Pagi itu, kota terasa lebih lengang dari biasanya. Langit masih diselimuti kabut tipis saat Alexander menutup laptopnya. Jari-jarinya yang panjang menekan nomor Matthew di ponselnya, suara rendahnya terdengar tegas ketika koneksi tersambung.
“Sudah siap?” tanya Alex singkat. “Sudah, Tuan. Semua perabotan sudah ditempatkan sesuai instruksi Anda. Petugas kebersihan dan keamanan juga sudah standby,” jawab Matthew dengan nada profesional. Alex mengangguk kecil, meski Matthew jelas tak bisa melihat. “Baik. Pastikan semuanya lengkap. Aku tidak ingin ada hal yang terlupakan.” Begitu menutup panggilan, ia menoleh ke arah Emily yang masih duduk di sofa, menatap jendela kamar hotel suite mereka dengan tatapan kosong. Perempuan itu terlihat begitu tenang, tapi Alex sudah hafal—di balik wajah datarnya, pikirannya pasti penuh riuh. “Kita pindah hari ini,” kata Alex tanpa basa-basi. Emily menoleh, sedikit mengernyit. “Pindah? Ke mana?” “Ke rumahku. Atau lebih tepatnya—rumah kita.” Emily terdiam. Kata rumah kita terasa aneh di telinganya. Selama ini, mereka berdua memang tinggal di hotel mewah, ruang netral yang tidak benar-benar jadi milik siapa pun. Kini, pindah ke rumah Alex terdengar seperti babak baru yang lebih serius… dan lebih mengekang. Sore itu, mobil hitam mewah membawa mereka melewati jalanan kota yang ramai, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besi berornamen klasik. Di baliknya berdiri rumah megah bergaya modern-Eropa dengan dinding putih krem dan jendela-jendela tinggi. Begitu mobil memasuki halaman, Emily langsung bisa mencium aroma segar rumput yang baru dipangkas. Taman depan dipenuhi bunga mawar merah yang ditata rapi, sementara air mancur kecil di tengah halaman memantulkan cahaya senja yang oranye keemasan. Emily melangkah keluar, tumit sepatunya menjejak lantai marmer halaman. Udara sore itu lembut, angin semilir membawa aroma melati samar. Ia menatap bangunan besar itu, perasaan campur aduk menguasai dadanya. “Bagaimana?” suara Alex terdengar di sampingnya. Emily tidak segera menjawab. Rumah itu memang indah, terlalu indah malah—tapi justru terasa asing. Seperti istana yang megah tapi dingin, jauh dari kata rumah yang terkesan hangat. “Besar,” jawabnya akhirnya, singkat. Alex hanya tersenyum samar, lalu menggiringnya masuk. Begitu pintu kayu besar itu dibuka, Emily seolah masuk ke dunia lain. Ruang tamu berlantai marmer putih, dengan chandelier kristal besar menggantung di langit-langit tinggi. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan abstrak, sofa abu-abu elegan tersusun simetris di tengah ruangan, dan aroma kayu manis samar dari lilin aromaterapi langsung menyeruak. Emily berjalan pelan, jemarinya menyentuh meja kaca bening yang dingin. Semuanya begitu sempurna, rapi, tidak ada celah. Ia bisa membayangkan berapa banyak uang yang Alex habiskan untuk menyiapkan semua ini. “Kau suka?” tanya Alex lagi. Emily mengangkat bahu. “Terlalu mewah. Aku… tidak terbiasa.” Alex menatapnya, tapi kali ini ia tidak berkomentar. Hanya berjalan lebih dulu, menuntunnya melewati ruang makan yang dipenuhi kursi panjang bergaya klasik, lalu menuju dapur modern dengan peralatan serba stainless steel. “Matthew sudah mengatur semuanya. Kalau kau butuh sesuatu, staf akan langsung menanganinya,” jelas Alex seolah sedang berbicara