gila sejak SMA,” bisiknya serak. “Aku tidak pernah berhenti menginginkanmu, bahkan ketika kau menolak cintaku dulu.”

Emily membuka mata, menatapnya dengan campuran marah dan gamang. “Dan sekarang kau memaksaku menebus penyesalanmu?”

Alexander menunduk, mencium bibirnya dengan keras, menelan semua protesnya. Emily melawan, tapi semakin ia menolak, semakin dalam ciuman itu menjeratnya. Sampai akhirnya pertahanannya runtuh, bibirnya membalas, panas dan kacau.

Ranjang berguncang pelan ketika Alexander menurunkan tubuhnya, menekan Emily dengan penuh tuntutan. Jemarinya menangkup wajah Emily, lalu turun ke pinggangnya, menarik gaun itu hingga terlepas lebih jauh. Emily terengah, mencoba menutupi dirinya dengan tangan, tapi Alexander menahannya, menatap dalam.

“Jangan sembunyi dari ku,” katanya dengan suara rendah, nyaris seperti perintah. “Aku ingin melihatmu… sepenuhnya.”

Emily merasa wajahnya panas, tapi ada bagian dari dirinya yang menyerah. Ia membiarkan kain itu jatuh, membiarkan Alexander menatapnya tanpa penghalang.

Mata pria itu berkilat, bukan hanya dengan nafsu, tapi dengan rasa lapar yang lebih berbahaya: keinginan untuk memiliki, untuk mengikat, untuk memastikan Emily tidak akan pernah pergi.

Ciuman mereka semakin liar, bergeser dari bibir ke leher, ke dada yang naik-turun cepat karena napas Emily yang kacau. Suara desah kecil lolos tanpa bisa ia tahan. Alexander tersenyum tipis mendengarnya, lalu berbisik di telinganya, “Tubuhmu jujur meski mulutmu berbohong.”

Emily ingin menyangkal, tapi saat Alexander bergerak lebih dekat, tubuh mereka saling menempel tanpa celah, yang keluar hanyalah erangan tertahan. Ia memejamkan mata, merasakan kehangatan, tekanan, dan gelombang listrik yang menjalar di seluruh tubuhnya.

Malam itu, kamar hotel dipenuhi desahan, ciuman, dan dentum jantung yang berpacu. Emily tidak tahu apakah itu cinta, benci, atau obsesi yang sedang mereka bagikan di ranjang itu—ia hanya tahu bahwa ia terbakar, dan Alexander adalah api yang tak bisa ia padamkan.

Ketika akhirnya mereka terkulai di ranjang, napas keduanya sama-sama berat. Alexander tetap mendekapnya erat, seolah takut Emily akan lenyap begitu saja jika ia melepas.

Emily membuka mata perlahan, menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk. Air mata kecil lolos dari sudut matanya, entah karena lelah, marah, atau karena sesuatu yang lebih lembut yang tak ingin ia akui.

Alexander menyadarinya, tapi alih-alih melepas, ia mencium pelipis Emily dengan lembut. “Kau tidak akan pernah bisa kabur dariku,” bisiknya penuh keyakinan.

Emily menggigit bibir, menahan jawabannya. Dalam hatinya, ia tahu satu hal: malam ini hanyalah awal dari perang panjang di antara mereka—perang antara kebencian yang ia pelihara dan rasa lain yang mulai tumbuh, perlahan tapi pasti, di balik setiap sentuhan Alexander.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 09: Rumah baru, ancaman baru.

    Pagi itu, kota terasa lebih lengang dari biasanya. Langit masih diselimuti kabut tipis saat Alexander menutup laptopnya. Jari-jarinya yang panjang menekan nomor Matthew di ponselnya, suara rendahnya terdengar tegas ketika koneksi tersambung.“Sudah siap?” tanya Alex singkat.“Sudah, Tuan. Semua perabotan sudah ditempatkan sesuai instruksi Anda. Petugas kebersihan dan keamanan juga sudah standby,” jawab Matthew dengan nada profesional.Alex mengangguk kecil, meski Matthew jelas tak bisa melihat. “Baik. Pastikan semuanya lengkap. Aku tidak ingin ada hal yang terlupakan.”Begitu menutup panggilan, ia menoleh ke arah Emily yang masih duduk di sofa, menatap jendela kamar hotel suite mereka dengan tatapan kosong. Perempuan itu terlihat begitu tenang, tapi Alex sudah hafal—di balik wajah datarnya, pikirannya pasti penuh riuh.“Kita pindah hari ini,” kata Alex tanpa basa-basi.Emily menoleh, sedikit mengernyit. “Pindah? Ke mana?”“Ke rumahku. Atau lebih tepatnya—rumah kita.”Emily terdiam. Ka