soal bisnis, bukan rumah tangga. Emily terdiam, hatinya terasa semakin jauh. Malam menjelang. Setelah makan malam singkat—yang lebih terasa seperti perjamuan di pemakaman ketimbang makan malam antar keluarga—Emily berjalan menyusuri lorong lantai dua. Lampu gantung kecil berkilau hangat, tapi entah kenapa tetap meninggalkan kesan dingin. Kamar mereka ada di ujung lorong. Begitu masuk, Emily menemukan ruangan luas dengan ranjang king-size berkanopi putih, lemari besar, dan balkon kaca yang menghadap ke kolam renang di halaman belakang. Ia duduk di tepi ranjang, menatap bayangan dirinya di cermin besar di seberang. Dalam refleksi itu, ia melihat perempuan muda dengan mata lelah—seorang istri kontrak yang bahkan tak yakin siapa dirinya di rumah megah ini. Alex masuk tak lama kemudian, masih mengenakan kemeja yang bagian atasnya terbuka. Ia meletakkan jasnya di kursi, lalu menyalakan lampu tidur. “Kau terlihat letih,” katanya pelan. Emily tidak menjawab. Ia hanya menarik selimut, berpura-pura sibuk mengatur posisi tidur. Alex berdiri sejenak, menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya—campuran antara rasa ingin melindungi dan obsesi gelap—yang membuat Emily merasa dadanya sesak. Tanpa berkata apa-apa lagi, Alex akhirnya berbaring di sisi ranjang. Tengah malam, Emily terbangun. Hening. Hanya suara detik jam yang terdengar. Ia bangkit pelan, berjalan ke balkon, lalu membuka pintu kaca. Angin malam menyambutnya, sejuk tapi menusuk. Dari atas balkon, ia bisa melihat kolam renang yang berkilau diterpa cahaya lampu taman. Pohon-pohon palem bergoyang pelan diterpa angin. Suasana begitu indah, tapi hatinya justru terasa kosong. Emily menggenggam railing balkon erat-erat. “Apa aku benar-benar hanya pion…?” gumamnya pada diri sendiri. Seketika, suara getaran ponsel terdengar dari meja kecil di kamar. Emily berbalik, melangkah masuk dengan dahi berkerut. Ponselnya kembali berdering! Layar menyala. Sebuah pesan masuk. Emily menelan ludah saat membaca tulisan singkat yang muncul: “Kau tidak mengenalnya seperti aku. Hati-hati, Emily.” Jantungnya berdetak kencang. Ia menatap ponsel itu lama, rasa takut dan penasaran bercampur jadi satu. Siapa pengirim pesan itu? Dan apa maksudnya? Emily menoleh pada Alex yang masih tidur lelap di ranjang, wajahnya terlihat begitu tenang. Sementara dirinya, untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu, benar-benar merasakan ancaman nyata. Emily menatap layar ponsel itu lama, napasnya tercekat. Kata-kata asing itu terus berulang di kepalanya: “Kau tidak mengenalnya seperti aku. Hati-hati, Emily.” Tangan Emily refleks meletakkan kembali ponselnya, ia menarik napas dalam-dalam berusaha mengatur ketegangan yang mengalir dalam darahnya. Namun, jantungnya masih berdegup liar saat ia merayap kembali ke ranjang. Ia berbaring di samping Alex, tubuhnya kaku, seakan setiap gerakan bisa memicu badai. Lelaki itu masih terlelap, wajahnya tenang, tapi justru ketenangan itu yang membuat Emily merinding. “Siapa yang mengirimi pesan itu?” batinnya. “Dan kenapa memperingatkanku?” Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme baru. Emily mulai terbiasa dengan rumah itu, meski masih terasa asing. Pagi hari ia sering turun ke dapur, menyeduh teh chamomile sendiri—hal kecil yang membuatnya merasa masih punya kendali atas hidupnya. Staf rumah selalu menawarkan bantuan, tapi Emily menolak dengan sopan. Alex, di sisi lain, sibuk dengan pekerjaannya. Ruang kerjanya di lantai satu selalu tertutup, hanya sesekali ia keluar untuk makan siang bersama Emily. Yang membuat Emily heran, Alex tidak lagi menunjukkan sikap posesif seperti di awal. Ia tak selalu menuntut kebersamaan, tapi justru jarak itu yang membuat Emily semakin bingung. Suatu sore, Emily duduk di teras belakang, menatap kolam renang yang berkilau diterpa sinar matahari yang mulai condong. Ia mengenakan gaun santai berwarna krem, rambutnya diikat sederhana. Alex datang, tanpa jas kali ini, hanya kemeja putih dengan lengan digulung. Ia membawa dua gelas wine. “Kau terlihat betah di sini,” katanya, duduk di kursi sampingnya. Emily menoleh sebentar, lalu mengalihkan pandangan. “Rumah ini… terlalu besar untuk dua orang.” Alex tersenyum tipis. “Justru itu. Dengan begini, tidak ada tempat bagi orang lain. Hanya kau dan aku.” Emily terdiam. Kata-kata itu terdengar seperti janji, tapi sekaligus seperti ancaman halus. Waktu bergulir. Pada malam-malam tertentu, Emily mendapati dirinya berjalan di sepanjang lorong rumah, memperhatikan setiap detail: bingkai foto kosong di rak, kamar-kamar tamu yang tidak terpakai, dan balkon-balkon yang menghadap taman. Semuanya rapi, sempurna, tapi terasa seperti panggung teater—indah, tapi hampa jiwa. Di sisi lain, ada momen-momen kecil yang mengejutkan Emily. Seperti saat suatu pagi hujan deras mengguyur, dan listrik sempat padam beberapa menit. Emily yang sedang menyalakan lilin terkejut saat Alex tiba-tiba muncul di belakangnya, meraih korek dari tangannya, dan dengan tenang menyalakan lilin di meja makan. “Tenang. Kau tidak sendiri,” ucapnya singkat. Hanya itu. Tidak ada gestur berlebihan, tapi cukup membuat dada Emily bergetar. Lelaki ini—yang dulu begitu keras kepala dan kini lebih dingin—kadang masih menunjukkan sisi yang ia kenal dulu. Emily benci mengakuinya, tapi momen-momen itu membuat pertahanannya sedikit rapuh. Malam ketiga sejak mereka tinggal di rumah, Emily kembali menemukan sesuatu yang mengusik. Saat ia sedang membaca buku di kamar, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal mengirim pesan: “Bagaimana rasanya tinggal bersama pembunuh?.” Emily langsung menegakkan badan, jari-jarinya gemetar. Ia menoleh ke arah Alex yang sedang di balkon, sibuk menelpon seseorang dengan nada rendah. Lelaki itu tidak menyadari apapun. Pesan kedua segera menyusul: “Jangan percaya semua yang kau lihat. Kau tidak tahu permainan siapa yang sedang kau jalani.” Darah Emily seakan membeku. Ia berdiri perlahan, melangkah ke balkon untuk menghirup udara malam. Langit bertabur bintang, angin lembut berhembus, tapi hatinya penuh badai. Alex menutup teleponnya, lalu menoleh padanya. Tatapan matanya tajam, seolah menembus pikiran Emily. “Ada apa?” tanyanya datar. Emily tersentak kecil. “Tidak… tidak ada.” Alex mendekat, jarak mereka hanya tinggal sejengkal. “Kau tampak gelisah.” Emily buru-buru tersenyum tipis, meski hatinya berdegup kencang. “Aku hanya… belum terbiasa dengan rumah ini.” Alex menatapnya lama, seolah mencari sesuatu di balik wajahnya. Lalu, tiba-tiba ia menunduk, menyentuh pipinya lembut. “Kau akan terbiasa,” ucapnya lirih. “Dan pada akhirnya, kau akan sadar… tidak