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 08: Bisikan kota

    Malam itu, jamuan makan malam resmi di ballroom hotel dipenuhi wajah-wajah elit. Para pebisnis, politisi, bahkan selebritas. Lampu kristal bergemerlap, musik klasik mengalun lembut. Namun di balik semua kemewahan, ada bisikan-bisikan menusuk. “Pernikahan ini terlalu cepat.” “Blackwood tidak pernah terlihat bersama perempuan sebelumnya—aneh, bukan?” “Mungkin hanya cara menutupi sesuatu.” Emily merasakan tatapan-tatapan itu, seperti jarum menusuk kulitnya. Ketika ia hendak mengambil segelas champagne, sebuah suara lirih terdengar di dekatnya. Seorang pria paruh baya, rival bisnis lama keluarga Blackwood, mendekat dengan senyum penuh sindiran. “Nyonya Blackwood, suatu kehormatan bertemu denganmu. Semoga permainan Alexander tidak melarutkan dirimu.” Emily menegang. Sebelum sempat menjawab, Alex muncul di sisinya, meraih pinggangnya dengan posesif. Tatapannya menusuk pria itu. “Permainan?” Alex mengulang kata itu dengan nada rendah yang mengancam. “Kalau aku bermain, maka satu-satu

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 07: Bayangan di balik janji

    Sinar matahari menembus tirai hotel, menyapu perlahan kamar suite tempat mereka menginap setelah resepsi semalam. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuhnya masih letih—bukan hanya karena pesta panjang, tapi juga karena malam intens yang ia lewati bersama Alex. Suara napas tenang terdengar di sebelahnya. Alexander terbaring di samping, dada bidangnya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Emily terdiam sejenak, menatapnya lama. Tangannya, hampir tanpa sadar, terulur. Jemarinya menyentuh perlahan garis rahang yang dulu sangat ia kenal—wajah yang dulu penuh tawa hangat saat masih di SMA. Kenangan itu menyeruak begitu saja: Alex remaja, tersenyum cerah, bercanda bahwa suatu hari ia akan menikahi Emily. Dulu, Emily hanya menertawakannya, menganggap itu omong kosong. Sekarang… mereka benar-benar menikah. Tapi bukan dengan cara yang ia bayangkan. Air mata tipis nyaris muncul di sudut matanya. “Alex… kau benar-benar menepati janjimu,” bisiknya lirih, nya

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 06: Hanya Tuhan Yang Bisa Bantu

    Suara lonceng katedral masih menggema di telinga Emily saat ia melangkah keluar, menggandeng lengan Alex yang berdiri menjulang di sampingnya. Hujan kelopak mawar putih berjatuhan dari tangan para tamu undangan yang berjejer di depan pintu besar katedral. Senyum mereka merekah, kamera-kamera berkilat, sorak sorai ucapan selamat terdengar ke segala penjuru. Emily tersenyum tipis, kaku. Dalam hatinya, ia hanya ingin kabur. Gaun pengantin putih gading yang indah itu terasa seperti belenggu, setiap langkahnya seolah berat. Alex, di sisi lain, tampak tenang, bahkan terlalu tenang. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi genggaman tangannya di lengan Emily terlalu erat—seakan mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah membiarkan Emily pergi. Sebuah mobil limousine hitam sudah menunggu di depan katedral. Sopir membukakan pintu, dan para tamu masih menyoraki keduanya seperti pasangan bahagia. Emily melangkah masuk lebih dulu, diikuti Alex. Begitu pintu tertutup, sorak sorai di luar langsung mere

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 05: Janji-Janji yang terucap

    Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota yang mulai dipenuhi hiruk pikuk pagi. Dari luar, kendaraan itu tampak gagah, berkilau seperti simbol kemenangan. Namun di dalamnya, suasana jauh berbeda. Emily duduk kaku di kursi belakang, tangannya mencengkeram erat buket mawar putih hingga batangnya nyaris patah. Jantungnya berdegup tak beraturan, seolah tubuhnya tahu bahwa ia sedang digiring menuju takdir yang tidak ia pilih. Nafasnya berat, tertahan di tenggorokan, dan setiap kali ia mencoba menarik udara, rasanya seperti ada batu yang menekan dadanya. Di sampingnya, Alexander duduk tegap dengan sikap santai, seolah ini hanyalah perjalanan singkat menuju sebuah acara rutin. Jas hitamnya jatuh sempurna di tubuh tegapnya, wajahnya dingin tapi penuh kepastian. Seakan seluruh dunia sudah ia atur untuk tunduk pada kehendaknya. Senyum tipis muncul di bibir pria itu saat matanya melirik sekilas ke arah Emily. “Kau terlihat tegang,” ucapnya datar, hampir terdengar seperti

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 04: Bayangan Masa Lalu

    Cermin besar di ruang rias memantulkan sosok seorang pengantin wanita dengan gaun putih sempurna. Namun, senyum bahagia yang seharusnya ada di wajah itu tidak pernah muncul. Emily menatap dirinya lama, seakan menunggu bayangan lain yang lebih jujur keluar dari balik pantulan. Yang terlihat hanyalah sepasang mata lelah, bibir yang dipaksa tersenyum, dan bahu yang tegang menahan beban. Hari ini seharusnya hari terindah dalam hidup seorang wanita. Tapi bagi Emily, ini hari yang terasa seperti vonis. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus kuat. Demi Papa, demi Mama, demi perusahaan. Aku bisa melakukannya. Kata-kata itu ia ulangi berkali-kali di kepalanya, meski hatinya terus berontak. Tangannya menyentuh permukaan dingin meja rias, mencari pegangan. Dan tiba-tiba, bayangan masa lalu menyeruak begitu saja—kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. SMA. Hari-hari ketika dunia terasa lebih sederhana. Ketika Alex bukan “Alexander Blackwood sang CEO dingin”, tapi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status