ada tempat lain yang bisa kau sebut rumah, selain bersamaku.” Emily mematung. Kata-kata itu bisa dianggap romantis, tapi di telinganya terdengar seperti kunci yang mengunci erat kurungan emas ini. Malam itu, ketika Alex akhirnya terlelap, Emily kembali menatap ponselnya. Pesan-pesan misterius itu masih tersimpan. Ia ingin menghapusnya, tapi sesuatu dalam dirinya berkata: jangan. Itu mungkin satu-satunya petunjuk bahwa ia tidak sendirian menghadapi permainan ini. Ia menatap langit-langit kamar gelap, matanya terbuka lebar. Jika pesan itu benar… berarti ada seseorang di luar sana yang tahu rahasia Alex.Pagi itu, kota terasa lebih lengang dari biasanya. Langit masih diselimuti kabut tipis saat Alexander menutup laptopnya. Jari-jarinya yang panjang menekan nomor Matthew di ponselnya, suara rendahnya terdengar tegas ketika koneksi tersambung.“Sudah siap?” tanya Alex singkat.“Sudah, Tuan. Semua perabotan sudah ditempatkan sesuai instruksi Anda. Petugas kebersihan dan keamanan juga sudah standby,” jawab Matthew dengan nada profesional.Alex mengangguk kecil, meski Matthew jelas tak bisa melihat. “Baik. Pastikan semuanya lengkap. Aku tidak ingin ada hal yang terlupakan.”Begitu menutup panggilan, ia menoleh ke arah Emily yang masih duduk di sofa, menatap jendela kamar hotel suite mereka dengan tatapan kosong. Perempuan itu terlihat begitu tenang, tapi Alex sudah hafal—di balik wajah datarnya, pikirannya pasti penuh riuh.“Kita pindah hari ini,” kata Alex tanpa basa-basi.Emily menoleh, sedikit mengernyit. “Pindah? Ke mana?”“Ke rumahku. Atau lebih tepatnya—rumah kita.”Emily terdiam. Ka
Malam itu, jamuan makan malam resmi di ballroom hotel dipenuhi wajah-wajah elit. Para pebisnis, politisi, bahkan selebritas. Lampu kristal bergemerlap, musik klasik mengalun lembut. Namun di balik semua kemewahan, ada bisikan-bisikan menusuk. “Pernikahan ini terlalu cepat.” “Blackwood tidak pernah terlihat bersama perempuan sebelumnya—aneh, bukan?” “Mungkin hanya cara menutupi sesuatu.” Emily merasakan tatapan-tatapan itu, seperti jarum menusuk kulitnya. Ketika ia hendak mengambil segelas champagne, sebuah suara lirih terdengar di dekatnya. Seorang pria paruh baya, rival bisnis lama keluarga Blackwood, mendekat dengan senyum penuh sindiran. “Nyonya Blackwood, suatu kehormatan bertemu denganmu. Semoga permainan Alexander tidak melarutkan dirimu.” Emily menegang. Sebelum sempat menjawab, Alex muncul di sisinya, meraih pinggangnya dengan posesif. Tatapannya menusuk pria itu. “Permainan?” Alex mengulang kata itu dengan nada rendah yang mengancam. “Kalau aku bermain, maka satu-satu
Sinar matahari menembus tirai hotel, menyapu perlahan kamar suite tempat mereka menginap setelah resepsi semalam. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuhnya masih letih—bukan hanya karena pesta panjang, tapi juga karena malam intens yang ia lewati bersama Alex. Suara napas tenang terdengar di sebelahnya. Alexander terbaring di samping, dada bidangnya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Emily terdiam sejenak, menatapnya lama. Tangannya, hampir tanpa sadar, terulur. Jemarinya menyentuh perlahan garis rahang yang dulu sangat ia kenal—wajah yang dulu penuh tawa hangat saat masih di SMA. Kenangan itu menyeruak begitu saja: Alex remaja, tersenyum cerah, bercanda bahwa suatu hari ia akan menikahi Emily. Dulu, Emily hanya menertawakannya, menganggap itu omong kosong. Sekarang… mereka benar-benar menikah. Tapi bukan dengan cara yang ia bayangkan. Air mata tipis nyaris muncul di sudut matanya. “Alex… kau benar-benar menepati janjimu,” bisiknya lirih, nya
Suara lonceng katedral masih menggema di telinga Emily saat ia melangkah keluar, menggandeng lengan Alex yang berdiri menjulang di sampingnya. Hujan kelopak mawar putih berjatuhan dari tangan para tamu undangan yang berjejer di depan pintu besar katedral. Senyum mereka merekah, kamera-kamera berkilat, sorak sorai ucapan selamat terdengar ke segala penjuru. Emily tersenyum tipis, kaku. Dalam hatinya, ia hanya ingin kabur. Gaun pengantin putih gading yang indah itu terasa seperti belenggu, setiap langkahnya seolah berat. Alex, di sisi lain, tampak tenang, bahkan terlalu tenang. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi genggaman tangannya di lengan Emily terlalu erat—seakan mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah membiarkan Emily pergi. Sebuah mobil limousine hitam sudah menunggu di depan katedral. Sopir membukakan pintu, dan para tamu masih menyoraki keduanya seperti pasangan bahagia. Emily melangkah masuk lebih dulu, diikuti Alex. Begitu pintu tertutup, sorak sorai di luar langsung mere
Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota yang mulai dipenuhi hiruk pikuk pagi. Dari luar, kendaraan itu tampak gagah, berkilau seperti simbol kemenangan. Namun di dalamnya, suasana jauh berbeda. Emily duduk kaku di kursi belakang, tangannya mencengkeram erat buket mawar putih hingga batangnya nyaris patah. Jantungnya berdegup tak beraturan, seolah tubuhnya tahu bahwa ia sedang digiring menuju takdir yang tidak ia pilih. Nafasnya berat, tertahan di tenggorokan, dan setiap kali ia mencoba menarik udara, rasanya seperti ada batu yang menekan dadanya. Di sampingnya, Alexander duduk tegap dengan sikap santai, seolah ini hanyalah perjalanan singkat menuju sebuah acara rutin. Jas hitamnya jatuh sempurna di tubuh tegapnya, wajahnya dingin tapi penuh kepastian. Seakan seluruh dunia sudah ia atur untuk tunduk pada kehendaknya. Senyum tipis muncul di bibir pria itu saat matanya melirik sekilas ke arah Emily. “Kau terlihat tegang,” ucapnya datar, hampir terdengar seperti
Cermin besar di ruang rias memantulkan sosok seorang pengantin wanita dengan gaun putih sempurna. Namun, senyum bahagia yang seharusnya ada di wajah itu tidak pernah muncul. Emily menatap dirinya lama, seakan menunggu bayangan lain yang lebih jujur keluar dari balik pantulan. Yang terlihat hanyalah sepasang mata lelah, bibir yang dipaksa tersenyum, dan bahu yang tegang menahan beban. Hari ini seharusnya hari terindah dalam hidup seorang wanita. Tapi bagi Emily, ini hari yang terasa seperti vonis. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus kuat. Demi Papa, demi Mama, demi perusahaan. Aku bisa melakukannya. Kata-kata itu ia ulangi berkali-kali di kepalanya, meski hatinya terus berontak. Tangannya menyentuh permukaan dingin meja rias, mencari pegangan. Dan tiba-tiba, bayangan masa lalu menyeruak begitu saja—kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. SMA. Hari-hari ketika dunia terasa lebih sederhana. Ketika Alex bukan “Alexander Blackwood sang CEO dingin”, tapi